by admin | 24 Dec 2024 | Artikel
ORASI ILMIAH DIREKTUR PENERANGAN AGAMA ISLAM
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dalam suasana yang penuh dengan semangat intelektual dan kesadaran moral. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah bertemakan tantangan global yang melibatkan isu dehumanisasi dan perubahan iklim, serta bagaimana peran penting tokoh agama dan kaum cendekia dalam menjawab permasalahan tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Dunia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang semakin mendesak untuk diatasi. Dehumanisasi, yakni penghilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam relasi sosial, dan perubahan iklim, sebagai akibat eksploitasi alam yang berlebihan, menjadi dua persoalan yang mengancam eksistensi manusia secara global. Dalam konteks ini, peran tokoh agama dan kaum cendekia tidak lagi dapat dipandang sebagai periferal, tetapi justru harus berada di garis depan untuk menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Dehumanisasi menjadi salah satu fenomena yang marak terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik bersenjata, ketidakadilan sosial, hingga eksploitasi tenaga kerja. Fenomena ini mencerminkan hilangnya nilai kemanusiaan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat relevan. Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya mengembalikan esensi kemanusiaan yang inklusif, melampaui sekat-sekat identitas.
Perubahan iklim adalah krisis global yang tak terhindarkan. Peningkatan suhu bumi, penggundulan hutan, kenaikan permukaan laut, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah tanda-tanda kerusakan ekologis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensi perubahan iklim tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial, menciptakan gelombang baru pengungsi iklim, konflik sumber daya, dan ketidakstabilan ekonomi.
Fenomena dehumanisasi dan perubahan iklim saling berkelindan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam mencerminkan hilangnya kesadaran akan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab kolektif terhadap sesama makhluk hidup. Kerusakan ekologi ini tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin parah, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.
Di tengah kompleksitas permasalahan ini, agama memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral yang dapat menginspirasi perubahan. Ajaran agama, yang pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab, mampu menjadi panduan dalam mengatasi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Misalnya, dalam Islam, konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Tokoh agama memiliki peran strategis dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan. Melalui dakwah, pendidikan, dan kepemimpinan sosial, mereka dapat mendorong masyarakat untuk mengedepankan solidaritas, empati, dan keadilan. Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari Rabi’a al-Adawiyya, seorang tokoh perempuan Islam yang menekankan cinta kepada Tuhan sebagai jalan menuju cinta kepada sesama manusia. Pemikirannya menegaskan bahwa nilai spiritualitas yang tinggi dapat mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaan sejati.
Selain itu, tokoh agama juga perlu mengambil peran dalam advokasi lingkungan. Mereka dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, mengajak umat untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian asal Kenya, adalah contoh perempuan Muslim yang membuktikan bahwa perjuangan lingkungan dapat berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan. Gerakannya, Green Belt Movement, mengajarkan bahwa pelestarian lingkungan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.
Hadirin yang saya hormati,
Kaum cendekia memiliki peran penting dalam menyusun narasi intelektual yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita dapat memberikan analisis kritis terhadap struktur sosial yang menghasilkan dehumanisasi, serta menawarkan solusi yang berbasis keadilan sosial. Dalam hal ini, cendekiawan perlu memadukan wawasan akademik dengan sensitivitas moral untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Dalam isu perubahan iklim, cendekiawan memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan urgensi krisis ekologis melalui penelitian, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik. Kita juga perlu mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan memastikan bahwa solusi ekologis yang ditawarkan tetap berpihak pada keadilan sosial.
Kerja sama antara tokoh agama dan kaum cendekia menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Tokoh agama dapat memberikan landasan moral dan spiritual, sementara kaum cendekia menyediakan analisis kritis dan solusi berbasis data. Sinergi ini memungkinkan terciptanya gerakan yang lebih inklusif dan efektif dalam menjawab tantangan global.
