by Admin | 26 Dec 2022 | Publikasi Ilmiah
Tulisan ini adalah Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Angkatan VI, 24 Desember 2022, di Hotel Prima Cirebon.
Pengantar
Perkenankan saya memulai dengan mengucapkan ‘Selamat!’ kepada mahasiswa-mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) yang wisuda pada hari ini.
ISIF adalah sebuah aspirasi. Dia bagian dari perjuangan besar untuk menghadirkan kehidupan yang adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbagi refleksi tentang membangun pengetahuan transformatif. Saya bicara hari ini bukan sebagai akademisi atau ilmuwan dalam sebuah disiplin ilmu tertentu. Saya hanya seorang penggerak yang terus berpikir kritis di ruang publik dengan sumber daya yang tersedia di ruang publik demi majunya perjuangan besar yang sama-sama sedang diupayakan ini.
Krisis dan Momen Transformatif
Tantangan yang dihadapi dalam perjuangan ini semakin besar dan kompleks sekarang. Pandemi Covid-19 tidak sekedar mengakibatkan porak-porandanya kehidupan umat manusia sedunia. Menyebarnya virus corona ke seantero dunia juga merupakan sebuah pesan dari alam. Melalui partikel mungil yang tak kasat mata ini, alam sedang bersuara bahwa manusia ini telah terlalu jauh menjarah ke ruang hidup alam semesta. Keserakahannya nyaris tidak menyisakan lagi habitat yang aman dan sentosa bagi makhluk-makhluk penghuni lainnya – flora dan fauna yang selama ini ikut memastikan keberlanjutan hidup di Bumi.
Para ilmuwan menyatakan bahwa pandemi sudah pasti akan terjadi lagi jika kita tidak mengubah sistem produksi pangan, membatasi urbanisasi dan industri, menggagas ulang cara transportasi, dan mengurangi peningkatan suhu udara di tengah perubahan iklim. Artinya, pandemi ini akan berulang jika kita tidak melakukan perubahan sistemik, jika kita tidak mampu membayangkan dan membangun sistem ekonomi yang regeneratif – yang menjamin keberlanjutan bukan mematahkannya.
Perang di Ukraina bukan saja membawa kesengsaraan bagi warga negara Ukraina melainkan juga menunjukkan betapa rapuhnya tatanan dunia bahkan di pusat-pusat kekuasaan seperti Dewan Keamanan PBB dan Eropa. Hak veto yang dipegang oleh Rusia dan Cina di Dewan Keamanan PBB, sebagai hasil kesepakatan pasca Perang Dunia II, tidak memungkinkan adanya pihak mana pun yang dapat mencegah serangan Rusia ini. Menghadapi boikot ekonomi oleh negara-negara pembela Ukraina, Rusia malah menghentikan penjualan gandum dan bahan bakar dan mengakibatkan krisis pangan di Afrika serta krisis energi di Eropa.
Lebih dari itu, fakta perang di kawasan Eropa Timur ini telah membuat pemerintahan di mana-mana sibuk mempersenjatai diri sejalan dengan menguatnya logika perang, termasuk di Cina, Jepang, Indonesia dan negara-negara Eropa yang selama ini bergantung pada kekuatan militer Amerika melalui NATO.
Tetapi bagaimana membuat perubahan sistemik di tengah ruang demokrasi yang semakin menyempit? Menurut lembaga internasional yang terus mengamati kondisi demokrasi di dunia, pada akhir tahun 2021, separuh dari 173 negara mengalami kemunduran paling tidak dalam satu aspek kehidupan demokrasi. Bahkan Eropa, kawasan yang selama ini membanggakan diri sebagai pusat demokrasi dunia, harus mengakui bahwa separuh dari negara-negara di sana mengalami kemerosotan demokrasi.[1] Sementara itu, otoritarianisme semakin kuat mengakar di mana-mana, termasuk di kawasan kita, Asia Pasifik, di mana 85% dari penduduknya tengah hidup dalam konteks demokrasi yang serba mundur dan melemah.
Dalam konteks ini, bukankah akan semakin sulit dan berisiko untuk menyuarakan urgensi perubahan sistemik yang niscaya akan menggoyahkan – bahkan mensyaratkan pembongkaran – dari tatanan hierarki kuasa yang selama ini mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat?
Semua ini semakin kompleks saat kita juga sedang penuh kegamangan dalam berhadapan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari kita. Di satu pihak, media sosial menciptakan peluang-peluang baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dengan kemampuan untuk menembus waktu dan jarak dalam sekejap. Media sosial memudahkan kita berkomunikasi dengan kekuatan visual yang dinamis dan berdaya gugah secara instan.
Akan tetapi, di pihak lain, revolusi teknologi informasi dan komunikasi ini juga pegang andil besar dalam menyebarkan kebencian dan menguatkan cara berpolitik yang bertumpu pada rasa takut dan serba curiga kepada orang yang berbeda dari diri dan golongan sendiri. Perlu juga kita simak dampak media sosial pada kesehatan mental anak muda. Sebuah survei yang dijalankan sepanjang 10 tahun (2009-2019) di Amerika[2], misalnya, menemukan bahwa perempuan remaja yang mulai menggunakan media sosial pada usia ke-13 dan terus meningkat frekuensi penggunaannya semakin rentan risiko bunuh diri.
Sebenarnya dalam sejarah peradaban manusia, kita beberapa kali mengalami gejolak besar akibat adanya teknologi baru. Antara lain, Benedict Anderson, pakar ilmu politik, sejarawan dan Indonesianis kondang, memaparkan bagaimana munculnya mesin cetak pada abad ke-15 untuk memroduksi injil Gutenberg menjadi cikal bakal bagi lahirnya penerbit buku yang, pada gilirannya, memungkinkan penyebaran gagasan-gagasan baru, termasuk tentang bangsa dan kebangsaan atau konsep nasion dan nasionalisme. Empat abad setelahnya, proses membayangkan keberadaan sebuah komunitas politik yang berbatas dan berdaulat – disebut ‘imagined community’ – mewujudkan diri pada era dekolonisasi, termasuk di bumi pertiwi kita.
