(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Visi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia: Kritik dan Tawaran Hassan Hanafi (Bagian 2)

Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
E-mail: marzukiwahid@gmail.com

Lihat tulisan sebelumnya…..

ISIF Cirebon —  Diakui atau tidak, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di negeri ini yang dilakukan oleh sejumlah intelektual yang ada, hingga sekarang tak ada satu karya pun yang monumental untuk dijadikan landasan berfikir dan bertindak yang transformatif bagi umat. Artinya, sementara ini “pembaharuan” di Indonesia masih dalam tahap tekad kuat dan muncul dalam bursa gagasan dan pikiran bebas, tak terkonstruksi secara epistemologis.

Bahkan, tidak sedikit yang masih mendikotomikan kalau NU itu tradisional-konservatif dan Muhammadiyah adalah modernis-pembaharu, tanpa memerinci pokok-pokok perkembangan pemikiran dari kedua organisasi ini, sesuatu yang salah kaprah.

Ada baiknya, barangkali, pada kesempatan ini dikemukakan sekilas gagasan dan visi pembaharuan Hassan Hanafi, seorang filosof dan teolog, pengajar di berbagai universitas dunia, dan pembaharu ternama di Mesir. Hassan Hanafi memang mempunyai program pembaharuan yang disebut al-Turâts wa al-Tajdîd (Warisan Intelektual dan Pembaharuan). Program ini sekaligus menjadi nama bukunya yang menjelaskan metodologi pembaharuannya.

Warisan Intelektual dan Pembaharuan

Pembaharuan pemikiran Islam menurut Hassan Hanafi adalah upaya menafsirkan kembali (merekonstruksi) warisan intelektual Islam (al-turâts al-qadîm) yang tidak sejalan dengan tuntutan zaman (al-turâts al-jadîd), dengan senantiasa mempertimbangkan realitas kontemporer umat Islam (al-wâqi’ al-bâsyir). Artinya, warisan intelektual Islam yang telah usang memang harus ditafsirkan kembali menjadi suatu konstruk pemikiran dan aksi yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Transformasi sosial yang dilakukan Hanafi bisa dipayungi dengan dua kata kunci: “mentransmisikan warisan dan menciptakan yang baru”. Dalam program pembaharuannya, dengan demikian, Hanafi tidak hendak mengambil kebudayaan Barat dan nilai-nilai modernitasnya (al-turâts al-gharbî) secara totalitas sebagai alternatif pengganti warisan Islam yang dianggap usang itu.

Ia juga tidak menginginkan agar tradisi lama tersebut terus dilestarikan tanpa perubahan. Tetapi juga tidak mau jika pembaharuan dilakukan secara ahistoris, terputus dari akar-akar tradisi sebagaimana banyak dilakukan kelompok liberalis. Hanafi tetap menginginkan pembaharuan yang dilakukan tetap memperhatikan warisan Islam lama. Hanya saja, ia harus ditafsirkan terlebih dahulu berdasarkan realitas kontemporer (al-mu’âshirah).

Warisan Barat (al-turâts al-gharbî) tentu  harus dipelajari menurut versi kita sebagaimana para orientalis juga mempelajari warisan kita melalui versi mereka sendiri. Hanafi mempelajari warisan intelektual Barat bukan untuk menjadi westernis, melainkan untuk menandingi Barat dengan warisan mereka sendiri yang telah disenyawakan dengan warisan intelektual Islam.

Inti Pembaharuan Hassan Hanafi

Secara singkat, pembaharuan yang dicanangkan Hanafi berusaha mempertemukan tiga nilai yang berada pada tiga dimensi waktu yang berbeda: dulu (al-turâts al-islâmy), kini (al-wâqi’ al-bâsyir), dan esok (al-turâts al-gharbî). Dekonstruksi (pembongkaran) terhadap warisan intelektual lama, menurut Hanafi, merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengadakan rekonstruksi.

Mengenai metode dekonstruksi dan berbagai tawaran rekonstruksi yang ia maksud terdapat dalam karyanya, Min al-’Aqîdah ilâ al-Tsaurah (sebanyak 5 jilid masing-masing terdiri dari 600-700-an halaman), Dirâsât Islâmiyah, dan al-Turâts wa al-Tajdîd. Rekonstruksi warisan intelektual Islam klasik dimaksudkan Hanafi agar mempunyai vitalitas dalam menggerakkan umat Islam serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Selain rekonstruksi, juga kita harus berani mengembalikan keuniversalan dan superioritas kebudayaan Barat pada posisi yang wajar dan lokal. Artinya, hegemoni Barat yang demikian dasyat harus dihadapi dengan penuh kearifan dan bijaksana. Setelah itu, kita berusaha mengadakan teori baru untuk menafsirkan kebudayaan manusia secara global dan mendialogkannya dengan hasil rekonstruksi warisan Islam tersebut, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan berpijak umat manusia di zaman modern ini.

