by admin | 26 Jul 2025 | Artikel, Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon)
ISIF Cirebon — Di setiap perguruan tinggi, selalu ada mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mata kuliah ini dimaksudkan untuk mendekatkan mahasiswa dengan kehidupan masyarakat, agar mahasiswa ketika lulus nanti memahami masalah-masalah sosial yang nyata dihadapi masyarakat. Ilmu yang diperolehnya di kampus tidak hanya benar secara teoritik, tetapi juga mampu menjawab problem nyata yang dialami masyarakat.
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon memandang bahwa KKN harus disesuaikan dengan disiplin ilmu yang digeluti mahasiswa di kampus, bukan sesuatu yang terpisah. Oleh karena ISIF mengambil disiplin “studi Islam” (Islamic studies, dirâsât Islâmiyyah), maka nama KKN dalam Kurikulum Transformatif ISIF 2025 diubah menjadi PIT (Praktik Islamologi Terapan). Oleh karena pelaksanaan PIT ini menggunakan metodologi Participatory Action Research (PAR), maka namanya dipertegas menjadi PIT-PAR, singkatan dari Praktik Islamologi Terapan Berbasis Participatory Action Research.
Mengapa Islamologi Terapan?
Secara epistemologis, Islamologi Terapan adalah pendekatan interdisipliner yang mempelajari Islam tidak hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai living tradition (tradisi hidup) yang berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Konsep “Terapan” menunjukkan orientasi untuk menghubungkan kajian teoretis dengan konteks empiris. Dengan demikian, Praktik Islamologi Terapan (PIT) adalah aktivitas akademik yang membawa mahasiswa keluar dari ruang kuliah di kampus untuk [1] mengamati fenomena sosial keagamaan secara langsung, bahkan terlibat (participant observation), [2] menganalisis dinamika sosial dengan perspektif Islamologi, [3] mengintegrasikan nilai-nilai Islam (etika, keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian) dalam praksis sosial, dan [4] menghasilkan pengetahuan baru yang relevan bagi masyarakat (people knowledge building).
Hal ini selaras dengan paradigma praxis-oriented education, di mana teori didialogkan, dikritisi, dan diperkaya melalui perjumpaan dengan realitas sosial di masyarakat.
Islamologi terapan juga merupakan pengejawantahan dari integrasi konkret Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam dharma pendidikan, mahasiswa menginternalisasi teori, metodologi, dan nilai-nilai keilmuan Islam melalui praktik dan pengalaman di lapangan. PIT secara sadar menggunakan pendekatan ilmiah (Participatory Action Research/PAR) untuk menggali data, menganalisis akar masalah, dan memproduksi pengetahuan baru. Ini adalah pelaksanaan dari dharma penelitian. Dalam waktu yang sama, sebagai manifestasi dari pengabdian kepada masyarakat, PIT juga mendorong mahasiswa berperan aktif bersama komunitas dalam merumuskan solusi sosial dan melakukan aksi nyata untuk keberdayaan masyarakat dalam menghadapi masalahnya.
Dalam teori pendidikan kritis Paulo Freire, hal ini disebut sebagai conscientização, yakni proses kesadaran kritis yang hanya lahir melalui perjumpaan antara refleksi (teori) dan aksi (praktik sosial) secara terus menerus tiada henti (never ending).
Wujud Misi Transformatif
Diketahui bahwa ISIF Cirebon sejak awal berdirinya memosisikan diri sebagai kampus transformatif, yakni sebuah kampus yang tidak sekadar mencetak sarjana agama, melainkan intelektual yang membumi, menggerakkan, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kedamaian semesta dalam kehidupan masyarakat yang dinamis. Misi transformatif itu bukan sekadar jargon, tetapi diwujudkan melalui praktik akademik yang nyata dan berdampak di masyarakat. Salah satu pilar yang menjembatani ruang akademik dengan realitas sosial adalah Praktik Islamologi Terapan berbasis Participatory Action Research (PIT-PAR).
PIT-PAR adalah ‘tafsir praksis’ dari integrasi Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di ISIF, tiga dimensi dharma tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan paradigmatik yang terhubung. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses dialogis yang menumbuhkan kesadaran kritis. Penelitian bukan sekadar pengumpulan data hingga kesimpulan, tetapi memahami realitas sosial untuk terjadi transformasi sosial. Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar bakti sosial, melainkan praksis pembebasan bersama komunitas untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta. Di titik inilah metodologi Participatory Action Research (PAR) yang digunakan dalam PIT menemukan relevansinya.
Paradigma PIT-PAR
PAR bukan sekadar metode penelitian, tetapi paradigma pengetahuan. Ia mendekonstruksi sekat yang menganga antara peneliti dan masyarakat, mengubah relasi “peneliti dan yang diteliti” menjadi “peneliti belajar bersama masyarakat.” Dalam PIT-PAR, mahasiswa dan dosen tidak hadir sebagai “pakar” atau “konsultan” yang membawa solusi instan ke masyarakat atas masalah yang mereka hadapi, melainkan mereka sebagai mitra belajar yang bergerak bersama komunitas.
Melalui metode PAR, kegiatan PIT tidak berhenti pada tahap mengamati, mengidentifikasi, dan menganalisis masalah, melainkan civitas akademika terlibat langsung dalam siklus refleksi-aksi-refleksi-aksi hingga tanpa berkesudahan. Masalah sosial yang ditemukan bukan sekadar didiagnosis dan dianalisis akar strukturnya, melainkan bersama masyarakat dicari alternatif pemecahan yang sesuai konteks lokal dengan aksi nyata, kemudian dievaluasi kembali bersama, lalu dilakukan aksi baru, begitu seterunya. Dengan demikian, PAR adalah metodologi dialogis, kritis, sekaligus praksis—sejalan dengan visi Islamologi Terapan yang dikembangkan ISIF.
Spirit ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pendidikan kritis. Freire menegaskan, “Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom” (1970). Pendidikan yang sejati adalah proses dialogis yang memampukan manusia membaca realitasnya (conscientização), mengkritisi struktur penindasan, dan bertindak mengubah keadaan. PIT-PAR hadir sebagai medium pendidikan kritis—menyatukan pembelajaran di kampus dengan realitas sosial masyarakat marginal.
Berbeda dengan KKN konvensional yang sering kali hanya berupa kegiatan seremonial di desa, PIT-PAR mengusung spirit transformasi sosial berkelanjutan. Mahasiswa tidak sekadar hadir beberapa minggu, lalu pergi tanpa jejak, tetapi mereka masuk ke komunitas dengan sikap partisipatif, mendengarkan, membangun kesadaran kritis, membangun hubungan sosial kemanusiaan, dan meninggalkan jejak keberdayaan yang menancap pada akar tradisi lokal.
Dalam konteks pendidikan tinggi, metode PAR yang digunakan dalam PIT-PAR menghubungkan riset, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat dalam satu kesatuan siklus. Yakni, identifikasi masalah bersama masyarakat, analisis kritis sebab-akibat dan potensi solusi, perencanaan aksi berbasis partisipasi komunitas, implementasi aksi sosial secara kolektif, serta evaluasi dan refleksi bersama untuk meningkatkan kapasitas komunitas. Hasil akhir dari proses ini adalah transformasi sosial yang tidak hanya mengubah kondisi struktural, tetapi juga menumbuhkan critical consciousness, baik pada mahasiswa maupun masyarakat dampingan.