Sebagaimana mesin cetak Gutenberg dulu, mungkin teknologi digital yang juga tanpa preseden akan jadi cikal bakal bagi lahirnya suatu formasi kehidupan sosial-politik yang sama sekali berbeda dari apa yang kita kenal hari ini. Bukan tidak mungkin bahwa, hari ini, umat manusia sekali lagi berada dalam sebuah momen transformatif yang pastinya bakal berlangsung panjang.
Gagasan-gagasan baru yang didasarkan pada kekuatan imajinasi sudah mulai bermunculan sebenarnya. Salah satunya yang baik kita simak adalah sebuah manifesto yang disebut ‘Care Manifesto’, yaitu ajakan untuk membayangkan ulang seluruh sistem politik, ekonomi, tatanan global serta sistem kerabat dan komunitas agar dipandu oleh komitmen untuk saling merawat.
Para penggagas, sebuah kumpulan ilmuwan dan aktivis yang disebut ‘The Care Collective’, membuat manifesto ini sebagai wujud dari penyikapan politik mereka atas fakta interdependensi dari segala dimensi sistem kehidupan. Gagasan, atau lebih tepatnya seruan, yang mereka buat ini merupakan respons atas segala biaya sosial, politik dan personal yang harus ditanggung umat manusia akibat sikap tidak peduli (carelessness) yang hegemonik selama ini. Mereka berkeyakinan bahwa:
Care, atau saling rawat, adalah kemampuan diri dan kemampuan bersama untuk menyediakan kondisi politik, sosial, material dan emosional yang memungkinkan mayoritas orang dan makhluk hidup di bumi ini untuk hidup sentosa, seiring dengan planet di mana mereka berada. Hal ini termasuk kapasitas dan kegiatan bersama untuk merawat segala yang dibutuhkan bagi kesejahteraan dan tumbuh-kembangnya kehidupan. Di atas segalanya, tekad untuk menempatkan upaya saling merawat sebagai poros utama berarti komitmen untuk mengakui dan menerima fakta interdependensi dari segala aspek kehidupan kita.
Secara khusus, hal ini menuntut kesiapan untuk memberi perhatian pada kerja perawatan yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah dan di ruang-ruang pelayanan sosial lainnya serta kesediaan untuk merawat para aktivis yang tengah mengupayakan alternatif-alternatif kolaboratif, ekonomi solidaritas dan kepustakaan dari perjuangannya. Mewujudkan kemampuan bersama untuk saling merawat juga mencakupi kapasitas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang menjamin perumahan yang terjangkau, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memperluas kawasan hijau di bumi ini.
Kumpulan ‘Care Collective’ ini tidak sedang mengajukan sebuah teori yang sudah jadi tetapi mengajak kita untuk berimajinasi secara radikal. Bisa jadi, imajinasi untuk menata ulang sistem kehidupan atas dasar prinsip saling rawat hari ini sama radikalnya dengan imajinasi beberapa abad yang lalu saat otoritas absolut raja dan agamawan dibayangkan perlu dan bisa digantikan dengan kedaulatan rakyat di ruang demokrasi. Hari ini dan saat itu, imajinasi radikal seperti ini bukannya mimpi di siang bolong melainkan sebuah aspirasi berlandaskan analisis yang seksama dan berani tentang kondisi ketidakadilan dalam tatanan sosial politik yang ada.
Apakah analisis kita tentang berbagai masalah ketidakadilan hari ini mampu menghasilkan daya imajinasi yang radikal tentang masa depan yang berbeda dan lebih baik? Apakah cara berpengetahuan kita cukup memadai untuk merealisasikan sebuah perubahan sistemik sebagaimana dituntut oleh era pandemi ini?
Cara Berpengetahuan untuk Perubahan Sistemik
Sementara perspektif sejarah membantu kita untuk memahami bagaimana proses transformasi sistem sosial-politik berlangsung dari jaman ke jaman, sebagai aktor perubahan, kita harus bertanya bagaimana cara membongkar tatanan ketidakadilan yang penuh kemapanan?
Dalam konteks ini, perkenankan saya merujuk pada pertanyaan yang diajukan oleh Sally Haslanger[3], seorang filosof feminis di Amerika Serikat: Bagaimana cara melakukan disrupsi atas proses reproduksi sosial dari suatu sistem kemasyarakatan yang penuh ketidakadilan dan menggantikannya dengan sebuah sistem yang lebih baik?
Menurut Haslanger, suatu masyarakat adalah sistem yang kompleks yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkait-kelindan. Cara kerja unsur-unsurnya tidak selalu linear layaknya garis lurus yang sederhana dan sering kali jalannya pun penuh hal-hal tak terduga. Kendati demikian, ada pola dan keteraturan yang menjamin stabilitas sistem ini berkat kemampuannya untuk senantiasa menata diri atas dasar umpan balik dari berbagai unsur-unsurnya tanpa membutuhkan otoritas sentral.
Dalam pandangan Haslanger, di dalam setiap sistem kemasyarakatan terdapat struktur yang merupakan jaringan relasi yang dibentuk melalui praktik sosial. Struktur sosial tidak hanya mengambil wujud institusional tetapi juga dibentuk oleh proses pembelajaran sosial dan interaksi yang kompleks antar sosok pelaku, budaya dan dunia material.
Sebuah sistem yang penuh ketidakadilan bisa stabil, dalam arti mampu secara langgeng menjalankan proses reproduksi sosial, melalui tiga hal, menurut Haslanger: kuasa, pemberian makna (intelligibility) dan kondisi material (materiality). Artinya, jika kita menginginkan perubahan sistemik maka perubahan yang diupayakan haruslah mencakupi ketiga sumber stabilitas ini. Haslanger meyakini bahwa perubahan ini mensyaratkan perubahan hukum, karena sistem hukum punya andil besar dalam melanggengkan hierarki sosial. Tetapi, hukum (perubahan hukum) tidak berdiri sendiri dan saling berkelindan dengan budaya (perubahan budaya). Struktur hadir dalam interaksi dengan pemaknaan sosial. Menariknya, Haslanger percaya bawha perubahan hukum hanya efektif jika terjadi sebagai akibat dari gerakan sosial yang telah mampu mengubah praktik sosial di akar rumput.
