(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Peran Pesantren dalam Menanamkan Nilai-Nilai Toleransi

Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai tasamuh adalah suatu sikap menghargai pendirian serta pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Toleransi juga salah satu nilai pendidikan karakter di pesantren. Al-ikhtilafu rahmatun adalah adagium (ungkapan) yang sangat familiar di kalangan santri. Di pesantren para santri secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan menjadi hal yang indah dan patut dirayakan.

Biasanya di pesantren banyak hal baru yang ditemui para santri yang baru mukim di pesantren, seperti perbedaan bahasa dan daerah para santri. Latar belakang budaya dan wilayah yang bervariasi tentu saja membuat setiap santri mempunyai pola perilaku yang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang positif untuk menumbuhkan kembang seseorang di dalam lingkungan yang heterogen.

Banyak keuntungan yang dapat diambil bagi sesorang yang tumbuh di lingkungan beragam, seperti di pesantren. Misalnya, mereka dapat belajar dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Bagi sebagian orang hal ini sulit dilakukan karena adanya rasa ketidakamanan, keraguan, keengganan atau ketakutan ketika berinteraksi dengan orang asing. Dalam istilah ilmu jiwa gejala seperti ini biasa disebut dengan xenophobia.

Toleransi di Pesantren 

Pesantren sebagai lembaga pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh santri untuk menggali potensi dalam diri santri. Tidak ada diskriminasi yang diberlakukan di pesantren. Seperti dalam sebuah kisah ini. Suatu ketika ada santri bule yang mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bernama Katrin Bandel, perjalanannya di pesantren sempat dijadikan film dokumenter berjudul “Al Ghoriib ” dan diputar dalam perhelatan Muktamar NU di Jombang tahun 2015. walaupun tampilan fisik dia berbeda dan umurnya terpaut jauh dibandingkan rekan santriwati lainnya, ia tetap mempunyai dalam menjalankan kegiatan dan pelaksanaan santriwati pada umumnya.

Sikap pesantren yang terbuka tidak hanya dimiliki oleh para kiai dan santrinya. Melainkan juga masyarakat luas yang tinggal di lingkungan sekitar pesantren, bahkan tidak terbatas oleh sekat-sekat geografi. Banyak masyarakat yang jauh tinggal di luar pesantren menjadikan kiai atau tokoh di pesantren sebagai rujukan, nasehat atau petuah dalam menyelesaikan permasalahan sosial ataupun agama.

Sekadar contoh, di daerah Pohuwato Gorontalo ada sebuah pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyyah, terletak di Desa Banuroja. Desa tersebut didirikan oleh tiga komunitas agama yang berbeda, Islam, Kristen, dan Hindu. Pengasuh pesantren ini seringkali menjadi sumber rujukan bagi umat tiga agama untuk menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pesantren dan kiai menjadi sebuah institusi yang menjadi rahmat bagi sekelilingnya (rahmatan liman haulahu).

Wajah Islam Indonesia

Di tengah gemparnya Islamophobia yang melanda negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Belanda, Indonesia hadir menawarkan Islam yang ramah dan sangat lekat dengan budaya lokal. Maka, tidak heran jika Fazlur Rahman secara optimis menyatakan bahwa potensi Indonesia sebagai negara penyulut kebangkitan Islam. Hal ini dikarenakan secara teologis Indonesia tidak mempunyai pertentangan yang hebat seperti negeri-negeri muslimn lainnya.

Di Indonesia tidak ada konflik antara Sunni dan Syi’ah, dan tidak terdapat konflik antar mazhab yang runcing (Amien Rais, 1991: 174). Islam Indonesia dengan corak khasnya menjadi jembatan antara budaya dan ajaran agama bisa berjalan satu sama lain, tidak saling memusuhi atau bahkan menjalin hubungan satu sama lain.

Pergantian rezim juga mempengaruhi tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang intoleran. Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, di negeri ini gerakan-gerakan Islam transnasional tumbuh subur. Mereka mengusung misi menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah. Bagi komunitas pesantren yang memiliki gerbong terbesar di negeri ini, khilafah merupakan ancaman yang serius.

