Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Layar panggung pendidikan Indonesia kembali terbuka dan kali ini, ceritanya benar-benar “box office”. Sebuah drama kehidupan nyata yang tak kalah menegangkan dari sinetron jam tujuh malam: seorang kepala sekolah menampar murid yang tertangkap basah sedang mengisap rokok di lingkungan sekolah. Dan tentu saja, seperti film yang bagus, adegan itu memantik klimaks luar biasa. Bukan pada si perokok, tapi pada orang tuanya!
Ya, mereka tampil bak pahlawan super yang turun dari langit dengan jubah bertuliskan “Hak Anak di Atas Segalanya”. Dengan gagah perkasa, mereka melaporkan kepala sekolah itu ke polisi—karena rupanya, hak anak untuk merokok di area pendidikan jauh lebih sakral daripada hak guru menjaga disiplin.
Kita patut memberi tepuk tangan.
Bukan tepuk tangan kecil, tapi standing ovation!
Betapa mulianya perjuangan orang tua masa kini—yang rela berjihad di kantor polisi demi membela anaknya yang sedang berlatih menjadi calon aktor iklan rokok.
Maka wahai para guru se-Indonesia, tolong catat dan hafalkan baik-baik pelajaran dari kisah ini:
Jika suatu hari kalian melihat murid sedang menyalakan rokok di taman sekolah, jangan tegur!
Senyumlah lembut, tawarkan pemantik Anda, lalu katakan dengan penuh kasih,
“Nak, biar Ibu bantu nyalain rokoknya… sekalian mau direkam buat konten TikTok slow motion biar estetik?”
Karena menegur itu ketinggalan zaman!
Menampar itu barbar!
Sedangkan paru-paru bolong akibat nikotin? Ah, itu urusan masa depan—yang penting hari ini jangan sampai harga diri si anak tergores oleh teguran guru.
Tapi tunggu dulu… plot twist-nya belum berakhir.
Klimaks sesungguhnya datang ketika teman-teman sang perokok menggelar aksi mogok belajar!
Bukan untuk menuntut fasilitas sekolah yang rusak, bukan untuk memperjuangkan nasib guru honorer—melainkan untuk membela kawan yang salah.
Luar biasa! Inilah wujud solidaritas edisi terbaru: solidaritas tanpa logika.
Betapa indah pemandangan ini. Sebuah generasi yang mungkin tak hafal rumus fisika, tapi sangat mahir menyusun orasi membela pelanggaran. Anak-anak yang rela berdiri di bawah terik matahari memegang spanduk bertuliskan “Keadilan untuk Perokok Sekolah!”, tapi malas membuka buku pelajaran saat malam tiba.
Sungguh, ini adalah revolusi moral paling spektakuler abad ini.
Kini, pahlawan bukan lagi yang berintegritas, tapi yang paling nekat menantang aturan.
Sekolah bukan lagi tempat membentuk karakter, tapi arena gladiator untuk menguji seberapa jauh kita bisa melawan otoritas tanpa konsekuensi.
Dan kepada Bapak-Ibu Guru yang masih percaya bahwa tugas Anda adalah mendidik, membentuk karakter, dan menegakkan disiplin — izinkan saya berkata jujur:
Selamat datang di profesi yang sudah berubah wujud!
Sekarang, Anda bukan lagi pendidik, tapi customer service pendidikan, yang harus melayani siswa dengan senyum tiga jari tanpa boleh menyentuh perasaan, apalagi fisik mereka.
Jika ada anak melanggar aturan, jangan marah—cukup isi laporan, print rapi, lalu serahkan ke orang tuanya. Karena, percayalah, mereka jauh lebih jago… mengubah masalah disiplin jadi kasus pidana.
Maka mari, Bapak dan Ibu, kita ikuti arus zaman ini.
Biarkan saja anak emas itu merokok, berbuat sesuka hati, dan merasa paling benar.
Karena di “Republik Anak Emas” ini, guru yang mencoba benar akan selalu tampak salah,
dan pelanggar aturan akan selalu tampil sebagai korban suci yang perlu dibela hingga titik darah penghabisan.[]