Menuju Indonesia Emas 2045, peran tokoh agama dan kaum cendekia menjadi semakin penting. Mereka harus mampu menjadi katalis perubahan dalam masyarakat, baik dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan maupun dalam mendorong kesadaran ekologis. Visi Indonesia Emas tidak hanya tentang pembangunan ekonomi, tetapi juga tentang pembangunan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan.
Salah satu cara untuk mewujudkan sinergi ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran ekologis perlu menjadi prioritas, baik di tingkat formal maupun informal. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Meskipun tantangan yang kita hadapi besar, kita harus tetap optimis bahwa perubahan dapat terjadi. Dengan kerja keras, sinergi, dan komitmen, kita dapat mewujudkan dunia yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tokoh agama dan kaum cendekia harus menjadi cahaya penuntun dalam perjalanan ini.
Hadirin yang saya hormati,
Di tengah tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim, sebuah deklarasi lintas agama yang dilakuan beberapa waktu lalu yakni Deklarasi Istiqlal telah menyerukan pentingnya kolaborasi umat beragama untuk menjaga lingkungan hidup dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi ini mengingatkan kita bahwa tanggung jawab keagamaan tidak hanya berpusat pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa agama harus menjadi landasan moral dalam membangun harmoni antara manusia dan lingkungan.
Semangat dari deklarasi tersebut mengajarkan kita bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah ilahi. Umat beragama dipanggil untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan kebersamaan yang diajarkan agama harus menjadi pilar utama dalam upaya global untuk menghadapi tantangan ini. Deklarasi ini juga menjadi pengingat bahwa harmoni antarumat beragama bukan sekadar idealisme, tetapi kunci keberhasilan dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan spirit ini, mari kita jadikan upaya menjaga lingkungan dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Tuhan dan warisan luhur untuk generasi mendatang.
Akhir kata, saya mengajak kita semua untuk menjadikan dehumanisasi dan perubahan iklim sebagai isu bersama yang harus diatasi dengan semangat kolektif. Mari kita berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam upaya mulia ini.
Wallahulmuwafiq Ilaa Awamith Tharieq
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Direktur Penerangan Agama Islam
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
— — Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.
by Admin | 26 Dec 2022 | Publikasi Ilmiah
Tulisan ini adalah Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Angkatan VI, 24 Desember 2022, di Hotel Prima Cirebon.
Pengantar
Perkenankan saya memulai dengan mengucapkan ‘Selamat!’ kepada mahasiswa-mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) yang wisuda pada hari ini.
ISIF adalah sebuah aspirasi. Dia bagian dari perjuangan besar untuk menghadirkan kehidupan yang adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbagi refleksi tentang membangun pengetahuan transformatif. Saya bicara hari ini bukan sebagai akademisi atau ilmuwan dalam sebuah disiplin ilmu tertentu. Saya hanya seorang penggerak yang terus berpikir kritis di ruang publik dengan sumber daya yang tersedia di ruang publik demi majunya perjuangan besar yang sama-sama sedang diupayakan ini.
Krisis dan Momen Transformatif
Tantangan yang dihadapi dalam perjuangan ini semakin besar dan kompleks sekarang. Pandemi Covid-19 tidak sekedar mengakibatkan porak-porandanya kehidupan umat manusia sedunia. Menyebarnya virus corona ke seantero dunia juga merupakan sebuah pesan dari alam. Melalui partikel mungil yang tak kasat mata ini, alam sedang bersuara bahwa manusia ini telah terlalu jauh menjarah ke ruang hidup alam semesta. Keserakahannya nyaris tidak menyisakan lagi habitat yang aman dan sentosa bagi makhluk-makhluk penghuni lainnya – flora dan fauna yang selama ini ikut memastikan keberlanjutan hidup di Bumi.
