by admin | 13 Oct 2024 | Artikel, Buku
Perbedaan (al-ikhtilaf) adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas, Ia tidak bisa ditekan, ditutup, atau ditahan dengan peraturan, undang-undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi SAW menyatakan bahwa “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”. Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT.
Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan sering kali dikelola dalam konteks konflik. Namun, dengan perkembangan pemikiran, kita dihadapkan pada tantangan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada dialog, bukan kekerasan. Oleh karena itu, penghargaan terhadap perbedaan serta mekanisme relasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan harus ditegakkan.
Dalam Islam, sebagimana diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku ‘Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon,’ ada lima pilar utama yang menjadi landasan untuk menghadapi perbedaan.
Pilar pertama adalah pengakuan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan perbedaan sebagai bagian dari rencana-Nya, dan ini adalah sesuatu yang harus diterima oleh umat manusia. Kita perlu memahami bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah masalah, melainkan bagian dari rahmat Allah yang memperkaya kehidupan kita.
Pilar kedua menegaskan bahwa keyakinan adalah persoalan hati. Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Ini adalah hak asasi yang harus dihormati dalam interaksi antarumat beragama. Kebebasan berkeyakinan adalah pilar utama dari sebuah peradaban, dan dengan kebebasan ini, perbedaan dapat muncul dalam ruang yang layak dan memperoleh penghormatan yang sepantasnya.
Pilar ketiga adalah pentingnya dialog sebagai metode interaksi. Dialog yang baik harus dilakukan dengan kesetaraan, di mana tidak ada pihak yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ajaklah (orang-orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.” Melalui dialog yang setara, kita dapat memahami perspektif orang lain dan menjalin hubungan yang harmonis meskipun berbeda pendapat.
Pilar keempat menekankan bahwa pemaksaan tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan dengan kekerasan. Kekuatan tidak akan pernah dapat memaksakan keyakinan atau pandangan keagamaan pada orang lain. Sebaliknya, pemaksaan hanya akan menimbulkan kemunafikan dan dendam.
Pilar kelima adalah pengakuan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan mengadili kebenaran ajaran-ajaran yang ada. Kita sebagai manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim sebagai pembela kebenaran mutlak, karena hal ini hanya diketahui oleh Allah SWT.
Dengan memahami lima pilar ini, kita dapat merumuskan suatu etika sosial yang humanis dan berorientasi pada kebaikan umat manusia. Fiqh al-Ikhtilaf tidak hanya memberikan kerangka untuk memahami perbedaan pendapat, tetapi juga menjadi panduan untuk membangun dialog yang konstruktif dan menghindari konflik.
Dalam menghadapi perbedaan, kita perlu merangkul keberagaman sebagai rahmat yang memperkaya hidup kita, bukan sebagai alasan untuk saling memusuhi. Dengan menerapkan pilar-pilar ini, kita dapat menciptakan suasana damai dan saling menghormati, serta membangun pemahaman yang lebih baik di tengah perbedaan.
— Disarikan dari buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon (Alifatul Arifiati, dkk. (2017). Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon. Cirebon: Fahmina Institute.)
by admin | 12 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Finalitas ini ditetapkan sejak 37 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, tidak diperlukan lagi mencari dasar negara lain selain Pancasila. Pun, tidak diperlukan bereksperimen lagi pada bentuk negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara prinsipal, dalam pandangan NU, negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan, dalam bacaan saya, NU memandang negara Pancasila adalah bentuk lain dari negara Islam. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara Islam itu sendiri. Seperti diketahui bahwa secara sosio-politik, negara Islam tidak pernah tunggal dan monolitik, tidak pula universal dalam bentuk yang seragam.
Negara Islam itu bukan nama suatu negara, bukan simbol kenegaraan, atau bukan pula bentuk suatu pemerintahan. Suatu negara bisa disebut negara Islam apabila memenuhi suatu takaran substansi dan tata nilai prinsipal tertentu. Imam Abu Hanifah (80-150 H), misalnya, membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam di suatu negara merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam dalam suatu negara, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.
