by admin | 12 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Finalitas ini ditetapkan sejak 37 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, tidak diperlukan lagi mencari dasar negara lain selain Pancasila. Pun, tidak diperlukan bereksperimen lagi pada bentuk negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara prinsipal, dalam pandangan NU, negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan, dalam bacaan saya, NU memandang negara Pancasila adalah bentuk lain dari negara Islam. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara Islam itu sendiri. Seperti diketahui bahwa secara sosio-politik, negara Islam tidak pernah tunggal dan monolitik, tidak pula universal dalam bentuk yang seragam.
Negara Islam itu bukan nama suatu negara, bukan simbol kenegaraan, atau bukan pula bentuk suatu pemerintahan. Suatu negara bisa disebut negara Islam apabila memenuhi suatu takaran substansi dan tata nilai prinsipal tertentu. Imam Abu Hanifah (80-150 H), misalnya, membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam di suatu negara merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam dalam suatu negara, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.
Dengan kriteria tersebut, jelaslah bahwa negara Pancasila adalah dâr al-Islâm. Umat Islam di Indonesia tidak saja aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan untuk beberapa hal umat Islam sangat diistimewakan. Misalnya, umat Islam punya jalur pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Meskipun labelnya “agama,” tetapi hakim, panitera, pegawai, dan orang-orang yang berperkara di pengadilan itu hanya untuk orang Islam. Sejumlah UU juga hanya ditujukan untuk umat Islam. Sebut saja, misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Meski tidak semua diatur dalam bentuk legal, umat Islam di Indonesia secara umum memiliki kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya, dijamin dan dilindungi secara konstitusional oleh UUD 1945. Oleh karena itu, perbincangan fundamental bangunan negara Indonesia, bagi NU, sudah titik (bukan koma atau titik koma lagi). Sebagai kesepakatan bersama, Indonesia telah berdiri tegak dan kokoh lebih dari 70 tahun meski serangan dan gugatan ideologis berkali-kali dilancarkan. Itulah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersemboyankan Bineka Tunggal Ika. Oleh MPR, fundamental negara ini disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini, oleh warga NU sering disingkat menjadi PBNU, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Yang menarik dari narasi NU tentang Pancasila ini, NU menyelesaikannya bukan dengan pendekatan sosial politik semata, melainkan juga dengan pendekatan keagamaan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fikih, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, tasâmuh, dan i’tidâl merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.
Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya pada pemikiran keagamaan. Apa yang dilakukan NU sesungguhnya adalah jawaban sejarah atas gugatan-gugatan ideologis dari kaum Islamis yang masih mendambakan negara Islam di bumi Indonesia ini. Apa yang dirumuskan NU juga pada dasarnya adalah jawaban teologis atas kegalauan kaum Islamis yang memberontak pada masa lalu bertujuan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Jika kita menggunakan nalar keagamaan ala NU, maka secara paradigmatik relasi agama dan negara telah selesai dan tuntas. Tentu tidak serta merta semua problem kenegaraan dan kebangsaan lalu tidak ada sama sekali. Finalitas ini hanya pada tataran fundamental yang bersifat paradigmatik dan ideologis. Dalam ruang-ruang praksis dan operasional tentu banyak hal yang masih harus dibenahi. Korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, gizi buruk, pendidikan, dan kerusakan alam adalah hal-hal yang harus terus diperbaiki. Namun, janganlah ada tikus di suatu rumah yang sudah kokoh, lalu rumahnya dibakar hanya untuk mengusir tikus.
Pancasila Digugat
Namun, seiring dengan derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang muaranya adalah mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan negara Islam atau khilâfah Islâmiyyah.
Akhirnya kita mencatat, dalam dua dekade terakhir ini, diskursus Pancasila kembali menjadi trending topic. Bukan karena rutinitas tahunan peringatan hari lahir atau hari kesaktian Pancasila, namun karena situasi kebangsaan yang memicunya. Masih hangat dalam ingatan kita, sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, ketika euphoria demokrasi menjangkiti kaum politisi kita, secara beruntun gugatan demi gugatan terhadap Pancasila dan NKRI terus menyeruak. Menariknya, gugatan ini bukan dilakukan oleh kaum komunis atau DI/TII sebagaimana terjadi di masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara sendiri dan organisasi yang sah dalam negara Pancasila. Lebih unik lagi, gugatan ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional dan atas nama demokrasi. Tidak sedikit para penyelenggara negara, baik di lembaga tinggi, pemerintahan, maupun lembaga tertinggi negara, menjadi otak intelektual dan sponsornya.
Kita masih ingat betul bagaimana kelompok Islamis secara konstitusional dalam ruang demokrasi kembali beraksi menggugat Pancasila dan UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket amandemen UUD 1945. Sebelumnya, gugatan ideologis dilakukan pada sidang Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959 dan Sidang Umum MPRS tahun 1966–1968. Ironisnya, semua gugatan ideologis ini dilakukan secara legal konstitusional di bawah lindungan demokrasi Pancasila untuk menggantikan Pancasila dan mengubah UUD 1945 itu sendiri.
Jelaslah gagal, karena kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam masih cukup kuat, baik dalam barisan Parlemen maupun dalam gugusan masyarakat Nusantara. Meskipun gagal, mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan formalisasi syari’at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi Pancasila itu sendiri. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas.