Pemikiran pembaharuan Hanafi ini dilatarbelakangi oleh keterbelakangan, kebodohan, dan ketertindasan yang dialami umat Islam yang menurutnya disebabkan oleh pemikiran mereka yang tradisional.  Karena itu, Hanafi berpihak kepada hal-hal yang menyangkut persoalan kerakyatan, ketidakadilan, penindasan, dan kebangsaan. Karenanya, gerakan pembaharuan Hanafi lebih dikenal dengan gerakan Kiri Islam-nya (al-Yasâr al-Islâmî). Demikian.  Wallâhu A’lam bi al-Shawâb. **

Visi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia: Kritik dan Tawaran Hassan Hanafi (Bagian 1)

Marzuki Wahid

Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon

Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon

ISIF Cirebon – Istilah “pembaharuandalam Islam biasanya merupakan terjemahan dari kata tajdîd yang terdapat dalam literatur hadîts. Tapi kemudian istilah ini muncul ke permukaan dengan predikat bahasa yang beragam, seperti reformisme, modernisme, puritanisme, revivalisme, bahkan fundamentalisme.

Pengertian yang paling dasar dari semua istilah ini adalahmemperbaharui pemahaman terhadap teks-teks agama”. Pembaharuan dilakukan karena beberapa hal. Mungkin karena pemahaman lama dinilai tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena paham-paham yang ada dianggap telah keluar dari maksud teks yang sebenarnya; karenanya paham tersebut harus diperbaharui, dalam arti dimurnikan.

Gerakan Pembaharuan: Suatu Keharusan

Dalam realitas perjalanan sejarah Islam, gerakan pembaharuan tampil dengan model dan visi yang berbeda. Setidaknya, terdapat tiga model dan visi yang signifikan untuk dicatat. Pertama, kelompok salaf. Kelompok ini memahami tajdîd untuk mengembalikan pemahaman agama yang salah karena distorsi sejarah kepada paham serta ajaran Islam yang sebenarnya sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah dan sahabatnya. Artinya, dalam konsep ini kita harus rujûilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah masa Rasulullah) secara total. Kita harus kembali ke harmonitas masa lampau (al-ih`), memutar jarum jam sejarah.

Kemunduran umat Islam selama ini, menurut kelompok ini, disebabkan mereka tidak menerapkan ajaran yang benar sebagaimana yang dilakukan Rasul. Visi tajdîd semacam ini biasanya disebut dengan gerakan revivalisme. Dalam sejarah, aliran ini diwakili oleh ahl al-hadîts yang berbasis di Madinah, dipelopori Imam Ahmad Ibn Hanbal dan diteruskan oleh Ibn Taymiyah kemudian dikembangkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd Wahab pada abad ke-18 M. Mereka ini juga disebut kelompok puritan.

Kelompok kedua, ahl al-ra’y yang berbasis di Irak. Mereka memahami tajdîd sebagai usaha memperbaharui paham-paham lama yang dianggap lemah dengan cara memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan, ciri, dan inti yang lama. Tampaknya, konsep kedua ini berusaha menawarkan sesuatu yang baru dengan mengkompromikan sesuatu yang lama. Dalam sejarah, visi ini dianut oleh ulama yang biasa disebut ahl al-ra’yi.

Ketiga, kelompok modernis. Tajdîd dalam pandangan mereka adalah menyesuaikan atau mengembangkan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern. Tajdîd dalam pengertian ini sama dengan modernisasi Islam, yakni usaha mengkontekstualisasikan Islam dengan tuntutan modern, keharusan kekinian. Kelompok ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan kelompok reformis, tokohnya seperti al-Thahtawi, al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Ahmad Khan dan Ali Jinah di India, dan lain-lain.

Berdasarkan perspektif sejarah ini, berarti ada tiga visi pemahaman yang sama-sama disebut pembaharuan. Kelompok revivalis cenderung menghidupkan kembali tradisi Rasulullah secara total sebagai jawaban tantangan sekarang; yang berarti berorientasi pada pemahaman tekstual ketimbang kontekstual. Sementara kelompok modernis sebaliknya, mereka berani meninggalkan pemahaman teks demi kepentingan konteks zaman. Konsep yang lama ditinggalkan diganti dengan yang baru (modern).

Ahl al-Ra’yi dalam pemahaman ini sebetulnya berusaha mensintesiskan antara yang lama dan yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan (al-muhâfadhahalâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).

Dengan demikian, gerakan pembaharuan, apapun bentuk dan visinya, memiliki dasar kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa tajdîd merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah Nabi SAW meninggal. Nabi sendiri menyatakan bahwa Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbaharui (pemahaman) agamanya, jelas menunjukkan adanya ide tajdîd dalam Islam. Namun, penting dicatat bahwa pembaharuan pemikiran dalam Islam mesti berangkat dari teks dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.

Dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang demikian dahsyat melintasi teologi, doktrin, dan norma, maka upaya-upaya pembaharuan pemikiran keislaman merupakan suatu keharusan, sebagai konsekuensi logis dari watak dasar Islam yang universal dan transhistoris. Hanya saja persoalannya, visi dan model pembaharuan bagaimana yang relevan dilakukan sebagai jawaban tantangan kontemporer?

Peta Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Selayang Pandang

Islam di Indonesia, dengan berbagai harmoni dan santunnya, juga tidak pernah luput dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan. Dimulai sejak gerakan reformisme Muhammad Abduh yang dianggap rasional-liberal, kemudian di Indonesia berpadu dengan paham Wahabiyah yang skriptual-formal. Inilah benih-benih kaummodernis” dan “neo-modernis” Islam di Indonesia, yang kemudian mendapat laqablokomotif pembaharuan”.

Memperbincangkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, apalagi di masa Orde Baru ini, tidak bisa mengabaikan sosok Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, A. Syafi’i Ma’arif, M. Amien Rais, KH. Achmad Shiddiq, Moeslim Abdurrahman, dan belakangan Masdar F. Mas’udi. Memang menjelang akhir dasawarsa 1970-an sampai dengan dasawarsa 1980-an, khazanah pemikiran Islam diperkaya dengan pemikiran-pemikiran alternatif, baik dalam bidang teologi, politik, maupun sosial, dan ekonomi. Mereka tampil dengan gagasan yang segar meramaikan diskursus intelektual tahun 1980-an.

Dengan mengembangkan pendekatan yang lebih kontekstual, mereka mengetengahkan fungsionalisasi ajaran-ajaran Islam guna mengatasi masalah-masalah umat yang konkret, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keadilan sosial, demokratisasi, toleransi, dan sebagainya. Ada yang menggunakan analisis struktural-fungsional, ada yang fenomenologis-hermeneutis, dan ada juga yang berangkat dari warisan budaya-tradisi yang dimiliki.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan mereka tidak bersifat normatif dan doktrinal, tetapi lebih berorientasi pada dimensi empiris dan realistis. Karena itu, gagasan-gagasan yang bersifat ideologis hampir jarang dikemukakan, tetapi lebih mengetengahkan pendekatan rasional, akademis, dan praksis terhadap dilema yang dihadapi umat Islam. Karenanya, gagasan yang mempunyai muatan ideologis semacam “negara Islam” sama sekali dinegasikan, dan sebagai gantinya mereka justru memformulasikan pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan yang inklusif, dengan berbagai aliran pemikirannya masing-masing.

Nurcholish Madjid, misalnya, terkenal kontroversial dengan isudesakralisasi”, “sekularisasi Islam”, dan “Islam yes, partai Islam, no”. Mukti Ali sering diidentikkan dengan statemen “agree in disagrement, setuju dalam perbedaan. Abdurrahman Wahid masyhur dengan gagasanpribumisasi Islam”. Syafi’i Ma’arif dengantidak ada konsep negara Islam”. Kuntowijoyo denganilmu-ilmu sosial profetik”. Harun Nasution denganliberalisasi pemikiran Mu’tazilah”. Munawir Sjadzali denganreaktualisasi ajaran Islam”. Jalaluddin Rakhmat dengan “Islam alternatif”. Amien Rais dengandemokrasi Islam”. KH. Achmad Shiddiq denganpenerimaan asas tunggal Pancasila”. Moeslim Abdurrahman denganteologi transformatif”. Masdar F. Mas’udi denganpersenyawaan pajak-zakat”.

Khusus Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid perlu mendapat perhatian tersendiri, dua tokoh ini selain memang mempunyai basis yang kuat terhadap khazanah keislaman, klasik dan kontemporer, juga mereka mempunyai kepedulian yang kuat sekali tentang perlunyarevitalisasi tradisike arah pemikiran modern Islam. Isu bersama yang menonjol dari mereka adalah universalisme dan kosmopolitanisme Islam sebagai paradigma untuk keluar dari jebakan historis dan sosiologis umat Islam.

Mengenai klasifikasi dan tipikasi gerakan pembaharuan, banyak pengamat memandang berbeda. Budhy Munawar-Rachman, misalnya, dalam tulisannya di Majalah Ulumul Qur’an No. 3 Vol. VI, tahun 1995, memaparkan tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia ke dalam: [1] Islam Rasional, tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi, [2] Islam Peradaban, diwakili dengan Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo, dan [3] Islam Transformatif, menyebut tokoh Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo. Berbeda dengan Greg Barton, pengajar di Deakin University, dalam disertasi PhD-nya. Ia mengidentifikasi kelompk neo-modernisme Islam di Indonesia dari tahun 1968-1980 adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.

