by Admin | 11 Feb 2024 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Dalam Webinar bertajuk “Pemilu Perspektif Interfaith, Cerdas Memilih Demi Masa Depan Bangsa” pada 9 Februari 2024 lalu, saya menyampaikan beberapa poin. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pemilu 2024 sungguh sangat penting. Peristiwa 5 tahun sekali itu adalah titik pijak masa depan Indonesia. Tidak saja akan berdampak pada nasib masa depan manusia Indonesia yang berbineka, tetapi juga berpengaruh pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah.
Kesalahan menusukkan paku pada kertas suara di bilik TPS akan membelokkan atau menjerumuskan arah masa depan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam Islam memilih pemimpin, baik untuk pemimpin lembaga eksekutif maupun legislatif, hukumnya wajib kifa’iy.
ونصب الإمام من أتم مصالح المسلمين، وأعظم مقاصد الدين. ومن أجلها أجمع العلماء على أن ذلك من الواجبات الكفائية التي إذا قام به أهلها سقط طلبها عن الباقين
“Mengangkat pemimpin adalah termasuk instrumen terpenting bagi kemasalahatan umat Islam dan perwujudan tujuan terbesar agama. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif. Jika telah ditunaikan, maka yang lain terbebas dari kewajiban tersebut.”
Dalam konteks ini, Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din berargumentasi:
الملك والدين توأمان. فالدين أصل والسلطان حارس ، وما لا أصل له فمهدوم ، وما لا حارس له فضائع
“Kekuasaan dan agama (ibarat) saudara kembar. Agama adalah landasan (fondamen). Pemerintah (negara) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki landasan, maka akan tumbang. Sesuatu yang tidak memiliki penjaga, maka akan hilang (sia-sia).”
Dalam Kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Imam al-Ghazali juga berargumentasi:
والسلطان ضروري في نظام الدين ونظام الدنيا، ونظام الدنيا ضروري في نظام الدين، ونظام الدين ضروري للفوز بسعادة الآخرة، وهو مقصود الأنبياء قطعاً. فكان وجوب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.
“Pemerintah itu sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama dan pengelolaan dunia. Pengelolaan dunia sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama. Pelaksanaan agama sangat penting untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Inilah tujuan yang pasti dari seluruh Nabi hadir. Oleh karena itu, kewajiban adanya pemimpin termasuk urusan primer dalam agama yang tidak bisa ditinggalkan.”
Sementara Ibn Taimiyyah dalam Kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah menegaskan:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها
“Perlu diketahui bahwa kekuasaan (negara) merupakan salah satu kewajiban terbesar agama, yang tanpanya agama tidak akan tegak.”
Adapun terkait pentingnya pemimpin, Imam al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan,
ألإمامة موضوعة لخلافة النبوّة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Kepemimpinan dibentuk untuk meneruskan misi kenabian (profetik) dalam menjaga agama dan mengatur dunia”
Misi kenabian menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam Kitab al-Thuruq al-Hukmiyyah adalah menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana tegaknya langit dan bumi untuk semua makhluk Tuhan.
فإن الله سبحانه أرسل رسله وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط وهو العدل الذي قامت به الأرض والسموات فإذا ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأي طريق كان فثم شرع الله ودينه. أن مقصوده إقامة العدل بين عباده وقيام الناس بالقسط فأي طريق استخرج بها العدل والقسط فهي من الدين وليست مخالفة له.
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia dapat menegakkan keadilan, yaitu keadilan yang mana bumi dan langit tegak. Jika perangkat keadilan tampak dan terwujud dalam bentuk apapun, maka di situlah syariat Allah dan agama-Nya. Tujuan-Nya adalah untuk menegakkan keadilan di antara hamba-hamba-Nya dan kehidupan manusia dengan adil. Segala cara untuk mencapai keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama.”