Meski mengutuk demokrasi dan memandang negara Pancasila sebagai thoghut, tetapi sebagian kelompok Islamis itu hidup dan berkembang di bawah payung demokrasi dan ideologi Pancasila. Sebagian mereka menjadi Parpol yang ikut Pemilu dan bahkan kader-kadernya masuk ke dalam barisan parlemen, jajaran pemerintahan, dan pasukan kepolisian/tentara. Sebagian lagi tetap menjadi Ormas dan gerakan ekstra-parlementer yang menjadikan gerakan politik sebagai strategi utama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh mutakhir yang bisa dikemukakan. Dia hidup dalam alam demokrasi yang diharamkan sendiri, berkembang dalam negara Pancasila yang di-thoghut-kan sendiri, tetapi strategi perjuangannya jelas dan tetap konsisten mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah Islamiyyah.
Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dewasa ini mutlak dilakukan. Tidak saja oleh negara, pihak yang paling bertanggungjawab, tetapi juga oleh masyarakat sipil (civil society). Perlu dicari cara dan pola baru untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan cara indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses ilmiah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam hati sanubari warga negara.
Dari Ideologi ke Praksis
Indonesia zaman now tentu berbeda dengan Indonesia zaman old. PKI dan HTI sudah dibubarkan. DI/TII dan Permesta sudah ditumpas. Aktor-aktor utamanya sudah dipenjarakan. Namun, paham, gagasan, dan ideologinya tidak pernah bisa dibunuh dan dikuburkan. Kita tidak mungkin bisa melarang dan menghukum pikiran, gagasan, keyakinan, dan ideologi yang bersemayam dalam otak dan sanubari seseorang. Sehingga, kemungkinan akan reinkarnasi, bangkit kembali, memberontak, dan menyerang kembali Pancasila dan UUD 1945 sangat bisa dipahami. Karena, ideologi itu tidak pernah mati, terus hidup, berkembang, mencari simpati, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya mewujud menjadi gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan budaya, hingga menjadi gerakan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini semua sangat mungkin terjadi. Kewaspadaan untuk ini tidak boleh hilang.
Akan tetapi, harus disadari bahwa tantangan Indonesia ke depan sangat kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri, baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional dan global. Arus besar globalisasi, pasar bebas, radikalisme, terorisme, narkoba, dan transmisi ideologi transnasional adalah sebagian isu global dan regional yang menjadi tantangan, sedang dan akan terus memengaruhi Indonesia ke depan. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perusakan alam, dan ketidakmerataan kesejahteraan adalah tantangan nyata dari dalam negeri yang terus akan menggugat peran dan fungsi Pancasila, bahkan hingga keberadaannya. Tantangan Pancasila hari ini bukan soal ideologi an sich, sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi yang paling memengaruhi gerakan massa adalah tantangan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan yang sehari-hari menyatu dalam kehidupan warga negara.
Ini tantangan nyata yang sangat dirasakan dan dialami oleh semua warga negara. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, kondisi ini akan berubah menjadi gerakan politik dan ideologi yang akan merongrong peran dan keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang gerakan ideologi yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sehari-hari warga negara. Ingat, Presiden Soeharto yang telah membangun kekuasaan lebih dari 30 tahun jatuh bukan karena ideologi non-Pancasila, tetapi karena kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sehari-hari dirasakan warga negara.
Dengan demikian, kehadiran Pancasila dengan pola, cara, dan pendekatan baru sangat niscaya. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk menurunkan Pancasila dari ideologi menjadi praksis gerakan sosial. Pancasila bukan sekadar ideologi negara yang singgah dalam jantung pemerintahan, melainkan yang terpenting harus menancap dalam hati sanubari bangsa Indonesia menjadi pandangan hidup (way of life). Yakni, pandangan hidup yang operasional menyentuh realitas sosial yang terus berubah dan realitas kehidupan yang dialami langsung oleh warga negara Indonesia. Pandangan hidup yang kontekstual dan dinamis merespons perubahan-perubahan yang terus terjadi, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar yang tetap (tsawabit, kulliyyât).
Pancasila juga harus hadir menjadi pegangan nilai bagi warga negara dalam menghadapi setiap masalah kehidupan dan tantangan-tantangan baru, baik dari ruang global, regional, maupun nasional dan lokal. Bukan sekadar tampil secara ideologis, melainkan Pancasila hari ini harus merespons dan menjawab tantangan-tantangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.
Dalam merespons tantangan yang kompleks itu, Pancasila harus tampil tidak semata-mata sebagai ideologi yang melangit (utopis), melainkan harus metamorfosis menjadi gerakan sosial, gerakan politik, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan dalam secara sistematis mewujudkan khittah-nya, yakni khittah Pancasila. Menurunkan ideologi ke dalam praksis sosial yang membebaskan adalah tantangan tersendiri dalam menerjemahkan Pancasila hari ini.
