(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Melayani dengan Kasih Sayang (3)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Hari berikutnya, saya bergeser ke Madinah. Di daerah kerja Madinah, petugas haji dibagi ke dalam 6 sektor. 5 sektor melayani dan menangani ribuan jamaah haji yang menginap di sejumlah hotel sekitar Masjid Nabawi, dan 1 sektor khusus yang bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji di sejumlah titik krusial di lingkungan Masjid Nabawi.

Dalam menjalankan tugas, saya ditempatkan di Sektor III Madinah, yang wilayah kerjanya di sebelah barat Masjid Nabawi.

Sektor III Madinah ini menangani, memantau, melayani, dan membantu jamaah haji yang singgah di 25 hotel sekitar Masjid Nabawi.

Tugas kami adalah sebelum rangkaian ibadah haji dimulai, menerima kedatangan jamaah haji gelombang I dari Tanah Air ke Madinah, dan setelah rangkaian haji terlaksana, menerima jamaah haji gelombang II yang datang dari Mekah ke Madinah.

Jamaah haji Indonesia tinggal di Madinah selama 8 hari. Tujuan utamnaya adalah agar bisa mengejar “arbain”. Yakni, sholat berjamaah di Masjid Nabawi dalam 40 waktu sholat.

Sembari mencapai “arbain”, para jamaah haji selama di Madinah pada umumnya melakukan ziarah ke maqbaroh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, singgah di Raudlah, ziarah ke maqbaroh para sahabat Nabi SAW di pemakaman Baqi’, ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Quba, Masjid Qiblatain, jabal Uhud, dan lain-lain.

Setelah 8 hari di Madinah, para jamaah haji gelombang I kita dorong berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Dalam perjalanan ke Mekah, mereka melakukan niat ihram di miqot Bir Ali.

Jamaah haji gelombang II, setelah 8 hari di Madinah, kita dorong kembali ke Tanah Air, naik pesawat terbang melalui Bandara Madinah atau Jeddah.

Nah, tugas kami adalah menyambut kedatangan para jamaah haji di Madinah dan mengantarkan para jamaah haji bergeser ke Mekah atau pulang ke Tanah Air.

Dalam penyambutan kedatangan jamaah haji, banyak hal yang harus dilakukan. Di antaranya adalah memastikan ketersediaan dan kesiapan kamar hotel untuk satu kloter dalam sekali kedatangan, konsumsi mereka saat datang, memastikan koper besar, koper kecil, kursi roda, dan barang-barang bawaan jamaah haji aman dan tidak hilang.

Nah, petugas haji layanan jamaah Lansia di sini memastikan para Lansia, terutama yang berkebutuhan khusus, terlayani dengan baik. Jika butuh kursi roda dan didorong, disediakan kursi roda dan didorong hingga ke kamar hotel. Jika harus dituntun hingga ke kamar hotel, kita tuntun dengan ramah. Jika harus digendong, kita gendong. Intinya, para jamaah haji Lansia dan disabilitas harus terlayani sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Pelayanan terhadap Lansia dan disabilitas tidak hanya ini, tetapi juga kita memastikan mereka didahulukan dalam naik lift, masuk kamar, peroleh makanan, atau kalaupun harus menunggu bisa duduk dengan nyaman.

Demikian seterusnya hingga seluruh jamaah haji, termasuk Lansia dan disabilitas, sudah menemlati kamar masing-masing lengkap dengan koper besar, koper kecil, dan barang bawaan lainnya.

Ada prioritas lantai hotel untuk para jamaah haji Lansia dan disabilitas, yaitu ditempatkan di lantai paling bawah dan dekat dengan lift untuk memudahkan akses keluar masuk hotel.

Untuk konteks ini, saya ingin bercerita beberapa kasus layanan Lansia dan disabilitas dalam penyambutan kedatangan mereka.

Kasus yang paling banyak adalah kebutuhan mereka terhadap kursi roda dan mendorong mereka hingga ke kamar hotel. Ini sudah biasa kami lakukan.

Kasus lain adalah Lansia yang berkebutuhan khusus, ada yang tidak bisa berjalan sama sekali dan ada yang tidak bisa melihat sama sekali.

Terhadap mereka yang tidak bisa berjalan sama sekali, kami gendong dari atas mobil bus hingga ke kursi roda. Lalu, kursi roda didorong hingga ke kamar hotel.

Adapun terhadap yang tidak bisa melihat sama sekali, kami menuntunnya dengan penuh kecermatan untuk menapaki tangga mobil dari atas hingga ke kursi roda. Setelah duduk di kursi roda, kami dorong hingga ke kamar hotel.

Ini sejumlah pelayanan yang kami lakukan pada saat jamaah haji tiba di Madinah, baik gelombang I maupun gelombang II.