Para ilmuwan menyatakan bahwa pandemi sudah pasti akan terjadi lagi jika kita tidak mengubah sistem produksi pangan, membatasi urbanisasi dan industri, menggagas ulang cara transportasi, dan mengurangi peningkatan suhu udara di tengah perubahan iklim. Artinya, pandemi ini akan berulang jika kita tidak melakukan perubahan sistemik, jika kita tidak mampu membayangkan dan membangun sistem ekonomi yang regeneratif – yang menjamin keberlanjutan bukan mematahkannya.
Perang di Ukraina bukan saja membawa kesengsaraan bagi warga negara Ukraina melainkan juga menunjukkan betapa rapuhnya tatanan dunia bahkan di pusat-pusat kekuasaan seperti Dewan Keamanan PBB dan Eropa. Hak veto yang dipegang oleh Rusia dan Cina di Dewan Keamanan PBB, sebagai hasil kesepakatan pasca Perang Dunia II, tidak memungkinkan adanya pihak mana pun yang dapat mencegah serangan Rusia ini. Menghadapi boikot ekonomi oleh negara-negara pembela Ukraina, Rusia malah menghentikan penjualan gandum dan bahan bakar dan mengakibatkan krisis pangan di Afrika serta krisis energi di Eropa.
Lebih dari itu, fakta perang di kawasan Eropa Timur ini telah membuat pemerintahan di mana-mana sibuk mempersenjatai diri sejalan dengan menguatnya logika perang, termasuk di Cina, Jepang, Indonesia dan negara-negara Eropa yang selama ini bergantung pada kekuatan militer Amerika melalui NATO.
Tetapi bagaimana membuat perubahan sistemik di tengah ruang demokrasi yang semakin menyempit? Menurut lembaga internasional yang terus mengamati kondisi demokrasi di dunia, pada akhir tahun 2021, separuh dari 173 negara mengalami kemunduran paling tidak dalam satu aspek kehidupan demokrasi. Bahkan Eropa, kawasan yang selama ini membanggakan diri sebagai pusat demokrasi dunia, harus mengakui bahwa separuh dari negara-negara di sana mengalami kemerosotan demokrasi.[1] Sementara itu, otoritarianisme semakin kuat mengakar di mana-mana, termasuk di kawasan kita, Asia Pasifik, di mana 85% dari penduduknya tengah hidup dalam konteks demokrasi yang serba mundur dan melemah.
Dalam konteks ini, bukankah akan semakin sulit dan berisiko untuk menyuarakan urgensi perubahan sistemik yang niscaya akan menggoyahkan – bahkan mensyaratkan pembongkaran – dari tatanan hierarki kuasa yang selama ini mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat?
Semua ini semakin kompleks saat kita juga sedang penuh kegamangan dalam berhadapan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari kita. Di satu pihak, media sosial menciptakan peluang-peluang baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dengan kemampuan untuk menembus waktu dan jarak dalam sekejap. Media sosial memudahkan kita berkomunikasi dengan kekuatan visual yang dinamis dan berdaya gugah secara instan.
Akan tetapi, di pihak lain, revolusi teknologi informasi dan komunikasi ini juga pegang andil besar dalam menyebarkan kebencian dan menguatkan cara berpolitik yang bertumpu pada rasa takut dan serba curiga kepada orang yang berbeda dari diri dan golongan sendiri. Perlu juga kita simak dampak media sosial pada kesehatan mental anak muda. Sebuah survei yang dijalankan sepanjang 10 tahun (2009-2019) di Amerika[2], misalnya, menemukan bahwa perempuan remaja yang mulai menggunakan media sosial pada usia ke-13 dan terus meningkat frekuensi penggunaannya semakin rentan risiko bunuh diri.