Dengan sejumlah tantangan di sekelilingnya, di hadapannya, dan di belakangnya, Pancasila harus mampu menjadi inspirasi gerakan sosial bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan persatuan Indonesia, yang didasari dengan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut berpedoman pada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Walhasil, kita—terutama negara—harus bisa menghadirkan Pancasila dalam ruang nyata kewarganegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang ada dalam kehidupan Indonesia. Wujud kehadiran itu adalah keberpihakan dan pembelaannya melalui kebijakan, perhatian, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang secara nyata mampu mengubahnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari ini, kita perlu menemukan kembali (reinventing) “khittah Pancasila.” Sejak Pancasila lahir, dia memiliki khittahnya. Khittah ini penting, karena khittah adalah tonggak garis perjuangan dan landasan dasar Pancasila ini ada. “Khittah Pancasila,” menurut saya, berada dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya yang melekat dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilâhiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-ra’iyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Lima nilai dan prinsip dasar ini merupakan satu keutuhan yang tak terpisahkan (five in one) dalam sistem nilai Pancasila. []
by admin | 9 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah kampus atau lembaga pendidikan tinggi Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial kemanusiaan Fahmina-institute. Kampus ini berdiri di atas dasar aspirasi publik yang mengemuka pada saat peringatan 7 tahun Fahmina dan hasil ‘ijtihad’ para pendiri Fahmina sendiri pada tahun 2007 yang lalu.
Atas dukungan banyak pihak, kampus progresif ini tampak terus tumbuh, mengembangkan, dan memantapkan langkah-langkah akademiknya. Tiga pilar (tri dharma) perguruan tinggi –pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat– terus ditancapkan hingga ke akar bumi, sementara buah akademiknya terus menggelayut ke atap langit, membangun peradaban Indonesia yang adil, setara, humanis, dan unggul.
Membedakan ISIF
Penting dicatat, perbedaan mendasar ISIF dengan PTAI lainnya adalah struktur dan substansi kurikulumnya. Dalam konteks itu, ISIF menempatkan keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-basyariyah), lokalitas (al-‘adah), dan kebhinekaan (at-ta’addudiyyah) sebagai perspektif atau paradigma untuk studi keislaman, baik bagi mahasiswa maupun dosennya.
Pada semester pertama, mahasiswa ISIF memperoleh mata kuliah studi gender, studi HAM, studi demokrasi, studi pluralisme, studi kebudayaan lokal, dan studi gerakan sosial, sesuatu yang jarang ditemukan dari kurikulum PTKI manapun.
Setelah rumpun mata kuliah perspektif ini, mahasiswa ISIF pada semester kedua memperoleh rumpun mata kuliah metodologi dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan ‘kebenaran’. Di antara metodologi yang diberikan adalah metodologi penelitian kualitatif, metodologi penelitian kuantitatif, metodologi penelitian aksi partisipatoris, analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, serta belajar dan hidup bersama masyarakat. Harapannya, mahasiswa ISIF sejak dini memiliki kemampuan metodologis untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis realitas sosial, realitas sejarah, teks, dan realitas budaya.
Pada semester ketiga, ISIF menawarkan rumpun mata kuliah “studi pengantar ilmu-ilmu keislaman.” Di antaranya adalah studi pengantar al-Our’an, studi pengantar al-Hadits, studi pengantar kalam, studi pengantar hukum Islam, studi pengantar tasawuf, dan studi pengantar ushul figh. Sejak semester ini, mahasiswa ISIF mulai memasuki bidang studi Islam, dari studi pengantar hingga ke substansi yang mendalam, kepakaran, dan mata kuliah pilihan profesi pada semester ketujuh dan kuartal.
Posisi Epistemologi Islam
Ditilik dari kurikulum ini saja, ISIF tampak berbeda dengan PTKI lainnya. ISIF mengambil posisi yang jelas antara keislaman, sejarah kemanusiaan, dan realitas sosial yang terus berubah. Tiga hal itu diposisikan ISIF hampir sama dengan konsep trinitas dalam pemahaman Kristiani,
Moto ISIF tegas, yakni memadukan teori, praktik, dan transformasi sosial berbasis tradisi intelektualisme Islam-pesantren. Mengapa intelektualisme Islam-pesantren? Harus diakui bahwa pesantren adalah pranata sosial Indonesia yang sangat kaya dan kuat dengan tradisi pemikiran dan akademik.
Dalam tradisi akademik pesantren, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah hal yang biasa, lumrah terjadi, dihargai, dan menjadi bagian dari ruh kehidupan. Pesantren juga kuat dengan ikatan tradisi, menyatu dengan kebudayaan di mana ia bersamanya, serta mampu hidup dalam kebhinekaan, tanpa bertendensi menundukkan dan menyeragamkannya.
Sesuai dengan motonya, ISIF hendak menghasilkan intelektual organik (organic intellectuals), yakni sarjana Islam yang menggali pengetahuan lokal (local knowledge) dari pengalaman kehidupan masyarakat, dan menggunakan pengetahuan itu untuk melakukan perubahan dan memecahkan problematika sosial bersama masyarakatnya.
Dalam bahasa lain, sarjana Islam yang hendak dihasilkan ISIF adalah sarjana yang memiliki jiwa kenabian (profetik), yakni menjadikan ilmu pengetahuannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mereka alami. Dalam keyakinan epistemologi ISIF, ilmu bukan untuk ilmu, melainkan ilmu untuk transformasi sosial demi kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (wisdom) di muka bumi.
Sikap terhadap Masa Lalu
Selain teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits, ISIF juga melakukan studi realitas keislaman masa lalu, sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga masa sekarang. Kecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, semuanya dipandang ISIF sebagai realitas sosial budaya yang tidak mutlak, karena realitas itu lahir dari rahim peradaban suatu tempat dan saat tertentu yang diliputi dengan subyektifitas dan faktor-faktor spesifik yang melatarinya. Kecuali wahyu, tidak ada yang universal dan langgeng, semuanya bisa ber(di)ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Inilah asas fleksibilitas (murunah) dalam pemahaman keislaman.