Dengan kriteria tersebut, jelaslah bahwa negara Pancasila adalah dâr al-Islâm. Umat Islam di Indonesia tidak saja aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan untuk beberapa hal umat Islam sangat diistimewakan. Misalnya, umat Islam punya jalur pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Meskipun labelnya “agama,” tetapi hakim, panitera, pegawai, dan orang-orang yang berperkara di pengadilan itu hanya untuk orang Islam. Sejumlah UU juga hanya ditujukan untuk umat Islam. Sebut saja, misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Meski tidak semua diatur dalam bentuk legal, umat Islam di Indonesia secara umum memiliki kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya, dijamin dan dilindungi secara konstitusional oleh UUD 1945. Oleh karena itu, perbincangan fundamental bangunan negara Indonesia, bagi NU, sudah titik (bukan koma atau titik koma lagi). Sebagai kesepakatan bersama, Indonesia telah berdiri tegak dan kokoh lebih dari 70 tahun meski serangan dan gugatan ideologis berkali-kali dilancarkan. Itulah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersemboyankan Bineka Tunggal Ika. Oleh MPR, fundamental negara ini disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini, oleh warga NU sering disingkat menjadi PBNU, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Yang menarik dari narasi NU tentang Pancasila ini, NU menyelesaikannya bukan dengan pendekatan sosial politik semata, melainkan juga dengan pendekatan keagamaan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fikih, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, tasâmuh, dan i’tidâl merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.
Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya pada pemikiran keagamaan. Apa yang dilakukan NU sesungguhnya adalah jawaban sejarah atas gugatan-gugatan ideologis dari kaum Islamis yang masih mendambakan negara Islam di bumi Indonesia ini. Apa yang dirumuskan NU juga pada dasarnya adalah jawaban teologis atas kegalauan kaum Islamis yang memberontak pada masa lalu bertujuan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Jika kita menggunakan nalar keagamaan ala NU, maka secara paradigmatik relasi agama dan negara telah selesai dan tuntas. Tentu tidak serta merta semua problem kenegaraan dan kebangsaan lalu tidak ada sama sekali. Finalitas ini hanya pada tataran fundamental yang bersifat paradigmatik dan ideologis. Dalam ruang-ruang praksis dan operasional tentu banyak hal yang masih harus dibenahi. Korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, gizi buruk, pendidikan, dan kerusakan alam adalah hal-hal yang harus terus diperbaiki. Namun, janganlah ada tikus di suatu rumah yang sudah kokoh, lalu rumahnya dibakar hanya untuk mengusir tikus.
Pancasila Digugat
Namun, seiring dengan derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang muaranya adalah mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan negara Islam atau khilâfah Islâmiyyah.
Akhirnya kita mencatat, dalam dua dekade terakhir ini, diskursus Pancasila kembali menjadi trending topic. Bukan karena rutinitas tahunan peringatan hari lahir atau hari kesaktian Pancasila, namun karena situasi kebangsaan yang memicunya. Masih hangat dalam ingatan kita, sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, ketika euphoria demokrasi menjangkiti kaum politisi kita, secara beruntun gugatan demi gugatan terhadap Pancasila dan NKRI terus menyeruak. Menariknya, gugatan ini bukan dilakukan oleh kaum komunis atau DI/TII sebagaimana terjadi di masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara sendiri dan organisasi yang sah dalam negara Pancasila. Lebih unik lagi, gugatan ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional dan atas nama demokrasi. Tidak sedikit para penyelenggara negara, baik di lembaga tinggi, pemerintahan, maupun lembaga tertinggi negara, menjadi otak intelektual dan sponsornya.
Kita masih ingat betul bagaimana kelompok Islamis secara konstitusional dalam ruang demokrasi kembali beraksi menggugat Pancasila dan UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket amandemen UUD 1945. Sebelumnya, gugatan ideologis dilakukan pada sidang Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959 dan Sidang Umum MPRS tahun 1966–1968. Ironisnya, semua gugatan ideologis ini dilakukan secara legal konstitusional di bawah lindungan demokrasi Pancasila untuk menggantikan Pancasila dan mengubah UUD 1945 itu sendiri.
Jelaslah gagal, karena kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam masih cukup kuat, baik dalam barisan Parlemen maupun dalam gugusan masyarakat Nusantara. Meskipun gagal, mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan formalisasi syari’at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi Pancasila itu sendiri. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas.
