(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Achmad Nanang Firdaus — Mahasiswa PAI ISIF

ISIF Cirebon – Sabtu pagi, 11 Januari 2025, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menggelar musyawarah subuh rutinan dengan bahasan yang menarik dan relevan yaitu tentang riba. Tema ini diangkat dari kitab Matan Taqrib karya Imam Abu Syuja’ dan dipandu langsung oleh pengasuh pesantren, KH. Marzuki Wahid, atau yang kami kerap panggil Abi Marzuki.

Para santri hadir dengan penuh antusias. Mereka berharap diskusi ini dapat memperkaya pengetahuan seputar penerapan hukum riba dalam kehidupan sehari-hari.

Diskusi  diwarnai berbagai pertanyaan kritis mengenai praktik riba yang kerap dijumpai di masyarakat. Dengan pendekatan khasnya, Abi Marzuki memberikan penjelasan mendalam, mengupas tuntas konsep riba, dan menjawab berbagai pertanyaan yang menjadi ganjalan bagi para santri.

Muamalah: Fleksibel dan Kontekstual

Abi Marzuki menjelaskan perbedaan mendasar antara muamalah dan ibadah. Dalam ibadah, tata caranya bersifat ta’abbudi (ritual) dan tidak selalu dapat dirasionalisasi. Sejak zaman Nabi hingga kini, bentuknya tetap sama di mana pun berada. Sebaliknya, muamalah ini bersifat ijtihadi, yang berarti fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah:

تغير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة والأحوال والعوائد

Artinya: perubahan hukum tergantung pada perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat.

Abi Marzuki juga memaparkan prinsip-prinsip dasar dalam muamalah (mabadi’), yakni:

Pertama, tiadanya kezaliman (‘adamu adz-dhulmi). Kedua, tiadanya penipuan (‘adamu al-gharar). Ketiga, tiadanya spekulasi (‘adamu al-maysir). Keempat, tiadanya eksploitasi (‘adamu al-riba).  Kelima, adanya kesepakatan dan kerelaan kedua pihak (al-ittifaq wa at-taradhin).

Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dalam menjawab berbagai persoalan muamalah, khususnya yang berkaitan dengan jual beli.

Memahami Riba: Antara Konsep dan Praktik

Dalam kitab Taqrib, riba didefinisikan sebagai pertukaran barang yang tidak setara dalam ukuran syar’i atau adanya penundaan penyerahan barang yang ditukar. Secara etimologis, riba berarti az-ziyaadah (tambahan). Contoh praktiknya adalah jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak yang tidak dilakukan secara kontan dan setara. Namun, Abi Marzuki mengingatkan bahwa tidak semua tambahan dalam transaksi adalah riba. Jika seorang penjual memberikan bonus kepada pembeli secara sukarela, itu bukan riba, melainkan rezeki. Karena riba yang haram adalah yang mengandung unsur kezaliman, eksploitasi, dan penipuan.

Selain itu, Abi Marzuki menegaskan bahwa riba dilarang karena sifatnya yang merugikan dan menindas pihak tertentu. Misalnya terjadi kecurangan, ketidakadilan, spekulasi berlebihan dan paksaan kepada salah satu pihak.

Hal ini, menurut beliau sangat bertentangan dalam ajaran Islam. Karena di dalam Islam sangat menekankan keadilan dalam semua aspek muamalah.

Polemik Bunga Bank: Perspektif NU

Dalam sesi tanya jawab semakin menarik ketika para santri mengangkat isu bunga bank. Abi Marzuki merujuk pada hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) di Bandar Lampung, 1992. Ada tiga pandangan utama terkait bunga bank:

Pertama, haram. Karena dianggap riba, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, Surah al-Baqarah ayat 275.

Kedua, halal. Karena sebagai fee manajerial yang wajar sesuai regulasi. Ketiga, syubhat. Karena berada di antara halal dan haram.

Abi Marzuki menggarisbawahi bahwa ketiga pandangan ini memberikan pilihan berdasarkan konteks dan pemahaman masing-masing individu.

Islam untuk Kemaslahatan

Di akhir musyawarah, Abi Marzuki menegaskan bahwa syariat Islam hadir untuk mewujudkan kemaslahatan, baik dengan mencegah kerusakan (dar’u al-mafasid) maupun meraih kebaikan (jalbu al-mashalih).

Maka dari itu, dalam muamalah, setiap masalah harus dianalisis dengan mempertimbangkan konteks zaman, tempat, dan keadaan, tanpa meninggalkan prinsip keadilan.

Musyawarah subuh kali ini tidak hanya menambah wawasan para santri tentang hukum riba, tetapi juga mengajak mereka untuk berpikir kritis dan kontekstual dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Dengan demikian, pesantren ini menjadi ruang belajar yang mengedepankan nilai-nilai universal Islam untuk kebaikan bersama. []

— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mubdalah.id (https://mubadalah.id/menyingkap-pemikiran-kh-marzuki-wahid-tentang-riba-dalam-musyawarah-taqrib/) pada Jum’at, 17/01/2025.

9