Keyakinan Haslanger akan peran gerakan sosial didasarkan pada amatannya bahwa, dibandingkan dengan institusi-institusi legal formal, gerakan sosial mempunyai kebebasan lebih besar untuk mengkaji ulang (rethink) asumsi-asumsi dasar kita dan untuk menggoyahkan atau melakukan disrupsi pada status quo. Gerakan sosial fasih menciptakan praktik-praktik tandingan serta mengembangkan jaringan sosial baru. Melalui kerja pengorganisasiannya, gerakan sosial punya kemampuan mendorong terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift). Demikian pandangan filosof ini.
Cara pandang Sally Haslanger sejalan dengan mereka yang mengadvokasikan pendekatan transdisiplin dalam dunia pendidikan dan riset. Mereka menekankan bahwa pengetahuan mengalir dari dua arah: dari dunia keilmuan (science) ke masyarakat dan dari masyarakat ke dunia keilmuan, dari akademia dan juga dari dunia luar akademia. Pendekatan transdisiplin mengakui bahwa masyarakat juga pencipta pengetahuan yang absah dan bahkan mampu menggugat produk pengetahuan karya para ilmuwan.[4]
Pendekatan ini mengakui adanya ragam cara berpengetahuan (ways of knowing) dan kemajemukan epistemologi. Berlawanan dengan ini adalah rejim keilmuan yang sekadar membakukan (dan membekukan) batas-batas pemisah antar disiplin dan melanggengkan hierarki dalam berilmu. Sayangnya, masih terlalu banyak lembaga-lembaga pendidikan formal kita yang mengemban rejim keilmuan seperti ini.
Kepeloporan KUPI
Para mahasiswa yang berwisuda hari ini, Anda perlu bangga sebagai lulusan ISIF yang merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia. KUPI merupakan wujud nyata dari pendekatan keilmuan yang transdisiplin di mana ulama, akademisi, aktivis dan penyintas membangun pengetahuan secara interaktif bersama untuk perubahan yang transformatif.
Badriyah Fayumi berulang kali menegaskan bahwa KUPI adalah gerakan intelektual, gerakan keagamaan dan gerakan kultural sekaligus. Bisa kita bayangkan bagaimana filosof Sally Haslanger akan segera mengenali potensi kekuatan gerakan KUPI untuk mendorong perubahan sistemik.
Nur Rofiah menekankan sifat kolektif dari keilmuan dan penyikapan yang dihasilkan oleh ulama perempuan KUPI serta keberakaran yang khas pada pengalaman biologis dan sosial perempuan. Ini adalah wujud dari cara berpengetahuan perempuan dan bukti atas kemajemukan epistemologi yang patut diakui dan dirayakan sebagai prasyarat keadilan yang hakiki.
Dalam pusaran gerakan KUPI, Faqihuddin Abdul Kodir melakukan ajakan kepada laki-laki dan perempuan untuk berani membuat imajinasi radikal, yaitu untuk menggantikan relasi yang penuh ketimpangan kuasa dengan relasi atas dasar prinsip kesalingan di semua aspek kehidupan.
Semua inilah contoh nyata dari upaya membangun pengetahuan transformatif, yaitu cara berpengetahuan yang punya niat dan kemampuan untuk mengubah secara sistemik tatanan kehidupan yang penuh ketidakadilan dan pengrusakan. Otentisitas keilmuan KUPI adalah sumber kekuatan dan legitimasinya yang perlu dirawat bersama. Aspirasi dan komitmennya untuk tetap relevan di tengah berbagai krisis bangsa dan dunia membuat KUPI terus berkembang dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, kepada Anda yang wisuda hari ini, semoga pilihan peran di masyarakat yang Anda ambil setelah lulus dari ISIF diwarnai oleh aspirasi yang diemban ISIF sebagai bagian dari sebuah gerakan besar untuk membangun kehidupan yang lebih adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua. Jadilah warga bangsa dan warga dunia yang berkiprah mulia dan kritis di tengah krisis dan momen transformatif yang sedang kita hadapi bersama.[]
Kamala Chandrakira adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Fahmina, Anggota Kelompok Kerja Komisi HAM PBB (2010-2017), Komisi Nasional Perempuan (Sekjen: 1998-2003, Ketua: 2003-2009), Pendiri Musawah, lulusan S1 Jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia (1979-1981), S1 Sosiologi, Universitas Sophia Tokyo (1981-1983), Magister Sains bidang Sosiologi Pembangunan, Universitas Cornell, Ithaca, New York (1984-1988).
Sumber:
[1] https://www.idea.int/news-media/news/global-democracy-weakens-2022
[2] https://www.newswise.com/articles/10-year-study-shows-elevated-suicide-risk-from-excess-social-media-time-for-teen-girls
[3] Sally Haslanger, Social Justice, Culture and Law, 26 Mei 2022.
[4] https://www.uu.nl/en/research/transdisciplinary-field-guide/get-started/why-transdisciplinary-research
by Admin | 31 Oct 2022 | Publikasi Ilmiah
Oleh : Imam Malik Riduan (Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon; Kandidat Doktor pada School of Social Sciences Western Syndney University, Australia)
ISIF CIREBON – Agama memiliki kapasitas untuk tampil sebagai salah satu jalan keluar bagi persoalan dunia. Pesan itulah yang tampaknya ingin disampaikan oleh forum agamawan R20 (Religion of Twenty) pada 2-3 November 2022 di Bali.