Meski mengutuk demokrasi dan memandang negara Pancasila sebagai thoghut, tetapi sebagian kelompok Islamis itu hidup dan berkembang di bawah payung demokrasi dan ideologi Pancasila. Sebagian mereka menjadi Parpol yang ikut Pemilu dan bahkan kader-kadernya masuk ke dalam barisan parlemen, jajaran pemerintahan, dan pasukan kepolisian/tentara. Sebagian lagi tetap menjadi Ormas dan gerakan ekstra-parlementer yang menjadikan gerakan politik sebagai strategi utama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh mutakhir yang bisa dikemukakan. Dia hidup dalam alam demokrasi yang diharamkan sendiri, berkembang dalam negara Pancasila yang di-thoghut-kan sendiri, tetapi strategi perjuangannya jelas dan tetap konsisten mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah Islamiyyah.
Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dewasa ini mutlak dilakukan. Tidak saja oleh negara, pihak yang paling bertanggungjawab, tetapi juga oleh masyarakat sipil (civil society). Perlu dicari cara dan pola baru untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan cara indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses ilmiah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam hati sanubari warga negara.
Dari Ideologi ke Praksis
Indonesia zaman now tentu berbeda dengan Indonesia zaman old. PKI dan HTI sudah dibubarkan. DI/TII dan Permesta sudah ditumpas. Aktor-aktor utamanya sudah dipenjarakan. Namun, paham, gagasan, dan ideologinya tidak pernah bisa dibunuh dan dikuburkan. Kita tidak mungkin bisa melarang dan menghukum pikiran, gagasan, keyakinan, dan ideologi yang bersemayam dalam otak dan sanubari seseorang. Sehingga, kemungkinan akan reinkarnasi, bangkit kembali, memberontak, dan menyerang kembali Pancasila dan UUD 1945 sangat bisa dipahami. Karena, ideologi itu tidak pernah mati, terus hidup, berkembang, mencari simpati, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya mewujud menjadi gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan budaya, hingga menjadi gerakan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini semua sangat mungkin terjadi. Kewaspadaan untuk ini tidak boleh hilang.
Akan tetapi, harus disadari bahwa tantangan Indonesia ke depan sangat kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri, baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional dan global. Arus besar globalisasi, pasar bebas, radikalisme, terorisme, narkoba, dan transmisi ideologi transnasional adalah sebagian isu global dan regional yang menjadi tantangan, sedang dan akan terus memengaruhi Indonesia ke depan. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perusakan alam, dan ketidakmerataan kesejahteraan adalah tantangan nyata dari dalam negeri yang terus akan menggugat peran dan fungsi Pancasila, bahkan hingga keberadaannya. Tantangan Pancasila hari ini bukan soal ideologi an sich, sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi yang paling memengaruhi gerakan massa adalah tantangan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan yang sehari-hari menyatu dalam kehidupan warga negara.
Ini tantangan nyata yang sangat dirasakan dan dialami oleh semua warga negara. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, kondisi ini akan berubah menjadi gerakan politik dan ideologi yang akan merongrong peran dan keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang gerakan ideologi yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sehari-hari warga negara. Ingat, Presiden Soeharto yang telah membangun kekuasaan lebih dari 30 tahun jatuh bukan karena ideologi non-Pancasila, tetapi karena kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sehari-hari dirasakan warga negara.
Dengan demikian, kehadiran Pancasila dengan pola, cara, dan pendekatan baru sangat niscaya. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk menurunkan Pancasila dari ideologi menjadi praksis gerakan sosial. Pancasila bukan sekadar ideologi negara yang singgah dalam jantung pemerintahan, melainkan yang terpenting harus menancap dalam hati sanubari bangsa Indonesia menjadi pandangan hidup (way of life). Yakni, pandangan hidup yang operasional menyentuh realitas sosial yang terus berubah dan realitas kehidupan yang dialami langsung oleh warga negara Indonesia. Pandangan hidup yang kontekstual dan dinamis merespons perubahan-perubahan yang terus terjadi, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar yang tetap (tsawabit, kulliyyât).
