(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Islam dan Perempuan

Husein Muhammad — Ketua Yayasan Fahmina dan Pendiri ISIF Cirebon

Apakah agama, dalam hal ini Islam, mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka? Atau sebaliknya apakah Islam mengafirmasi diskriminasi berdasarkan gender?

Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik? Misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik. Dalam hal yang lain, apakah perempuan mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.

Kontroversi

Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan dua aliran besar. Aliran pertama, berpendapat bahwa posisi perempuan adalah subordinat laki-laki. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki. Perempuan inferior dan laki-laki superior.

Posisi subordinat perempuan ini diyakini agamawan aliran ini sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh diubah. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus dibedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/politik. Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki.

Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadits nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat. Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Allah, dan keputusan Allah adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata.

Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim.

Aliran kedua, berpendapat bahwa perempuan mempunyai status dan posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut aliran ini memiliki potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki, baik dari aspek intelektual/akal, fisik maupun aspek mental-spiritual.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki signifikansi yang mewajibkan kita untuk membedakan mereka dalam mengekspresikan hak dan kewajiban masing-masing di depan hukum dan aktifitas sosial yang lain. Atas dasar pikiran ini, aliran ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka baik dalam ranah privat maupun publik. Aliran ini dianut oleh sangat sedikit ulama Islam, dan kita mungkin menyeburnya sebagai aliran progresif.

Adalah menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argument keagamaan dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur-an dan hadits nabi, dua sumber paling otoritatif dalam system keagamaan kaum muslimin. Kedua sumber Islam ini memang menyediakan teks-teks yang menjelaskan tentang kedudukan manusia yang setara di hadapan Tuhan.

Penghormatan martabat manusia, penegakan keadilan dan sebagainya di satu sisi, dan teks-teks yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, keunggulan dan otoritas laki-laki atas perempuan, kelemahan akal dan agama perempuan, dan sebagainya, di sisi yang lain. Ulama Islam terkemuka; Imam Jalal al Din al Suyuti, dalam bukunya “Al Asybah wa al Nazhair” menyebut sekitar 100 lebih perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

Pandangan-pandangan keagamaan tersebut masih menjadi rujukan bangsa-bangsa muslim di dunia. Tetapi harus segera dikemukakan bahwa pandangan keagamaan yang mendiskriminasi perempuan masih mendominasi kerangka berpikir masyarakat muslim pada umumnya. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat bahwa sumber-sumber legitimasi keagamaan mereka masih merupakan produk pemikiran para sarjana muslim generasi klasik. Mereka memandang produk-produk pemikiran tersebut paling dapat dipercaya dibanding lainnya.

Universal versus Partikular

Sumber-sumber utama Islam menyediakan dua katagori teks. Yakni teks-teks universal dan teks-teks partikular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan, untuk semua orang di segala ruang dan waktu. Ia berisi prinsip-prinsip fundamental atau dalam konteks sekarang bisa disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal.  Al Ghazali (w. 1111 M) menyebut ini dengan istilah “Al Kulliyyat al Khams” (Lima prinsip Universal). Yaitu hifzh al din (perlindungan terhadap keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al ‘aql (perlindungan atas hak berpikir dan berekspresi), hifzh al nasl/al ‘irdh (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatandiri) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik).

Contoh teks universal adalah ayat-ayat tentang kebebasan, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabat manusia, penegakan keadilan bagi semua manusia, sikap jujur dan ajaran-ajaran moral yang lain. Para ahli Islam menyebutkan katagori ini sebagai “al-muhkamat” (ayat-ayat yang kokoh dan tidak dapat diabaikan sama sekali). Al Ghazali menyebutnya sebagai “maqashid al syari’ah”, misi agama, yang kepadanya seluruh gagasan manusia harus disandarkan.

Sementara katagori teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks-teks partikular muncul sebagai respon atas suatu peristiwa atau kasus dalam sebuah ruang dan waktu. Karena sifatnya yang demikian maka ia selalu terkait dengan kejadian faktal dalam konteks tertentu. Oleh karena itulah ia harus dimaknai secara kontekstual.

Semua teks-teks hukum adalah partikular. Isu-isu tentang kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan oleh laki-laki (wilayah), poligami, kewarisan dan lain-lain adalah isu-isu partikular. Ayat-ayat seperti ini masuk dalam katagori “mutasyabihat”, interpretable, dapat diinterpretasikan, dan oleh karena itu bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.

Pandangan mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara teks universal versus teks partikular, maka teks partikular membatasi berlakunya teks universal.

Teks partikular harus diutamakan. Pandangan ini ditolak keras oleh Imam al Syathibi, seraya mengatakan bahwa “aturan-aturan umum atau hukum universal bersifat pasti dan normative, sedangkan pesan-pesan atau petunjuk-petunjuk khusus bersifat relative.