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 memberikan dukungan penuh kepada inisiatif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf itu dengan menjadikan ajang R20 sebagai official engagement G20. Dengan demikian, presidensi G20 telah memproklamasikan agama sebagai komponen yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendesain solusi persoalan global. Dengan kata lain, beberapa saat lagi Indonesia akan menutup era peminggiran agama dari ranah publik untuk kemudian berbalik mengampanyekannya sebagai bagian dari solusi bagi tantangan global.
Ketua panitia acara ini, Ahmad Suaedy, dalam tulisannya di Kompas (22/10/2022), mengatakan, acara ini akan dihadiri oleh setidaknya 100 pemimpin agama dunia dan 200 tokoh agama dari Indonesia. Tokoh-tokoh agama itu, menurut dia, datang dari berbagai latar belakang aliran dan sekte.
Tidak seperti seminar dan konferensi serta forum-forum lain, kata Ahmad Suaedy dalam artikelnya, forum ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin agama dan sekte itu untuk melakukan refleksi tentang kekurangan dan kelebihan serta tradisi yang negatif ataupun yang positif untuk kemudian mencari jawaban bersama atas apa yang bisa dilakukan oleh agama-agama ini untuk memecahkan berbagai masalah kemanusiaan di dunia.
Melalui tulisan pendek itu, panitia R20 memberikan tiga sinyal penting agar cita-cita menjadikan agama sebagai solusi dapat terwujud. Pertama, inklusivisme. Kedua, kesadaran akan adanya persoalan dalam ekspresi keberagamaan. Ketiga, pentingnya menumbuhkan sikap-sikap reflektif untuk menggali jawaban atas solusi persoalan global dari dalam entitas agama. Untuk menjadikan tiga pesan tersebut sebuah gerakan internasional, terlebih dahulu sikap meminggirkan agama dari ranah publik haruslah diakhiri.
Agama sebagai Masalah
Agama yang diprediksi hanya akan mengisi ruang-ruang pribadi pemeluknya, setidaknya sampai awal abad ke-20 ini, masih eksis memberi pengaruh bagi kehidupan sosial. Para pemikir terkemuka, seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Freudm berpendapat bahwa pengaruh agama secara bertahap akan memudar seiring dengan gelombang sekularisasi akibat masifnya rasionalisasi, birokratisasi, dan urbanisasi. Usaha-usaha meminggirkan agama telah banyak terjadi, konsensus mengenai terpinggirnya agama dari ruang publik sampai saat ini tidak terbukti.
Sayangnya, kini agama lebih dikenal sebagai entitas yang menghambat laju modernisasi. Sikap konservatif kelompok-kelompok agama dianggap sebagai tantangan bagi kemajuan dunia. Secara sangat mengejutkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan jujur mengakui hal tersebut. Pengakuan itulah yang kiranya menjadi kata kunci yang dapat kita gunakan untuk membedah logika R20.
Untuk lebih jelasnya penulis, secara verbatim, akan mengingatkan apa yang telah dikatakan oleh Ahmad Suaedy yang mengutip statement Gus Yahya sebagai inisiator R20 dalam tulisannya di media ini. ”KH Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan keterlibatan langsung agama … Ini bukan karena agama punya jawaban terhadap isu-isu tersebut, melainkan justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu sendiri yang selama ini coba dihindari untuk dibicarakan dan dicari pemecahannya.”
Secara jujur, inisiator R20 insaf bahwa agama telah menjadi bagian dari persoalan yang ingin dicarikan solusi. Mengenai posisi agama atas persoalan global telah menjadi perdebatan yang panjang. Juergensmeyer (2004) dalam Is Religion the Problem? menggambarkan terjadinya perubahan imajinasi terhadap agama, dalam hal ini Islam, sejak tragedi 9/11.
Bayangan tentang agama yang sederhana dan membawa ketenangan telah digantikan oleh gambaran agama yang politis, bahkan dalam hal-hal tertentu sangat dekat dengan kekerasan. Apakah kini topeng agama telah terkuak dan yang tampak adalah wajah aslinya, atau sebenarnya agama hanyalah korban? Demikian pertanyaan yang dilontarkan Director of Global and International Studies at the University of California, Santa Barbara, itu. Sayangnya, pertanyaan kritis itu sampai saat ini belum menemukan jawabannya.
Senyatanya kita bisa beranjak meninggalkan perdebatan mengenai posisi agama dan menjadikan kedua pertanyaan yang dilontarkan oleh Juergensmeyer sebagai titik tolak untuk memberikan kontribusi kepada kemajuan dunia. Gus Yahya sebagai pemimpin organisasi Islam dengan pengikut terbanyak di dunia ini memilih berangkat dari fakta adanya kelompok agama tertentu yang menggunakan idiom-idiom agama untuk menyulut api perlawanan terhadap narasi pembangunan global.
Sejatinya penulis tidak terlalu sepakat dengan titik dari mana Gus Yahya bertolak. Namun, kesadaran untuk mengakui adanya persoalan dan semangat untuk menjadi bagian dari solusi dari seorang tokoh sebesar Gus Yahya harus diapresiasi. Gagasan ini tentu tidak lahir dari pikiran politis semata tanpa didasari perenungan yang mendalam.
Cara Kaum Beragama Memecahkan Masalah
Agama saat ini lebih sering dianggap hanya sebagai sumber legitimasi, baik oleh kelompok yang mendukung maupun menentang arus global. Agama dalam sejarahnya telah secara unik memiliki fungsi ganda, menjadi justifikasi bagi gerakan progresif, dan pada saat yang sama menjadi sumber legitimasi bagi terjadinya kekacauan.
Studi yang dilakukan oleh Omelicheva dari Departemen Ilmu Politik Universitas Kansas berargumen bahwa sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam (baca agama) memanifestasikan dirinya melalui wacana-wacana, yang tidak hanya memberikan kejelasan pada praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol dan regulasi sosial. Karena itu, tidak berlebihan jika ketua panitia R20 menyebut forum R20 ini sebagai jalur pacu (runway) untuk keberhasilan presidensi G20 tahun 2022 di Indonesia.