Pancasila juga harus hadir menjadi pegangan nilai bagi warga negara dalam menghadapi setiap masalah kehidupan dan tantangan-tantangan baru, baik dari ruang global, regional, maupun nasional dan lokal. Bukan sekadar tampil secara ideologis, melainkan Pancasila hari ini harus merespons dan menjawab tantangan-tantangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.
Dalam merespons tantangan yang kompleks itu, Pancasila harus tampil tidak semata-mata sebagai ideologi yang melangit (utopis), melainkan harus metamorfosis menjadi gerakan sosial, gerakan politik, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan dalam secara sistematis mewujudkan khittah-nya, yakni khittah Pancasila. Menurunkan ideologi ke dalam praksis sosial yang membebaskan adalah tantangan tersendiri dalam menerjemahkan Pancasila hari ini.
Dengan sejumlah tantangan di sekelilingnya, di hadapannya, dan di belakangnya, Pancasila harus mampu menjadi inspirasi gerakan sosial bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan persatuan Indonesia, yang didasari dengan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut berpedoman pada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Walhasil, kita—terutama negara—harus bisa menghadirkan Pancasila dalam ruang nyata kewarganegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang ada dalam kehidupan Indonesia. Wujud kehadiran itu adalah keberpihakan dan pembelaannya melalui kebijakan, perhatian, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang secara nyata mampu mengubahnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari ini, kita perlu menemukan kembali (reinventing) “khittah Pancasila.” Sejak Pancasila lahir, dia memiliki khittahnya. Khittah ini penting, karena khittah adalah tonggak garis perjuangan dan landasan dasar Pancasila ini ada. “Khittah Pancasila,” menurut saya, berada dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya yang melekat dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilâhiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-ra’iyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Lima nilai dan prinsip dasar ini merupakan satu keutuhan yang tak terpisahkan (five in one) dalam sistem nilai Pancasila. []
by admin | 9 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah kampus atau lembaga pendidikan tinggi Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial kemanusiaan Fahmina-institute. Kampus ini berdiri di atas dasar aspirasi publik yang mengemuka pada saat peringatan 7 tahun Fahmina dan hasil ‘ijtihad’ para pendiri Fahmina sendiri pada tahun 2007 yang lalu.
Atas dukungan banyak pihak, kampus progresif ini tampak terus tumbuh, mengembangkan, dan memantapkan langkah-langkah akademiknya. Tiga pilar (tri dharma) perguruan tinggi –pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat– terus ditancapkan hingga ke akar bumi, sementara buah akademiknya terus menggelayut ke atap langit, membangun peradaban Indonesia yang adil, setara, humanis, dan unggul.
Membedakan ISIF
Penting dicatat, perbedaan mendasar ISIF dengan PTAI lainnya adalah struktur dan substansi kurikulumnya. Dalam konteks itu, ISIF menempatkan keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-basyariyah), lokalitas (al-‘adah), dan kebhinekaan (at-ta’addudiyyah) sebagai perspektif atau paradigma untuk studi keislaman, baik bagi mahasiswa maupun dosennya.
Pada semester pertama, mahasiswa ISIF memperoleh mata kuliah studi gender, studi HAM, studi demokrasi, studi pluralisme, studi kebudayaan lokal, dan studi gerakan sosial, sesuatu yang jarang ditemukan dari kurikulum PTKI manapun.
Setelah rumpun mata kuliah perspektif ini, mahasiswa ISIF pada semester kedua memperoleh rumpun mata kuliah metodologi dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan ‘kebenaran’. Di antara metodologi yang diberikan adalah metodologi penelitian kualitatif, metodologi penelitian kuantitatif, metodologi penelitian aksi partisipatoris, analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, serta belajar dan hidup bersama masyarakat. Harapannya, mahasiswa ISIF sejak dini memiliki kemampuan metodologis untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis realitas sosial, realitas sejarah, teks, dan realitas budaya.
Pada semester ketiga, ISIF menawarkan rumpun mata kuliah “studi pengantar ilmu-ilmu keislaman.” Di antaranya adalah studi pengantar al-Our’an, studi pengantar al-Hadits, studi pengantar kalam, studi pengantar hukum Islam, studi pengantar tasawuf, dan studi pengantar ushul figh. Sejak semester ini, mahasiswa ISIF mulai memasuki bidang studi Islam, dari studi pengantar hingga ke substansi yang mendalam, kepakaran, dan mata kuliah pilihan profesi pada semester ketujuh dan kuartal.
