Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Pada tanggal 28 Agustus mahasiswa PIT-PAR ISIF mengunjungi tempat produksi batu bata merah di Desa Argasunya tepatnya di wilayah RT 2 RW 7 Sumurwuni. Di tengah derasnya arus moderenisasi dan munculnya bahan bangunan baru, warga Sumurwuni masih mempertahankan produksi batu bata merah. Meskipun produksi ini bukan sebagai mata pencaharian utama, tapi produksi ini hanya musiman saja.
Proses pembuatan batu bata merah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, mulai dari mengolah tanah, mencetak, menjemur, hingga membakarnya pun masih menggunakan cara tradisional. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga ekstra dan hanya dilakukan saat musim kemarau atau disebut musim ketiga oleh masyarakat Sumurwuni. Hasil batu bata sangat diminati karena kualitas batu bata buatan masyarakat Sumurwuni ini dikenal kuat dan tahan lama.
Pembuatan batu bata ini sudah berlangsung sejak lama. Di wilayah Sumurwuni ini terdapat dua tempat produksi batu bata merah. Tempat produksi yang mahasiswa PIT-PAR ISIF ini kunjungi adalah milik Bapak Mahmud (52), beliau adalah warga asli Sumurwuni di RT 2 RW 7.
Pak Mahmud ini selain mempunyai tempat produksi batu bata merah, beliau juga mempunyai peternakan ayam yang dijual sebagai ayam potong. Ia juga memanfaatkan kototoran ayamnya sebagai pupuk organik yang kemudian dijual kembali.
Awalnya, tutur Pak Mahmud, produksi batu bata ini tidak diperjualbelikan, hanya untuk kebutuhan pribadi. Tapi lama kelamaan banyak masyarakat yang mengetahui dan tertarik memesan batu bata merah Pak Mahmud. Proses pembuatan batu bata merah tersebut bukan dilakukan oleh Pak Mahmud sendiri, tapi dilakukan juga oleh Pak Udin (55). Pak Udin ini dibantu oleh satu orang pekerja lainnya dan terkadang Pak Mahmud juga ikut membantu proses pembuatannya.
Proses Pembuatan Batu Bata Merah
Proses pembuatan batu bata merah ini dimulai dari pembelian tanah Cadas, tanah cadas ini di beli dari tambang di wilayah Argasunya tepatnya di Cibogo. Tanah Cadas ini di beli dengan harga 200 ribu per dump truk. Dari 1 dump truk ini dapat menghasilkan 2.000 batu bata.
Tanah cadas kemudian diolah untuk menjadi adonan batu bata. Adonan batu bata merah ini tidak ada campuran lain, hanya dicampur dengan air saja. Menurut Pak Mahmud, tanah cadas ini sudah mengandung pasir, jadi tidak perlu ada campuran lain. Sedangkan untuk air yang dipakaii adalah air yang bersumber dari sumur yang dibuat sendiri oleh Pak Mahmud sendiri.
Setelah tanah sudah mencapai tekstur yang sempurna, kemudian siap di catak menjadi bentuk batu bata yang diinginkan. Ada dua ukuran batu bata yang di produksi oleh Pak Mahmud, yaitu ada ukuran besar dan kecil. Yang ukuran besar dihargai 1.200 rupiah dan yang ukuran kecil dihargai 1.000 rupiah.
Setelah pencetakan, proses berlanjut ke tahap penjemuran. Waktu penjemuran ini tergantung cuacanya, jika cuacanya panas hanya membutuhkan waktu seminggu saja untuk kering. Namun jika cuacanya sedang mendung atau berawan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah dijemur, bata akan dibakar, dengan waktu pembakaran yang membutuhkan waktu seharian penuh.
Setelah semua proses itu selesai dan keadaan batu bata sudah dingin, tinggal menunggu pembeli mengambil batu batanya. Karena biasanya batu bata ini dibuat karna adanya pesanan atau ada juga pembeli yang tanpa memesan dulu. Konsumen ini biasanya dari sekitar wilayah Argasunya saja, tapi ada juga konsumen dari luar yaitu dari wilayah Mandirancan Kuningan.
Penopang Ekonomi Keluarga
Bata merah Sumurwuni lahir dari tanah cadas yang keras, sekeras kenyataan hidup warganya. Namun dari kerja berat itu, lahir kekuatan dan kemampuan bertahan dalam himpitan. Setiap bata yang keluar dari tungku seakan membawa pesan bahwa rakyat kecil selalu punya cara untuk bertahan.
Bagi warga Sumurwuni, menjadi pengrajin batu bata memang bukan pilihan utama mata pencaharian utama. Menurut Pak Mahmud pilihan menjadi pengrajian batu bata adalah pilihan terakhir bagi sebagian warga untuk tetap bisa bertahan hidup.
“Yang membuat batu bata ini ya orang susah, kalo bukan orang susah mah tidak bakal buat batu kaya gini” ujarnya.
Meskipun penuh tantangan dan hasilnya tidak seberapa, warga tetap menjalankannya dengan ikhlas karena ini menjadi salah satu sumber penghidupan tambahan bagi keluarga mereka. Produksi batu bata juga dilakukan secara musiman, biasanya saat permintaan meningkat atau ketika kondisi cuaca memungkinkan.
Meski bersifat musiman, nilai jual batu bata cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan ini mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Meskipun penghasilan dari batu bata bersifat sementara, peranannya sangat penting dalam menopang kehidupan keluarga para pengrajin.
Di tengah keterbatasan dan derasnya arus modernisasi, mereka masih berusaha mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Produksi batu bata merah memang hanya bersifat musiman, tetapi keberadaannya menjadi penopang penting dalam kehidupan warga Sumurwuni. Lebih dari sekadar mata pencaharian tambahan, pekerjaan ini adalah bukti keteguhan masyarakat dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan mereka.[]