Melalui pengalaman ini, mahasiswa diharapkan menguasai kompetensi teoritik dan praktik PAR, memahami dinamika sosial berbasis nilai-nilai Islam, serta mampu membangun sinergi antara kampus dan masyarakat. Setelah PIT-PAR selesai, masyarakat tidak ditinggal begitu saja, melainkan tetap didampingi dan dibersamai oleh dosen-dosen dalam menjalankan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Desa atau komunitas PIT-PAR dijadikan sebagai desa dampingan atau kawasan studi oleh civitas akademika Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
Mengapa PAR Penting?
Metodologi PAR yang melekat pada PIT bukan pilihan teknis, tetapi sebuah manifestasi paradigmatik dari tri dharma perguruan tinggi, yang kemudian menjadi rangkaian metodologis yang sistematis. Dalam dimensi pendidikan, PAR menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa. Mereka belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari realitas kehidupan masyarakat. Mahasiswa dilatih menjadi intelektual organik—yang mampu mendengar, berdialog, dan membangun solusi bersama masyarakat, bukan mendikte dari menara gading akademik.
Dalam dimensi penelitian, PAR menolak netralitas semu yang sering melekat pada riset positivistik. Ia menegaskan bahwa penelitian harus berpihak pada keadilan. Data bukan sekadar dikumpulkan, tetapi diolah bersama masyarakat sebagai alat pembebasan. Dengan PAR, mahasiswa belajar bahwa pengetahuan sejati lahir dari perjumpaan kritis antara teori dan realitas yang dialami masyarakat.
Sebagai pengabdian kepada masyarakat, PAR melampaui pendekatan karitatif. Pengabdian tidak berhenti pada bantuan material, melainkan mendorong kesadaran kritis, perubahan relasi, hingga munculnya keberdayaan struktural yang berkelanjutan. Pengabdian bukan tentang “membantu yang lemah”, tetapi membangun kesadaran bahwa masyarakat memiliki kekuatan kolektif untuk mengubah nasibnya sendiri berangkat dari sumber daya yang dimilikinya saat ini.
Dengan demikian, PAR adalah jembatan antara teori dan praksis, antara kampus dan masyarakat, antara ilmu dan transformasi untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta, misi yang diusung ISIF. Inilah mengapa PIT-PAR menjadi inti dari identitas ISIF sebagai “kampus transformatif.”
Merambah ke Global
Seiring dengan perkembangan ISIF sebagai kampus berbasis gerakan sosial, PIT-PAR kini berkembang dalam tiga skema pelaksanaan. Dua skema pertama telah dilaksanakan sebelumnya, yakni PIT-PAR Reguler dan PIT-PAR Mandiri. Adapun skema PIT-PAR Internasional baru dilaksanakan pada tahun 2025 ini.
PIT-PAR Reguler adalah skema utama dan terjadwal sebagai bagian dari kegiatan akademik setiap semester. PIT-PAR Reguler diselenggarakan di wilayah lokal (desa, kampung, komunitas urban) yang ditentukan oleh kampus. Mahasiswa dari berbagai program studi melaksanakan kegiatan sesuai fokus keilmuannya, misalnya: mahasiswa PAI memperkuat pendidikan agama di masyarakat, mahasiswa Ekonomi Syariah mendampingi penguatan ekonomi komunitas, mahasiswa Hukum Keluarga Islam memfasilitasi literasi hukum keluarga, dan mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir mengembangkan literasi keagamaan berbasis tafsir kontekstual. Skema ini di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) ISIF.
PIT-PAR Mandiri memberi fleksibilitas bagi mahasiswa yang, karena kondisi tertentu –misalnya mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), tidak dapat mengikuti PIT-PAR Reguler. Dalam skema ini, mahasiswa melaksanakan PIT-PAR di daerah asal atau komunitasnya sendiri, dengan rancangan program yang disetujui LP2M. Keunggulan skema ini adalah memungkinkan mahasiswa lebih kontekstual karena mengenal baik komunitasnya dan mendorong mahasiswa menjadi agen perubahan di lingkungannya sendiri.
Adapun skema terbaru, yakni PIT-PAR Internasional, merupakan pengembangan global PIT-PAR yang dilaksanakan di luar Indonesia. Mahasiswa dapat mengikuti program ini untuk belajar tentang isu-isu keislaman, sosial, dan pemberdayaan masyarakat dalam konteks lintas budaya dan negara. Contoh implementasinya adalah praktik pemberdayaan komunitas Muslim minoritas di Asia Tenggara, kolaborasi dengan lembaga internasional dalam isu keadilan sosial dan gender, dialog interkultural dengan masyarakat di luar negeri sebagai learning society. PIT-PAR Internasional memperluas perspektif mahasiswa tentang Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang dapat dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial-budaya dan kewarganegaraan.
Melalui ketiga skema tersebut, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah lapangan, tetapi menjadi model kegiatan akademik transformatif berbasis riset partisipatoris yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat dari ketidakadilan struktural, kemiskinan, keterbelakangan, serta problem sosial lainnya. Dengan demikian, PIT-PAR menjadi medium untuk menghadirkan Islam yang humanis, egaliter, dan kontekstual, mengintegrasikan studi Islam klasik dengan ilmu sosial kontemporer, menciptakan lulusan ISIF yang memiliki kompetensi akademik, spiritual, dan sosial, sekaligus sensitif terhadap isu-isu gender, keadilan, dan keberagaman.
ISIF: Bergerak dari Lokal ke Global
Melalui PIT-PAR, ISIF mengukuhkan dirinya sebagai kampus yang tidak hanya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, tetapi juga menggerakkan masyarakat; tidak hanya mencerdaskan masyarakat, tetapi juga memberdayakan kehidupannya; tidak hanya mengkritik, tetapi juga membangun solusi bersama yang berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia yang masih sarat dengan ketimpangan, intoleransi, dan ketidakadilan, kampus agama seperti ISIF tidak cukup hanya memproduksi lulusan yang hafal teks, tetapi harus melahirkan ilmuwan-aktivis yang mampu merumuskan Islam sebagai kekuatan pembebasan sosial. Di sinilah, Islamologi Terapan menemukan relevansinya—Islam yang membumi, Islam yang menyentuh realitas, Islam yang mengubah keadaan, Islam yang mampu mengantarkan terwujudnya keadilan dan kemaslahatan.
Dalam konteks ini, PIT-PAR adalah laboratorium sosial yang membentuk mahasiswa menjadi insan yang tidak hanya kritis, tetapi juga peduli dan berdaya ubah. Dengan dimensi internasionalnya, PIT-PAR menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya agenda lokal, tetapi juga agenda global yang harus diperjuangkan oleh civitas akademika kampus.
Belajar, Bergerak, Berubah
Sebagai kampus transformatif, ISIF melalui PIT-PAR mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dipraktikkan; bukan untuk kemuliaan individu, tetapi untuk keberdayaan masyarakat di mana kita bersamanya. PAR sebagai metodologi bukan sekadar pilihan akademik, tetapi manifestasi komitmen moral kampus pada keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.