Islam masa lalu diposisikan ISIF sebagai bahan baku yang sangat kaya dan penting untuk merajut masa kini. Diperlukan kontekstualisasi, transformasi, dan pribumisasi masa lalu untuk dapat digunakan ke dalam masa kini. Masa lalu tidak bisa di-copy paste begitu saja untuk menjustifikasi masa kini, apalagi untuk masa yang akan datang.
Islam yang ingin dihadirkan ISIF adalah Islam-Indonesia dengan seluruh dasar ideologi dan kebudayaannya hari ini, bukan Islam-Arab, bukan Islam-Timur Tengah, dan bukan pula Islam-Barat. Islam-Indonesia adalah Islam yang menyatu dengan wajah, karakter, dan perilaku keindonesiaan, dengan seluruh kebudayaan, tradisi, dan nalar sosial politiknya.
Untuk menghadirkan Islam-Indonesia hari ini dibutuhkan penguasaan yang mendalam secara bersamaan terhadap pengetahuan Islam masa lalu (at-turats al-Islamiy), pengetahuan Barat (at-turats al-gharbiy) yang menguasai dunia hari ini, dan pengetahuan kebudayaan Indonesia (al-hadlarah al-indunisiyyah), bumi kita berpijak. Segi tiga bangunan pengetahuan dan peradaban ini adalah soko guru keilmuan ISIF.
Islam yang Dicita-citakan
Sebagai lembaga studi Islam, ISIF tentu memiliki bangunan Islam yang dicita-citakan. Islam dalam pandangan ISIF adalah instrumen Allah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat di muka bumi. Islam hadir untuk menjadi rahmat (cinta-kasih) bagi seluruh makhluk-Nya. Jangkauan Islam bukan hanya manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh benda-benda alam lainnya. Semuanya menjadi perhatian Islam sebagai keseimbangan ekosistem.
Dalam posisi ini jelas bahwa Islam adalah keadilan bagi seluruh hamba-Nya, rahmat bagi seluruh ciptaan-Nya, dan pelindung bagi seluruh perbedaan dan keragaman di muka bumi ini. Islam adalah agama keadilan, agama kesetaraan, agama kemaslahatan, agama kedamaian, agama cinta kasih, dan agama pelindung kebhinekaan.
Dengan demikian, adalah pengkerdilan besar-besaran, apabila Islam dipahami hanya untuk umat Islam saja, diidentikkan dengan Arabisme, lalu memusuhi selain Islam, memberantas tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan Arabisme. Islam juga bukan kendaraan politik yang dapat ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan penganutnya.
Sebaliknya, Islam hadir untuk semuanya, untuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun gender dan jenis kelaminnya, apapun orientasi seksualnya, dan apapun warna kulitnya berada dalam naungan rahmat Islam. Semuanya sama dan setara di hadapan Islam. Pembeda mereka di hadapan Allah hanyalah amal perbuatan dan ketakwaannya. Inna akramakum ‘inda Allahi atqokum.
Gerbang Pembaruan
Mencermati kerangka filosofis, paradigmatik, epistemologi, dan kurikulum studi Islam ISIF di atas, kami memiliki obsesi dan optimisme besar akan lahirnya para pembaru Islam dari Cirebon. Obsesi dan optimisme ini sangat berdasar. Di mana-mana, pembaruan selalu dimulai dari kebebasan berpikir, kemudian adanya ruang kebebasan mimbar akademik, dan adanya ruang/ media/fasilitasi untuk menuangkan gagasan-gagasan pembaruan tersebut.
Sejak kelahirannya, ISIF telah menyediakan tiga adegan tersebut. Dasar-dasar berpikir kritis, kebebasan berpikir, penguasaan bahan baku keislaman, semangat perubahan, serta ruang kebebasan mimbar akademik dan media ekspresi pembaruan telah disediakan.
Dengan demikian, pembaruan pangkalan-pangkalan sudah dilakukan oleh para founding fathers/mothers Fahmina. Kami telah menulis sejumlah buku, mulai menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan, membukakan gerbang lebar bagi gerakan pembaruan lanjutan yang lebih luas dan simultan, dan menyediakan media yang mendukung bagi persemaian gagasan-gagasan pembaruan.
Kini saatnya, civitas akademika (dosen dan mahasiswa) ISIF terus berijtihad (berpikir bebas) dan bekerja keras mengubah dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis-transformatif yang digali dari sumber-sumber keislaman dan kekayaan budaya tradisi sendiri.
Ingatlah: perubahan sosial tanpa perubahan ide cerdas ibarat rumah laba-laba, dan ide cerdas tanpa perubahan sosial ibarat busa. Wallahu A’lam bish Shawab.
— Artikel ini telah terbit secara cetak di Majalah LATAR ISIF Edisi 1 no. 1 Tahun 2011.
by admin | 21 Sep 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Sejak saya diberi amanah oleh Yayasan Fahmina sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) pada tahun 2021, saya mendeklarasikan ISIF sebagai Kampus Transformatif. Tepatnya, kampus transformatif untuk keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.
Tidak hanya itu, saya juga menetapkan visi ISIF untuk menjadi pendidikan tinggi keagamaan unggul dalam riset Islam, gender, dan transformasi sosial pada tahun 2036.
