Oleh: Achmad Nanang Firdaus (Mahasiswa Program SUPI ISIF Cirebon)
ISIF CIREBON – Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan zaman. Pesantren menjadi kawah candradimuka bagi para calon pemuka agama, namun pesantren juga tidak jarang menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme.
Dengan kata lain, pesantren mampu eksis selama berabad-abad sekaligus beradaptasi dengan perkembangan zaman namun mampu mempertahankan identitasnya sebagai penjaga keilmuwan Islam di Nusantara. Hal ini terbukti dengan berkembangnya model pembelajaran yang ada di pesantren hingga terbagi menjadi pesantren modern dan tradisional. Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina salah satu pesantren yang didirikan sebagai respons atas tantangan zaman.
Latar Belakang Berdirinya Pesantren
Berdasarkan sejarahnya, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina berdiri setelah KH. Marzuki Wahid atau yang biasa disapa santri-santrinya dengan nama “Abi Marzuki” diamanatkan menjadi rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Ia dipercaya menggantikan rektor sebelumnya yaitu Ummi Afwah Mumtazah yang mengundurkan diri pada tahun 2016. Sehingga, setelah mendapatkan amanat tersebut, tersirat dalam hatinya untuk mengembalikan ISIF pada khittahnya yaitu sebagai kampus transformatif yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, kemanusiaan, keragaman, dan demokrasi.
Selain ingin mengembalikan ISIF pada khittahnya, ia juga berpikir bagaimana ISIF bisa menjadi bagian dari pendidikan formal yang melakukan kaderisasi ulama perempuan yang dibentuk dalam program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) yang nantinya akan melahirkan ulama baik dari laki-laki maupun perempuan yang berkapasitas dan berperspektif untuk membela dan berpihak pada perempuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, maka dengan program ini, ia berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren yang berkontribusi terhadap kaderisasi ulama perempuan Indonesia yang terintegrasi dengan pendidikan formal di ISIF yaitu yang biasa disebut dengan program SUPI.
Karena pesantren ini terintegrasi dengan pendidikan formal ISIF, ia mengatakan ” Di sini kuliahnya adalah pesantren dan pesantrennya adalah kuliah”, sehingga dengan demikian, ISIF dengan pesantren Luhur Manhajiy Fahmina itu terintegrasi, menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, kuliahnya bisa sambil pesantren seperti bisa dengan menggunakan kitab kuning, sarungan, dan lain-lain, adapun pesantrennya juga bisa kuliah, karena apa yang dipelajari di pesantren termasuk dari perkuliahan yang ada di ISIF”. Beliau juga menambahkan “Karena kampus dan pesantren ini terintegrasi, dari pagi sampai malam, maka menjadikan SKS (Satuan Kredit Semester) di sini lumayan banyak.”
Para santri di pesantren ini memiliki panggilan khas yaitu “Mahasantriwa” (gabungan dari kata mahasantri & mahasiswa), disebut mahasantriwa karena santri di sini adalah santri dari pesantren Luhur Manhajiy Fahmina yang tinggal di pesantren sekaligus menjadi mahasiswa yang mengikuti pendidikan formal di ISIF, di mana pesantren ini wajib ditempuh selama 4 tahun mengikuti durasi pendidikan formal di ISIF jenjang sarjana S-1 (8 semester/4 tahun). Kemudian pesantren ini hanya menerima maksimal 20 santri tiap tahunnya, baik laki-laki maupun perempuan, dan akan dikembangkan intelektualitas dan kepribadiannya secara khusus oleh pesantren dan kampus. Dengan latar belakang tersebut, pesantren Luhur Manhajiy Fahmina mulai beroperasi secara resmi pada tahun 2022.
Mengapa Dinamakan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina?
Sebagaimana pada umumnya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki 5 rukun (Arkanul Ma’had) yaitu adanya Kyai atau Nyai, kitab kuning, asrama, masjid/musala, kemudian santri atau mahasantri. Semua itu telah terpenuhi oleh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina
Mengenai yang pertama, kenapa dinamakan Pesantren “Luhur”? Karena Luhur dalam bahasa arab berati “tinggi” atau dalam bahasa arabnya pesantren luhur ini disebut al-Ma’had al-‘Ali (perguruan tinggi pesantren), sehingga yang dimaksud berarti pesantren yang menampung para tingkatan pendidikan tinggi (mahasantri/mahasiswa) sehingga pesantren ini tidak menerima para santri yang masih dalam tingkat MTS atau Aliyah, tetapi menerima santri yang sudah menempuh jadi mahasiswa. Mahasiswa yang dimaksud dalam pesantren ini adalah mahasiswa khusus dari perguruan tinggi ISIF, tidak dari perguruan tinggi lain, dengan demikian, pesantren ini tidak menerima santri di luar ISIF.