Dengan PIT-PAR, ISIF menegaskan bahwa kampus bukan menara gading, melainkan ruang perjumpaan, dialog, dan transformasi sosial. Selaras dengan gagasan Paulo Freire dan Orlando Fals Borda, bahwa “Education is freedom. Research is liberation. Action is justice.”
Kini, dengan mengusung PIT-PAR Internasional, ISIF menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya mandat Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab peradaban Islam di tingkat global. Mahasiswa ISIF tidak hanya menjadi saksi, tetapi aktor perubahan sosial, baik di desa di Cirebon maupun di komunitas transnasional di Malaysia dan Singapura.
PIT-PAR mengajarkan bahwa transformasi sosial dimulai dari keberanian untuk hadir, mendengar, dan bergerak bersama. Jelaslah, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah, tetapi adalah jiwa dari ISIF sebagai kampus transformatif dan jantung praksis akademik ISIF yang menghubungkan kampus dengan realitas sosial.[]
by admin | 13 Jul 2025 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon dan Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon)
ISIF Cirebon — Jika ada yang mengatakan “the function of leadership is to produce more leaders, not more followers… Your principal moral obligation as a leader is to develop the skill‑set, ‘soft’ and ‘hard,’ of every one of the people in your charge…,” atau “pemimpin sejati menciptakan lebih banyak pemimpin, bukan lebih banyak pengikut,” maka Mas Imam–panggilan akrab dari KH. M. Imam Aziz, adalah pemimpin sejati itu.
Beliau bukan sosok yang suka tampil di atas panggung dan media publik, bukan tipe tokoh yang bangga dipuja-puji namanya, dan bukan pula kiai yang suka membangun followers untuk melayani dan membantu kariernya.
Kiprah dan Gerakan
Dengan caranya yang khas, penuh kesederhanaan, kesabaran, dan ketelatenan, beliau lebih suka melayani, membersamai, mendampingi, dan mengayomi para kader yang berada di bawahnya. Mengajari kader-kadernya untuk membaca realitas, mengeja teori, mengunyah perspektif, hingga menuangkannya dalam bentuk aksi gerakan dan tulisan yang bisa dibaca orang lain.
Komitmen ini dilakukannya secara istiqâmah dan mudâwamah sejak IAIN Yogyakarta mencatatnya sebagai mahasiswa hingga ajal menjemputnya. Beliau rela lulus S1 lebih dari 10 tahun karena komitmen ini. Dengan caranya ini, pada tahun 1992 lahir LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), lembaga kajian keislaman dan penerbitan yang sangat digemari kalangan muda Islam karena kritisisme dan progresivitasnya dalam membaca Islam dan dunia.
Dalam kerja-kerja advokasi, pada tahun 2000 beliau menggagas gerakan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), suatu gerakan sosial kemanusiaan yang konsen pada rekonsiliasi kultural atas tragedi politik kemanusiaan tahun 1965, di mana eks PKI menjadi korbannya selama bertahun-tahun.
Dalam bidang pendidikan, pada tahun 2018 dengan kharismanya beliau menggerakkan pendirian pendidikan sekolah dan pesantren Bumi Cendekia di Sleman Yogyakarta. Integrasi sekolah dan pesantren yang sangat digandrungi generasi Milenial dan Gen Z, karena memadukan tradisi klasik pesantren dengan kebutuhan kontemporer revolusi industri 5.0.
Tidak hanya itu, Mas Imam juga aktif di organisasi keagamaan NU. Lama aktif dan menjadi penggerak Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM) PWNU DI Yogyakarta. Lalu, selama dua periode pada 2010-2021 menjadi salah seorang ketua dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Karena dedikasi dan amanahnya, Mas Imam juga dipercaya menjadi Ketua Panitia Muktamar NU dua kali berturut-turut, yakni Muktamar NU ke-33 di Jombang dan Muktamar NU ke-34 di Lampung.
Kepemimpinan Transformatif
Dari sejumlah rintisan yang dilakukan, telah banyak pemimpin lahir menghiasi zamannya. Para pemimpin ini merasa memperoleh penguatan, pencerahan, dan kemampuan, baik dari LKiS, Syarikat, Bumi Cendekia, maupun pendampingan langsung Mas Imam. Kepemimpinan mereka tersebar pada wilayah intelektual, politik, budaya, maupun jurnalistik.
Kata John Maxwell, kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan atau posisi. Tetapi tentang pengaruh yang mampu membawa perubahan transformatif pada individu dan organisasi. Dalam kerangka tangga kepemimpinan Maxwell, Mas Imam bisa dimasukkan dalam level keempat, yakni kepemimpinan people development.
Mas Imam telah berinvestasi dalam pertumbuhan dan pengembangan pemimpin baru. Orang mengikuti Mas Imam karena pemimpin tersebut membantu mereka tumbuh dan berkembang bersamanya. Orang mengikuti Mas Imam bukan karena position (level terendah), bukan permission (level kedua), bukan semata production (level ketiga), tetapi juga belum pada level puncak (pinnacle). Akan tetapi, bisa jadi karena warisan kepemimpinannya yang berkelanjutan, Mas Imam naik pada kepemimpinan puncak (pinnacle), di mana orang mengikuti pemimpin karena visi perjuangan dan kharismanya yang mampu menginspirasi generasi mendatang.
Warisan Pemikiran Mas Imam
“Islam harus menjadi kekuatan pembebas—yang berpihak pada kaum tertindas, membebaskan dari kejumudan, dan mendorong lahirnya masyarakat yang adil, setara, dan bermartabat.” Inilah inti pemikiran Mas Imam yang paling berpengaruh terhadap kehidupan dan generasi bangsa.
Pemikiran dan gerakan Mas Imam dapat simplifikasi ke dalam tiga pilar yang masih relevan untuk masa depan bangsa dan peradaban.
Pertama, transformasi intelektual: Islam sebagai gerakan kritis dan progresif. Dalam banyak tulisannya, Mas Imam menolak Islam yang hanya bersifat normatif dan simbolik. Baginya, Islam harus menjadi nalar kritis terhadap segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh negara, agama, maupun masyarakat. Dalam gerakannya, Mas Imam telah ikut melahirkan generasi intelektual muslim yang berpikir bebas, bernalar kritis, dan berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Tugas kita bukan sekadar menjaga tradisi, tapi menghidupkan tradisi agar tetap menjawab zaman.
Kedua, etika keislaman yang berpihak pada keadilan sosial. Bagi Mas Imam, keberislaman seseorang tak hanya ditentukan oleh ibadah ritual, tetapi sejauh mana agama itu mendorong perubahan sosial. Islam, menurutnya, harus berpihak pada kaum tertindas, kelompok rentan, perempuan yang didiskriminasi, dan masyarakat yang diobjektivikasi. Islam yang tak membela kaum tertindas adalah Islam yang kehilangan ruhnya.