Tekad ini sebetulnya tidak terlalu berlebihan jika menimbang pengalaman Fahmina-institute yang telah bergelut sebelumnya dalam aktivitas intelektualisme, gerakan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah buku hasil kajian dan riset telah diterbitkan. Sejumlah komunitas sosial di berbagai daerah didampingi dan diberdayakan. Sejumlah kebijakan publik diadvokasi. Kerjasama program dilakukan dengan lembaga tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Deklarasi Kampus Transformatif bagi saya mencerminkan ruh pemikiran dan gerakan Fahmina yang selama ditancapkan dalam pengalaman sosial. ISIF –yang didirikan Yayasan Fahmina– harus menjadi titik berangkat dan restorasi akademik dari cita peradaban Yayasan Fahmina. Yakni, peradaban umat manusia yang adil dan bermartabat berbasis tradisi kritis Pesantren. Sarjana ISIF yang dihasilkan harus menjadi bengkel peradabannya.
Tulisan berikut hendak mengelaborasi gagasan dan implementasi Kampus Transformatif yang telah saya canangkan. Tentu saja, tulisan ini baru sebatas pokok-pokok pikiran utama yang masih membutuhkan elaborasi yang lebih operasional dan aplikatif.
Makna Kampus Transformatif
Secara leksikal, menurut KBBI, transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi juga mengandung arti perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.
Dengan demikian, Kampus Transformatif bermakna kampus yang berorientasi pada perubahan, baik perubahan mindset, sikap, dan perilaku civitas akademika, maupun perubahan masyarakat yang menjadi muara dari kehidupan kampus.
Secara tegas, kampus transformatif yang dimaksud adalah kampus yang membawa visi dan misi perubahan sistemik struktural relasional dalam kehidupan masyarakat untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian bagi semesta.
Mandat Sejarah
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang didirikan oleh Fahmina pada 1 September 2007 atas permintaan masyarakat yang disampaikan pada resepsi ulang tahun Fahmina-institute ketujuh pada tahun 2007 di Cirebon.
Fahmina adalah NGO (organisasi non-pemerintah) yang didirikan pada November 2000 di Cirebon yang bertujuan mewujudkan peradaban manusia yang bermartabat dan berkeadilan berbasis kesadaran kritis tradisi pesantren.
ISIF didirikan untuk menopang cita sosial perjuangan Fahmina, dengan cara: pertama, menghasilkan sarjana Islam yang berintegritas, humanis, adil, dan transformatif, yang disingkat Sarjana Islam BERHATI. Yakni, sarjana Islam yang berperspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebinekaan, dan kearifan lokal dalam pengetahuan holistik keislaman yang transformatif.
Paradigma Koneksi Sinergis
Sebagai implementasi dari pilihan kampus transformatif, ISIF tidak memisahkan antara pendididikan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri dharma ini adalah mata rantai yang saling terhubung dan berkait. Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk riset dan pengabdian kepada masyarakat. Riset dilaksanakan untuk kebutuhan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari riset dan pendidikan, dan untuk menginspirasi pengembangan pendidikan dan riset.
Transformasi dalam Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat
Dengan demikian, menjalin hubungan yang intensif mutualistik dengan masyarakat dan/atau suatu komunitas sosial sebagai kawasan studi bersama (co-learning area) adalah keniscayaan bagi ISIF.
ISIF harus belajar dari masyarakat dan masyarakat pun belajar dari ISIF. ISIF dan masyarakat saling belajar untuk membangun ilmu pengetahuan masyarakat (people knowledge building).
Semua keilmuan ISIF, arah riset dan pembelajarannya harus dikaitkan dengan realitas lokal (lokalogi, ilmu lokal) di mana masyarakat berada.
Dosen dan mahasiswa hidup bersama, belajar bersama, meneliti bersama, menganalisis bersama, dan mengubah bersama (partisipatoris) praktik keseharian masyarakat, baik melalui riset maupun pengabdian kepada masyarakat.
Riset dan pengabdian kepada masyarakat ISIF berada dalam kehidupan masyarakat. Civitas akademika harus hidup bersama masyarakat untuk berproses mengenali, memahami, mengerti, menganalisis, hingga mengubah kehidupannya secara bersama-sama.
Dosen dan mahasiswa belajar bersama masyarakat. Untuk kebutuhan ini, ISIF harus memiliki sujumlah desa sebagai kawasan studi dan perubahan sosial.
Tranformasi dalam Pendidikan
Implementasi transformasi dalam pendidikan adalah mendialogkan teks-teks keagamaan dan realitas sosial secara simultan. Ada tiga jenis riset yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan dosen ISIF dalam setiap pembelajaran.
Pertama, riset ensiklopedis. Dosen mengidentifikasi sejumlah keywords sebagai titik masuk ke mendalami substansi pembelajaran yang digeluti, lalu mahasiswa meriset semua keywords tersebut dengan studi ensikopedis. Yakni, mencari, menemukan, dan mempelajari akar istilah: apa, mengapa, bagaimana, kapan, di mana, siapa, sejarahnya, pendapat para ahli, perbedaannya dengan kata sejenis, melalui buku-buku ensiklopedis yang tersedia. Setelah itu, mahasiswa diminta untuk mempresentasikan hasil riset ensiklopedis ini di kelas.
Kedua, riset bibliografis. Mahasiswa diminta meriset buku-buku yang relevan dengan bahan pembelajaran, terutama buku induk (babon). Minimal 3 buku induk harus diriset dan dibaca hingga tuntas, dipahami, dan dianalisis. Lalu, hasil riset ini dipresentasikan di kelas di hadapan teman sejawat.
