Islam dan Perempuan
Husein Muhammad — Ketua Yayasan Fahmina dan Pendiri ISIF Cirebon
Apakah agama, dalam hal ini Islam, mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka? Atau sebaliknya apakah Islam mengafirmasi diskriminasi berdasarkan gender?
Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik? Misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik. Dalam hal yang lain, apakah perempuan mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.
Kontroversi
Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan dua aliran besar. Aliran pertama, berpendapat bahwa posisi perempuan adalah subordinat laki-laki. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki. Perempuan inferior dan laki-laki superior.
Posisi subordinat perempuan ini diyakini agamawan aliran ini sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh diubah. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus dibedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/politik. Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki.
Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadits nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat. Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Allah, dan keputusan Allah adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata.
Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim.
Aliran kedua, berpendapat bahwa perempuan mempunyai status dan posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut aliran ini memiliki potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki, baik dari aspek intelektual/akal, fisik maupun aspek mental-spiritual.
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki signifikansi yang mewajibkan kita untuk membedakan mereka dalam mengekspresikan hak dan kewajiban masing-masing di depan hukum dan aktifitas sosial yang lain. Atas dasar pikiran ini, aliran ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka baik dalam ranah privat maupun publik. Aliran ini dianut oleh sangat sedikit ulama Islam, dan kita mungkin menyeburnya sebagai aliran progresif.
Adalah menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argument keagamaan dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur-an dan hadits nabi, dua sumber paling otoritatif dalam system keagamaan kaum muslimin. Kedua sumber Islam ini memang menyediakan teks-teks yang menjelaskan tentang kedudukan manusia yang setara di hadapan Tuhan.
Penghormatan martabat manusia, penegakan keadilan dan sebagainya di satu sisi, dan teks-teks yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, keunggulan dan otoritas laki-laki atas perempuan, kelemahan akal dan agama perempuan, dan sebagainya, di sisi yang lain. Ulama Islam terkemuka; Imam Jalal al Din al Suyuti, dalam bukunya “Al Asybah wa al Nazhair” menyebut sekitar 100 lebih perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Pandangan-pandangan keagamaan tersebut masih menjadi rujukan bangsa-bangsa muslim di dunia. Tetapi harus segera dikemukakan bahwa pandangan keagamaan yang mendiskriminasi perempuan masih mendominasi kerangka berpikir masyarakat muslim pada umumnya. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat bahwa sumber-sumber legitimasi keagamaan mereka masih merupakan produk pemikiran para sarjana muslim generasi klasik. Mereka memandang produk-produk pemikiran tersebut paling dapat dipercaya dibanding lainnya.
Universal versus Partikular
Sumber-sumber utama Islam menyediakan dua katagori teks. Yakni teks-teks universal dan teks-teks partikular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan, untuk semua orang di segala ruang dan waktu. Ia berisi prinsip-prinsip fundamental atau dalam konteks sekarang bisa disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Al Ghazali (w. 1111 M) menyebut ini dengan istilah “Al Kulliyyat al Khams” (Lima prinsip Universal). Yaitu hifzh al din (perlindungan terhadap keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al ‘aql (perlindungan atas hak berpikir dan berekspresi), hifzh al nasl/al ‘irdh (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatandiri) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik).
Contoh teks universal adalah ayat-ayat tentang kebebasan, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabat manusia, penegakan keadilan bagi semua manusia, sikap jujur dan ajaran-ajaran moral yang lain. Para ahli Islam menyebutkan katagori ini sebagai “al-muhkamat” (ayat-ayat yang kokoh dan tidak dapat diabaikan sama sekali). Al Ghazali menyebutnya sebagai “maqashid al syari’ah”, misi agama, yang kepadanya seluruh gagasan manusia harus disandarkan.
Sementara katagori teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks-teks partikular muncul sebagai respon atas suatu peristiwa atau kasus dalam sebuah ruang dan waktu. Karena sifatnya yang demikian maka ia selalu terkait dengan kejadian faktal dalam konteks tertentu. Oleh karena itulah ia harus dimaknai secara kontekstual.
Semua teks-teks hukum adalah partikular. Isu-isu tentang kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan oleh laki-laki (wilayah), poligami, kewarisan dan lain-lain adalah isu-isu partikular. Ayat-ayat seperti ini masuk dalam katagori “mutasyabihat”, interpretable, dapat diinterpretasikan, dan oleh karena itu bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.
Pandangan mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara teks universal versus teks partikular, maka teks partikular membatasi berlakunya teks universal.
Teks partikular harus diutamakan. Pandangan ini ditolak keras oleh Imam al Syathibi, seraya mengatakan bahwa “aturan-aturan umum atau hukum universal bersifat pasti dan normative, sedangkan pesan-pesan atau petunjuk-petunjuk khusus bersifat relative.
