Oleh: Nana Sastrawan (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Sebelum menjadi pejabat publik, baik di lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, banyak tokoh dikenal ramah, peduli, dan jadi pembela terdepan ketidakadilan. Mereka tidak hanya baik, tetapi juga cerdas, berani, dan tentu saja berpendidikan. Namun, setelah berkuasa, banyak di antara mereka menjadi pribadi yang berbeda dengan sebelumnya. Inilah paradoks kekuasaan, mereka justru lebih banyak menampilkan perilaku yang dominatif, manipulatif, dan hilangnya empati.
Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka? Banyak hal yang memengaruhi mereka, akan tetapi bisa saja karena persoalan ‘ketidaktahuan sejarah’ di kalangan mereka, seperti ungkapan ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Jika kita melihat kepada sejarah, tokoh-tokoh muda terdahulu membangun negara Indonesia dengan segala kekuatan yang dimiliki, dari tenaga, pikiran hingga harta benda bahkan nyawa pun dikorbankan. Kepentingan tokoh-tokoh muda tersebut hanya untuk mencapai ‘kemerdekaan bangsa dari penjajah’. Mereka tidak pernah bekerja dan berjuang untuk kelompok individu, partai atau lembaga lainnya, tapi untuk mendirikan sebuah negara yaitu Indonesia.
Misalnya, Muhammad Yamin. Satu di antara tokoh yang merumuskan teks ‘Sumpah Pemuda’. Sebuah rancangan gagasan yang pada akhirnya menjadi sebuah gerakan perlawanan. Dalam isi tersebut dinyatakan bahwa masyarakat Nusantara memiliki tanah air yang satu, Bangsa yang satu dan merumuskan bahasa Persatuan. Muhammad Yamin bukan tidak mengetahui sejarah, ia sangat sadar betul bahwa Nusantara memiliki sejarah yang kuat pada saat kejayaan Majapahit, dimana Gajah Mada melakukan Sumpah, yang dikenal Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara. Kesadaran akan sejarah itu, tentu menginspirasi Muhammad Yamin untuk menyatukan kembali wilayah Nusantara.
Isi teks sumpah pemuda yang dinyatakan pada 28 Oktober 1928 dalam kongres Pemuda II, sebelumnya pernah diterbitkan dalam bentuk puisi oleh Muhammad Yamin, berjudul Indonesia, Tumpah Darahku yang diciptakan di Pasundan, 26 Oktober 1928. Dalam puisi itu, Muhammad Yamin menyampaikan cita-citanya untuk mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, satu bahasa.
Tokoh pemuda selanjutnya adalah WR Supratman yang mempunyai ‘Puisi Besar’ berjudul ‘Indonesia Raya’. Puisi tersebut kemudian diubah menjadi lagu dan dinyanyikan pada kongres pemuda II, hingga sampai sekarang menjadi lagu kebangsaan. Tokoh-tokoh pemuda pada kongres Sumpah Pemuda II di tahun 1928 bukan kemudian tenang dan hidup enak di rumah-rumah megah dengan fasilitas memadai. Usai kongres, mereka malah diburu dan dikejar-kejar, dihujani peluru oleh ‘Penjajah’, yaitu Kolonial Belanda.
Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh pemuda itu, terus diikuti dari tahun ke tahun sehingga tercapailah kemerdekaan pada tahun 1945. Tentu saja, kemerdekaan Indonesia tercapai atas keterlibatan semua pihak dan perjuangan semua suku bangsa, baik secara individu maupun kelompok.
Pengetahuan sejarah jika dicermati, dihayati akan menjadi sebuah jalan penyadaran untuk membangun negeri yang merdeka ini di masa kini yang akan terus berdampak ke masa depan. Bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari cita-cita tokoh bangsa yang belum terselesaikan yang dituangkan pada UUD 1945 dan Pancasila. Pondasi ini tentu harus menjadi sebuah ‘kebijakan-kebijakan’ yang kemudian membangun negeri Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bukan menjadikan Indonesia semakin hari, semakin terlihat ‘kesenjangan sosial’ antara para pejabat dengan rakyatnya.
Kasus-kasus korupsi semakin menumpuk, gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial para pejabat dan pegawai-pegawainya. Baik itu di kalangan lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif semakin tidak mencerminkan sebagai orang-orang ‘yang mengetahui, mengerti, memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia’. Bahkan ada juga di media sosial, para pejabat yang tidak hafal Pancasila dan Lagu Indonesia Raya. Sementara mereka menikmati gaji dari pajak rakyat. Sungguh ini sangat memalukan!
Bukan hanya itu, di dalam lingkungan hidup bermasyarakat terjadi pola yang keliru. Di mana para pejabat, pegawai pemerintah, anggota dewan dan sejenisnya seolah dijadikan sebagai orang yang terhormat. Seharusnya, mereka masuk dalam kategori ‘pekerja, pelayan masyarakat’ yang membantu mengurai persoalan-persoalan di masyarakat, bukan menambah masalah bagi masyarakat.
Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang untuk menjadi negara yang berdaulat sampai hari ini. Negara yang dibangun dengan ‘berdarah-darah’ tidak seharusnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejarah dengan baik tentang cita-cita tokoh-tokoh bangsa. Bangsa ini, memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Tidak seharusnya diserahkan kepada mereka yang mementingkan hawa nafsu ‘kekuasaan’ dan mempertontonkan gaya hidup bermewah-mewah tanpa memberikan solusi pada kelangsungan hidup masyarakat.