Ketiga, riset sosial. Hasil riset ensiklopedis dan bibliografis didialogkan dengan realitas sosial terkait dengan isu yang didalami. Mahasiswa diminta melakukan riset sosial lapangan terkait temuan-temuan dari riset ensiklopedis dan bibliografis. Riset lapangan ini sebisa mungkin menggunakan pendekatan partisipatoris.
Kapasitas Dosen dan Mahasiswa yang Dibutuhkan
Dengan demikian, di antara kapasitas dosen dan mahasiswa ISIF yang harus dimiliki adalah menguasai metodologi participatory action research (PAR), analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, sosiologi pedesaan, antropologi sosial, dan advokasi, serta terjun langsung ke masyarakat desa yang menjadi kawasan studi. ISIF memastikan dosen dan mahasiswa memiliki kapabilitas ini.
Dengan cara ini, dalam waktu minimal lima tahun secara konsisten dan simultan, ISIF akan tampak mewujud menjadi kampus transformatif sebagaimana dicita-citakan.**
by Admin | 25 Jun 2024 | Kolom Rektor
ISIF CIREBON – Pada tanggal 1 Juni 2024 kemarin, saya diundang dan menghadiri Festival Turath Islami Selangor (FTIS) II yang diselenggarakan oleh Kerajaan Negeri Selangor, Malaysia. Acaranya dipusatkan di Mesjid Sultan Salahuddin Abd Azis Shah di Shah Alam, Selangor.
Festival Turath Islami II ini fokus mengaji dan mengkaji Kitab Riyadlush Sholihin min Kalami Sayyidil Mursalin, karya Imam Nawawi (631-676 H/1233-1277 M). Sebelumnya, pada Festival Turath Islami I mengkaji dan mengaji Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M).
Hadir dalam Festival Turath Islami kedua ini adalah YAB Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar bin Ibrahim membuka Syarahan (Seminar), Al-Imam Profesor Dr. Ali Juma’ah, YAB Dato’ Menteri Besar Datuk Seri Amirudin bin Shari, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Habib Jindan bin Novel bin Salim, Tengku H. Faisal Ali, Ustd. Dr. Adi Hidayat, saya sendiri, dan ulama lain dari Malaysia.
Dalam FTIS II ini, saya mengisi di sesi pertama membahas peradaban akhlak dari Kitab Riyadush Sholihin bersama dengan Prof. Dato’ Dr. Muhammad Nur bin Manuty dari Malaysia.
Dalam paparan ini, saya menjelaskan bahwa kitab yang ditulis oleh al-Imam al-Allamah Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi memiliki peranan penting dalam mewarnai peradaban Islam sejak abad ke 13 M hingga sekarang.
Buktinya, kitab Riyadlush Sholihin setidaknya disyarahi oleh 13 kitab syarah dan dibaca oleh hampir setiap ulama yang mendalami ajaran Islam di seluruh pesantren dan lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia.
Dari Kitab Riyadush Sholihin, kita bisa memetik butiran nilai, prinsip, norma, etika, dan etiket dalam membangun diri yang sholih dan mushlih, keluarga yang mashlahat, masyarakat yang khaira ummah, dan negara yang thayyibatun wa rabbun ghafur untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin.
Oleh karena Riyadush Sholihin adalah kitab hadits, maka tantangannya adalah bagaimana kita mampu membaca Kitab Riyadush Sholihin secara kontekstual (siyaqiyyah), mampu menangkap makna substantif (cum maghza), maqoshid asy-syari’, dan membumikannya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa melalui kebijakan publik dan pembudayaan, hingga menjadi etika sosial, etika politik, etika birokrasi, etika hukum, etika ekonomi, dan etika global.
Saya mengatakan bahwa peradaban akhlak yang ingin dibangun oleh Imam Nawawi melalui Kitab Riyadush Sholihin berbasis pada tauhidullah (spiritualitas monotheis) dan diorientasikan tidak saja untuk kebahagiaan di dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat (eskatalogis).
Ini dibuktikan dengan pembahasan dalam Kitab Riyadush Sholihin dimulai dengan bab al-ikhlash wa ihdlari an-niyyati fi jami’ al-a’mal wa al-aqwal wa al-ahwal al-barizah wa al-khafiyyah dan diakhiri dengan bab al- istighfar dan bab ma a’adda Allahu ta’ala li al-mu’minina fi al-jannah.
Bab al-ikhlash di sini bermakna tauhidullah, karena Imam Nawawi membuka babnya dengan mengutip al-Qur’an Surat al-Bayyinah Ayat 5, yakni “Wa mā umirū illā liya’budullāha mukhliṣīna lahud-dīna ḥunafā`a wa yuqīmuṣ-ṣalāta wa yu`tuz-zakāta wa żālika dīnul-qayyimah”
Artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” []
by Admin | 8 Apr 2024 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Belum lama ini, Jemaah Masjid Aolia Gunungkidul, Yogyakarta merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 pada Jumat 5 April 2024 atau lima hari lebih awal dari lebaran umat Islam lainnya yang diprediksi jatuh pada 10 April 2024.
Hari Raya Idul Fitri yang dilaksanakan Jemaah Masjid Aolia bukan tanpa alasan. Seperti informasi yang ramai beredar di media sosial, sosok pemimpin Jemaah Masjid Aolia, Raden Ibnu Hajar Pranolo atau yang biasa disapa Mbah Benu memberikan jawaban bahwa penetapan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal pada 5 April 2024 itu karena dirinya telepon langsung Allah Swt dan Allah Swt ngendika (berfirman), Idul Fitri jatuh pada Jumat 5 April 2024.