Agama sudah saatnya untuk tidak merasa puas hanya dengan menjadi tukang stempel. Agama harus sudah mulai mencari jalan keluar atas persoalan global dari khazanah yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana cara komunitas beragama mencari solusi?
Salah satu pembeda antara kaum beragama dan kelompok lainnya dalam mencari solusi atas permasalahan mereka adalah pada pelibatan Tuhan. Kelompok beragama selalu melibatkan Tuhan, dalam kadarnya masing-masing, dalam setiap langkah yang mereka ambil. Penulis belum menemukan hasil penelitian dalam konteks Indonesia mengenai hal ini.
Laporan sebuah penelitian yang melibatkan 197 jemaah gereja di Midwestern Amerika serikat memberikan clue kepada kita mengenai pelibatan Tuhan dalam usaha seorang beragama. Peneliti, Keneth I dan tim, memaparkan ada tiga model pelibatan Tuhan dalam kegiatan penganut agama saat menyelesaikan masalahnya. Ketiganya secara berurutan adalah self directing, deferring, dan collaborative.
Kelompok pertama, self-directing, teridentifikasi sebagai orang-orang yang menganggap Tuhan telah memberikan karunia berupa kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan kebebasan memilih solusi apa yang seharusnya mereka ambil. Untuk itu, bagi seorang religius yang masuk kategori ini, Tuhan tidak berperan secara langsung dalam proses pemecahan masalah (problem solving).
Orang dengan tipe kedua akan menunggu Tuhan memberikan petunjuk sebelum mereka mengambil sikap untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka menganggap Tuhan adalah sumber solusi, karena itu menunggu tanda-tanda dari Tuhan sebelum bereaksi atas apa pun adalah sikap paling religius menurut mereka.
Kemudian kelompok ketiga, collaborative, memilih memosisikan Tuhan sebagai partner dalam hidup. Orang-orang yang masuk pada kategori ini mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kami dan memberikan kekuatan.”
Penulis tidak berani menerka-nerka model manakah yang akan dipakai pada perhelatan yang anti-mainstream itu. Bisa jadi R20 akan memunculkan kategori keempat yang belum pernah ada. Di luar semua kategori itu, mengamati cara para pemuka agama menyelesaikan masalah tetaplah sesuatu yang menarik. Apalagi, acara ini disediakan sebagai landasan pacu untuk presidensi G20 yang motonya adalah ”Recover Together, Recover Stronger”.
Tidak ada Kelompok yang Tertinggal
Terlepas di mana Tuhan diposisikan oleh agamawan R20 di Bali nanti, inklusivisme tetaplah harus diupayakan. Seperti yang juga ditulis oleh Suaedy, inisiatif R20 tidak bisa dilepaskan dari pengalaman Nahdlatul Ulama yang keluar dari kedua mainstream cara pandang relasi agama dan negara. Menurut Suaedy, NU bukanlah organisasi masyarakat eksklusif yang memaksakan doktrin agama, juga bukan ormas yang selalu bersepakat dengan skenario sekularisasi. Klaim ini akan diuji dalam mekanisme kerja R20 dalam proses mengambil keputusan.
Disadari atau tidak, arus sekularisasi telah meminggirkan sebagian masyarakat beragama. Munculnya istilah kelompok radikal atau ekstremis dalam diskursus relasi agama dan negara adalah bukti adanya kelompok masyarakat yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh pengusung sekularisme.
Panitia R20 tidak boleh membiarkan ada kelompok yang tertinggal, seekstrem apa pun cara pandangnya, dalam membicarakan agama dan persoalan global. Sejauh apa pun perbedaan cara pandang kelompok yang dianggap radikal, mereka tetaplah komunitas yang memiliki hak bersuara dalam perbincangan mengenai agama. Pelibatan kelompok ekstrem dalam menyusun konsensus R20 akan menjadi salah satu kunci bagi kesuksesan NU untuk terus menjadi aktor pengubah peradaban. []
Sumber : tulisan telah dimuat pada 30 Oktober 2022 di Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menguji-inklusivisme-agamawan-r20
by Admin | 8 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(sumber foto: jabar.nu.or.id)
Oleh : Ahmad Kamali Hairo (Alumni Pesantren Winong dan Direktur LADADI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)
Rasa nasionalisme adalah sikap kebangsaan atau cinta tanah air suatu bangsa yang tumbuh karena cinta terhadap bumi kelahirannya. Terusirnya kolonialisme-kolonialisme yang bercokol menjajah bangsa Indonesia, tidak lain karena tumbuhnya kekuatan rasa nasionalisme bangsa Indonesia untuk melepaskan diri mereka dari sistem perbudakan kemanusian itu.
Para pejuang Indonesia tanpa mengenal lelah, bahkan rela berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak lain karena begitu sangat mengakarnya rasa cinta tanah air dalam hati mereka, hingga terwujudlah simbol hubbul watol minal iman sebagai kekuatan untuk menumbuhkan nilai-nilai pendidikan toleransi pada generasi bangsa selanjutnya.
Suatu bangsa atau negara yang tidak memiliki sistem pendidikan nasionalisme akan mudah dihancurkan oleh musuh negara. Pendidikan toleransi bukan hanya sekedar simbol kecintaan terhadap tanah air, lebih dari itu yaitu sebagai simbol perlawanan terhadap sistem kolonialisme, kapitalisme, radikalisme, dan liberalisme yang dapat merusak keutuhan suatu bangsa.
Munculnya kelompok-kelompok ekstrimis di suatu negara merupakan sebuah bukti bahwa rasa nasionalisme pada benak bangsanya telah mulai menipis dan luntur. Disinilah peran penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan nasional untuk menerapkan pendidikan nasionalisme atau cinta tanah air kepada peserta didiknya melalui rumusan kurikulum yang berbasis pada Pancasila.