Sementara M. Syafi’i Anwar dalam tesis MA, yang kemudian diterbitkan dengan judul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, menyebut tipologi pemikiran politik cendekiawan muslim Indonesia yang menjadi fenomena dalam dekade 1980-an terbagi ke dalam enam tipe. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Formalistik

Kaum formalis Islam selalu menekankan aspek ideologisasi atau politisasi ajaran Islam yang mengarah kepada simbolisme keagamaan secara formal. Tidak jarang mereka mengkalim dengan terminologi “Islam” terhadap sesuatu yang menurut anggapan merekaislami”, seperti politik Islam, negara Islam, ekonomi Islam, demokrasi Islam, Islamisasi Ilmu, dan sejenisnya. Doktrin keagamaan akhirnya diterjemahkan bukan sekedar rumusan teologis, tetapi juga ke dalam suatu sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif. Masuk dalam paradigma ini, di antaranya, adalah M. Amin Rais, A.M. Saefuddin, dan Jalaluddin Rakhmat.

2. Substantivistik

Kaum substantivis mendasarkan asumsi bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Bagi meraka, pesan-pesan al-Qur’an dan al-Hadits yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, harus ditafsirkan kembali berdasarkan kronologi, rentang waktu, dan kondisi sosial, budaya, dan politik yang melatari terjadinya, kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial yang berlaku pada masa sekarang.

Dalam proses penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan realistik, kaum substansialis cenderung mengambil bentuk kulturalisasi (pembudayaan), bukan politisasi. Dengan demikian mereka mimilih gerakan budaya (cultural movement) daripada gerakan politik (political movement) sebagai strategi perjuangannya. Di antara yang masuk dalam kelompok ini adalah kalangan neo-modernis: Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kelompok modernis: Harun Nasution. Kelompok neo-tradisonalis: K.H. Achmad Shiddiq dan Munawir Sjadzali.

3. Transformatik

Pemikiran transformatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan (basyariyyah). Untuk itu, dalam pandangan kaum transformis Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis.

Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para pemikir transformatif bukanlah pada aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial, ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya.

Bahkan, bagi para pemikir transformatif menghendaki teologi bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi harus diarahkan sebagai suatu ajaran yang “memihak” dan “membebaskanmayoritas umat Islam dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan demi terciptanya masyarakat adil dan demokratis. Masuk dalam kategori ini, di antaranya, adalah Koentowijoyo, Muslim Abdurrahman, Masdar F. Mas’udi, dan sebagian kalangan kyai-ulama pondok pesantren. Tak tertinggal dalam tipologi ini kelompok reformis sosial atau sosialisme demokrasi Islam: M. Dawan Rahardjo.

4. Totalistik

Ciri pokok dari pemikiran totalistik adalah adanya sikap utama yang mendasar dengan menganggap bahwa doktrin Islam bersifat total (kâffah), serta mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai, dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit yang meliputi semua bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi-segi baik individual, kolektif, maupun masyarakat manusia umumnya.

Pemahaman mereka biasanya berangkat dari teks dan selalu bersumber dari wahyu. Konsekuensinya, semua kehidupan bagi kelompok ini harus diresapi dengan norma Islam. Dengan demikian, tidak ada ruang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistik atau pluralistik. Pendukung tipologi ini adalah mereka yang sering disebut fundamentalisme.

5. Idealistik

Yang dimaksud dengan pemikiran idealistik dalam konteks ini adalah suatu pemikiran yang bertolak dari pandangan pentingnya perjuangan umat untuk berorientasi pada tahapan menuju “Islam cita-cita” (ideal Islam). “Islam cita-citaadalah Islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang otentik, tetapi belum tentu tercermin dalam tingkah laku sosio-politik umat Islam dalam realitas sejarah mereka.

Perumusan cita-cita ini dimaksudkan untuk membedakan dengan “Islam sejarah” (historic Islam), yakni Islam seperti yang telah dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam, sebagai jawaban terhadap tantangan sejarah yang datang silih berganti. Tetapi, jawaban yang diberikan belum tentu selalu bertolak dari ajaran al-Qur’an yang sebenarnya. A. Syafi’i Ma’arif bisa dimasukkan ke dalam tipologi pemikiran ini.

6. Realistik

Ciri pokok pemikiran realistik adalah melihat keterkaitan atau melakukan penghadapan antara dimensi substantif dari ajaran atau doktrin agama dengan konteks sosio-kultural masyarakat pemeluknya. Bagi pemikir realistik, Islam sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin selalu diwarnai oleh perjalanan sejarah dan situasi sosial kultural pemeluknya. Karena itu, melihat ajaran Islam dalam pandangan kelompok ini tidak bisa menafikan realitas umat Islamnya. Masuk dalam format pemikiran ini adalah Taufik Abdullah. **

Bersambung….