Adapun yang kedua kenapa dinamakan “Manhajiy”? karena yang menjadi fokus pesantren ini adalah metodologi Manhaj al-Islamiyah yaitu metodologi keislaman, sehingga para santri diharapkan akan menguasai semua cabang ilmu keislaman antara lain Ushul Fiqh, Qowa’id Fiqhiyyah, menguasai metodologi penelitian, metodologi studi Islam, analisis sosial, dan juga untuk piawai dalam melakukan Bahtsul Masâil yaitu berdiskusi dan merumuskan hukum-hukum dari Masâil- masâil al-Musykilah al-Mu’âsirah (masalah kompleks kontemporer) yang tidak ada. Selain itu, dengan penamaan “Manhajiy” ini para mahasantriwa juga fokus pada soal metodologi KUPI yang telah dirumuskan , lalu mahasantriwa diharapkan dapat mengembangkannya secara lebih kreatif untuk menjawab permasalahan kompleks kontemporer.
Selanjutnya, kenapa dinamakan “Fahmina”? dinamakan “Fahmina” karena pesantren ini didirikan oleh Fahmina yang mana Fahmina Ini juga didirikan oleh Abi Marzuki. Bukan hanya itu, karena ia juga tinggal satu lingkungan dengan Fahmina, Abi Marzuki dan Bunda Nurul menisbahkan dan menggunakan nama Fahmina sebagai Payung dari pesantren ini. Oleh karena itu pesantren ini dinamakan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina.
Fokus Utama Pesantren
Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina memiliki fokus utama antara lain adalah sebagai wadah kaderisasi ulama perempuan Indonesia dan fokus pada penguasaan metodologi al- Manâhij al-Islamiyah diantaranya Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyah, metodologi riset, metodologi kajian, analisis sosial, dan beberapa metodologi lain yang seluruhnya harus dikuasai oleh mahasantriwa, sehingga ketika ada permasalahan sosial yang memerlukan perspektif agama, maka metodologi yang telah dipelajari mahasantriwa akan mampu menjawabnya secara kompeten dan baik sesuai dengan kerangka metodologi Islam yang standar dan memiliki perspektif keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan terhadap hak-hak perempuan.
Bukan hanya peningkatan intelektual saja yang dikembangkan, namun segala hal yang berkaitan kehidupan sehari-hari mahasantriwa baik dari segi perilaku dan karakter, ‘ubudiyah, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, solidaritas, semuanya dipantau langsung oleh Abi Marzuki dan Bunda Nurul Bahrul Ulum (istri dari Abi Marzuki) selaku pimpinan sekaligus pengasuh pesantren, semua hal tersebut dipantau dan dikembangkan karena mengingat pesantren tidak hanya ingin mencetak santri yang ‘âlim-‘âlimah saja, namun juga mencetak santri yang ‘âmil-‘âmilah dan qônit-qônitah atau yang bertujuan sebagai mencetak santri yang bukan hanya berilmu saja, tetapi menjadi santri yang senantiasa mengamalkan ilmunya dan taat atas segala perintah Allah Swt, sehingga ini menjadi pengamalan yang sangat serius bagi para mahasantriwa dari pengetahuan yang mereka miliki.
Kitab-kitab yang Dipelajari
Pada masa tahun-tahun awal berdirinya pesantren, di sini memfokuskan kepada kitab-kitab dasar seperti kitab Taqrib yang harus dikuasai lafdzhan wa ma’nan (memahami arti per kata dan isi/makna) dan dapat dibaca melalui sorogan oleh para mahasantriwa, lalu ada kitab dasar Ushul Fiqh karangan Imam al-Haromain al-Juwaini, kemudian dari ilmu nahwu yaitu dengan menggunakan kitab Jurumiyah, ilmu shorof dengan menggunakan kitab Kaylani, kitab Sittin al-‘Adliyah yang memuat 60 hadits tentang hak-hak perempuan dalam Islam, kitab Fiqh al-‘Ibâdah.
Semua kitab-kitab dasar tersebut dipelajari sampai khatam sehingga bisa dilanjutkan ke kitab-kitab yang lebih tinggi seperti Qowaid Fiqhiyyah dengan melanjutkan memakai kitab al-Farâid al-Bahiyyah, Ushul Fiqh dengan kitab karangan Syekh Wahbah al-Zuhaili yang kontemporer dan lebih sistematis, sehingga semua kitab yang dipelajari khususnya Ushul Fiqh dapat dikembangkan melalui metode penelitian mahasantriwa seperti penelitian sosial, penelitian pustaka, metodologi kajian metodologi fatwa, antara lain fatwa KUPI, fatwa MUI, fatwa NU, fatwa Muhammadiyah. Kemudian kitab-kitab yang telah dipelajari dapat dikembangkan melalui Bahtsul Masâil terhadap masalah-masalah kontemporer.
