(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Ketika kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka pesantren ataupun surau adalah dua institusi yang layak untuk dibahas. Mengapa? Karena kedua institusi pendidikan ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat anak bangsa dalam mengenyam akses pendidikan keagamaan terutama di daerah-daerah terpencil, baik itu di Jawa maupun Sumatera.

Keduanya berperan sangat vital dalam mentransformasikan ajaran-ajaran keagamaan di kalangan masyarakat terutama menyangkut penguatan keimanan seseorang. Di samping itu ada ajaran-ajaran lain yang tidak melulu masalah teologi, tetapi pembelajaran lain yang menyangkut ilmu-ilmu sosial juga diajarkan di kedua lembaga pendidikan ini walaupun pada mulanya kedua pendidikan ini mengajari pendidikan keagamaan saja.

Transformasi Pesantren di Era Modern

Dalam pengantarnya di buku Bilik-Bilik Pesantren, Azyumardi Azra mengatakan seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas, pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 7).

Mengingat pendidikan adalah hak primer yang wajib dimiliki oleh setiap individu dan bagian penting bagaimana cara masyarakat terlibat dalam modernitas dan globalisasi. Maka pesantren merespon tantangan zaman tersebut dengan perubahan di dalam institusi pesantren. Sekali lagi, yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak dilakukan untuk menggeser tradisi-tradisi lama  pesantren yang luhur namun hanya untuk membekali diri para santri untuk siap sedia dengan perubahan  zaman yang terjadi.

Secara garis besar pesantren terbagi menjadi dua: pertama, pesantren tradisional yang tetap menjaga tradisi klasik pendidikan Islam dan fokus dalam kajian-kajian kitab kuning. Kedua, pesantren modern yang mempunyai titik tekan dalam pembelajaran ilmu-ilmu kontemporer, seperti sekolah publik pada umumnya, tidak jarang juga di pesantren modern, para santri diwajibkan memiliki soft skill berbahasa Arab dan Inggris.

Saat ini, bentuk pesantren tradisional telah mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pesantren tradisional kini memiliki madrasah dan sekolah umum. Perbedaan utama antara pesantren tradisional dan pesantren modern terletak pada penguasaan bahasa asing. Pesantren modern cenderung lebih dominan dalam penggunaan bahasa Arab dan Inggris dibandingkan pesantren tradisional.

Dinamika Pesantren dalam Menghadapi Modernisasi

Pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam sejarah suksesi kemerdekaan bangsa. Namun, hingga kini, pesantren masih belum memiliki kekuatan besar dalam melobi penyesuaian kurikulum pendidikan umum. Pemerintah cenderung menekan agar terjadi penyeragaman antara pendidikan umum dan pendidikan di pesantren. Awalnya, pesantren hanya memiliki madrasah dengan hari libur yang umumnya jatuh pada hari Jumat. Seiring waktu, pesantren mulai berkembang dengan menyediakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.

Perkembangan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ingin membekali santrinya dengan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, pesantren telah memiliki kurikulum yang sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum sekolah menengah pertama dan menengah atas ada. Selain itu, aturan kegiatan belajar mengajar di sekolah umum berada di bawah kewenangan instansi pemerintah terkait, yang sering kali berbeda dengan sistem pendidikan pesantren.

Menghadapi masalah ini pesantren sedikit menolak untuk diseragamkan dengan sekolah umum, dan mencari titik temu dari permasalahan ini. Sebagai contoh kasus di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, pada tahun 1968 didirikan Madrasah Tsanawiyah dibawah naungan Departemen Agama. Namun yang menjadi pembeda antara Madrasah Tsanawiyah di tempat lain adalah hari libur yang jatuh pada setiap hari Jum’at.

Proses perizinan untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari libur tidaklah mudah. Ada negosiasi alot antara pihak pesantren Babakan dan pemerintah saat itu. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kegiatan pesantren tidak terganggu dengan adanya sekolah umum. Meskipun demikian pesantren tidak tercerabut dari akar budayanya, selain fungsi-fungsi pesantren yang tetap berjalan seperti nilai-nilai keislaman, serta kontrol sosial di masyarakat.

Selain perkembangan pendidikan di pesantren, hal yang menarik untuk diulas adalah tentang sikap pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya tanpa mengesampingkan kebutuhan zaman. Tidak hanya dalam hal kurikulum formal, tetapi juga dalam penguatan aspek spiritualitas yang menjadi ruh pendidikan pesantren. Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapat perhatian adalah bidang tasawuf, yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral santri.

Menurut Cak Nur, bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Bidang ini sebenarnya hal yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 21).

Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas pengetahuan santri dalam pelajaran. Hal ini bertujuan agar santri mampu berkompetisi di berbagai lini kehidupan. Santri tidak lagi hanya dikenal sebagai ahli agama, mereka juga dapat menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa depan muncul santri yang berprofesi sebagai arsitek, dokter, insinyur, atau tenaga terampil lainnya. Keragaman profesi santri di masyarakat dapat diimplementasikan secara kolektif oleh lembaga pesantren. Dengan demikian, santri dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks modernisasi, pesantren diharapkan mampu menyumbangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan modern. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki peran strategis dalam masyarakat. Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi, tampak bahwa pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern. Ini menunjukkan bahwa pesantren turut berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.

Pesantren sebagai Sub-Kultur dalam Masyarakat

Modernitas di pesantren memiliki konteks yang berbeda dibandingkan modernitas masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural pesantren yang khas dan berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Pesantren tidak hanya fokus pada pengajaran agama, lembaga ini juga memiliki kepedulian terhadap berbagai isu sosial di masyarakat. Konteks modern dalam pesantren adalah bagaimana teks-teks keagamaan dapat dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan isu-isu sosial yang berkembang saat ini.

Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sub-kultur dari masyarakat. Namun, di dalamnya terdapat struktur sosial yang berbeda. Di pesantren, terdapat kiai dan nyai sebagai pemimpin, anak kiai dan nyai sebagai generasi penerus, serta ustadz dan ustadzah yang berperan sebagai pembimbing bagi para santri perempuan dan laki-laki. Tata nilai pesantren ini memiliki ruang tersendiri dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Santri adalah pelaku kehidupan di pesantren dalam tataran yang bersentuhan langsung dengan masyarkat (grass root). Merekalah yang menggerakkan roda kegiatan dan aktifitas di pesantren.***

 

Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren (Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017).

 

18