Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Episode berikutnya adalah menjelang dan masa pelaksanaan haji. Setelah seluruh jamaah haji tidak ada yang singgah di Madinah, karena harus melaksanakan ibadah haji di Mekah, maka kami pun bergeser ke Mekah. Mekah tentu beda dengan Madinah. Tantangan baru pun dimulai.
Selama di Mekah, posisi petugas Daker Madinah adalah supporting system atas kerja-kerja Daker Mekah.
Sebelum masuk masa Armina/Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Persisnya di depan Zamzam Tower atau WC 3.
Selama beberapa hari, kami bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji yang tersesat jalan, terpisah dari rombongan, dan kelelahan setelah muter-muter tidak menemukan jalan pulang.
Tugas ini sama persis dengan tugas saya selama dua hari pertama kedatanganku di Mekah. Tugas ini sudah dijelaskan panjang lebar pada bagian pertama dari serial tulisan ini.
*
Masuklah masa haji. Hari tarwiyah 8 Dzul Hijjah dan hari Arafah 9 Dzul Hijjah adalah saat jamaah haji memulai ibadah, memakai pakaian ihram dan niat haji dari miqat.
Menghadapi Armina/Armuzna ini, tugas utama para petugas haji di kapling-kapling. Petugas haji Daker Bandara ditugaskan di Arafah. Petugas haji Daker Mekah ditugaskan di Muzdalifah. Sementara kami dari Daker Madinah ditugaskan di Mina. Meski begitu, dalam pelaksanaannya kita saling membantu dan memperkuat.
Di sini, saya tidak akan cerita penugasan di Arafah atau Muzdalifah, karena itu bukan tugas utama kami. Saya akan bercerita penugasan di Mina yang menjadi core duty kami.
*
Untuk jamaah haji Indonesia pada umumnya proses ibadah haji dimulai dari Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Jamaah haji sudah tiba di Arafah sejak malam 9 Dzul Hijjah, dan berada di Arafah sampai habis maghrib. Mereka wukuf di Arafah sejak dhuhur hingga malam hari.
Agenda utama wukuf di Arafah adalah mendengarkan khutbah wukuf, sholat dhuhur dan ashar di qashar jama’ taqdim, lalu berdoa dan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).
Habis maghrib, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah diangkut dengan bus yang telah disediakan Masyariq. Mabit di Muzdalifah hingga tengah malam, jam 00 lewat.
Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah bergerak ke Mina diangkut dengan bus untuk lontar jamrah aqobah pada tanggal 10 Dzul Hijjah, lalu mabit di Mina hingga tgl 12 Dzul Hijjah bagi yang memilih nafar awwal, dan 13 Dzul Hijjah bagi yang memutuskan nafar tsani.
Kegiatan utama di Mina selama 3 atau 4 hari adalah mabit (bermalam) dan lontar jamrah ula/shughra, wustha, dan aqobah/kubra setiap hari pada tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah bagi nafar awwal, dan hingga 13 Dzul Hijjah bagi nafar tsani.
Nah, kami akan bercerita bagaimana pelayanan yang kami lakukan selama di Mina, sejak jamaah haji tiba hingga meninggalkan Mina menuju Mekah.
*
Sejak jam 00 dini hari tanggal 10 Dzul Hijjah, kami stand by di Maktab tempat tugas kami. Kami cek dan kontrol persiapan Maktab untuk melayani mabit jamaah haji. Tidak hanya tenda dan kasur bantalnya, tetapi juga AC, dapur, kamar mandi, mushalla, klinik, minum, dan fasilitas lainnya.
Semuanya dicek berdasarkan standar kelayakan dan ketercukupan jumlah jamaah haji yang akan masuk ke Maktab tersebut.
Hasilnya ternyata beda-beda. Ada maktab yang siap banget, lengkap dengan informasi yang memadai tentang peta Maktab, struktur, jadwal makan, jadwal lontar jamrah, dll. Tapi juga terdapat Maktab yang belum siap, baru diberesi malam itu, bahkan tidak ada info yang memadai terkait Maktab tersebut dan info yang dibutuhkan jamaah haji.
Di sinilah fungsi kami hadir untuk memastikan kelayakan dan ketercukupan semua fasilitas yang dibutuhkan. Namun dalam praktiknya tidak mudah, banyak hal yang menjadi kendala. Akhirnya, kami lakukan semaksimal yang bisa kami lakukan.
Benar terjadi, hampir semua tenda tidak memadai untuk menampung seluruh jamaah haji. Meskipun jumlah kasur yang disediakan sesuai dengan jumlah jamaah haji, tetapi luas tenda tidak memadai.
Mitigasinya, tenda untuk mushalla, tenda untuk ‘ummal, dan tenda yang kosong diubah fungsi untuk penginapan jamaah haji.
Ini pun sebagian maktab masih belum memadai, karena memang jumlah jamaah haji tahun ini kuota 100% plus 8000 jamaah tambahan. Jumlah jamaah haji bertambah, sementara tempat di Mina tidak bertambah dan tidak mungkin bertambah kecuali meninggi (ntah kapan akan ada bangunan tingkat di Mina).
*
Kasus-kasus jamaah Lansia mulai muncul ketika mereka melontar jamrah aqobah pada 10 Dzul Hijjah, atau jamrah ula, wustha, dan aqobah pada 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Pada umumnya terjadi kelelahan karena jarak tempuh dari Maktab ke Jamarat yang sangat jauh, rerata 8 km pulang pergi, bahkan bisa lebih tergantung posisi geografis maktabnya.