Dalam konteks ilmu akhlak, rasa nasionalisme atau cinta tanah air merupakan bagian dari moral, yaitu sikap setia kepada Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, sebagai salah satu wujud ketakwaan manusia selain berbakti kepada Allah, Rasul, dan orang tua. Hal itu sebagaimana yang dituliskan oleh KH. Mustahdi Hasbullah dalam kitabnya “Hey Kabeh Bocah”, yaitu:
Supaya dadi lanang sejati
Lamona wadon, wadon kang bakti
(Supaya menjadi lanang sejati,
Kalau perempuan menjadi perempuan sejati)
Bakti ing Allah lan utusane
Lan tanah air lan wong tuane
(Berbakti kepada Allag dan utusannya,
Dan tanah air serta orang tuannya)
Petikan syair di atas, menejelaskan bahwa cinta tanah air bukan hanya sekedar simbol-simbol kebangsaan, melainkan sebuah perilaku positif yang harus dimiliki oleh setiap bangsa. Dengan nasionalisme, suatu bangsa atau negara akan tetap utuh dan berjaya di atas penjajahan dunia. Perilaku nasionalisme bisa diaplikasin melalui beberapa kegiatan yang memiliki nilai edukatif bagi peningkatan daya semangat nasionalisme apapun itu bentuknya. Nilai-nilai pendidikan cinta tanah air yang dirumuskan oleh KH. Mustahdi adalah konsep nasionalisme sebagai wujud dari moral bangsa sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Hubungan Toleransi, Cinta Tanah Air dan Moral
Toleransi adalah sikap saling menghargai dalam dinamika perbedaan kehidupa manusia. Sedangkan cinta tanah air adalah sikap kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks kebangsaan. Karena nilai-nilai toleransi terwujud dari nilai-nilai cinta tanah air, begitupun dengan sebaliknya.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada dinegaranya dengan melestarikan alam dan lingkungan. Belajar dengan tekun hingga kita juga dapat ikut mengabdi dan membangun negera kita agar tidak ketinggalan dari bangsa lain. Menjaga kelastarian lingkungan, tidak memilih-milih teman, berbakti kepada nusa dan bangsa, serta kepada kedua orang tua.
Toleransi merupakan sebuah sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas , misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.
Dari beberapa uraian di atas, menegaskan bahwa sikap toleran dan sikap cinta tanah air atau nasionalisme merupakan sebuah wawasan kebangsaan yang bertitik pada sebuah moral bangsa. Jadi hubungan keduanya, bukan hanya sekedar simbol-simbol kebangsaan saja, tetapi sudah menjadi moral atau jati diri bagi sebuah bangsa itu sendiri. Karena identitas sebuah bangsa akan di akui oleh dunia, ketika bangsa itu memiliki moral bangsa.[]
by Admin | 4 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(sumber foto: laduni.id)
Oleh : Ahmad Kamali Hairo (Alumni Pesantren Winong dan Direktur LADADI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)
Allah SWT telah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Semua itu pada dasarnya agar mereka lebih saling mengenal satu sama lainnya dan saling menghargai. Karena pada dasarnya manusia di hadapan Allah SWT adalah sama dan yang membedakan di antara mereka adalah kadar ketakwaannya saja.
Ketakwaan adalah simbol kepatuhan manusia terhadap Tuhan yang telah menciptakan dimensi pluralitas alam semesta ini. Maka tidak patut bagi manusia untuk menciptakan sikap intoleransi atas nama perbedaan. Bukan tugas manusia untuk merusak tatanan pluralitas semesta, melainkan mencari titik harmonisme dalam perbedaan.
Pendidikan toleransi menjadi unsur yang sangat urgen bagi terciptanya harmonisasi keseimbangan antara kutub-kutub perbedaan yang menjadi kotak-kotak dalam menghambat komunikasi antara individu atau sekelompok manusia.
Seringkali terjadinya chaos atau kekacauan di atas muka bumi ini, ialah karena manusia sangat mis-komunikasi dalam mendalami hakikat perbedaan, baik yang menyangkut perbedaan teologi, politik, budaya, etnis, bahasa, dan sosial, serta unsur-unsur lain yang melingkari kehidupan manusia.
Pendidikan toleransi sangat relevan jika di aplikasikan dalam dunia pendidikan. Karena ia adalah kunci untuk membuka sekat-sekat kejumudan fikroh peserta didik yang cenderung melakukan bully atau tidakan kekerasan di lingkungan pendidikan atas nama perbedaan budaya dan status sosial. Hingga kalau dibiarkan tanpa ada pembinaan, mereka kelak akan menjadi generasi yang anarkis, radikalis, dan liberalis dalam menyikapi segala permasalahan manusia yang syarat akan kepluralaan dan kompleksitas.
Seperti munculnya kelompok-kelompok intoleran dan yang sejenisnya yang tumbuh dan berkembang biak di Indonesia. Gerakan mereka sangat masif dan militanisme dalam menyebarkan doktrin-doktrin anti Pancasila.
Mereka tidak memahami, bahwa kekuatan dalam menjaga persatuan dan kesatuan di Indonesia adalah asas Pancasila, yang menjadi ideologi bangsa dalam berfikir, berpolitik, beragama, dan berbudaya bangsa Indonesia di atas lingkaran pluralitas bangsa Indonesia.
Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila bukan hanya sekedar menjadi ideologi bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi peletak dasar bagi pendidikan toleransi.
Diumpamakan sebagai sebuah wadah, pendidikan toleransi adalah wadah yang sangat luas untuk menampung segala macam bentuk perbedaan yang ada dalam kehidupan manusia.
Ia adalah wadah yang mengolah perbedaan itu menjadi sebuah produk manusia yang memiliki sikap keluhuran, yaitu saling menghargai dan menyanyangi antar sesama. Jika itu terwujud dengan baik, maka pendidikan toleransi menjadi brand yang sangat mahal bagi terciptanya kedamaian dunia.
KH. Mustahdi Hasbullah adalah salah satu tokoh pendidikan moral yang berasal dari kalangan Pesantren Winong, yang sangat intens dalam mengkampanyekan arti pentingnya nilai-nilai pendidikan toleransi bagi manusia.