Sangat jelas, Pemilu akan bermakna secara teologis dan penting bagi kemanusiaan apabila dilakukan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia melalui pemimpin yang kita pilih.
Sebaliknya, Pemilu menjadi tidak bermakna dan tidak penting sama sekali secara teologis — bagi kontestan dan pemilih– apabila dilakukan semata-mata karena kekuasaan yang mereka rebut dan politik transaksional yang mereka peroleh atau janjikan.
Kepemimpinan dalam Islam identik dengan keadilan. Kepemimpinan membawa misi profetik, menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan ketimpangan. Pemimpin yang baik seharusnya mampu melakukan dan mewujudkan misi profetik ini.
Dalam konteks ini, Ibn Taimiyah menyatakan:
إنَّ الله يُقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة ، ولا يُقيم الدولة الظالمة وإن كانت مسلمة
“Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) non Islam. (Sebaliknya) Allah tidak akan menegakkan negara dzalim (korup, otoriter, tiran) meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) Islam.”
Dengan demikian, dalam Pemilu 2024 ini pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang bisa menyelamatkan masa depan manusia Indonesia dan seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Jangan memilih seseorang karena mereka menyuap kita atas nama apapun, karena janji-janji muluk yang belum pasti terealisasi, karena paksaan yang kita tidak bisa menghindarinya, karena intimidasi yang sangat halus dengan dalih agama dan playing victim, dan apalagi teror yang jelas-jelas mencerabut kebebasan kita.
Dalam bilik yang personal itu, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan kriteria ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengimajinasikan bangsa terbaik (mabadi’ khaira ummah), yaitu seorang pemimpin atau wakil rakyat yang jujur (الصدق) tidak korup, terpercaya dan terbukti memenuhi janji (الامانة والوفاء بالعهد), bersikap adil dan berprinsip keadilan (العدالة), melayani, menolong, dan memberdayakan (التعاون), dan konsisten (الاستقامة) tegak lurus dalam keadilan dan kemaslahatan.
Siapa mereka? إستفت قلبك (mintalah fatwa pada hati nuranimu)!
by Admin | 24 Jan 2023 | Artikel
ISIF CIREBON – Saya terperangah dan takjub ketika pada Selasa, 16 Januari 2018, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh pimpinan ASEAN Nagoya Club (ANC) di sebuah restoran di Nagoya. ANC adalah sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.
Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu. Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
Di Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. “Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.
Ketika Haruna mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.
Saya lihat Uceng segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.
Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
Saya memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.
Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.
Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.
Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.
Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik
Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa?
“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.
Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.
Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.
“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.
Tulisan: Moh Mahfud MD
by Admin | 3 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(Sumber foto : Duniasantri.co)
Oleh : Sofiniyah Ghufron (Sekretaris Prodi Ekonomi Syaria’ah ISIF dan Tenaga Ahli pada TP2S-Setwapres RI)
Stunting adalah kondisi dimana seorang anak mengalami kegagalan pertumbuhan dan perkembangan akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama yang mengakibatkan penyakit infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan.
Gejala anak stunting ditandai dengan tubuh berukuran pendek, kecerdasan rendah, dan resiko penyakit tidak menular (PTM). Untuk mencapai kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, pemerintah telah melakukan upaya Pencegahan percepatan stunting pada kelompok sasaran yang meliputi remaja, calon pengantin, ibu hamil dan menyusui untuk mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).
Anemia dan Dampaknya Bagi Kesehatan Remaja Putri
Masa remaja merupakan tahapan kehidupan yang sangat penting untuk menentukan kualitas kehidupan di masa yang akan datang. Indonesia, memiliki jumlah 45 juta remaja, artinya 17 % dari total populasi masyarakat Indonesia adalah remaja, dan sebagian dari mereka mengalami malnutrisi (BPS, 2020). Hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap progres SDG’S (WHO, 2014).
Namun, jika bonus demografi tidak dikelola dengan baik melalui penguatan investasi sumber daya manusia, perbaikan kualitas gizi maka sebaliknya akan menjadi beban yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depan.