Ketiga, revitalisasi pesantren sebagai agen perubahan. Mas Imam sepanjang hidupnya memperjuangkan agar pesantren tidak hanya menjadi benteng moral, tapi juga menjadi pusat transformasi sosial. Dalam pandangannya, pesantren tidak hanya sebagai kekuatan budaya dan spiritual. Tetapi juga sebagai ruang edukasi politik, advokasi hak, dan penguatan demokrasi. Mas Imam pun mendorong pesantren untuk membuka diri terhadap ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya, HAM, gender, dan demokrasi. Pesantren bukan hanya tempat mengaji, tapi tempat menempa diri untuk mengubah dunia agar lebih baik.
Selamat jalan, Mas Imam. Warisan pemikiran dan gerakanmu akan terus menginspirasi dan mengubah peradaban ke arah yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat.***
by admin | 9 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
E-mail: marzukiwahid@gmail.com
Lihat tulisan sebelumnya…..
ISIF Cirebon — Diakui atau tidak, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di negeri ini yang dilakukan oleh sejumlah intelektual yang ada, hingga sekarang tak ada satu karya pun yang monumental untuk dijadikan landasan berfikir dan bertindak yang transformatif bagi umat. Artinya, sementara ini “pembaharuan” di Indonesia masih dalam tahap tekad kuat dan muncul dalam bursa gagasan dan pikiran bebas, tak terkonstruksi secara epistemologis.
Bahkan, tidak sedikit yang masih mendikotomikan kalau NU itu tradisional-konservatif dan Muhammadiyah adalah modernis-pembaharu, tanpa memerinci pokok-pokok perkembangan pemikiran dari kedua organisasi ini, sesuatu yang salah kaprah.
Ada baiknya, barangkali, pada kesempatan ini dikemukakan sekilas gagasan dan visi pembaharuan Hassan Hanafi, seorang filosof dan teolog, pengajar di berbagai universitas dunia, dan pembaharu ternama di Mesir. Hassan Hanafi memang mempunyai program pembaharuan yang disebut al-Turâts wa al-Tajdîd (Warisan Intelektual dan Pembaharuan). Program ini sekaligus menjadi nama bukunya yang menjelaskan metodologi pembaharuannya.
Warisan Intelektual dan Pembaharuan
Pembaharuan pemikiran Islam menurut Hassan Hanafi adalah upaya menafsirkan kembali (merekonstruksi) warisan intelektual Islam (al-turâts al-qadîm) yang tidak sejalan dengan tuntutan zaman (al-turâts al-jadîd), dengan senantiasa mempertimbangkan realitas kontemporer umat Islam (al-wâqi’ al-bâsyir). Artinya, warisan intelektual Islam yang telah usang memang harus ditafsirkan kembali menjadi suatu konstruk pemikiran dan aksi yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Transformasi sosial yang dilakukan Hanafi bisa dipayungi dengan dua kata kunci: “mentransmisikan warisan dan menciptakan yang baru”. Dalam program pembaharuannya, dengan demikian, Hanafi tidak hendak mengambil kebudayaan Barat dan nilai-nilai modernitasnya (al-turâts al-gharbî) secara totalitas sebagai alternatif pengganti warisan Islam yang dianggap usang itu.
Ia juga tidak menginginkan agar tradisi lama tersebut terus dilestarikan tanpa perubahan. Tetapi juga tidak mau jika pembaharuan dilakukan secara ahistoris, terputus dari akar-akar tradisi sebagaimana banyak dilakukan kelompok liberalis. Hanafi tetap menginginkan pembaharuan yang dilakukan tetap memperhatikan warisan Islam lama. Hanya saja, ia harus ditafsirkan terlebih dahulu berdasarkan realitas kontemporer (al-mu’âshirah).
Warisan Barat (al-turâts al-gharbî) tentu harus dipelajari menurut versi kita sebagaimana para orientalis juga mempelajari warisan kita melalui versi mereka sendiri. Hanafi mempelajari warisan intelektual Barat bukan untuk menjadi westernis, melainkan untuk menandingi Barat dengan warisan mereka sendiri yang telah disenyawakan dengan warisan intelektual Islam.
Inti Pembaharuan Hassan Hanafi
Secara singkat, pembaharuan yang dicanangkan Hanafi berusaha mempertemukan tiga nilai yang berada pada tiga dimensi waktu yang berbeda: dulu (al-turâts al-islâmy), kini (al-wâqi’ al-bâsyir), dan esok (al-turâts al-gharbî). Dekonstruksi (pembongkaran) terhadap warisan intelektual lama, menurut Hanafi, merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengadakan rekonstruksi.
Mengenai metode dekonstruksi dan berbagai tawaran rekonstruksi yang ia maksud terdapat dalam karyanya, Min al-’Aqîdah ilâ al-Tsaurah (sebanyak 5 jilid masing-masing terdiri dari 600-700-an halaman), Dirâsât Islâmiyah, dan al-Turâts wa al-Tajdîd. Rekonstruksi warisan intelektual Islam klasik dimaksudkan Hanafi agar mempunyai vitalitas dalam menggerakkan umat Islam serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Selain rekonstruksi, juga kita harus berani mengembalikan keuniversalan dan superioritas kebudayaan Barat pada posisi yang wajar dan lokal. Artinya, hegemoni Barat yang demikian dasyat harus dihadapi dengan penuh kearifan dan bijaksana. Setelah itu, kita berusaha mengadakan teori baru untuk menafsirkan kebudayaan manusia secara global dan mendialogkannya dengan hasil rekonstruksi warisan Islam tersebut, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan berpijak umat manusia di zaman modern ini.
Pemikiran pembaharuan Hanafi ini dilatarbelakangi oleh keterbelakangan, kebodohan, dan ketertindasan yang dialami umat Islam yang menurutnya disebabkan oleh pemikiran mereka yang tradisional. Karena itu, Hanafi berpihak kepada hal-hal yang menyangkut persoalan kerakyatan, ketidakadilan, penindasan, dan kebangsaan. Karenanya, gerakan pembaharuan Hanafi lebih dikenal dengan gerakan Kiri Islam-nya (al-Yasâr al-Islâmî). Demikian. Wallâhu A’lam bi al-Shawâb. **
by admin | 3 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
ISIF Cirebon – Istilah “pembaharuan” dalam Islam biasanya merupakan terjemahan dari kata tajdîd yang terdapat dalam literatur hadîts. Tapi kemudian istilah ini muncul ke permukaan dengan predikat bahasa yang beragam, seperti reformisme, modernisme, puritanisme, revivalisme, bahkan fundamentalisme.
Pengertian yang paling dasar dari semua istilah ini adalah “memperbaharui pemahaman terhadap teks-teks agama”. Pembaharuan dilakukan karena beberapa hal. Mungkin karena pemahaman lama dinilai tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena paham-paham yang ada dianggap telah keluar dari maksud teks yang sebenarnya; karenanya paham tersebut harus diperbaharui, dalam arti dimurnikan.
Gerakan Pembaharuan: Suatu Keharusan
Dalam realitas perjalanan sejarah Islam, gerakan pembaharuan tampil dengan model dan visi yang berbeda. Setidaknya, terdapat tiga model dan visi yang signifikan untuk dicatat. Pertama, kelompok salaf. Kelompok ini memahami tajdîd untuk mengembalikan pemahaman agama yang salah karena distorsi sejarah kepada paham serta ajaran Islam yang sebenarnya sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah dan sahabatnya. Artinya, dalam konsep ini kita harus rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah masa Rasulullah) secara total. Kita harus kembali ke harmonitas masa lampau (al-ihyâ`), memutar jarum jam sejarah.