Sebenarnya dalam sejarah peradaban manusia, kita beberapa kali mengalami gejolak besar akibat adanya teknologi baru. Antara lain, Benedict Anderson, pakar ilmu politik, sejarawan dan Indonesianis kondang, memaparkan bagaimana munculnya mesin cetak pada abad ke-15 untuk memroduksi injil Gutenberg menjadi cikal bakal bagi lahirnya penerbit buku yang, pada gilirannya, memungkinkan penyebaran gagasan-gagasan baru, termasuk tentang bangsa dan kebangsaan atau konsep nasion dan nasionalisme. Empat abad setelahnya, proses membayangkan keberadaan sebuah komunitas politik yang berbatas dan berdaulat – disebut ‘imagined community’ – mewujudkan diri pada era dekolonisasi, termasuk di bumi pertiwi kita.
Sebagaimana mesin cetak Gutenberg dulu, mungkin teknologi digital yang juga tanpa preseden akan jadi cikal bakal bagi lahirnya suatu formasi kehidupan sosial-politik yang sama sekali berbeda dari apa yang kita kenal hari ini. Bukan tidak mungkin bahwa, hari ini, umat manusia sekali lagi berada dalam sebuah momen transformatif yang pastinya bakal berlangsung panjang.
Gagasan-gagasan baru yang didasarkan pada kekuatan imajinasi sudah mulai bermunculan sebenarnya. Salah satunya yang baik kita simak adalah sebuah manifesto yang disebut ‘Care Manifesto’, yaitu ajakan untuk membayangkan ulang seluruh sistem politik, ekonomi, tatanan global serta sistem kerabat dan komunitas agar dipandu oleh komitmen untuk saling merawat.
Para penggagas, sebuah kumpulan ilmuwan dan aktivis yang disebut ‘The Care Collective’, membuat manifesto ini sebagai wujud dari penyikapan politik mereka atas fakta interdependensi dari segala dimensi sistem kehidupan. Gagasan, atau lebih tepatnya seruan, yang mereka buat ini merupakan respons atas segala biaya sosial, politik dan personal yang harus ditanggung umat manusia akibat sikap tidak peduli (carelessness) yang hegemonik selama ini. Mereka berkeyakinan bahwa:
Care, atau saling rawat, adalah kemampuan diri dan kemampuan bersama untuk menyediakan kondisi politik, sosial, material dan emosional yang memungkinkan mayoritas orang dan makhluk hidup di bumi ini untuk hidup sentosa, seiring dengan planet di mana mereka berada. Hal ini termasuk kapasitas dan kegiatan bersama untuk merawat segala yang dibutuhkan bagi kesejahteraan dan tumbuh-kembangnya kehidupan. Di atas segalanya, tekad untuk menempatkan upaya saling merawat sebagai poros utama berarti komitmen untuk mengakui dan menerima fakta interdependensi dari segala aspek kehidupan kita.
Secara khusus, hal ini menuntut kesiapan untuk memberi perhatian pada kerja perawatan yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah dan di ruang-ruang pelayanan sosial lainnya serta kesediaan untuk merawat para aktivis yang tengah mengupayakan alternatif-alternatif kolaboratif, ekonomi solidaritas dan kepustakaan dari perjuangannya. Mewujudkan kemampuan bersama untuk saling merawat juga mencakupi kapasitas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang menjamin perumahan yang terjangkau, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memperluas kawasan hijau di bumi ini.
Kumpulan ‘Care Collective’ ini tidak sedang mengajukan sebuah teori yang sudah jadi tetapi mengajak kita untuk berimajinasi secara radikal. Bisa jadi, imajinasi untuk menata ulang sistem kehidupan atas dasar prinsip saling rawat hari ini sama radikalnya dengan imajinasi beberapa abad yang lalu saat otoritas absolut raja dan agamawan dibayangkan perlu dan bisa digantikan dengan kedaulatan rakyat di ruang demokrasi. Hari ini dan saat itu, imajinasi radikal seperti ini bukannya mimpi di siang bolong melainkan sebuah aspirasi berlandaskan analisis yang seksama dan berani tentang kondisi ketidakadilan dalam tatanan sosial politik yang ada.