Remaja Indonesia perkotaan cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, baik berupa makanan cepat saji maupun makanan yang sedang trend, yang secara nutrisi memiliki resiko kurang tepat dan tidak baik bagi kesehatan.
Data Riskesda tahun 2013 bahwa penduduk ≥ 10 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur cukup banyak yaitu sekitar 96,4% dan remaja adalah kelompok tertinggi yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur yaitu sebesar 98, 4%.
Gizi seimbang adalah susunan pola hidangan dalam sehari yang memenuhi zat gizi. Permasalahan gizi yang terbesar itu ada tiga kasus, di antaranya :
Pertama, anemia, kasus anemia sangat menonjol pada anak-anak sekolah terutama remaja putri. Remaja putri berisiko tinggi menderita anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat adanya pertumbuhan dan menstruasi, biasanya untuk remaja putri yang mengalami menstruasi tentunya mereka akan kehilangan banyak darah setiap bulannya, itu harus diimbangi dengan asupan gizi yang adekuat.
Kedua, yaitu kasus kurang gizi, faktor ini bisa terjadi karena asupan gizi yang kurang serta faktor ekonomi. Kasus yang ketiga yaitu kegemukan, banyak faktor yang menyebabkan kegemukan seperti kurang aktivitas, kurang asupan serat, terbiasa mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan garam.
Kekurangan zat besi (anemi) memberikan kontribusi hingga 20 % terhadap semua kematian pada kehamilan, dan juga terkait erat dengan kejadian stunting. Salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia adalah rendahnya asupan zat besi. Aulakh R (2016), menyebutkan bahwa anemia pada remaja dapat menghambat perkembangan psikomotorik, merusak kinerja kognitif dan kinerja skolastik.
Oleh karena itu masalah anemia harus dicegah dan diatasi ketika masih remaja karena remaja nantinya akan menjadi ibu hamil. Memberikan nutrisi yang baik pada saat seorang ibu hamil karena akan berdampak secara permanen pada pembentukan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan serta metabolisme glukosa, lipid, protein hormon/receptor/gen.
Secara jangka panjang pembentukan otak yang tidak sempurna akan mempengaruhi kecerdasan kognitif dan prestasi belajar. Sedangkan pertumbuhan massa tubuh yang tidak sesuai usia akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Dan lambatnya metabolisme glukosa akan berdampak timbulnya penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, jantung, dan hipertensi.
Pentingnya Konsumsi Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri di Pondok Pesantren bagi Percepatan Penurunan Stunting
Pesantren merupakan tatanan/lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Jumlah pesantren yang mencapai 27.222 pesantren dan jumlah santri sebanyak 4.174.146 orang (Data Pondok Pesantren, Kementerian Agama, 2020).
Santri adalah anak-anak atau remaja yang menurut Permenkes No. 25 Tahun 2014, adalah mereka yang berada pada masa transisi dari anak-anak ke dewasa di usia sekitar 10 – 18 tahun dimana pada umur tersebut terjadi masa pubertas yang mengalami banyak perubahan baik perubahan bentuk tubuh, organ vital serta emosi.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pesantren khusunya santri puteri, pesantren memiliki peran strategis dengan membuat kebijakan berwawasan kesehatan di lingkungan pesantren. Implementasi kebijakan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pesantren (PHBS). PHBS juga merupakan cara mencegah timbulnya penyakit menular maupun tidak menular.
Berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan RI No. 2269/ Menkes/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan PHBS, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
Secara umum ada tujuh indikator PHBS di Pesantren yang ditetapkan, yaitu: (1) Mencuci tangan menggunakan sabun, (2). Mengonsumsi makanan dan minuman sehat, (3). Menggunakan jamban sehat, (4). Membuang sampah di tempat sampah, (5). Tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), (6). Tidak meludah disembarang tempat, (7) Memberantas jentik nyamuk dan lain-lain dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.