Dari jawaban inilah, membuat jagat maya cukup ramai bergejolak. Tidak sedikit warganet yang mencaci maki, nyinyir, menghujat, bahkan menuduhnya sebagai pimpinan kelompok yang sesat.
Dengan melihat banyaknya hujatan dan caci maki kepada Mbah Benu, lalu bagaimana sikap kita?
Pertama-tama perlu diketahui bahwa dalam konteks keislaman, ada banyak pemahaman, penafsiran, dan juga madzhab. Mulai dari yang tekstual hingga yang liberal, semuanya ada dalam pemahaman keislaman kita.
Bagaimana sikap kita? Tentu kita harus berpegang pada apa yang kita yakini benar. Saya, misalnya, sebagai muqallid Ahlissunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah meyakini bahwa awal bulan Syawal ditentukan dengan Ru’yatil Hilal (melihat bulan langsung), dengan dalil:
صوموا لرأيته وأفطروا لرأيته
Penetapannya dilakukan oleh pemerintah (qodli) untuk menghilangkan perbedaan yang ada, sesuai dengan kaidah:
حكم القاضي إلزام ويرفع الخلاف
Bagi saya, keputusan awal Syawal menunggu hasil sidang itsbat dari Kementerian Agama RI.
Bagaimana menyikapi mereka yang berbeda? Maka berlaku kaidah:
الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد
Jika itu hasil ijtihad, maka biarkan hasil ijtihad itu bersanding. Karena suatu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain, biarkan mereka berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
لنا منهجنا وأعمالنا ولكم منهجكم واعمالكم
Bagaimana dengan Mbah Benu yang telepon Allah Swt secara langsung?
Kita jangan memahami telepon di sini adalah telepon menggunakan Handphone (HP) dan alat komunikasi lain. Karena Allah Swt jelas bukan makhluk, ليس كمثله شيئ، maka sudah pasti tidak bisa ditelepon dengan HP atau sejenisnya. Jika kita memahami ditelepon menggunakan HP, lalu menyalahkan Mbah Benu, maka sesungguhnya nalar kita juga salah. Sudah pasti Allah Swt tidak bisa ditelepon menggunakan HP.
Dengan demikian, bahasa ditelepon yang digunakan Mbah Benu adalah majazan, bukan haqiqatan. Mbah Benu mungkin melakukan kontak langsung dengan Allah Swt dengan lisan sebagaimana kita berdoa, berdzikir, atau dengan dengan hati sebagaimana kita istikharah dan berdzikir. Dengan ikhtiar yang dia lakukan, lalu diperolehlah jawaban itu.
Jika pemahaman “telepon” adalah seperti ini, bukankah tidak ada beda dengan yang selama kita lakukan dalam berdoa, berdzikir, istikharah dan lain-lain, lalu timbul keyakinan yang kita anggap benar sebagai suara atau jawaban dari Tuhan?
Perbedaan cara penentuan awal Syawal yang dilakukan oleh Mbah Benu, kita uji saja dalam metodologi ilmiah keislaman? Adakah metodologi ini dalam sejarah dan literatur keislaman kita? Jika ada, this is a fine!. Jika tidak ada, maka apakah ini varian baru dari pemahaman keislaman? Mari kita uji, kita tabayyun dulu, lalu kita diskusikan agar memperoleh informasi, data, pengetahuan yang sebenarnya dari Mbah Benu dan para pengikutnya. Bukankah ilmu itu dinamis dan berkembang?
Saya kira sikap ini yang perlu kita kembangkan, bukan mencaci, mencela, dan menyesatkan. Terlalu prematur dan bukan sikap bijak jika kita memosisikan Mbah Benu dengan berbagai posisi tersebut. Toh Mbah Benu dan para pengikutnya adalah ahlil qiblah, ahli shaum, muzakki, dan semua ajaran keislaman dilakukannya dengan taat.
Kalaupun nanti setelah tabayyun dan diskusi, misalnya, ditemukan tidak ada landasan manhajiyyah dalam keislaman kita, maka adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah dengan mereka. Lagi-lagi, bukan dengan cara mencela, mencaci, dan menyesatkan mereka.
Jika sudah didakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah masih belum berubah dan tidak mau berubah, ya sudah kita kembalikan kepada Allah, sebagaimana Nabi Saw mendoakan kaumnya:
اللهم أهد قومي فانهم لايعلمون
Dalam konteks kebangsaan, menurut saya Mbah Benu tidak melakukan kesalahan secara hukum. Mbah Benu dan pengikutnya hanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya saja. Mereka tidak memaksakan keyakinannya kepada pihak lain. Bahwa ijtihadnya benar atau salah, itu bukan urusan negara dan masyarakat. Itu adalah urusan Tuhan. Biarkan mereka mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan nanti.
Kita tidak boleh mencela, memaki, mengolok-olok, dan merendahkan semua orang yang berbeda dengan kita. Mereka adalah manusia. Mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka adalah umat Islam juga. Tidak ada hak kita untuk merendahkan derajat dan martabat mereka. []
by Admin | 11 Feb 2024 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Dalam Webinar bertajuk “Pemilu Perspektif Interfaith, Cerdas Memilih Demi Masa Depan Bangsa” pada 9 Februari 2024 lalu, saya menyampaikan beberapa poin. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pemilu 2024 sungguh sangat penting. Peristiwa 5 tahun sekali itu adalah titik pijak masa depan Indonesia. Tidak saja akan berdampak pada nasib masa depan manusia Indonesia yang berbineka, tetapi juga berpengaruh pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah.
