Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Deskripsi sebelumnya yang sangat praktis dan detil menjelaskan bahwa ibadah ternyata tidak bisa berdiri sendiri, khususnya ibadah haji. Hubungan kita dengan Tuhan bukan semata urusan personal, tetapi juga menyangkut aspek sosial kemanusiaan, ekonomi, dan politik.
Sebagaimana diketahui, ibadah haji dalam kenyataannya tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik, spiritual, mental, dan ekonomi, tetapi juga menyangkut hubungan antarnegara. Dalam konteks ini, sudah pasti ibadah haji membutuhkan intervensi negara. Harus ada kebijakan politik yang memayunginya. Dibutuhkan birokrasi yang menggerakkannya, apalagi ibadah ini dijalankan secara kolektif nasional dan internasional.
Oleh karena dilakukan bersama jutaan jamaah haji sedunia, yang semakin tahun semakin bertambah, maka infrastruktur pun disesuaikan. Perubahan-perubahan, inovasi, dan penambahan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi kebutuhan. Ini akan berpengaruh pada substansi ibadah yang disyariatkan.
Tempat thawaf (mathaf), misalnya, sekarang tidak hanya di dekat Ka’bah yang selama thawaf bisa melihatnya, tetapi sekarang sudah berada di atas Ka’bah, lantai 2 dan lantai 3, di luar lingkaran Ka’bah yang kadang selama thawaf tidak pernah melihatnya.
Begitu juga tempat sa’i (mas’a), sekarang sudah dikembangkan di lantai 2 dan lantai 3, yang ketika menuju bukit shofa dan marwa sudah tidak lagi menginjak bukitnya. Hanya memutar di atas bukit shafa dan marwa.
Para jamaah haji pun, ketika melaksanakan thawaf dan sa’i tidak hanya jalan kaki yang membutuhkan energi tersendiri mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran, dan 7 kali lari-lari kecil shafa-marwa. Sekarang banyak jamaah haji —yang berkebutuhan khusus– menggunakan kursi roda yang didorong oleh pendorong profesional, dan bahkan menggunakan scooter yang menggunakan mesin.
Hal yang sama juga di Jamarat. Tempat lempar jumrah (ula, wustha, dan ‘aqabah) sekarang sudah berlantai 6. Luar biasa perubahan dan inovasi yang dilakukan karena kebutuhan jamaah haji yang begitu besar.
Ini dari sisi wasilah penyelenggaraannya. Tentu berlaku kaidah, li al-wasa’il hukm al-maqashid.
Bagi saya, sungguh sangat menarik menjadi petugas haji pada tahun yang penuh dengan tantangan ini. Tidak saja soal ibadah dan politik, tetapi juga pergulatan kemanusiaan. Bukan saja menjalin hubungan kita dengan Allah, tetapi juga menselaraskan hubungan kita sesama manusia.
Lansia tentu saja menjadi faktor determinasi distingtif haji tahun ini. Bukan hanya petugas, tetapi juga sesama jamaah haji diuji sensitifitas kemanusiaannya dalam menjalankan ibadah.
Bagaimana hukum praktik ibadah (haji) yang mengabaikan kemanusiaan? Ini pertanyaan penting.
Banyak orang demi mementingkan limpahan pahala atau kesahan ibadah, rela mengesampingkan aspek kemanusiaan. Misalnya, demi sholat berjamaah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, seorang Lansia ditinggal sendirian di kamar —yang berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi.
Banyak orang berpikir karena ketetapan fiqhnya bahwa kesahan ibadah (haji) adalah terpenuhinya syarat dan rukun. Kemanusiaan adalah hal lain, tidak terkait dengan ibadah. Akibatnya, demi peroleh kesahan ibadah Lansia yang memang membutuhkan sentuhan kemanusiaan orang lain dalam banyak kasus terabaikan, bahkan dalam jurang bahaya.
Ini tampaknya membutuhkan formulasi fiqh baru tentang kesahan dan kesempurnaan ibadah dalam pertimbangan kemanusiaan dan kemaslahatan, khususnya Lansia yang memang membutuhkan orang lain. []