Menurut WHO (2011), satu dari tiga perempuan yang tidak hamil pada hampir 500 juta orang, perempuan mengalami anemia yang karena pemasukan zat besi tidak mencukupi. Remaja puteri sangat rentan kekurangan zat besi karena menstruasi, pertumbuhan yang cepat dan peningkatan zat besi jaringan.
Terkait dengan peningkatan kualitas nutrisi para santri khususnya santriwati, yang memiliki resiko mengalami anemia, Pesantren dapat membuat kebijakan penyediaan makanan yang sehat dengan gizi seimbang, menyediakan kantin dan dapur sehat, larangan jajan makanan yang mengandung pengawet, zat pewarna dan tidak hygienis serta memberikan penyuluhan bagi pedagang makanan atau warung tentang pentingnya makanan sehat.
Di samping implemetasi PHBS, pesantren perlu menjalin kerjasama strategis dengan mitra potensial untuk mendukung terwujudnya pesantren sehat, salah satunya dengan Puskesmas. Dalam Percepatan penurunan stunting, pesantren dapat berkoordinasi dengan Puskesmas dalam penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD) bagi santriwati (remaja putri) untuk mencegah terjadinya anemia yang sering dialami oleh para santri putri.
Pemberian TTD merupakan cara yang efektif untuk mengatasi anemia apabila dikonsumsi secara rutin akan terjadi peningkatan kadar HB. Menurut penelitian Falkingham et.,al (2010) menyebutkan bahwa konsumsi TTD dapat meningkatkan konsentrasi pada perempuan dan remaja serta meningkatkan IQ pada penderita anemia. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka beresiko dan berdampak pada kesehatan remaja di masa yang akan datang salah satunya adalah melahirkan anak stunting. []
by Admin | 13 Jul 2022 | Kolom Rektor
Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)
Stunting –yang dulu disebut ‘anak kerdil’—masih menjadi pe-er besar bagi bangsa Indonesia. Per tahun 2021 kemarin, prevalensi stunting masih di angka 24,4% (SSGI, 2021) atau sekitar 5,33 juta Balita stuned. Meskipun prevalensi ini mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, namun tidak bisa dipandang enteng.
Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia lumayan lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Ini agenda besar yang tidak bisa dikerjakan sambil lalu.
Kita tahu, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (Balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Ini terjadi terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai dari janin hingga anak berusia dua tahun.
Masalah Multidimensi
Stunting memang masalah kesehatan, tetapi sebab dan akibatnya tidak melulu soal kesehatan. Penyebab langsung tentu saja kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai, tetapi penyebab tidak langsungnya bisa karena ketidaktahuan, akses pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau, sanitasi yang buruk, anggaran yang tidak memadai, ketidakpedulian sosial, dan juga komitmen pemerintah yang kurang kuat.
Dengan begitu, stunting adalah masalah multidimensi. Tidak hanya berdampak pada gangguan kesehatan fisik, stunting juga menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang tidak baik sehingga mudah sakit. Lebih dari itu, stunting juga mengganggu kesehatan jiwa dan perkembangan otak, berpotensi memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.
Jika tidak segera diturunkan hingga batas minimal 20 persen dalam standar WHO atau seperlima dari jumlah total anak Balita, maka cepat atau lambat stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan sosial, yang pada akhirnya akan memengaruhi kualitas demokrasi kita. Bonus demografi yang hendak kita rayakan pada tahun 2030-2035, bisa jadi gagal panen.
Jurus Pemerintah
Presiden Jokowi sebetulnya telah mengantisipasi kemungkinan buruk ini dengan memasukkan program pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007). Yakni, terjaminnya ketersediaan pangan yang meliputi produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup diharapkan dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada kantong-kantong stunting dalam wilayah Indonesia.