Karena itu, hukum umum dan ketentuan universal,menurutnya harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus (partikular). Aturan-aturan khusus ini tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan universal”.

Misalnya, al Qur’an menyatakan :

الرجال قوامون علی النساء بما فضل الله بعضهم علی بعض وبما انفقوا من اموالهم

“Laki-laki adalah “qawwam” (pemimpin) atas kaum perempuan, disebabkan Allah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki memberikan sebagian nafkahnya”.(Q.S. Al-Nisa,[4:34].

Pada tempat lain Tuhan mengatakan:

يا ابها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثی وجعلناكم شعوبا وقباءل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم

“Wahai Manusia, Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling terhormat di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”.(Q.S. Al-Hujurat, [49;13]).

Q.S. An-Nisa  [4:34] menjadi dasar utama untuk menjustifikasi otoritas dan sperioritas laki-laki. Sementara Q.S Al-Hujurat  [49:13], menegaskan kesetaraan manusia. Ayat ini bersifat universal.

Menurut Syathibi, ayat tentang kesetaraan manusia bersafat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan. Sedangkan ayat tentang kepimimpinan laki-laki adalah particular, bersifat khusus dan sosiologis, maka ia berlaku kontekstual.

Dari uraian di atas kita setidaknya memperoleh suatu gambaran bahwa respon atau sikap kaum muslimin atas isu-isu gender adalah beragam, berbeda-beda, meskipun mereka mengacu pada sumber referensi yang sama. Keberagaman pandangan ini muncul dari perbedaan mereka dalam membaca atau memahami teks. Sebagian memahaminya secara tekstual/harfiyah, dan menganggapnya sebagai kebenaran final, tanpa harus mempertimbangkan aspek rasio, ruh dan tujuan maupun realitas di luarnya.

Sementara pandangan yang lain membaca teks dengan segenap makna terdalamnya, substansial dan holistik. Mereka berpendapat bahwa keberadaan teks tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang melingkupnya. Teks tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan refleksi dan respon dari situasi peristiwa kehidupan yang nyata yang senantiasa mengalami proses perubahan dan dinamis. Setiap pendapat pikiran adalah refleksi dari diri yang hidup dalam lingkungannya masing-masing.

Pandangan yang terakhir ini menarik hati saya, dan saya percaya pula bahwa pesan-pesan agama yang ditulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung logika, tujuan dan ruh kemanusiaan. Tujuan ini dapat dipelajari dan diusahakan untuk diwujudkan. Ia bersifat rasional, dan bukan masalah yang terkait dengan kebenaran scrriptural.

Kesimpulan

Dari sini saya ingin menyatakan:

1. Perempuan adalah manusia. Ia memiliki seluruh potensi kemanusiaannya sebagaimana manusia laki-laki: intelektual (akal), mental-spiritual (ruh), hasrat seksual, energy tubuh dan lain-lain. Semua potensi itu diberikan Tuhan dalam kapasitas yang relative sama dengan laki-laki. Oleh karena itu  perempuan memiliki hak-hak kemanusiaannya, di samping kewajiban-kewajibannya, sebagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban kemanusiaan laki-laki. Perempuan berhak menjadi apa saja sebagaimana laki-laki. Semua hak tersebut tidak boleh dikurangi sedikitpun, wajib dihargai dan dilindungi oleh negara, tradisi dan oleh siapapun.

2. Kesetaraan manusia adalah konsekuensi paling bertanggungjawab atas pengakuan Ke-Esaan Tuhan. Atas dasar ini maka keadilan jender harus ditegakkan. Keadilan adalah bertindak proporsional, dengan memberikan hak kepada siapa saja yang memilikinya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau symbol-simbol primordialnya. “Tuhan tidak menilaimu dari wajah dan tubuhmu, melainkan dari hati dan tindakanmu,” kata Nabi.

3. Subordinasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan secara factual telah menciptakan beban penderitaan berlapis dan kemiskinan perempuan. Penderitaan dan kemiskinan perempuan secara niscaya berimplikasi serius pada kesehatan reproduksi, pendidikan dan kesejahteraan keluarga, dan pada gilirannya berdampak pada kemiskinan dan penderitaan keluarga, bangsa dan negara.

4. Agama hadir untuk manusia dalam kerangka penegakan prinsip-prinsip kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin). Di dalam terma ini terkandung paling tidak tujuh prinsip kemanusiaan: 1) Perlindungan atas hak hidup. 2) hak berkeyakinan. 3) hak berpikir. 4) hak atas kehormatan. 5) hak atas kesehatan reproduksi. 6) hak atas kepemilikan kekayaan, dan 7) hak atas keterpeliharaan dan kelestarian lingkungan.