Kemunduran umat Islam selama ini, menurut kelompok ini, disebabkan mereka tidak menerapkan ajaran yang benar sebagaimana yang dilakukan Rasul. Visi tajdîd semacam ini biasanya disebut dengan gerakan revivalisme. Dalam sejarah, aliran ini diwakili oleh ahl al-hadîts yang berbasis di Madinah, dipelopori Imam Ahmad Ibn Hanbal dan diteruskan oleh Ibn Taymiyah kemudian dikembangkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd Wahab pada abad ke-18 M. Mereka ini juga disebut kelompok puritan.
Kelompok kedua, ahl al-ra’y yang berbasis di Irak. Mereka memahami tajdîd sebagai usaha memperbaharui paham-paham lama yang dianggap lemah dengan cara memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan, ciri, dan inti yang lama. Tampaknya, konsep kedua ini berusaha menawarkan sesuatu yang baru dengan mengkompromikan sesuatu yang lama. Dalam sejarah, visi ini dianut oleh ulama yang biasa disebut ahl al-ra’yi.
Ketiga, kelompok modernis. Tajdîd dalam pandangan mereka adalah menyesuaikan atau mengembangkan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern. Tajdîd dalam pengertian ini sama dengan modernisasi Islam, yakni usaha mengkontekstualisasikan Islam dengan tuntutan modern, keharusan kekinian. Kelompok ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan kelompok reformis, tokohnya seperti al-Thahtawi, al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Ahmad Khan dan Ali Jinah di India, dan lain-lain.
Berdasarkan perspektif sejarah ini, berarti ada tiga visi pemahaman yang sama-sama disebut pembaharuan. Kelompok revivalis cenderung menghidupkan kembali tradisi Rasulullah secara total sebagai jawaban tantangan sekarang; yang berarti berorientasi pada pemahaman tekstual ketimbang kontekstual. Sementara kelompok modernis sebaliknya, mereka berani meninggalkan pemahaman teks demi kepentingan konteks zaman. Konsep yang lama ditinggalkan diganti dengan yang baru (modern).
Ahl al-Ra’yi dalam pemahaman ini sebetulnya berusaha mensintesiskan antara yang lama dan yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan (al-muhâfadhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
Dengan demikian, gerakan pembaharuan, apapun bentuk dan visinya, memiliki dasar kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa tajdîd merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah Nabi SAW meninggal. Nabi sendiri menyatakan bahwa Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbaharui (pemahaman) agamanya, jelas menunjukkan adanya ide tajdîd dalam Islam. Namun, penting dicatat bahwa pembaharuan pemikiran dalam Islam mesti berangkat dari teks dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang demikian dahsyat melintasi teologi, doktrin, dan norma, maka upaya-upaya pembaharuan pemikiran keislaman merupakan suatu keharusan, sebagai konsekuensi logis dari watak dasar Islam yang universal dan transhistoris. Hanya saja persoalannya, visi dan model pembaharuan bagaimana yang relevan dilakukan sebagai jawaban tantangan kontemporer?
Peta Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Selayang Pandang
Islam di Indonesia, dengan berbagai harmoni dan santunnya, juga tidak pernah luput dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan. Dimulai sejak gerakan reformisme Muhammad Abduh yang dianggap rasional-liberal, kemudian di Indonesia berpadu dengan paham Wahabiyah yang skriptual-formal. Inilah benih-benih kaum “modernis” dan “neo-modernis” Islam di Indonesia, yang kemudian mendapat laqab “lokomotif pembaharuan”.
Memperbincangkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, apalagi di masa Orde Baru ini, tidak bisa mengabaikan sosok Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, A. Syafi’i Ma’arif, M. Amien Rais, KH. Achmad Shiddiq, Moeslim Abdurrahman, dan belakangan Masdar F. Mas’udi. Memang menjelang akhir dasawarsa 1970-an sampai dengan dasawarsa 1980-an, khazanah pemikiran Islam diperkaya dengan pemikiran-pemikiran alternatif, baik dalam bidang teologi, politik, maupun sosial, dan ekonomi. Mereka tampil dengan gagasan yang segar meramaikan diskursus intelektual tahun 1980-an.
Dengan mengembangkan pendekatan yang lebih kontekstual, mereka mengetengahkan fungsionalisasi ajaran-ajaran Islam guna mengatasi masalah-masalah umat yang konkret, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keadilan sosial, demokratisasi, toleransi, dan sebagainya. Ada yang menggunakan analisis struktural-fungsional, ada yang fenomenologis-hermeneutis, dan ada juga yang berangkat dari warisan budaya-tradisi yang dimiliki.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan mereka tidak bersifat normatif dan doktrinal, tetapi lebih berorientasi pada dimensi empiris dan realistis. Karena itu, gagasan-gagasan yang bersifat ideologis hampir jarang dikemukakan, tetapi lebih mengetengahkan pendekatan rasional, akademis, dan praksis terhadap dilema yang dihadapi umat Islam. Karenanya, gagasan yang mempunyai muatan ideologis semacam “negara Islam” sama sekali dinegasikan, dan sebagai gantinya mereka justru memformulasikan pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan yang inklusif, dengan berbagai aliran pemikirannya masing-masing.
Nurcholish Madjid, misalnya, terkenal kontroversial dengan isu “desakralisasi”, “sekularisasi Islam”, dan “Islam yes, partai Islam, no”. Mukti Ali sering diidentikkan dengan statemen “agree in disagrement”, setuju dalam perbedaan. Abdurrahman Wahid masyhur dengan gagasan “pribumisasi Islam”. Syafi’i Ma’arif dengan “tidak ada konsep negara Islam”. Kuntowijoyo dengan “ilmu-ilmu sosial profetik”. Harun Nasution dengan “liberalisasi pemikiran Mu’tazilah”. Munawir Sjadzali dengan “reaktualisasi ajaran Islam”. Jalaluddin Rakhmat dengan “Islam alternatif”. Amien Rais dengan “demokrasi Islam”. KH. Achmad Shiddiq dengan “penerimaan asas tunggal Pancasila”. Moeslim Abdurrahman dengan “teologi transformatif”. Masdar F. Mas’udi dengan “persenyawaan pajak-zakat”.
Khusus Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid perlu mendapat perhatian tersendiri, dua tokoh ini selain memang mempunyai basis yang kuat terhadap khazanah keislaman, klasik dan kontemporer, juga mereka mempunyai kepedulian yang kuat sekali tentang perlunya “revitalisasi tradisi” ke arah pemikiran modern Islam. Isu bersama yang menonjol dari mereka adalah universalisme dan kosmopolitanisme Islam sebagai paradigma untuk keluar dari jebakan historis dan sosiologis umat Islam.
Mengenai klasifikasi dan tipikasi gerakan pembaharuan, banyak pengamat memandang berbeda. Budhy Munawar-Rachman, misalnya, dalam tulisannya di Majalah Ulumul Qur’an No. 3 Vol. VI, tahun 1995, memaparkan tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia ke dalam: [1] Islam Rasional, tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi, [2] Islam Peradaban, diwakili dengan Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo, dan [3] Islam Transformatif, menyebut tokoh Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo. Berbeda dengan Greg Barton, pengajar di Deakin University, dalam disertasi PhD-nya. Ia mengidentifikasi kelompk neo-modernisme Islam di Indonesia dari tahun 1968-1980 adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.