Posisi Epistemologi Islam
Ditilik dari kurikulum ini saja, ISIF tampak berbeda dengan PTKI lainnya. ISIF mengambil posisi yang jelas antara keislaman, sejarah kemanusiaan, dan realitas sosial yang terus berubah. Tiga hal itu diposisikan ISIF hampir sama dengan konsep trinitas dalam pemahaman Kristiani,
Moto ISIF tegas, yakni memadukan teori, praktik, dan transformasi sosial berbasis tradisi intelektualisme Islam-pesantren. Mengapa intelektualisme Islam-pesantren? Harus diakui bahwa pesantren adalah pranata sosial Indonesia yang sangat kaya dan kuat dengan tradisi pemikiran dan akademik.
Dalam tradisi akademik pesantren, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah hal yang biasa, lumrah terjadi, dihargai, dan menjadi bagian dari ruh kehidupan. Pesantren juga kuat dengan ikatan tradisi, menyatu dengan kebudayaan di mana ia bersamanya, serta mampu hidup dalam kebhinekaan, tanpa bertendensi menundukkan dan menyeragamkannya.
Sesuai dengan motonya, ISIF hendak menghasilkan intelektual organik (organic intellectuals), yakni sarjana Islam yang menggali pengetahuan lokal (local knowledge) dari pengalaman kehidupan masyarakat, dan menggunakan pengetahuan itu untuk melakukan perubahan dan memecahkan problematika sosial bersama masyarakatnya.
Dalam bahasa lain, sarjana Islam yang hendak dihasilkan ISIF adalah sarjana yang memiliki jiwa kenabian (profetik), yakni menjadikan ilmu pengetahuannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mereka alami. Dalam keyakinan epistemologi ISIF, ilmu bukan untuk ilmu, melainkan ilmu untuk transformasi sosial demi kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (wisdom) di muka bumi.
Sikap terhadap Masa Lalu
Selain teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits, ISIF juga melakukan studi realitas keislaman masa lalu, sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga masa sekarang. Kecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, semuanya dipandang ISIF sebagai realitas sosial budaya yang tidak mutlak, karena realitas itu lahir dari rahim peradaban suatu tempat dan saat tertentu yang diliputi dengan subyektifitas dan faktor-faktor spesifik yang melatarinya. Kecuali wahyu, tidak ada yang universal dan langgeng, semuanya bisa ber(di)ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Inilah asas fleksibilitas (murunah) dalam pemahaman keislaman.
Islam masa lalu diposisikan ISIF sebagai bahan baku yang sangat kaya dan penting untuk merajut masa kini. Diperlukan kontekstualisasi, transformasi, dan pribumisasi masa lalu untuk dapat digunakan ke dalam masa kini. Masa lalu tidak bisa di-copy paste begitu saja untuk menjustifikasi masa kini, apalagi untuk masa yang akan datang.
Islam yang ingin dihadirkan ISIF adalah Islam-Indonesia dengan seluruh dasar ideologi dan kebudayaannya hari ini, bukan Islam-Arab, bukan Islam-Timur Tengah, dan bukan pula Islam-Barat. Islam-Indonesia adalah Islam yang menyatu dengan wajah, karakter, dan perilaku keindonesiaan, dengan seluruh kebudayaan, tradisi, dan nalar sosial politiknya.
Untuk menghadirkan Islam-Indonesia hari ini dibutuhkan penguasaan yang mendalam secara bersamaan terhadap pengetahuan Islam masa lalu (at-turats al-Islamiy), pengetahuan Barat (at-turats al-gharbiy) yang menguasai dunia hari ini, dan pengetahuan kebudayaan Indonesia (al-hadlarah al-indunisiyyah), bumi kita berpijak. Segi tiga bangunan pengetahuan dan peradaban ini adalah soko guru keilmuan ISIF.
Islam yang Dicita-citakan
Sebagai lembaga studi Islam, ISIF tentu memiliki bangunan Islam yang dicita-citakan. Islam dalam pandangan ISIF adalah instrumen Allah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat di muka bumi. Islam hadir untuk menjadi rahmat (cinta-kasih) bagi seluruh makhluk-Nya. Jangkauan Islam bukan hanya manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh benda-benda alam lainnya. Semuanya menjadi perhatian Islam sebagai keseimbangan ekosistem.