5. Oleh karena itu, sistem sosial, kebijakan negara, pandangan tradisi dan keagamaan serta pandangan apapun yang mendiskriminasi dan mengandung kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya harus diperbaiki atau dihapuskan karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia, agama dan etika kemanusiaan. []

Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Judul Buku: Fiqih Perempuan
Penulis: Husein Muhammad
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit: 2019

Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Buku ini adalah refleksi kegelisahan KH. Husein Muhammad sebagai kiai pesantren atas isu-isu perempuan. Melalui pemikirannya, pria yang kerap disapa Buya Husein menuangkan gagasannya tentang problematika perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif Islam.

Hasilnya, buku ini menjadi sebuah diskursus yang brilian dan mendobrak sekat-sekat dogmatis tradisi keagamaan konservatif yang masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki.

Melalui penyusunan dan editing yang apik oleh Kiai Faqih Abdul Kodir pula, buku ini memberikan pemahaman alternatif mengenai posisi perempuan sebagai makhluk yang sama dan setara dengan laki-laki.

Dengan perspektif Islam tentunya, buku ini menggunakan referensi tafsir ayat al-Qur’an, tafsir hadits, pendapat para ulama terdahulu, kaidah-kaidah fiqih, dan tinjauan maqasyid asy-syari’ah dalam interpretasi terhadap posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Sehingga argumentasi dan pendapat yang diberikan mempunyai posisi dan landasan kuat dan bisa diperdebatkan dengan tafsir terdahulu.

Dengan bahasa yang ringan, buku ini layak menjadi pegangan dasar bagi yang ingin memahami secara utuh tentang perempuan dan kesetaraan gender dari perspektif Islam.

Usia Perkawinan Anak di Berbagai Negara

Atas apa yang menjadi kesan bacaan di atas, sebagai sampel hasil bacaan, saya ingin mengutarakan refleksi atas apa yang telah Buya Husein telurkan dalam buku ini, terkhusus pada bagian yang membahas perkawinan anak.

Dalam bukunya, Buya Husein mengutip pendapat Ibnu Syubrumah, bahwa secara tegas beliau menolak pernikahan anak. Ibnu Syubrumah juga menyebut bahwa kebolehan perkawinan anak hanya berlaku khusus untuk Nabi Muhammad Saw.

Sama halnya dengan pandangan Ibnu Syubrumah, pendapat Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Batti juga menegaskan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah menikah. Sedangkan merujuk kepada pernikahan Nabi dengan Aisyah, mereka berpendapat bahwa pernikahan Nabi Saw dan Aisyah adalah pengecualian dan kekhususan bagi Nabi Saw saja.

Oleh sebab itu, pandangan dari tiga ulama di atas menjadi dasar bagi negara Syiria. Di Syiria terkait peraturan pernikahan mereka menetapkan pelarangan pernikahan anak atas dasar beberapa pertimbangan, di antaranya terkait kemaslahatan, realitas sosial, dan pertimbangan tanggung jawab perkawinan. Syarat yang bisa menikah di Syiria adalah bagi mereka yang sudah baligh dan berusia 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan minimal berusia 17 tahun.

Selain di Syiria, di Mesir juga demikian. Di Mesir elah menetapkan aturan batas usia menikah. Usia bagi perempuan yang ingin menikah 16 tahun sedangkan bagi laki-laki boleh menikah saat usianya masuk 18 tahun. Di Bangladesh, perempuan yang bisa menikah adalah yang telah berusia 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan di Tunisia, seperti di Indonesia, menetapkan umur 19 tahun sebagai acuan batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang boleh menikah.

Larangan Perkawinan Anak

Dalam buku ini, Buya Husein menyebutkan terkait larangan perkawinan anak. Larangan ini, kata Buya Husein, karena beberapa fakta realitas di kehidupan masyarakat kerap kali perkawinan anak ini mendatangkan banyak dampak buruk.

Misalnya, banyaknya anak laki-laki maupun perempuan yang belum siap secara fisik, mental, maupun secara ekonomi. Terlebih, bagi anak perempuan mengalami hamil di usia anak-anak, ini tentu akan berpengaruh kepada fisik dan mental si anak. Tidak sedikit anak mengalami keguguran, kurangnya gizi bagi bayi (stunting).

Sementara itu, dalam ajaran Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk mengambil maslahat dan menghilangkan mafsadat. Jika perkawinan anak ternyata banyak menimbulkan tindakan kemafsadatan seperti, stunting, penelantaran ekonomi dan sebagainya. Maka menghilangkan kemafsadatan tersebut adalah yang utama.

Selain itu, jika meninjaunya dari maqashid asy-syari’ah juga demikian. Dengan kita melarang pernikahan anak ini, menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifdz an-nasl) yang sehat.

Dari beberapa pertimbangan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam usaha untuk mencapai keluarga yang harmonis. Maka kita butuh aturan terkait batas usia perkawinan. Hal ini guna untuk menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan demi tercapainya kemaslahatan bersama. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Oktober 2022 dengan judul: Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Melawan Peminggiran Peran Ulama Perempuan

Ketika Islam bermula, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran. Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender.