Sementara M. Syafi’i Anwar dalam tesis MA, yang kemudian diterbitkan dengan judul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, menyebut tipologi pemikiran politik cendekiawan muslim Indonesia yang menjadi fenomena dalam dekade 1980-an terbagi ke dalam enam tipe. Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Formalistik
Kaum formalis Islam selalu menekankan aspek ideologisasi atau politisasi ajaran Islam yang mengarah kepada simbolisme keagamaan secara formal. Tidak jarang mereka mengkalim dengan terminologi “Islam” terhadap sesuatu yang menurut anggapan mereka “islami”, seperti politik Islam, negara Islam, ekonomi Islam, demokrasi Islam, Islamisasi Ilmu, dan sejenisnya. Doktrin keagamaan akhirnya diterjemahkan bukan sekedar rumusan teologis, tetapi juga ke dalam suatu sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif. Masuk dalam paradigma ini, di antaranya, adalah M. Amin Rais, A.M. Saefuddin, dan Jalaluddin Rakhmat.
2. Substantivistik
Kaum substantivis mendasarkan asumsi bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Bagi meraka, pesan-pesan al-Qur’an dan al-Hadits yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, harus ditafsirkan kembali berdasarkan kronologi, rentang waktu, dan kondisi sosial, budaya, dan politik yang melatari terjadinya, kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial yang berlaku pada masa sekarang.
Dalam proses penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan realistik, kaum substansialis cenderung mengambil bentuk kulturalisasi (pembudayaan), bukan politisasi. Dengan demikian mereka mimilih gerakan budaya (cultural movement) daripada gerakan politik (political movement) sebagai strategi perjuangannya. Di antara yang masuk dalam kelompok ini adalah kalangan neo-modernis: Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kelompok modernis: Harun Nasution. Kelompok neo-tradisonalis: K.H. Achmad Shiddiq dan Munawir Sjadzali.
3. Transformatik
Pemikiran transformatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan (basyariyyah). Untuk itu, dalam pandangan kaum transformis Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis.
Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para pemikir transformatif bukanlah pada aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial, ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya.
Bahkan, bagi para pemikir transformatif menghendaki teologi bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi harus diarahkan sebagai suatu ajaran yang “memihak” dan “membebaskan” mayoritas umat Islam dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan demi terciptanya masyarakat adil dan demokratis. Masuk dalam kategori ini, di antaranya, adalah Koentowijoyo, Muslim Abdurrahman, Masdar F. Mas’udi, dan sebagian kalangan kyai-ulama pondok pesantren. Tak tertinggal dalam tipologi ini kelompok reformis sosial atau sosialisme demokrasi Islam: M. Dawan Rahardjo.
4. Totalistik
Ciri pokok dari pemikiran totalistik adalah adanya sikap utama yang mendasar dengan menganggap bahwa doktrin Islam bersifat total (kâffah), serta mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai, dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit yang meliputi semua bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi-segi baik individual, kolektif, maupun masyarakat manusia umumnya.
Pemahaman mereka biasanya berangkat dari teks dan selalu bersumber dari wahyu. Konsekuensinya, semua kehidupan bagi kelompok ini harus diresapi dengan norma Islam. Dengan demikian, tidak ada ruang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistik atau pluralistik. Pendukung tipologi ini adalah mereka yang sering disebut fundamentalisme.
5. Idealistik
Yang dimaksud dengan pemikiran idealistik dalam konteks ini adalah suatu pemikiran yang bertolak dari pandangan pentingnya perjuangan umat untuk berorientasi pada tahapan menuju “Islam cita-cita” (ideal Islam). “Islam cita-cita” adalah Islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang otentik, tetapi belum tentu tercermin dalam tingkah laku sosio-politik umat Islam dalam realitas sejarah mereka.
Perumusan cita-cita ini dimaksudkan untuk membedakan dengan “Islam sejarah” (historic Islam), yakni Islam seperti yang telah dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam, sebagai jawaban terhadap tantangan sejarah yang datang silih berganti. Tetapi, jawaban yang diberikan belum tentu selalu bertolak dari ajaran al-Qur’an yang sebenarnya. A. Syafi’i Ma’arif bisa dimasukkan ke dalam tipologi pemikiran ini.
6. Realistik
Ciri pokok pemikiran realistik adalah melihat keterkaitan atau melakukan penghadapan antara dimensi substantif dari ajaran atau doktrin agama dengan konteks sosio-kultural masyarakat pemeluknya. Bagi pemikir realistik, Islam sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin selalu diwarnai oleh perjalanan sejarah dan situasi sosial kultural pemeluknya. Karena itu, melihat ajaran Islam dalam pandangan kelompok ini tidak bisa menafikan realitas umat Islamnya. Masuk dalam format pemikiran ini adalah Taufik Abdullah. **
Bersambung….
by admin | 1 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
Kembali ke Khittah Indonesia 1945
ISIF Cirebon – Tiga belas tahun yang lalu, pada Munas dan Konbes tahun 2012 di Cirebon, Nahdlatul Ulama (NU) mengangkat tema “Kembali ke Khittah Indonesia Tahun 1945”. Ada apa dengan Indonesia Tahun 1945, sehingga harus dijadikan rujukan sebagai Khittah?
Tahun 1945 adalah tahun yang bersejarah bagi NU. Selain kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan, tahun 1945 juga adalah lahirnya fatwa NU tentang Resolusi Jihad untuk melawan para penjajah yang membonceng Jepang. Fatwa ini kemudian menggema menjadi perlawanan Arek-arek Soerobojo, yang kemudian ditetapkan sebagai hari Pahlawan Nasional pada setiap 10 November.
Seperti diketahui, NU adalah organisasi masyarakat sipil (civil society organization) berbasis pondok pesantren yang turut serta mendirikan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Setelah beratus-ratus tahun gigih berjuang melawan penjajah, NU bersama komponen bangsa lain mengisi dan mewarnai kemerdekaan Republik Indonesia. KH. Wahid Hasyim, putera pendiri NU dan ayah kandung Gus Dur, yang saat itu masih belia memang diutus ayahnya mewakili NU untuk bersama-sama kelompok lain membangun fondasi negara Indonesia, menyusun dasar negara Pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia ini. Ir. Soekarno, proklamator RI, menjadi Presiden RI juga atas hasil istikharah pendiri NU, Hadratusy Syaikh Mbah KH. M. Hasyim Asy’ari.
Walhasil, Tahun 1945 adalah khittah keberadaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Khittah ini ditandai dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia. Tanpa tahun 1945, Indonesia tidak akan pernah ada. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan pernah rukun dan bersatu. Tanpa UUD 1945, Indonesia tak akan pernah memiliki pemerintahan yang kokoh dan berwibawa. Tanpa Bhineka Tunggal Ika, Indonesia cacat dan tidak utuh. Patutlah, Indonesia Tahun 1945 dijadikan Khittah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini yang tengah mengalami erosi nasionalisme dan ancaman kebangsaan.