Presiden Jokowi juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini diadopsi dari Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang dirumuskan pada tahun 2018. Bahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana percepatan penurunan stunting telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN-PASTI) 2021-2024 (Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021).
Di sini, tampak sekali pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai program prioritas pemerintah. Pada tahun 2022 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran negara sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung penurunan stunting. Rp34,1 triliun tersebar pada 17 kementerian dan lembaga, dan Rp8,9 triliun dibagikan ke Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik serta Rp1,8 triliun untuk DAK Nonfisik.
Sebetulnya upaya percepatan pencegahan stunting yang dikomandani oleh Wakil Presiden RI menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terjadi penurunan angka prevalensi stunting dari tahun ke tahun. Jika pada awal pelaksanaan Stranas, tahun 2018, angka prevalensi stunting berada pada 30,8% (Riskesdas, 2018), maka pada tahun 2019 turun ke level 27,7% (SSGI, 2019), dan pada tahun 2021, angka prevalensi stunting nasional turun ke level 24,4% (SSGI, 2021). Dengan demikian, telah terjadi penurunan 6,4% selama 2018-2021.
Komitmen pemerintah pun sangat ambisius, prevalensi stunting harus turun pada 14% di tahun 2024. Ini artinya prevalensi stunting harus turun 10,4% poin dalam 2,5 tahun ke depan. Mungkinkah akan tercapai?
Perlunya Konvergensi dan Kolaborasi
Tercapai atau tidaknya target 14% pada tahun 2024 tergantung pada ketercapaian lima pilar berikut. Pertama, apakah komitmen para pemimpin pemerintahan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan semakin meningkat atau tidak untuk menurunkan stunting. Kedua, apakah komunikasi perubahan perilaku kepada masyarakat sasaran semakin efektif atau tidak dalam mengedukasi pentingnya bebas dari stunting. Ketiga, apakah intervensi spesifik dan intervensi sensitif semakin konvergen dan tepat sasaran atau tidak hingga ke masyarakat sasaran di desa-desa yang terpencil, terdalam, dan terluar.
Keempat, apakah ketahanan pangan dan gizi di daerah-daerah kantong stunting semakin meningkat atau tidak. Kelima, apakah sistem, data, informasi, riset, dan inovasi tentang stunting akurat dan dipakai secara efektif atau tidak dalam menurunkan stunting. Tambahan, apakah semua pilar ini betul-betul menyasar pada lima kelompok sosial prioritas atau tidak? Yakni, remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-59 (lima puluh sembilan) bulan.
Selain itu, untuk mempercepat penurunan stunting pemerintah harus fokus pada provinsi-provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi dan provinsi-provinsi dengan jumlah stunting terbesar. Berdasarkan SSGI 2021, ada 7 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Sementara provinsi dengan jumlah stunting terbesar ada 5, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten (SSGI, 2021).
Jika dalam 2,5 tahun ini implementasi lima pilar tidak ada progres dan peningkatan, maka jutaan anak kerdil di masa mendatang sangat mungkin menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Menurut saya, target ambisius ini tidak akan tercapai jika hanya pemerintah sebagai aktor tunggal dalam penanganan stunting. Sekuat apapun komitmen pemerintah dan sebanyak apapun anggaran yang digelontorkan, jika tidak ada dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta, dan media (pentahelix stakeholders) rasanya sulit terwujud.
Di sinilah, stunting harus menjadi keprihatinan kita bersama, keprihatinan kemanusiaan, keprihatinan masa depan bangsa, dan bagian dari problem besar manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berkualitas. Stunting tidak cukup hanya menjadi program prioritas pemerintah, tapi harus menjadi program prioritas bangsa. Keterlibatan semua pihak dalam penanganan stunting mutlak adanya. Partisipasi semua pihak akan sangat memengaruhi ketercapaian target prevalensi 14% pada tahun 2024.[]
Artikel ini sudah dimuat di Koran SINDO, pada Rabu, 13 Juli 2022.