Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Sepuluh hari ke belakang, tepatnya pada tanggal 6 Desember 2022 pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang (UU).
Rencananya dalam jangka tiga tahun kedepan KUHP warisan Belanda akan pemerintah hapus dan menggantinya dengan KUHP produk Indonesia. Selama tenggang waktu tersebut, pemerintah telah mempersilahkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik pasal demi pasal dan men-judicial riview (uji materil) ke Mahkamah konstitusi (MK).
Seperti kita ketahui bersama, pengesahan UU KUHP ini, telah mengundang aksi penolakan dari berbagai pihak, terutama aktivis, akademisi dan praktisi hukum. Karena dari 624 pasal yang terkandung dalam KUHP terdapat pasal-pasal ngawur yang berpotensi mengkriminalisasi orang banyak, salah satunya seperti yang tertulis dalam pasal 265.
Pasal ini mengatur tentang larangan mengganggu ketentraman lingkungan dengan cara melakukan hingar-bingar, berisik, dan seruan atau tanda-tanda bahaya palsu pada malam hari. Adapun hukuman yang akan dikenakan bagi orang yang melakukan tindakan tersebut adalah pidana denda paling banyak kategori II (10 juta rupiah).
Pengertian “malam hari” dalam pasal 265 ini adalah waktu di antara matahari terbenam sampai matahari terbit. Adapun “maksud tanda-tanda bahaya palsu” ini misalnya, memukul kentongan sebagai tanda adanya pencurian padahal sebenarnya kejadian tersebut tidak terjadi.
Akibat Hukum dari Pasal 265
Pasal ini sangat berpotensi mengkriminalisasi banyak masyarakat Indonesia, mengingat kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang kerap memperingati perayaan, terutama merayakan peringatan hari raya besar umat Islam hingga larut malam.
Selain itu, dalam perayaan hari-hari besar juga demikian, misalnya ulang tahun kemerdekaan, di mana dalam perayaan ini masyarakat memeriahkan momen itu dengan event-event yang pelaksanaannya sampai berhari-hari bermalam-malam.
Semua hal di atas apabila dilakukan di malam hari sangat berpotensi terjerat Pasal 265. Karena kata mengganggu yang terkandung dalam pasal ini bersifat subjektif.
Artinya sesuatu yang kita anggap baik dan tidak mengganggu. Misalnya: ritual-ritual keagamaan dengan menggunakan pengeras suara, oleh orang lain hal ini bisa menjadi sebagai sesuatu yang mengganggu.
Terlebih dalam pasal 265 tidak ada spesifikasi dan ukuran mengganggu itu seperti apa. Dengan demikian semua orang bisa terkena dengan pasal ini. Bisa saja karena ada unsur kepentingan tersendiri, atau kebencian terhadap salah satu kelompok.
Oleh sebab itu, pasal ini sangat mungkin bisa menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok masyarakat tersebut. Apalagi dampak yang akan terjadi selanjutnya adalah, pemerintah akan mudah memidanakan kelompok masyarakat yang mengganggu di malam hari.
Dengan melihat kemadaratan yang akan terjadi akibat pasal ini, saya sangat menolak dengan keras pengesahan UU KUHP. Terlebih saya juga mengusulkan sebaiknya pasal ini harus men-judicial riview di MK dan menghapusnya dari KUHP. Seperti halnya dalam kaidah fiqh yang menyebutkan:
اَلضَّرَرُ يُزَال
Artinya: Kemudharatan itu harus dihilangkan.
Maka, merujuk kaidah tersebut, Islam sangat menolak segala bentuk kemadaratan yang terjadi di muka bumi. Termasuk kemadaratan yang terdapat di KUHP harus segera pemerintah hapuskan. Karena tujuan dengan adanya undang-undang itu untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia, bukan untuk mengkriminalisasi, apalagi memidanakan masyarakatnya. []
*Tulisan ini telah dimuat di mubadalah.id pada 19 Desember 2022 dengan judul: Segala Bentuk Kemadaratan Dalam UU KUHP Harus Dihapuskan