Selain kasus-kasus kelelahan, kasus lain yang banyak ditemui adalah jamaah haji yang tersesat karena ketidaktahuan posisi maktabnya.
Banyak sekali jamaah haji tersesat jalan, baik di dalam maktabnya sendiri mencari tenda kloternya atau di jalan-jalan mencari nomor maktabnya. Ini terjadi tidak hanya pada jamaah Lansia, tetapi juga pada jamaah muda. Ketersesatan jamaah Lansia memang mendominasi, dan akibatnya lebih rentan ketimbang jamaah non Lansia.
Ada banyak sebab ketersesatan jalan ini terjadi. Pertama, dia terpisah dari rombongan setelah lontar jamrah atau keluar bersama. Tidak punya peta atau tidak paham baca peta, tidak bawa atau tidak punya HP atau tidak bisa mengoperasikan HP, akhirnya tersesat.
Kedua, keluar dari toilet atau kamar mandi. Dia bingung, lalu jalan kaki mengikuti feelingnya, akhirnya tersesat jauh.
Ketiga, adanya kesamaan atau kemiripan pada bentuk tenda, pintu gerbang maktab, dan bangunan toilet menyebabkan jamaah sulit mengenali maktab dan tendanya.
Keempat, jamaah haji tidak diedukasi dan tidak dilengkapi peta geografis maktab-maktab Indonesia dan tenda-tenda dalam satu maktab.
Kelima, meskipun hari ini sudah ada Google Map dan GPS, tetapi banyak jamaah haji tidak bisa mengoperasikan atau tidak memanfaatkan fasilitas digital ini. Bahkan sekadar telp kepada temannya pun tidak dilakukan. Ini terjadi, karena beberapa jamaah haji selain tidak memiliki nomor HP Ketua Kloter, Ketua Rombongan, atau Ketua Regu, tidak bawa atau tidak punya HP, juga tidak mengaktifkan jaringan internet lokal sini atau roaming internasional.
Kerentanan sesat jalan diperparah dengan suhu cuaca di Mina yang saat itu bisa mencapai 46% Celcius. Kondisi ini menyebabkan jamaah haji yang tersesat semakin rentan, dan menyulitkan petugas untuk mengantarkan tanpa ada alat transfortasi yang memadai.
Nah, menghadapi kasus-kasus ini mitigasi yang kami lakukan adalah: pertama, jika jamaah yang tersesat adalah Lansia dan jamaah berkebutuhan khusus, maka kami antarkan langsung hingga ke maktab atau tendanya, baik dengan jalan kaki (di bawah terik matahari) maupun alat transportasi (meskipun jarang dijumpai).
Kedua, jika mereka tampak sehat dan kuat, kami cukup tunjukkan arah dan berikan peta digital untuk panduan jalannya.
Oleh karena di setiap pojok krusial ada petugas yang stand by, tidak jarang –meskipun tidak selalu– kami menggunakan sistem estafet untuk mengantarkan jamaah.
Karena sangking banyaknya jamaah yang tersesat jalan, kami keluar dikit dari tenda saja hanya sekadar ke kamar mandi atau jalan dikit, pasti akan me(di)temui jamaah tersesat dan kami harus melayaninya. Begitu tiap hari selama 4 hari di Mina.
*
Ada cerita menarik saat ada jamaah Lansia yang karena kelelahan tergeletak di jalan raya ke arah pulang dari Jamarat.
Persisnya, saya dan Pak Ihsan –petugas pembimbing ibadah– dalam perjalanan pulang habis lontar jamrah aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah menjelang maghrib. Tiba-tiba di tengah jalan terdapat seorang kakek jamaah haji dari embarkasi Surabaya (berusia sekitar 85 tahun) yang tergeletak tiduran di bahu tengah jalan raya.
Kami kaget, terhentak, dan terhenti. Kami dekati dan tanya ke orang sekitar yang ada di situ. Ternyata dia kelelahan, tidak kuat jalan, pusing, lemas, dan akhirnya menidurkan diri di bahu tengah jalan pulang dari Jamarat ke penginapan.
Selain karena faktor Lansia, ini terjadi karena kelelahan yang sangat atas perjalanan maraton dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sangat mungkin istirahat tidak cukup, bahkan tidak sempat istirahat yang berkualitas sama sekali. Untungnya, saat itu matahari sudah hampir terbenam, sehingga cuaca tidak begitu panas.
Akhirnya, kami telp berbagai perangkat petugas haji yang terkait. Hasilnya, ambulance tidak bisa melintas, kursi roda sulit, sewa kursi roda tidak mau hingga ke Maktab 40.
Setelah kakek ini minum dan makan roti yang diberikan jamaah yang lewat, dan dengan sisa tenaga yang ada, saya dan Pak Ihsan akhirnya memutuskan untuk memapa kakek ini berpegangan bahu saya dan bahu Pak Ihsan.
Meter per-meter kita tapaki. Dalam setiap 300 m, istirahat untuk mengambil nafas dan minum. Begitu seterusnya hingga sampai ke Maktab 40, yang kurang lebih berjarak 4 km dari tempat tidur sang kakek.
Menariknya, selama perjalanan memapa kakek ini, kami juga ditanya puluhan jamaah yang tersesat jalan. Sebagian kita antar jika satu arah, sebagian lagi kita beri petunjuk jalan saja. Sehingga dalam waktu 3 jam, kami baru bisa menyerahkan sang kakek ini kepada rombongan di Kloternya. []