Karena itu, hukum umum dan ketentuan universal,menurutnya harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus (partikular). Aturan-aturan khusus ini tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan universal”.
Misalnya, al Qur’an menyatakan :
الرجال قوامون علی النساء بما فضل الله بعضهم علی بعض وبما انفقوا من اموالهم
“Laki-laki adalah “qawwam” (pemimpin) atas kaum perempuan, disebabkan Allah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki memberikan sebagian nafkahnya”.(Q.S. Al-Nisa,[4:34].
Pada tempat lain Tuhan mengatakan:
يا ابها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثی وجعلناكم شعوبا وقباءل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم
“Wahai Manusia, Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling terhormat di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”.(Q.S. Al-Hujurat, [49;13]).
Q.S. An-Nisa [4:34] menjadi dasar utama untuk menjustifikasi otoritas dan sperioritas laki-laki. Sementara Q.S Al-Hujurat [49:13], menegaskan kesetaraan manusia. Ayat ini bersifat universal.
Menurut Syathibi, ayat tentang kesetaraan manusia bersafat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan. Sedangkan ayat tentang kepimimpinan laki-laki adalah particular, bersifat khusus dan sosiologis, maka ia berlaku kontekstual.
Dari uraian di atas kita setidaknya memperoleh suatu gambaran bahwa respon atau sikap kaum muslimin atas isu-isu gender adalah beragam, berbeda-beda, meskipun mereka mengacu pada sumber referensi yang sama. Keberagaman pandangan ini muncul dari perbedaan mereka dalam membaca atau memahami teks. Sebagian memahaminya secara tekstual/harfiyah, dan menganggapnya sebagai kebenaran final, tanpa harus mempertimbangkan aspek rasio, ruh dan tujuan maupun realitas di luarnya.
Sementara pandangan yang lain membaca teks dengan segenap makna terdalamnya, substansial dan holistik. Mereka berpendapat bahwa keberadaan teks tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang melingkupnya. Teks tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan refleksi dan respon dari situasi peristiwa kehidupan yang nyata yang senantiasa mengalami proses perubahan dan dinamis. Setiap pendapat pikiran adalah refleksi dari diri yang hidup dalam lingkungannya masing-masing.
Pandangan yang terakhir ini menarik hati saya, dan saya percaya pula bahwa pesan-pesan agama yang ditulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung logika, tujuan dan ruh kemanusiaan. Tujuan ini dapat dipelajari dan diusahakan untuk diwujudkan. Ia bersifat rasional, dan bukan masalah yang terkait dengan kebenaran scrriptural.
Kesimpulan
Dari sini saya ingin menyatakan:
1. Perempuan adalah manusia. Ia memiliki seluruh potensi kemanusiaannya sebagaimana manusia laki-laki: intelektual (akal), mental-spiritual (ruh), hasrat seksual, energy tubuh dan lain-lain. Semua potensi itu diberikan Tuhan dalam kapasitas yang relative sama dengan laki-laki. Oleh karena itu perempuan memiliki hak-hak kemanusiaannya, di samping kewajiban-kewajibannya, sebagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban kemanusiaan laki-laki. Perempuan berhak menjadi apa saja sebagaimana laki-laki. Semua hak tersebut tidak boleh dikurangi sedikitpun, wajib dihargai dan dilindungi oleh negara, tradisi dan oleh siapapun.
2. Kesetaraan manusia adalah konsekuensi paling bertanggungjawab atas pengakuan Ke-Esaan Tuhan. Atas dasar ini maka keadilan jender harus ditegakkan. Keadilan adalah bertindak proporsional, dengan memberikan hak kepada siapa saja yang memilikinya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau symbol-simbol primordialnya. “Tuhan tidak menilaimu dari wajah dan tubuhmu, melainkan dari hati dan tindakanmu,” kata Nabi.
3. Subordinasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan secara factual telah menciptakan beban penderitaan berlapis dan kemiskinan perempuan. Penderitaan dan kemiskinan perempuan secara niscaya berimplikasi serius pada kesehatan reproduksi, pendidikan dan kesejahteraan keluarga, dan pada gilirannya berdampak pada kemiskinan dan penderitaan keluarga, bangsa dan negara.
4. Agama hadir untuk manusia dalam kerangka penegakan prinsip-prinsip kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin). Di dalam terma ini terkandung paling tidak tujuh prinsip kemanusiaan: 1) Perlindungan atas hak hidup. 2) hak berkeyakinan. 3) hak berpikir. 4) hak atas kehormatan. 5) hak atas kesehatan reproduksi. 6) hak atas kepemilikan kekayaan, dan 7) hak atas keterpeliharaan dan kelestarian lingkungan.
5. Oleh karena itu, sistem sosial, kebijakan negara, pandangan tradisi dan keagamaan serta pandangan apapun yang mendiskriminasi dan mengandung kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya harus diperbaiki atau dihapuskan karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia, agama dan etika kemanusiaan. []