Negara Pancasila, Negara Islam
Salah satu prestasi NU yang paling monumental dalam satu abad sejarahnya adalah pemikiran politiknya tentang hubungan agama dan negara. Pemikiran itu sangat dapat dibanggakan. Di tengah ambisi kuat kalangan modernis dan transnasionalis memimpikan ‘negara Islam’, ‘daulah Islamiyyah’ atau ‘khilafah Islamiyyah’ di bumi Indonesia, NU dengan ‘nalar tradisionalitas’nya dan ‘teologi-pesantren’nya justru mengukuhkan negara Pancasila sebagai bentuk final dalam politik Islam (fiqh siyasah). “Tidak perlu mencari bentuk negara Islam lain, ‘Negara Pancasila adalah Negara Islam’ itu sendiri,” demikian kesimpulan ijtihad politik NU selama seabad.
Kita tahu wacana hubungan agama dan negara dalam Islam adalah wacana yang sangat krusial, telah lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer. Di sejumlah negara yang mayoritas muslim, perdebatan ini tidak saja mengundang konflik antarumat Islam, melainkan menjadi prahara bagi negara.
Indonesia adalah contohnya. Tahun 1950-an, negeri ini geger karena puluhan ribu orang terbunuh akibat perang guna mempertahankan ideologi ‘negara Islam’. Dengan bendera Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sekelompok orang Islam melakukan pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kecenderungan pemikiran mereka mempertentangkan antara Islam dengan negara non-Islam. Pilihannya hitam-putih: negara Islam atau perang. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah adalah contoh jalan pikirian hitam-putih ini.
Nahdlatul Ulama, melalui evolusi pemikirannya yang panjang, sejak masa penjajahan, perdebatan dasar negara menjelang pemerdekaan negara ini, hingga tahun 1984, telah berhasil mendamaikan atau merekonsiliasi secara teologis wujud ‘negara-bangsa’ dengan Islam. Tentu ini bukan perkara mudah, karena para kiai NU harus berijtihad secara radikal, merevisi teks, dan mengakui realitas empiris sebagai bagian dari ‘kebenaran’ yang harus dipertimbangkan.
Bagi Nahdlatul Ulama, diskusi tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila, sudah lama selesai. Keputusan Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada tahun 1984 telah mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 itu mengukuhkan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983.
Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari bahtsul masa`il ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa.
Nalar keagamaan NU telah menetapkan bahwa negara Indonesia dengan berdasarkan Pancasila sebagai bentuk final negara-bangsa. Bagi saya, kerangka pemikiran ini adalah masterpiece atau magnum opus pemikiran politik NU yang sangat brilliant, yang dimiliki kiai pesantren tradisional sebagai sumbangan atas bangunan teologi negara Pancasila.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia—yang dipimpin oleh para kiai tradisional-pesantren–telah menawarkan suatu penyelesaian teologis yang cemerlang melalui fikih politik dalam hubungan Islam dan Pancasila. Penalaran fikih politik ini tampaknya dapat menjadi pedoman atau inspirasi bagi organisasi keagamaan lain yang masih gamang menghadapi kenyataan ‘negara-modern’ Pancasila.[]
by admin | 12 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Finalitas ini ditetapkan sejak 37 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, tidak diperlukan lagi mencari dasar negara lain selain Pancasila. Pun, tidak diperlukan bereksperimen lagi pada bentuk negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara prinsipal, dalam pandangan NU, negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan, dalam bacaan saya, NU memandang negara Pancasila adalah bentuk lain dari negara Islam. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara Islam itu sendiri. Seperti diketahui bahwa secara sosio-politik, negara Islam tidak pernah tunggal dan monolitik, tidak pula universal dalam bentuk yang seragam.
Negara Islam itu bukan nama suatu negara, bukan simbol kenegaraan, atau bukan pula bentuk suatu pemerintahan. Suatu negara bisa disebut negara Islam apabila memenuhi suatu takaran substansi dan tata nilai prinsipal tertentu. Imam Abu Hanifah (80-150 H), misalnya, membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam di suatu negara merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam dalam suatu negara, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.
Dengan kriteria tersebut, jelaslah bahwa negara Pancasila adalah dâr al-Islâm. Umat Islam di Indonesia tidak saja aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan untuk beberapa hal umat Islam sangat diistimewakan. Misalnya, umat Islam punya jalur pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Meskipun labelnya “agama,” tetapi hakim, panitera, pegawai, dan orang-orang yang berperkara di pengadilan itu hanya untuk orang Islam. Sejumlah UU juga hanya ditujukan untuk umat Islam. Sebut saja, misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Meski tidak semua diatur dalam bentuk legal, umat Islam di Indonesia secara umum memiliki kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya, dijamin dan dilindungi secara konstitusional oleh UUD 1945. Oleh karena itu, perbincangan fundamental bangunan negara Indonesia, bagi NU, sudah titik (bukan koma atau titik koma lagi). Sebagai kesepakatan bersama, Indonesia telah berdiri tegak dan kokoh lebih dari 70 tahun meski serangan dan gugatan ideologis berkali-kali dilancarkan. Itulah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersemboyankan Bineka Tunggal Ika. Oleh MPR, fundamental negara ini disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini, oleh warga NU sering disingkat menjadi PBNU, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Yang menarik dari narasi NU tentang Pancasila ini, NU menyelesaikannya bukan dengan pendekatan sosial politik semata, melainkan juga dengan pendekatan keagamaan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fikih, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, tasâmuh, dan i’tidâl merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.
Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya pada pemikiran keagamaan. Apa yang dilakukan NU sesungguhnya adalah jawaban sejarah atas gugatan-gugatan ideologis dari kaum Islamis yang masih mendambakan negara Islam di bumi Indonesia ini. Apa yang dirumuskan NU juga pada dasarnya adalah jawaban teologis atas kegalauan kaum Islamis yang memberontak pada masa lalu bertujuan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Jika kita menggunakan nalar keagamaan ala NU, maka secara paradigmatik relasi agama dan negara telah selesai dan tuntas. Tentu tidak serta merta semua problem kenegaraan dan kebangsaan lalu tidak ada sama sekali. Finalitas ini hanya pada tataran fundamental yang bersifat paradigmatik dan ideologis. Dalam ruang-ruang praksis dan operasional tentu banyak hal yang masih harus dibenahi. Korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, gizi buruk, pendidikan, dan kerusakan alam adalah hal-hal yang harus terus diperbaiki. Namun, janganlah ada tikus di suatu rumah yang sudah kokoh, lalu rumahnya dibakar hanya untuk mengusir tikus.
Pancasila Digugat
Namun, seiring dengan derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang muaranya adalah mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan negara Islam atau khilâfah Islâmiyyah.