Dalam posisi ini jelas bahwa Islam adalah keadilan bagi seluruh hamba-Nya, rahmat bagi seluruh ciptaan-Nya, dan pelindung bagi seluruh perbedaan dan keragaman di muka bumi ini. Islam adalah agama keadilan, agama kesetaraan, agama kemaslahatan, agama kedamaian, agama cinta kasih, dan agama pelindung kebhinekaan.
Dengan demikian, adalah pengkerdilan besar-besaran, apabila Islam dipahami hanya untuk umat Islam saja, diidentikkan dengan Arabisme, lalu memusuhi selain Islam, memberantas tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan Arabisme. Islam juga bukan kendaraan politik yang dapat ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan penganutnya.
Sebaliknya, Islam hadir untuk semuanya, untuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun gender dan jenis kelaminnya, apapun orientasi seksualnya, dan apapun warna kulitnya berada dalam naungan rahmat Islam. Semuanya sama dan setara di hadapan Islam. Pembeda mereka di hadapan Allah hanyalah amal perbuatan dan ketakwaannya. Inna akramakum ‘inda Allahi atqokum.
Gerbang Pembaruan
Mencermati kerangka filosofis, paradigmatik, epistemologi, dan kurikulum studi Islam ISIF di atas, kami memiliki obsesi dan optimisme besar akan lahirnya para pembaru Islam dari Cirebon. Obsesi dan optimisme ini sangat berdasar. Di mana-mana, pembaruan selalu dimulai dari kebebasan berpikir, kemudian adanya ruang kebebasan mimbar akademik, dan adanya ruang/ media/fasilitasi untuk menuangkan gagasan-gagasan pembaruan tersebut.
Sejak kelahirannya, ISIF telah menyediakan tiga adegan tersebut. Dasar-dasar berpikir kritis, kebebasan berpikir, penguasaan bahan baku keislaman, semangat perubahan, serta ruang kebebasan mimbar akademik dan media ekspresi pembaruan telah disediakan.
Dengan demikian, pembaruan pangkalan-pangkalan sudah dilakukan oleh para founding fathers/mothers Fahmina. Kami telah menulis sejumlah buku, mulai menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan, membukakan gerbang lebar bagi gerakan pembaruan lanjutan yang lebih luas dan simultan, dan menyediakan media yang mendukung bagi persemaian gagasan-gagasan pembaruan.
Kini saatnya, civitas akademika (dosen dan mahasiswa) ISIF terus berijtihad (berpikir bebas) dan bekerja keras mengubah dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis-transformatif yang digali dari sumber-sumber keislaman dan kekayaan budaya tradisi sendiri.
Ingatlah: perubahan sosial tanpa perubahan ide cerdas ibarat rumah laba-laba, dan ide cerdas tanpa perubahan sosial ibarat busa. Wallahu A’lam bish Shawab.
— Artikel ini telah terbit secara cetak di Majalah LATAR ISIF Edisi 1 no. 1 Tahun 2011.
by admin | 8 Oct 2024 | Artikel
Prof. Dr. K.H. A. Chozin Nasuha (Alm.) — Rektor ISIF Periode 2008–2016
Aswaja, atau Ahlussunnah wal Jamaah, merupakan tradisi keagamaan yang telah menjadi rujukan bagi banyak umat Islam di Indonesia. Dalam konteks keilmuwan, Aswaja bukan hanya sebuah doktrin keagamaan, tetapi juga berpotensi untuk berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang dapat berkontribusi pada pemikiran Islam secara lebih luas. Pengembangan ini menjadi semakin jelas mengingat tantangan dan dinamika sosial yang dihadapi masyarakat saat ini memerlukan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai Aswaja.
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) telah mengemukakan gagasan bahwa Aswaja dapat bertransformasi menjadi ilmu yang lebih sistematis dan kritis. Pendekatan ini berlandaskan pada pemikiran kritis dan kesadaran akan kesenjangan antara pemahaman ideal tentang Aswaja dan praktiknya yang telah terjadi secara historis.