Khilafah dianggap memecah belah bangsa, mengancam pancasila, UUD 1945, kebhinnekaan, dan kesatuan bangsa. Walaupun kelompok pemuja khilafah ini sangat kecil, namun gerakan dan aktifitasnya termasuk kategori separatis yang bertentangan dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).

Corak Islam Indonesia

Husein Muhammad mengungkapkan bahwa corak awal penyebaran Islam masuk ke Indonesia adalah corak Islam sufistik. Masyarakat Hindu-Buddha Jawa mempunyai titik kesamaan dengan misi yang diemban oleh para juru dakwah di tanah Jawa (Walisongo). Kesamaannya pada istilah-istilah yang berlaku dalam budaya lama (Animisme, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (pandangan dunia) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati.

Wadah-wadah lama yang dipakai, diganti. Peninggalan kejeniusan masa lalu masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa, dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi do’anya bukan untuk para “dewa-dewa” namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta. Dan sesajinya -biasanya berupa makanan —dimakan bersama-sama setelah ritual doa. Dakwah seperti ini justru sangat ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk menerima Islam sebagai agama pada saat itu, tanpa mengeliminasi nilai-nilai dan adat istiadat lokal.

Secara singkat, metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan perpaduan antara kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih mempunyai ritualritual tertentu dalam ritus kepercayaanya dan memasukkan nilai-nilai agama Islam di dalamnya. Para Wali juga melakukan syiar keagamaan dengan medium lain, seperti kesenian. Para Wali Songo adalah seniman yang luar biasa, sehingga bisa meingislamkan tanah Jawa, salah satunya dengan jalan seni.

Dengan adanya akulturasi budaya tersebut Islam Indonesia secara umum telah mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Kegiatan kebudayaan yang dibungkus dengan nilai-nilai agama seperti: Syukuran empat bulan kehamilan, nyadran, sedekah laut, dan tradisi sedekah bumi. Inilah bentuk pelestarian Islam Indonesia yang sangat adaptif terhadap kearifan lokal. Islam sebagai agama dan pesantren sebagai lembaga keagamaan di Indonesia memiliki corak pemikiran keagamaan yang ramah dan santun yang telah lama diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Memilih cara damai dan toleran dalam hidup seringkali dianggap oleh kelompok fundamentalis sebagai bentuk dari melemahnya iman dan kendurnya semangat keislaman. Ini adalah anggapan yang keliru dan patut diluruskan. Di dalam Islam sendiri, ada banyak kisah Nabi Muhammad yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti dalam sebuah riwayat berikut,

Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad ra dan Sahal bin Hunaif ra. sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu termasuk penduduk setempat (yakni orang non muslim). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menemui iringan jenazah, lalu dia berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah saw. bersabda: bukankah ia juga manusia?” (Shahih Muslim No.1596).

Nilai-nilai yang menghargai perbedaan semacam ini patut dilestarikan oleh umat Islam dimanapun hingga saat ini. Agen perubahan bisa diinisiasi oleh siapa saja, karena tujuan dari seseorang beragama ada untuk melayani kemanusiaan.

 

Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Baca selengkapnya dalam:  Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017.

5 Pilar Fiqh Al-Ikhtilaf: Cara Bijak Menghadapi Perbedaan dalam Islam

Perbedaan (al-ikhtilaf) adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas. Ia tidak bisa ditekan, ditutup, atau ditahan dengan peraturan, undang-undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi SAW menyatakan bahwa “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”. Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT.

Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan sering kali dikelola dalam konteks konflik. Namun, dengan perkembangan pemikiran, kita dihadapkan pada tantangan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada dialog, bukan kekerasan. Oleh karena itu, penghargaan terhadap perbedaan serta mekanisme relasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan harus ditegakkan.

Lima Pilar Fiqh Ikhtilaf

Dalam Islam, sebagimana diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku ‘Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon,’ ada lima pilar utama yang menjadi landasan untuk menghadapi perbedaan.

Pilar pertama adalah pengakuan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan perbedaan sebagai bagian dari rencana-Nya, dan ini adalah sesuatu yang harus diterima oleh umat manusia. Kita perlu memahami bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah masalah, melainkan bagian dari rahmat Allah yang memperkaya kehidupan kita.

