Oleh: Sukma Hadi Watalam – Dosen ISIF Cirebon
ISIF Cirebon — Pernah nggak kalian kepikiran kenapa dulu bangsa-bangsa asing begitu ngotot ingin menjajah Indonesia? Kalau menurut saya, jawabannya sederhana: karena negeri ini ibarat toko serba ada dengan diskon besar-besaran. Tanahnya subur, hasil pertaniannya melimpah, rempah-rempahnya dulu dihargai lebih mahal daripada emas, lautnya kaya ikan dan Mutiara, bahkan udang pun melimpah. Bukan udang di balik batu, ya, tapi udang yang benar-benar ada di lautan. Belum lagi isi perut buminya penuh dengan harta karun tambang.
Saya pernah membaca sebuah postingan di media sosial yang tiba-tiba muncul begitu saja. Kalau pakai istilah bahasa Indramayunya “seliweran” dan bahasa gaulnya “fyp”. Di situ dijelaskan bahwa ada penelitian, bahwa Indonesia sebenarnya adalah pemain kelas dunia dalam tambang bahkan masuk jajaran top player di sektor natural resources.
Contohnya, untuk produksi emas, Indonesia duduk manis di peringkat 6 dunia, di bawah: Australia, Rusia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan China. Sementara untuk produksi batubara, kita menempati posisi nomor 3 setelah China dan India, mengalahkan Amerika Serikat dan Rusia.
Adapun untuk nikel, jangan ditanya lagi. Indonesia adalah juara dunia! Saingannya bukan negara recehan, bukan negara ecek-ecek, tapi raksasa macam China, Amerika, Australia, bahkan Putin loh. Kanada sendiri pun angkat tangan, tak mampu menyaingi kedigdayaan Indonesia.
Jadi, kalau bicara kekayaan alam, Indonesia ibarat “peti harta karun dunia” yang isinya tak habis-habis. Saking banyaknya, kalau disebut satu-satu bisa bikin lidah keseleo: emas, nikel, batubara, ikan, kayu, laut, udara—wah, pokoknya se-aha-aha-aha-aha lah. Tidak bisa dihitung dengan jari.
Tapi, pertanyaan besarnya: kenapa negeri yang begitu kaya raya justru masih begini-begini saja? Mengapa rakyatnya banyak yang hidup pas-pasan, bahkan miskin, padahal tanah airnya bagaikan surga dunia? Kenapa potensi sebesar ini tidak otomatis membuat rakyatnya sejahtera? Apakah karena salah urus? Apakah karena salah kelola? Ataukah memang ada yang sengaja membiarkan?
Ironis sekali. Negeri yang tanahnya subur, tapi masih ada rakyat yang tak mampu membeli beras. Lautnya luas, tapi nelayan sering pulang dengan tangan kosong. Tambangnya berlimpah, tapi masyarakat di sekitar tambang hanya jadi penonton, bahkan ada yang terusir dari tanahnya sendiri. Bukankah itu menyakitkan? Bukankah itu pilu?
Tak heran bila kini muncul suara-suara dari Papua yang ingin merdeka. Kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan, bukan cuma dengan alat berat semacam beko, tapi dengan berbagai cara besar-besaran. Namun, hasilnya tak banyak berdampak bagi rakyat setempat.
Bayangkanlah ironi ini: di atas tanah yang penuh emas, masih ada anak-anak yang berangkat sekolah dengan sandal jepit putus. Di tepian laut yang penuh ikan, masih ada ibu-ibu yang kebingungan membeli lauk untuk makan malam. Di sekitar tambang yang menghasilkan triliunan rupiah, masih ada keluarga yang menyalakan pelita karena tak mampu membeli listrik.
Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “Negeri ini memang kaya, tapi sayangnya belum banyak yang benar-benar mengelola dengan kaya hati dan kaya akhlak.”
Kalau kekayaan ini terus salah urus, jangan-jangan kelak anak cucu kita hanya bisa membaca di buku sejarah bahwa dulu Indonesia pernah disebut “harta karun dunia”. Tetapi mereka sendiri sudah tidak bisa lagi merasakannya.[]