Perlu dicatat, kedatangan mereka itu berjumlah antara 360 hingga 450 orang jamaah haji dalam satu Kloter.

Dalam satu hari, bisa saja datang 10 Kloter pada 1 Sektor. Datang dengan waktu yang beragam, kadang siang hari, ada juga yang datang jam 1 atau 3 dini hari.

Berapapun kloter jamaah haji datang dalam satu hari, dan jam berapapun mereka datang di Madinah, kami petugas haji selalu siap melayani mereka, dan tidak boleh telat sedetik pun. []

Melayani dengan Kasih Sayang (2)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Saya adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai Petugas Haji Layanan Jamaah Lansia non-Kloter. Sungguh suatu karunia yang harus disyukuri. Pertama, kerinduan saya selama 10 tahun tidak bermesraan dengan Ka’bah dan Raudlah terobati. Kedua, melayani Lansia adalah tantangan baru bagi saya. Saya adalah tipe orang yang suka mengahadapi tantangan baru.

Atas pertimbangan itu, ketika saya dipanggil untuk menjadi petugas haji layanan jamaah Lansia, tanpa berpikir panjang saya nyatakan siap. Dengan proses yang relatif cepat, akhirnya saya tiba di Haramayn.

Awalnya, saya ditugaskan di Mekah. Namun kemudian dipindah ke Madinah. Sehingga saya beruntung dalam waktu setengah bulan saya mengalami singgah di Mekah dan Madinah, sekaligus merasakan pengalaman yang berbeda dalam melayani jamaah haji Lansia di Mekah dan Madinah.

Bertugas di Mekah, hanya 2 hari saya jalani. Saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Hari pertama saya ditempatkan di tempat sa’i (mas’a) dan tempat thowaf (mathaf) lantai 2, di mana para jamaah Lansia melakukan thawaf dan sa’i dengan kursi roda.

Di situ, selama 12 jam, mulai jam 21.00 – 09.00 WSA saya bersama 3 orang petugas yang lain memantau, melayani, dan membantu jamaah haji Lansia yang menghadapi masalah.

Dalam waktu 12 jam, pada tanggal 14 Dzul Qo’dah 1444 H di mana jamaah haji Indonesia belum semuanya tiba di Mekah, saya menjumpai lebih dari 10 kasus yang dihadapi jamaah haji Lansia di mathaf dan mas’a.

Di antaranya adalah jamaah haji Lansia yang sedang thawaf dan sa’i dengan kursi roda dipindahtangankan dari pendorong awal ke pendorong kedua. KBHIU atau Karom/Karu sudah membayar pendorong dari muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Saudi) atau pihak lain. Lalu, dalam banyak kasus orang ini sedang mendorong jamaah Lansia, namun tiba-tiba ditangkap oleh ‘askar (petugas keamaan Masjidil Haram) karena bukan pendorong yang legal. Akhirnya, kursi roda jamaah haji Lansia ini diambil alih dan diteruskan oleh pendorong legal yang berseragam pakaian Arab berrompi dan bertopi, hingga 7 kali putaran sebagaimana seharusnya.

Nah, ketika sudah selesai 7 kali putaran ini, pendorong terakhir minta bayaran (ujrah). Di sini jamaah haji Lansia ada beberapa kasus.

Pertama, tidak memiliki uang yang cukup. Ada yang memang tidak membawa dompet, ada yang jumlah uangnya kurang, dan ada juga yang dompetnya hilang. Timbul masalah.

Kedua, jamaah haji Lansia memiliki uang, tetapi tidak bisa berbicara bahasa Arab untuk negosiasi upah yang harus dibayarkan. Bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tetapi tidak terjadi kesepakatan jumlah upah yang harus dibayarkan. Baginya terlalu mahal. Juga timbul masalah.

Menghadapi kasus ini, jika bisa diselesaikan dengan negosiasi melalui musyawarah mufakat, maka masalah rampung. Jika untuk menyelesaikannya harus telepon Ketua Kloter, maka kami telepon Ketua Kloter. Intinya, bagaimana jamaah haji Lansia tidak sendirian, ada yang menemani, dan masalah yang dihadapi terselesaikan secara damai, ittifaq, dan taradliy.

Kasus lain yang ditemui adalah jamaah haji Lansia berkursi roda, tetapi tidak ada yang mendorong, ntah tidak menyewa pendorong atau ditinggal pergi oleh pendorongnya. Intinya, dia sendirian tanpa ada yang mendorong.

Menghadapi kasus ini, kami gantian mendorong kursi roda jamaah haji Lansia yang akan thawaf dan sa’i hingga tahallul, atau kami carikan pendorong legal profesional yang siap mendorong hingga tahallul.