Pilar kedua menegaskan bahwa keyakinan adalah persoalan hati. Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Ini adalah hak asasi yang harus dihormati dalam interaksi antarumat beragama. Kebebasan berkeyakinan adalah pilar utama dari sebuah peradaban, dan dengan kebebasan ini, perbedaan dapat muncul dalam ruang yang layak dan memperoleh penghormatan yang sepantasnya.

Pilar ketiga adalah pentingnya dialog sebagai metode interaksi. Dialog yang baik harus dilakukan dengan kesetaraan, di mana tidak ada pihak yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ajaklah (orang-orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.” Melalui dialog yang setara, kita dapat memahami perspektif orang lain dan menjalin hubungan yang harmonis meskipun berbeda pendapat.

Pilar keempat menekankan bahwa pemaksaan tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan dengan kekerasan. Kekuatan tidak akan pernah dapat memaksakan keyakinan atau pandangan keagamaan pada orang lain. Sebaliknya, pemaksaan hanya akan menimbulkan kemunafikan dan dendam.

Pilar kelima adalah pengakuan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan mengadili kebenaran ajaran-ajaran yang ada. Kita sebagai manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim sebagai pembela kebenaran mutlak, karena hal ini hanya diketahui oleh Allah SWT.

Dengan memahami lima pilar ini, kita dapat merumuskan suatu etika sosial yang humanis dan berorientasi pada kebaikan umat manusia. Fiqh al-Ikhtilaf tidak hanya memberikan kerangka untuk memahami perbedaan pendapat, tetapi juga menjadi panduan untuk membangun dialog yang konstruktif dan menghindari konflik.

Dalam menghadapi perbedaan, kita perlu merangkul keberagaman sebagai rahmat yang memperkaya hidup kita, bukan sebagai alasan untuk saling memusuhi. Dengan menerapkan pilar-pilar ini, kita dapat menciptakan suasana damai dan saling menghormati, serta membangun pemahaman yang lebih baik di tengah perbedaan.

— Disarikan dari buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf:  Potret dan Prakarsa Cirebon (Alifatul Arifiati, dkk. (2017). Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon. Cirebon: Fahmina Institute.)

Moderasi Beragama : Ajaran Menebar Kemaslahatan Bersama

Oleh : Gun Gun Gunawan (Ketua DEMA ISIF)

Secara umum, moderasi beragama merupakan gerakan jalan tengah dalam memediasi persoalan relasi antar umat beragama.

Moderasi beragama juga menjadi cara pandang mengenai praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.

Selain itu, moderasi beragama juga hadir untuk memberikan alternatif terhadap persoalan keberagaman. Pasalnya, keberagaman ini merupakan anugerah yang telah diberikan Allah Swt.

Jika merujuk pada pandangan Lukman Hakim Syaifuddin dalam buku “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” moderasi beragama merupakan cara pandang sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengerjakan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.

Bagi Lukman, frasa “dalam kehidupan bersama” mengindikasikan bahwa penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang dimaksud dalam penguatan moderasi beragama utamanya adalah menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Artinya, moderasi beragama tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kehidupan dan praktik beragama individu sebagai pribadi.

Frasa “mengejawantahkan esensi ajaran agama” mengindikasikan bahwa moderasi beragama menekankan adanya pemahaman dan praktik beragama substantif yang selalu mengedepankan esensi setiap ajaran dan ritual agama.

Kerangka berpikir urgensi moderasi beragama ini dibangun di atas kesadaran bahwa esensi ajaran agama yang paling luhur adalah martabat kemanusiaan.

Oleh sebab itu, perlu ditekankan bahwa tujuan utama sikap moderat ditujukan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum.

Nilai-nilai yang telah disebut pun harus berlandas pada prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.

Poin ini lebih pada penegasan kepada cara pandang, sikap, dan perilaku ajaran keagamaan tidak boleh mengakibatkan adanya penyimpanan dan pelanggaran terhadap ideologi dan konstitusi negara (Pancasila dan UUD 1945) yang telah menjadi konsesus bersama bangsa Indonesia.

Karena sejatinya paham akan moderasi beragama secara eksplisit telah meniscayakan pada setiap warga negara Indonesia untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. []