Pemikiran beliau tentang itu, sebagaimana yang tercantum dalam sebuah syair Jawa dalam kitabnya “Nadzam Jawen Masalah Khilafiyah” berikut ini:
Kang seneng ing adzan qomat adzanana
Kelawan neja dzikir hikmah uga ana
(Yang suka adzan dan iqomat silahkan adzan,
Dengan niat dzkir ada hikmahnya)
Malah lamun niat dzkir dadi sunah
Ing kabeh tingkah liyan qodil hajat
(Bahkan jika dengan niat dzikir, maka bisa menjadi sunah,
Pada semua perbuatan tuan hajat)
Ingkang sungkan adzan aja gawe resah
Gawe ribut kang lagi kenang susah
(Yang tidak suka adzan jangan membuat resah,
Membuat keributan pada orang yang terkena kesusahan)
Kelingana ganjarane ngirim mayit
Rong timbangan bebungah warise mayit
(Ingatlah pada pahalanya mengirim doa kepada orang mati,
Dua timbangan seperti menggembirakan ahli warisnya orang mati).
Secara tekstual, beberapa petikan teks syair jawa di atas memang tidak mendeskripsikan pada subtansi etimologi atau terminologi pendidikan toleransi. Melainkan mendeskripsikan pada makna simbolik atau falsafah tentang niai-nilai pendidikan toleransi yang terkandung dalam pembahasan khilafiyah (kontroversial) hukum mengumandangkan adzan dan iqomat di atas kuburan pada saat prosesi pemakaman jenazah.
Ada yang berpendapat hukumnya bid’ah dan ada juga yang berpendapat sunnah, sebagaimana informasi dalam kitab tersebut yang mengutip beberapa pendapat ulama, seperti dalam kitab i’anah, dan syarh al-‘ubab. Perbedaan dalam itu sangatlah wajar, mengingat orientasi masalahnya berkutat pada unsur parsilia (cabang-cabang agama), bukan pada unsur teologia (pokok agama).
Terlepas dari pro-kontra masalah tersebut, yang terpenting bagi kita (umat Islam) adalah menyikapinya dengan rasa bijaksana (moderat/moderasi beragama), tidak dengan rasa fatanisme buta atau arogansi, yaitu menghormati dan menghargai setiap indvidu atau kelompok minoritas maupun mayoritas yang melakukan adzan-iqomat di kuburan ataupun sebaliknya.
Sebagaimana titik ajaran toleransi yang terdapat dalam penggalan syair “Kang seneng ing adzan qomat adzanana (yang suka adzan-iqomat di atas kuburan silahkan melakukan) dan Ingkang sungkan adzan aja gawe resah (yang tidak suka adzan-iqomat di atas kuburan jangan membuat keresahan)”.
Sungguh estetik makna kearifan yang diajarkan oleh KH. Mustahdi Hasbullah dalam syair itu sebagai simbol dari nilai-nilai pendidikan toleransi.
Sikap ini sangat penting bagi kita untuk menciptakan harmonisasi kehidupan manusia di tengah-tengan lingkaran perbedaan pendapat yang selalu muncul setiap saat.
Tanpa sikap moderat, justru akan muncul beberapa kelompok radikalis, ekstrimis, dan liberalis yang siap mengancam harmonisasi tatanan sosial manusia. Dan pada saatnya kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara akan hancur, porak-poranda hanya karena sebab perbedaan furu’iyyah yang sangat akut, seperti yang terjadi kawasan Timur Tengah, Afrika dan sekitarnya.
Titik ajaran kearifan lain yang terdapat dalam kitab tersebut adalah saling menghargai perbedaan pendapat dalam hukum melaksanakan qunut subuh. KH. Mustahdi Hasbullah berkata tentang itu, yaitu:
Ingkang bagus ayuh kita ngenggo qunut
Lamun sungkan aja nacad wong kang qunut
(Yang bagus ayo kita menggunakan qunut,
Jika tidak suka jangan menjelek-jelekan orang yang berqunut)
Petikan syair Jawa di atas, menegaskan kembali bahwa saling menghormati, saling menyayangi dalam menyikapi perbedaan pendapat merupakan bagian dari dimensi nilai-nilai toleransi yang harus terus dipupuk dan dikembangkan dalam kehidupan manusia yang penuh dengan sisi pluralitas.
Umat Islam yang suka dengan qunut tidak boleh mencaci umat Islam lain yang tidak suka qunut, begitupun dengan sebaliknya.
Melalui qunut subuh tersebut, KH. Mustahdi Hasbullah mengajak kita untuk merayakan perbedaan pendapat dengan toleransi, bukan dengan cacian dan makian.
Selagi perbedaan itu bukan pada tataran teologia atau ushuluddin. Karena toleransi adalah spirit untuk meningkatkan vitalitas semangat kerukunan bertetangga, berbangsa, dan bernegara antar umat beragama di belahan dunia ini. []
by Admin | 3 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(Sumber foto : Duniasantri.co)
Oleh : Sofiniyah Ghufron (Sekretaris Prodi Ekonomi Syaria’ah ISIF dan Tenaga Ahli pada TP2S-Setwapres RI)
Stunting adalah kondisi dimana seorang anak mengalami kegagalan pertumbuhan dan perkembangan akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama yang mengakibatkan penyakit infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan.
Gejala anak stunting ditandai dengan tubuh berukuran pendek, kecerdasan rendah, dan resiko penyakit tidak menular (PTM). Untuk mencapai kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, pemerintah telah melakukan upaya Pencegahan percepatan stunting pada kelompok sasaran yang meliputi remaja, calon pengantin, ibu hamil dan menyusui untuk mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).
Anemia dan Dampaknya Bagi Kesehatan Remaja Putri
Masa remaja merupakan tahapan kehidupan yang sangat penting untuk menentukan kualitas kehidupan di masa yang akan datang. Indonesia, memiliki jumlah 45 juta remaja, artinya 17 % dari total populasi masyarakat Indonesia adalah remaja, dan sebagian dari mereka mengalami malnutrisi (BPS, 2020). Hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap progres SDG’S (WHO, 2014).