Dengan demikian, pengembangan Aswaja sebagai ilmu membutuhkan penelitian yang beragam dan mendalam, yang meliputi berbagai pendekatan, baik filosofis, historis, maupun interdisipliner. Upaya ini penting untuk menciptakan landasan teori yang kokoh dalam rangka menjadikan Aswaja sebagai bagian integral dari keilmuwan Islam.
Munculnya pemikiran Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) bahwa Aswaja dapat berkembang menjadi ilmu didorong oleh dua hal pokok, yaitu pemikiran kritis dan kesadaran adanya kesenjangan antara Aswaja yang ideal dengan Aswaja secara historis.
Meskipun dua model Aswaja itu tidak beriringan, tetapi bisa dijadikan sebagai dasar masuknya Aswaja menjadi model keilmuwan tertentu dalam Islam. Pekerjaan ini sangat panjang, karena masih banyak memerlukan penelitian dengan berbagai pendekatan filosofis, yuridis, teologis, logis, atau pendekatan historis, antropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis, dan lain sebagainya.
Dari segi lain, pendekatan satu dapat digabungkan dengan pendekatan lain untuk kepentingan ini, misalnya penggabungan antara pendekatan filosofis dan antropologis, atau pendekatan interdisipliner lainnya. Upaya penelitian di atas menurut penulis perlu dilakukan terus-menerus sehingga menemukan berbagai teori yang kuat untuk pengembangan
Aswaja sebagai ilmu.
Pemikiran kritis yang dimaksudkan di sini adalah kajian dinamis dan eksploratif atas Aswaja yang mengalami kristalisasi berwatak normatif dan mapan menjadi berstatus sebagai doktrin kehidupan. Konsep Aswaja dikaji dari aspek sumber rujukannya, yaitu materi dari Kitab Kuning, dan dari segi lain mengajukan penalaran atau optimalisasi daya berfikir.
Hal itu sangat mungkin dilakukan, karena isi Kitab Kuning itu berasal dari upaya penalaran terhadap Al-Qur’an dan al-Hadits yang terakumulasi dan terformalisasi secara sistematis. Dengan demikian, Kitab Kuning pada dasarnya adalah merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat al-(Juran dan al-Hadits, melalui proses pemikiran yang panjang atau secara teknis disebut ijtihad,
Dalam Kitab Kuning tadi, ada ajaran yang mengandung pemahaman yang harus diterima secara bulat (taken for granted) yang menjadi dogma (akidah) dan bersifat qath’iy (given), dan sebagian lagi berisi pemikiran yang beragam yang selanjutny menjadi ilmu yang bersifat zhanni. Bagian yang kedua inilah yang harus disentuh dengan pemikiran kritis, dan bagian inilah materi yang paling banyak diuraikan dalam kitab-kitab fiqh.
Kesenjangan antara Aswaja ideal dengan Aswaja realitas dilihat dari sisi historis-antropologis menunjukkan relevansi dan diferensiasi yang jelas. Sebagai teoritik (doktrin) Aswaja merupakan hal yang harus diamalkan, namun demikian secara empiris pelaksanaan doktrin Aswaja dapat dipraktikkan dalam berbagai cara yang tidak sama.
Diferensiasi praktik Aswaja telah dicontohkan oleh kisah para ulama dari kalangan Aswaja yang tampaknya tidak sama persis dengan doktrin Aswaja yang ada di dalam buku. Praktik mereka bahkan tampak seperti kontradiktif dengan doktrin Aswaja, misalnya sikap toleran terhadap pemikiran lain seperti Syi’ah, Mu’tazilah, “Ibadliyah, dan pemikiran fiqh dan tasawuf yang kontemporer.
Ketidakdisiplinan ulama tersebut dalam berpraktik doktrin Aswaja dipengaruhi mungkin oleh perkembangan pemikiran mereka yang menganggap Aswaja sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat. Konsep Aswaja yang ada dengan demikian dianggap tidak responsif terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam yang terus berkembang.
Konsep sebuah doktrin mengalami kondisi kritis seperti merupakan hal yang wajar karena konsep ini dikembangkan ketika Islam mengalami situasi kejumudan pemikiran dan keterbelakangan di hampir segala bidang kehidupan misalnya dalam aspek ilmu dan teknologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, perkembangan akademik dan komunikasi. Situasi kritis ini mendorong perubahan struktural ajaran Aswaja, yang kemudian dikenal dengan perkembangan ilmu (science).