Fasilitas Pesantren
Sebagaimana pesantren umumnya, pesantren ini menyediakan fasilitas bagi para santrinya antara lain asrama, ruang kelas, toilet, dapur, musala, Balai Latihan Kerja (BLK), kantin, lapangan olahraga, aula pertemuan, panggung pentas budaya, tempat parkir, dan lapangan olahraga. Adapun beberapa diantaranya juga masih dalam perencanaan yaitu peningkatan musala menjadi dua tingkat, yang nantinya bisa difungsikan sebagai gedung serbaguna dan juga klinik kesehatan pesantren yang nantinya akan bekerja sama dengan puskesmas, sehingga para mahasantriwa akan terpantau kesehatannya oleh klinik pesantren dan puskesmas.
Harapan Dibangunnya Pesantren
Abi Marzuki berharap dengan dibangunnya Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina ini sebagai wadah untuk mencetak kader ulama perempuan Indonesia yang memiliki perspektif keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan kemaslahatan yang bermanfaat bagi laki-laki dan perempuan, sehingga bisa mewujudkan Islam yang adil, Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn, Islam yang memberdayakan dan memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas, khususnya perempuan dalam relasi gender.
Selain itu ia juga berharap kepada mahasantriwa supaya dapat melanjutkan jenjang sarjana S2 dan S3 nya di tempat masing-masing, karena harapan besar beliau untuk mencetak mahasantriwainya sebagai ulama, intelektual, pemikir, dan cendekiawan yang akan mewarnai dan menebarkan ilmunya seluas-luasnya di daerahnya masing-masing, yang tidak berarti bukan sebatas lulus lalu hanya punya mental jadi buruh dan pekerja. Kemudian ia juga berharap besar dengan adanya pesantren ini menjadi penempaan yang sangat serius dan khusus yang terintegrasi antara pesantren dan perguruan tinggi.
Sekilas Tentang Program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia)
SUPI merupakan program yang didesain untuk mencetak ulama perempuan Indonesia. Ulama perempuan yang dimaksud tidak hanya yang berjenis kelamin perempuan, tetapi juga laki-laki, Karena yang dimaksud perempuan di sini bukanlah perempuan secara biologis, melainkan perempuan secara ideologis, yaitu siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan dan punya perspektif untuk membela dan menegakkan keadilan dan kesetaraan yaitu diantaranya membela hak-hak perempuan, maka itulah yang disebut ulama perempuan.
Adapun sejarah yang melatarbelakangi adanya program SUPI ini terinspirasi dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang diselenggarakan pada tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon. Dari Kongres tersebut terdapat satu poin penting rekomendasi dari KUPI, bahwa KUPI ingin menyelenggarakan kaderisasi ulama perempuan baik melalui pendidikan formal, non-formal, dan informal. Selain terinspirasi dari KUPI 1, program ini juga terinspirasi dari pengalaman Abi Marzuki selama 5 tahun menjadi mudir di Ma’had ‘Ali Kebon Jambu yang di sana memiliki konsentrasi pada Ahwal al-Syakhsiyah dalam perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Berdasarkan inspirasi tersebut, maka dibentuklah program SUPI yang terintegrasi dengan pendidikan formal ISIF dan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk melahirkan ulama perempuan yang membela dan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan baik bagi laki-laki dan perempuan.
Tujuan Program SUPI
Program SUPI didesain untuk mencetak sarjana ulama perempuan yang berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu keislaman yang membebaskan dari segala ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem dan struktur, khususnya dalam relasi gender, mewujudkan sarjana yang dapat mengembangkan kultur masyarakat yang adil dan demokratis yang berorientasi pada transformasi sosial dan tercapainya perdamaian universal (rahmatan lil ‘âlamîn), serta mampu mengorganisasi kelompok masyarakat agar berdaya dan berswadaya untuk mengisi ruang-ruang kebijakan publik yang berkeadilan dan mengayomi keragaman agama, etnis, bahasa, dan gender.
Dengan demikian, Program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) adalah sebuah inisiatif yang dikembangkan oleh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina dan ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) untuk kaderisasi ulama perempuan yang memiliki kapasitas dan perspektif untuk membela dan memperjuangkan keadilan dan kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan.
Program ini dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan formal ISIF dengan pendidikan non-formal di Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dengan tujuan menciptakan sarjana ulama yang dapat mengembangkan budaya masyarakat yang adil, demokratis, dan berorientasi pada transformasi sosial dan kelangsungan perdamaian semesta. []