Namun, jika bonus demografi tidak dikelola dengan baik melalui penguatan investasi sumber daya manusia, perbaikan kualitas gizi maka sebaliknya akan menjadi beban yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depan.
Remaja Indonesia perkotaan cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, baik berupa makanan cepat saji maupun makanan yang sedang trend, yang secara nutrisi memiliki resiko kurang tepat dan tidak baik bagi kesehatan.
Data Riskesda tahun 2013 bahwa penduduk ≥ 10 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur cukup banyak yaitu sekitar 96,4% dan remaja adalah kelompok tertinggi yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur yaitu sebesar 98, 4%.
Gizi seimbang adalah susunan pola hidangan dalam sehari yang memenuhi zat gizi. Permasalahan gizi yang terbesar itu ada tiga kasus, di antaranya :
Pertama, anemia, kasus anemia sangat menonjol pada anak-anak sekolah terutama remaja putri. Remaja putri berisiko tinggi menderita anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat adanya pertumbuhan dan menstruasi, biasanya untuk remaja putri yang mengalami menstruasi tentunya mereka akan kehilangan banyak darah setiap bulannya, itu harus diimbangi dengan asupan gizi yang adekuat.
Kedua, yaitu kasus kurang gizi, faktor ini bisa terjadi karena asupan gizi yang kurang serta faktor ekonomi. Kasus yang ketiga yaitu kegemukan, banyak faktor yang menyebabkan kegemukan seperti kurang aktivitas, kurang asupan serat, terbiasa mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan garam.
Kekurangan zat besi (anemi) memberikan kontribusi hingga 20 % terhadap semua kematian pada kehamilan, dan juga terkait erat dengan kejadian stunting. Salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia adalah rendahnya asupan zat besi. Aulakh R (2016), menyebutkan bahwa anemia pada remaja dapat menghambat perkembangan psikomotorik, merusak kinerja kognitif dan kinerja skolastik.
Oleh karena itu masalah anemia harus dicegah dan diatasi ketika masih remaja karena remaja nantinya akan menjadi ibu hamil. Memberikan nutrisi yang baik pada saat seorang ibu hamil karena akan berdampak secara permanen pada pembentukan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan serta metabolisme glukosa, lipid, protein hormon/receptor/gen.
Secara jangka panjang pembentukan otak yang tidak sempurna akan mempengaruhi kecerdasan kognitif dan prestasi belajar. Sedangkan pertumbuhan massa tubuh yang tidak sesuai usia akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Dan lambatnya metabolisme glukosa akan berdampak timbulnya penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, jantung, dan hipertensi.
Pentingnya Konsumsi Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri di Pondok Pesantren bagi Percepatan Penurunan Stunting
Pesantren merupakan tatanan/lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Jumlah pesantren yang mencapai 27.222 pesantren dan jumlah santri sebanyak 4.174.146 orang (Data Pondok Pesantren, Kementerian Agama, 2020).
Santri adalah anak-anak atau remaja yang menurut Permenkes No. 25 Tahun 2014, adalah mereka yang berada pada masa transisi dari anak-anak ke dewasa di usia sekitar 10 – 18 tahun dimana pada umur tersebut terjadi masa pubertas yang mengalami banyak perubahan baik perubahan bentuk tubuh, organ vital serta emosi.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pesantren khusunya santri puteri, pesantren memiliki peran strategis dengan membuat kebijakan berwawasan kesehatan di lingkungan pesantren. Implementasi kebijakan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pesantren (PHBS). PHBS juga merupakan cara mencegah timbulnya penyakit menular maupun tidak menular.
Berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan RI No. 2269/ Menkes/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan PHBS, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
Secara umum ada tujuh indikator PHBS di Pesantren yang ditetapkan, yaitu: (1) Mencuci tangan menggunakan sabun, (2). Mengonsumsi makanan dan minuman sehat, (3). Menggunakan jamban sehat, (4). Membuang sampah di tempat sampah, (5). Tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), (6). Tidak meludah disembarang tempat, (7) Memberantas jentik nyamuk dan lain-lain dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.
Menurut WHO (2011), satu dari tiga perempuan yang tidak hamil pada hampir 500 juta orang, perempuan mengalami anemia yang karena pemasukan zat besi tidak mencukupi. Remaja puteri sangat rentan kekurangan zat besi karena menstruasi, pertumbuhan yang cepat dan peningkatan zat besi jaringan.
Terkait dengan peningkatan kualitas nutrisi para santri khususnya santriwati, yang memiliki resiko mengalami anemia, Pesantren dapat membuat kebijakan penyediaan makanan yang sehat dengan gizi seimbang, menyediakan kantin dan dapur sehat, larangan jajan makanan yang mengandung pengawet, zat pewarna dan tidak hygienis serta memberikan penyuluhan bagi pedagang makanan atau warung tentang pentingnya makanan sehat.
Di samping implemetasi PHBS, pesantren perlu menjalin kerjasama strategis dengan mitra potensial untuk mendukung terwujudnya pesantren sehat, salah satunya dengan Puskesmas. Dalam Percepatan penurunan stunting, pesantren dapat berkoordinasi dengan Puskesmas dalam penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD) bagi santriwati (remaja putri) untuk mencegah terjadinya anemia yang sering dialami oleh para santri putri.
Pemberian TTD merupakan cara yang efektif untuk mengatasi anemia apabila dikonsumsi secara rutin akan terjadi peningkatan kadar HB. Menurut penelitian Falkingham et.,al (2010) menyebutkan bahwa konsumsi TTD dapat meningkatkan konsentrasi pada perempuan dan remaja serta meningkatkan IQ pada penderita anemia. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka beresiko dan berdampak pada kesehatan remaja di masa yang akan datang salah satunya adalah melahirkan anak stunting. []