Apakah analisis kita tentang berbagai masalah ketidakadilan hari ini mampu menghasilkan daya imajinasi yang radikal tentang masa depan yang berbeda dan lebih baik? Apakah cara berpengetahuan kita cukup memadai untuk merealisasikan sebuah perubahan sistemik sebagaimana dituntut oleh era pandemi ini?
Cara Berpengetahuan untuk Perubahan Sistemik
Sementara perspektif sejarah membantu kita untuk memahami bagaimana proses transformasi sistem sosial-politik berlangsung dari jaman ke jaman, sebagai aktor perubahan, kita harus bertanya bagaimana cara membongkar tatanan ketidakadilan yang penuh kemapanan?
Dalam konteks ini, perkenankan saya merujuk pada pertanyaan yang diajukan oleh Sally Haslanger[3], seorang filosof feminis di Amerika Serikat: Bagaimana cara melakukan disrupsi atas proses reproduksi sosial dari suatu sistem kemasyarakatan yang penuh ketidakadilan dan menggantikannya dengan sebuah sistem yang lebih baik?
Menurut Haslanger, suatu masyarakat adalah sistem yang kompleks yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkait-kelindan. Cara kerja unsur-unsurnya tidak selalu linear layaknya garis lurus yang sederhana dan sering kali jalannya pun penuh hal-hal tak terduga. Kendati demikian, ada pola dan keteraturan yang menjamin stabilitas sistem ini berkat kemampuannya untuk senantiasa menata diri atas dasar umpan balik dari berbagai unsur-unsurnya tanpa membutuhkan otoritas sentral.
Dalam pandangan Haslanger, di dalam setiap sistem kemasyarakatan terdapat struktur yang merupakan jaringan relasi yang dibentuk melalui praktik sosial. Struktur sosial tidak hanya mengambil wujud institusional tetapi juga dibentuk oleh proses pembelajaran sosial dan interaksi yang kompleks antar sosok pelaku, budaya dan dunia material.
Sebuah sistem yang penuh ketidakadilan bisa stabil, dalam arti mampu secara langgeng menjalankan proses reproduksi sosial, melalui tiga hal, menurut Haslanger: kuasa, pemberian makna (intelligibility) dan kondisi material (materiality). Artinya, jika kita menginginkan perubahan sistemik maka perubahan yang diupayakan haruslah mencakupi ketiga sumber stabilitas ini. Haslanger meyakini bahwa perubahan ini mensyaratkan perubahan hukum, karena sistem hukum punya andil besar dalam melanggengkan hierarki sosial. Tetapi, hukum (perubahan hukum) tidak berdiri sendiri dan saling berkelindan dengan budaya (perubahan budaya). Struktur hadir dalam interaksi dengan pemaknaan sosial. Menariknya, Haslanger percaya bawha perubahan hukum hanya efektif jika terjadi sebagai akibat dari gerakan sosial yang telah mampu mengubah praktik sosial di akar rumput.
Keyakinan Haslanger akan peran gerakan sosial didasarkan pada amatannya bahwa, dibandingkan dengan institusi-institusi legal formal, gerakan sosial mempunyai kebebasan lebih besar untuk mengkaji ulang (rethink) asumsi-asumsi dasar kita dan untuk menggoyahkan atau melakukan disrupsi pada status quo. Gerakan sosial fasih menciptakan praktik-praktik tandingan serta mengembangkan jaringan sosial baru. Melalui kerja pengorganisasiannya, gerakan sosial punya kemampuan mendorong terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift). Demikian pandangan filosof ini.