Kesalahan menusukkan paku pada kertas suara di bilik TPS akan membelokkan atau menjerumuskan arah masa depan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam Islam memilih pemimpin, baik untuk pemimpin lembaga eksekutif maupun legislatif, hukumnya wajib kifa’iy.
ونصب الإمام من أتم مصالح المسلمين، وأعظم مقاصد الدين. ومن أجلها أجمع العلماء على أن ذلك من الواجبات الكفائية التي إذا قام به أهلها سقط طلبها عن الباقين
“Mengangkat pemimpin adalah termasuk instrumen terpenting bagi kemasalahatan umat Islam dan perwujudan tujuan terbesar agama. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif. Jika telah ditunaikan, maka yang lain terbebas dari kewajiban tersebut.”
Dalam konteks ini, Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din berargumentasi:
الملك والدين توأمان. فالدين أصل والسلطان حارس ، وما لا أصل له فمهدوم ، وما لا حارس له فضائع
“Kekuasaan dan agama (ibarat) saudara kembar. Agama adalah landasan (fondamen). Pemerintah (negara) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki landasan, maka akan tumbang. Sesuatu yang tidak memiliki penjaga, maka akan hilang (sia-sia).”
Dalam Kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Imam al-Ghazali juga berargumentasi:
والسلطان ضروري في نظام الدين ونظام الدنيا، ونظام الدنيا ضروري في نظام الدين، ونظام الدين ضروري للفوز بسعادة الآخرة، وهو مقصود الأنبياء قطعاً. فكان وجوب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.
“Pemerintah itu sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama dan pengelolaan dunia. Pengelolaan dunia sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama. Pelaksanaan agama sangat penting untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Inilah tujuan yang pasti dari seluruh Nabi hadir. Oleh karena itu, kewajiban adanya pemimpin termasuk urusan primer dalam agama yang tidak bisa ditinggalkan.”
Sementara Ibn Taimiyyah dalam Kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah menegaskan:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها
“Perlu diketahui bahwa kekuasaan (negara) merupakan salah satu kewajiban terbesar agama, yang tanpanya agama tidak akan tegak.”
Adapun terkait pentingnya pemimpin, Imam al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan,
ألإمامة موضوعة لخلافة النبوّة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Kepemimpinan dibentuk untuk meneruskan misi kenabian (profetik) dalam menjaga agama dan mengatur dunia”
Misi kenabian menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam Kitab al-Thuruq al-Hukmiyyah adalah menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana tegaknya langit dan bumi untuk semua makhluk Tuhan.
فإن الله سبحانه أرسل رسله وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط وهو العدل الذي قامت به الأرض والسموات فإذا ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأي طريق كان فثم شرع الله ودينه. أن مقصوده إقامة العدل بين عباده وقيام الناس بالقسط فأي طريق استخرج بها العدل والقسط فهي من الدين وليست مخالفة له.
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia dapat menegakkan keadilan, yaitu keadilan yang mana bumi dan langit tegak. Jika perangkat keadilan tampak dan terwujud dalam bentuk apapun, maka di situlah syariat Allah dan agama-Nya. Tujuan-Nya adalah untuk menegakkan keadilan di antara hamba-hamba-Nya dan kehidupan manusia dengan adil. Segala cara untuk mencapai keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama.”
Sangat jelas, Pemilu akan bermakna secara teologis dan penting bagi kemanusiaan apabila dilakukan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia melalui pemimpin yang kita pilih.
Sebaliknya, Pemilu menjadi tidak bermakna dan tidak penting sama sekali secara teologis — bagi kontestan dan pemilih– apabila dilakukan semata-mata karena kekuasaan yang mereka rebut dan politik transaksional yang mereka peroleh atau janjikan.
Kepemimpinan dalam Islam identik dengan keadilan. Kepemimpinan membawa misi profetik, menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan ketimpangan. Pemimpin yang baik seharusnya mampu melakukan dan mewujudkan misi profetik ini.
Dalam konteks ini, Ibn Taimiyah menyatakan:
إنَّ الله يُقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة ، ولا يُقيم الدولة الظالمة وإن كانت مسلمة
“Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) non Islam. (Sebaliknya) Allah tidak akan menegakkan negara dzalim (korup, otoriter, tiran) meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) Islam.”
Dengan demikian, dalam Pemilu 2024 ini pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang bisa menyelamatkan masa depan manusia Indonesia dan seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Jangan memilih seseorang karena mereka menyuap kita atas nama apapun, karena janji-janji muluk yang belum pasti terealisasi, karena paksaan yang kita tidak bisa menghindarinya, karena intimidasi yang sangat halus dengan dalih agama dan playing victim, dan apalagi teror yang jelas-jelas mencerabut kebebasan kita.
Dalam bilik yang personal itu, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan kriteria ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengimajinasikan bangsa terbaik (mabadi’ khaira ummah), yaitu seorang pemimpin atau wakil rakyat yang jujur (الصدق) tidak korup, terpercaya dan terbukti memenuhi janji (الامانة والوفاء بالعهد), bersikap adil dan berprinsip keadilan (العدالة), melayani, menolong, dan memberdayakan (التعاون), dan konsisten (الاستقامة) tegak lurus dalam keadilan dan kemaslahatan.
Siapa mereka? إستفت قلبك (mintalah fatwa pada hati nuranimu)!