Peneliti sejarah Islam dari Perancis, Samia Kotele menyebut salah satu prinsip dalam agama Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad, mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan. Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlibat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi semakin terpinggirkan.

“Partisipasi perempuan dalam ranah keagamaan menurun seiring dengan perkembangan ranah produksi keagamaan dan konstruksi normatif, itu sekitar abad ke delapan,” kata Samia.

Kandidat Ph.D di Institut Studi Politik, Lyon, Prancis, itu berbicara dalam kolokium ulama perempuan seri pertama, pada Minggu (26/12) malam. Tema yang dibahas adalah pertanyaan bernada protes: Mengapa Ulama Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah. Samia telah melakuan penelitian berkaitan dengan isu tersebut selama dua tahun, dan akan memulai penelitian lapangan di Indonesia saat ini.

Marginalisasi dan Interpretasi

Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi, yang punya akses terhadap teks kitab suci. Fenomena marginalisasi mulai terlihat jelas pada saat itu dibuktikan dengan hanya sekelompok perempuan tertentu yang memiliki akses terhadap teks keagamaan.

“Perempuan di lingkaran Nabi tidak hanya berpartipasi dalam produksi keilmuan Islam, tetapi juga terlibat dalam tradisi pemikiran kritis di dalam keilmuan tersebut,” tambah Samia.

Penurunan peran ulama perempuan seiring waktu melahirkan kondisi baru terkait interpretasi teks keagamaan.

“Marjinalisasi perempuan dalam tradisi ini, memungkinkan ulama laki-laki untuk menginterpretasikan ayat-ayat suci dalam perspektif laki-laki,” ujarnya lagi.

Karena kondisi itulah, Samia menilai suara para ulama perempuan tetap tidak terdengar, sebab terpinggirkan dari domain ideologis.

Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di abad ke-20. Ketika Muhammadiyah berdiri misalnya, mereka langsung mendirikan organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.

Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meski tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.

Karena sejarah panjang itu pulalah, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan.

Hilang dari Sejarah

Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai penelitian yang dilakukan Samia sangat penting bagi sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ita sendiri saat ini tengah melakukan penelitian terkait marginalisasi gerakan perempuan Indonesia, sesudah peristiwa 65.

“Peristiwa 30 September 1965 itu mempunyai dampak yang sangat besar, terhadap gerakan perempuan, termasuk gerakan ulama perempuan,” kata Ita yang juga turut mendirikan Komnas Perempuan.

Fakta peminggiran peran ulama perempuan, dinilai Ita sangat jarang dibahas dalam kajian sejarah Indonesia. Padahal hal tersebut penting, untuk menjadi pengetahuan bersama.

Karena keterbatasan sumber tertulis, narasi oral nampaknya akan menjadi sumber data dalam studi semacam ini.

“Ini akan memanggil kembali memori dari ulama perempuan, tentang bagaimana perjuangannya, dan ini penting disimpan sebagai arsip,” tambah Ita yang juga aktif di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS).

Ita bahkan menyebut, gerakan perempuan tidak hanya dibungkam, tetapi dibunuh oleh sejarah.

Akibat pembungkaman panjang itu, banyak pihak di Indonesia bahkan tidak menyadari keberadaan dan peran ulama perempuan, seperti dikatakan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid.

“Kita baru sadar ada ulama perempuan dan istilah ulama perempuan, akhir-akhir ini, terutama ketika ada KUPI dan sebelumnya. Betapa pentingnya kehadiran dan peran ulama perempuan dalam panggung sejarah dan panggung kehidupan hari ini,” kata Marzuki.

Seluruh proses perbincangan mengenai sejarah dan peran ulama perempuan, penting untuk dicatat karena KUPI akan menyelenggarakan kongres keduanya pada November 2022.

Pengurus KUPI sekaligus pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nur Rofiah turut menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang menimpa ulama perempuan di Indonesia.

“Benar-benar sosoknya seperti tidak ada. Banyak ulama perempuan penting, tetapi dalam narasi sejarah tidak muncul sama sekali,” ujar Nur Rofiah.

Dia memberi contoh, Sultanah atau Sultan perempuan di Aceh yang meski perannya besar dalam sejarah Indonesia, tetapi tidak muncul dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sementara dalam Islam, banyak pula tokoh ulama perempuan yang dahsyat, namun tidak muncul dalam tarikh Islam.

“Misalnya Ummu Salamah, yang baru kita tahu belakangan setelah gencar kita bicara perspektif perempuan, termasuk dalam sejarah,” tambah Nur Rofiah. [ns/rs]

Sumber: Tulisan telah dimuat di voaindonesia.com pada 27 Desember 2021.