Cara pandang Sally Haslanger sejalan dengan mereka yang mengadvokasikan pendekatan transdisiplin dalam dunia pendidikan dan riset. Mereka menekankan bahwa pengetahuan mengalir dari dua arah: dari dunia keilmuan (science) ke masyarakat dan dari masyarakat ke dunia keilmuan, dari akademia dan juga dari dunia luar akademia. Pendekatan transdisiplin mengakui bahwa masyarakat juga pencipta pengetahuan yang absah dan bahkan mampu menggugat produk pengetahuan karya para ilmuwan.[4]
Pendekatan ini mengakui adanya ragam cara berpengetahuan (ways of knowing) dan kemajemukan epistemologi. Berlawanan dengan ini adalah rejim keilmuan yang sekadar membakukan (dan membekukan) batas-batas pemisah antar disiplin dan melanggengkan hierarki dalam berilmu. Sayangnya, masih terlalu banyak lembaga-lembaga pendidikan formal kita yang mengemban rejim keilmuan seperti ini.
Kepeloporan KUPI
Para mahasiswa yang berwisuda hari ini, Anda perlu bangga sebagai lulusan ISIF yang merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia. KUPI merupakan wujud nyata dari pendekatan keilmuan yang transdisiplin di mana ulama, akademisi, aktivis dan penyintas membangun pengetahuan secara interaktif bersama untuk perubahan yang transformatif.
Badriyah Fayumi berulang kali menegaskan bahwa KUPI adalah gerakan intelektual, gerakan keagamaan dan gerakan kultural sekaligus. Bisa kita bayangkan bagaimana filosof Sally Haslanger akan segera mengenali potensi kekuatan gerakan KUPI untuk mendorong perubahan sistemik.
Nur Rofiah menekankan sifat kolektif dari keilmuan dan penyikapan yang dihasilkan oleh ulama perempuan KUPI serta keberakaran yang khas pada pengalaman biologis dan sosial perempuan. Ini adalah wujud dari cara berpengetahuan perempuan dan bukti atas kemajemukan epistemologi yang patut diakui dan dirayakan sebagai prasyarat keadilan yang hakiki.
Dalam pusaran gerakan KUPI, Faqihuddin Abdul Kodir melakukan ajakan kepada laki-laki dan perempuan untuk berani membuat imajinasi radikal, yaitu untuk menggantikan relasi yang penuh ketimpangan kuasa dengan relasi atas dasar prinsip kesalingan di semua aspek kehidupan.
Semua inilah contoh nyata dari upaya membangun pengetahuan transformatif, yaitu cara berpengetahuan yang punya niat dan kemampuan untuk mengubah secara sistemik tatanan kehidupan yang penuh ketidakadilan dan pengrusakan. Otentisitas keilmuan KUPI adalah sumber kekuatan dan legitimasinya yang perlu dirawat bersama. Aspirasi dan komitmennya untuk tetap relevan di tengah berbagai krisis bangsa dan dunia membuat KUPI terus berkembang dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, kepada Anda yang wisuda hari ini, semoga pilihan peran di masyarakat yang Anda ambil setelah lulus dari ISIF diwarnai oleh aspirasi yang diemban ISIF sebagai bagian dari sebuah gerakan besar untuk membangun kehidupan yang lebih adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua. Jadilah warga bangsa dan warga dunia yang berkiprah mulia dan kritis di tengah krisis dan momen transformatif yang sedang kita hadapi bersama.[]
Kamala Chandrakira adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Fahmina, Anggota Kelompok Kerja Komisi HAM PBB (2010-2017), Komisi Nasional Perempuan (Sekjen: 1998-2003, Ketua: 2003-2009), Pendiri Musawah, lulusan S1 Jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia (1979-1981), S1 Sosiologi, Universitas Sophia Tokyo (1981-1983), Magister Sains bidang Sosiologi Pembangunan, Universitas Cornell, Ithaca, New York (1984-1988).
Sumber:
[1] https://www.idea.int/news-media/news/global-democracy-weakens-2022
[2] https://www.newswise.com/articles/10-year-study-shows-elevated-suicide-risk-from-excess-social-media-time-for-teen-girls
[3] Sally Haslanger, Social Justice, Culture and Law, 26 Mei 2022.
[4] https://www.uu.nl/en/research/transdisciplinary-field-guide/get-started/why-transdisciplinary-research