Akhirnya kita mencatat, dalam dua dekade terakhir ini, diskursus Pancasila kembali menjadi trending topic. Bukan karena rutinitas tahunan peringatan hari lahir atau hari kesaktian Pancasila, namun karena situasi kebangsaan yang memicunya. Masih hangat dalam ingatan kita, sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, ketika euphoria demokrasi menjangkiti kaum politisi kita, secara beruntun gugatan demi gugatan terhadap Pancasila dan NKRI terus menyeruak. Menariknya, gugatan ini bukan dilakukan oleh kaum komunis atau DI/TII sebagaimana terjadi di masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara sendiri dan organisasi yang sah dalam negara Pancasila. Lebih unik lagi, gugatan ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional dan atas nama demokrasi. Tidak sedikit para penyelenggara negara, baik di lembaga tinggi, pemerintahan, maupun lembaga tertinggi negara, menjadi otak intelektual dan sponsornya.
Kita masih ingat betul bagaimana kelompok Islamis secara konstitusional dalam ruang demokrasi kembali beraksi menggugat Pancasila dan UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket amandemen UUD 1945. Sebelumnya, gugatan ideologis dilakukan pada sidang Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959 dan Sidang Umum MPRS tahun 1966–1968. Ironisnya, semua gugatan ideologis ini dilakukan secara legal konstitusional di bawah lindungan demokrasi Pancasila untuk menggantikan Pancasila dan mengubah UUD 1945 itu sendiri.
Jelaslah gagal, karena kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam masih cukup kuat, baik dalam barisan Parlemen maupun dalam gugusan masyarakat Nusantara. Meskipun gagal, mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan formalisasi syari’at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi Pancasila itu sendiri. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas.
Meski mengutuk demokrasi dan memandang negara Pancasila sebagai thoghut, tetapi sebagian kelompok Islamis itu hidup dan berkembang di bawah payung demokrasi dan ideologi Pancasila. Sebagian mereka menjadi Parpol yang ikut Pemilu dan bahkan kader-kadernya masuk ke dalam barisan parlemen, jajaran pemerintahan, dan pasukan kepolisian/tentara. Sebagian lagi tetap menjadi Ormas dan gerakan ekstra-parlementer yang menjadikan gerakan politik sebagai strategi utama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh mutakhir yang bisa dikemukakan. Dia hidup dalam alam demokrasi yang diharamkan sendiri, berkembang dalam negara Pancasila yang di-thoghut-kan sendiri, tetapi strategi perjuangannya jelas dan tetap konsisten mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah Islamiyyah.
Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dewasa ini mutlak dilakukan. Tidak saja oleh negara, pihak yang paling bertanggungjawab, tetapi juga oleh masyarakat sipil (civil society). Perlu dicari cara dan pola baru untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan cara indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses ilmiah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam hati sanubari warga negara.
Dari Ideologi ke Praksis
Indonesia zaman now tentu berbeda dengan Indonesia zaman old. PKI dan HTI sudah dibubarkan. DI/TII dan Permesta sudah ditumpas. Aktor-aktor utamanya sudah dipenjarakan. Namun, paham, gagasan, dan ideologinya tidak pernah bisa dibunuh dan dikuburkan. Kita tidak mungkin bisa melarang dan menghukum pikiran, gagasan, keyakinan, dan ideologi yang bersemayam dalam otak dan sanubari seseorang. Sehingga, kemungkinan akan reinkarnasi, bangkit kembali, memberontak, dan menyerang kembali Pancasila dan UUD 1945 sangat bisa dipahami. Karena, ideologi itu tidak pernah mati, terus hidup, berkembang, mencari simpati, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya mewujud menjadi gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan budaya, hingga menjadi gerakan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini semua sangat mungkin terjadi. Kewaspadaan untuk ini tidak boleh hilang.
Akan tetapi, harus disadari bahwa tantangan Indonesia ke depan sangat kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri, baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional dan global. Arus besar globalisasi, pasar bebas, radikalisme, terorisme, narkoba, dan transmisi ideologi transnasional adalah sebagian isu global dan regional yang menjadi tantangan, sedang dan akan terus memengaruhi Indonesia ke depan. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perusakan alam, dan ketidakmerataan kesejahteraan adalah tantangan nyata dari dalam negeri yang terus akan menggugat peran dan fungsi Pancasila, bahkan hingga keberadaannya. Tantangan Pancasila hari ini bukan soal ideologi an sich, sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi yang paling memengaruhi gerakan massa adalah tantangan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan yang sehari-hari menyatu dalam kehidupan warga negara.
Ini tantangan nyata yang sangat dirasakan dan dialami oleh semua warga negara. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, kondisi ini akan berubah menjadi gerakan politik dan ideologi yang akan merongrong peran dan keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang gerakan ideologi yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sehari-hari warga negara. Ingat, Presiden Soeharto yang telah membangun kekuasaan lebih dari 30 tahun jatuh bukan karena ideologi non-Pancasila, tetapi karena kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sehari-hari dirasakan warga negara.
Dengan demikian, kehadiran Pancasila dengan pola, cara, dan pendekatan baru sangat niscaya. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk menurunkan Pancasila dari ideologi menjadi praksis gerakan sosial. Pancasila bukan sekadar ideologi negara yang singgah dalam jantung pemerintahan, melainkan yang terpenting harus menancap dalam hati sanubari bangsa Indonesia menjadi pandangan hidup (way of life). Yakni, pandangan hidup yang operasional menyentuh realitas sosial yang terus berubah dan realitas kehidupan yang dialami langsung oleh warga negara Indonesia. Pandangan hidup yang kontekstual dan dinamis merespons perubahan-perubahan yang terus terjadi, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar yang tetap (tsawabit, kulliyyât).
Pancasila juga harus hadir menjadi pegangan nilai bagi warga negara dalam menghadapi setiap masalah kehidupan dan tantangan-tantangan baru, baik dari ruang global, regional, maupun nasional dan lokal. Bukan sekadar tampil secara ideologis, melainkan Pancasila hari ini harus merespons dan menjawab tantangan-tantangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.
Dalam merespons tantangan yang kompleks itu, Pancasila harus tampil tidak semata-mata sebagai ideologi yang melangit (utopis), melainkan harus metamorfosis menjadi gerakan sosial, gerakan politik, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan dalam secara sistematis mewujudkan khittah-nya, yakni khittah Pancasila. Menurunkan ideologi ke dalam praksis sosial yang membebaskan adalah tantangan tersendiri dalam menerjemahkan Pancasila hari ini.
Dengan sejumlah tantangan di sekelilingnya, di hadapannya, dan di belakangnya, Pancasila harus mampu menjadi inspirasi gerakan sosial bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan persatuan Indonesia, yang didasari dengan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut berpedoman pada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Walhasil, kita—terutama negara—harus bisa menghadirkan Pancasila dalam ruang nyata kewarganegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang ada dalam kehidupan Indonesia. Wujud kehadiran itu adalah keberpihakan dan pembelaannya melalui kebijakan, perhatian, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang secara nyata mampu mengubahnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari ini, kita perlu menemukan kembali (reinventing) “khittah Pancasila.” Sejak Pancasila lahir, dia memiliki khittahnya. Khittah ini penting, karena khittah adalah tonggak garis perjuangan dan landasan dasar Pancasila ini ada. “Khittah Pancasila,” menurut saya, berada dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya yang melekat dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilâhiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-ra’iyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Lima nilai dan prinsip dasar ini merupakan satu keutuhan yang tak terpisahkan (five in one) dalam sistem nilai Pancasila. []