Ilmu pada sebenarnya memiliki watak kontemplatif dan futuristik. Berdasarkan hal ini ilmu dapat membentuk pembangunan kembali (rekonstruksi) konsep Aswaja dan mengkontekstualisasi ajaran, pemikiran dan tradisi (klasik) sesuai dengan situasi dan persoalan masyarakat modern, sehingga lebih bersifat mengubah keaadaan atau transformatif. Tidak hanya merekonstruksi konsep Aswaja, namun ilmu juga dapat melampai gagasan klasik secara dekonstruktif melalui pengembangan pemikiran dan penafsiran baru terhadap teks-teks yang sudah ada dan memberikan alternatif cara pandang yang baru.
Pemikiran yang dirintis oleh ISIF di atas merupakan keinginan yang masih baru dan masih harus dikembangkan dan dioperasikan melalui kelembagaan yang terorganisir sehingga menjadi pola pikir dan gerakan umat Islam. Orientasi baru konsep Aswaja ini memerlukan tindak lanjut melalui kajian dan dialog lebih kuat dan memerlukan pengujian pemikiran secara ilmiah sampai layak untuk direalisasikan. Meskipun demikian, pemikiran transformatif ini perlu dikompromikan dengan model-model pemikiran keilmuwan Kitab Kuning, sehingga mendapatkan sambutan yang memadai dan mengurangi penolakan yang tidak perlu.
— Disarikan dari buku Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-sunnah wa al-jamaah (Nasuha, A. C. (2015). Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-sunnah wa al-jamaah. Pustaka Sempu.)
by admin | 6 Oct 2024 | Berita
ISIF Cirebon — Buku ‘Perempuan Penggerak Perdamaian: Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning’ secara resmi diluncurkan di Rumah Rengganis, Cirebon, pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Acara ini dihadiri oleh puluhan peserta yang berasal dari berbagai elemen, komunitas, dan organisasi lintas iman, termasuk kalangan pondok pesantren dan mahasiswa.
Buku ini merupakan kolaborasi antara mahasiswa dan alumni ISIF, yang mengisahkan enam tokoh perempuan lintas iman yang aktif dalam menjaga perdamaian di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Tiga tokoh perempuan yang menyumbangkan cerita mereka dalam buku tersebut, yaitu Juwita Djatikusumah, Cici Situmorang, dan Alifatul Arifiati, turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi bedah buku.
Selain itu, kehadiran enam penulis buku juga menambah semarak acara, yang terdiri dari mahasiswa ISIF, Siti Robiah dan Fuji Ainayyah, serta alumni ISIF, Gun Gun Gunawan, Fajar Pahrul Ulum, Fitri Nurajizah, dan Fachrul Misbahuddin.
Ketua Program Beda Setara, Fitri Nurajizah, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penulisan buku ini didasari oleh pandangan sosial yang sering mengabaikan peran perempuan dalam menyuarakan perdamaian. “Teman-teman Beda Setara melihat bahwa perempuan selalu dianggap tidak ikut berkontribusi dalam upaya-upaya menjaga perdamaian dan menyuarakan nilai-nilai toleransi,” ujarnya.
Fitri menambahkan bahwa meskipun ada perempuan yang terlibat, peran mereka sering dianggap remeh. “Ternyata ada banyak sekali perempuan yang ikut terlibat bahkan menjadi inisiator untuk menyebarkan atau menjaga perdamaian,” lanjutnya.
Dalam kesempatan ini, Fitri juga menyoroti keunikan cara perempuan dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi. “Ada yang mulai dari rumah ke komunitas, ada yang memang mulai dari kegelisahan, dan ada yang dikarebakan menjadi korban diskriminasi,” katanya.
Fitri berharap, dengan diterbitkannya buku ini, akan muncul lebih banyak karya yang menuliskan tentang peran perempuan dalam gerakan perdamaian, tidak hanya di Ciayumajakuning, tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. “Kami berharap buku ini menginspirasi anak-anak muda untuk menuliskan dan menyebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian,” tutupnya.