Kasus yang tidak kalah banyaknya adalah jamaah haji Lansia tidak tahu ke mana harus pulang ke hotelnya, dan melalui terminal mana menuju. Dia sendirian di lantai 2 mas’a. Ditanya hotel tempat tinggalnya, tidak tahu. Melalui terminal mana naik bus “sholawat”, tidak tahu, Kloter berapa juga tidak tahu.

—–
Bus “sholawat” adalah suatu istilah sejumlah bus dengan nomor punggung yang berbeda-beda yang telah disediakan Pemerintah Indonesia untuk mengantarkan jamaah haji Indonesia dari hotel tempat tinggal jamaah haji ke Masjidil Haram. Bus ini stand by 24 jam.
—–

Menghadapi kasus yang terakhir ini, kami cek gelangnya. Di situ ada nama embarkasi dan kloternya. Juga kami cek tanda pengenalnya. Melalui aplikasi Haji Pintar yang dibuat Kemenag bisa diketahui nama, nomor passport, embarkasi berangkat, kloter berapa, di hotel mana dia tinggal di Mekah dan Madinah, juga diketahui nama Ketua Kloter, Ketua Rombongan, bahkan diketahui kapan dia akan kembali ke Tanah Air.

Cukup dengan menscan barkode via aplikasi Haji Pintar, kami bisa menemukan semua identitas jamaah haji. Di sinilah pentingnya gelang terbuat besi yang dipakai, dan identitas jamaah haji. Jangan sampai tidak melekat pada jamaah haji Indonesia.

Setelah diketahui semua informasi yang kami butuhkan, tentu saja kami mengantarnya hingga ke terminal bus di mana dia menuju hotelnya. Di setiap terminal bus juga terdapat banyak petugas haji. Tidak sedikit, petugas haji di terminal mengantarkan jamaah haji Lansia ini hingga ke hotelnya.

Ada lagi kasus yang dijumpai, yaitu jamaah haji Lansia kelelahan dan dehidrasi. Dalam kasus ini, kami mencarikan kursi roda, memberinya minum, dan segera berkoordinasi dengan EMT (Emergency Medical Team) petugas kesehatan.

Ini sejumlah kasus yang ditemui di mathaf dan mas’a.

Berbeda lagi kasus-kasus yang ditemui di halaman Masjidil Haram.

Kebetulan pada hari kedua di Mekah, saya ditugaskan oleh Kepala Sektor Khusus untuk memantau, membantu, dan melayani jamaah haji di depan Zamzam Tower (depan WC 3), halaman Masjidil Haram.

Kenapa di sini? Karena di tempat inilah, pintu masuk terdekat untuk melakukan thawaf, pintu keluar dari Masjidil Haram, dan banyak jamaah haji keliru dan kebingungan menentukan arah terminal bus.

Sama dengan hari pertama, pada hari kedua ini saya ditugaskan malam hari juga, yakni sejak jam 21.00-09.00 WSA. Bersama 3 petugas yang lain, kami berbagi siapa berada di pojok mana dari halaman depan Zamzam Tower ini.

Di tempat ini, kasus-kasus jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia, yang paling banyak dijumpai adalah kebingungan menemukan arah terminal bus yang dituju.

Di sekitar Masjidil Haram, terdapat 3 terminal bus di mana bus “sholawat” stand by mengantarkan jamaah haji 24 jam dari terminal Masjidil Haram ke hotel tempat tinggal. Yaitu, terminal Syib Amir, Bab Ali, dan Jiyad. Tiga terminal ini berada di tiga arah kompas yang berbeda.

Menghadapi kasus ini, kami menunjukkan arah atau bila diperlukan mengantarkan jamaah hingga ke terminal yang dimaksud. Bila jamaah haji Lansia dan dibutuhkan kursi roda karena kelelahan atau jauhnya jalan kaki, kami mencarikan kursi roda dan mendorongnya hingga ke terminal.

Selain kebingungan menentukan arah terminal, juga kebanyakan jamaah haji terutama yang Lansia tidak tahu tempat tinggalnya. Dia tertinggal dan terpisah dari rombongan jamaah thawaf dan sa’i atau rombongan sholat maktubah. Ditanya tinggal di mana, tidak tahu. Kloter berapa tidak tahu.

Dalam menghadapi kasus ini, mitigasinya sama dengan kasus sejenis yang terjadi di mas’a.

Ada lagi kasus istri terpisah dari suaminya atau suami terpisah dari istrinya atau anak dari orang tuanya atau dengan teman rombongan jamaahnya. Mereka saling mencari dan kebingungan menemukannya.

Menghadapi kasus ini, kami berkoordinasi dengan sesama petugas di Sektor Khusus untuk menemukan orang yang terpisah ini dengan cara memfoto yang bersangkutan dan identitas yang diperlukan. Lalu, diunggah ke grup Sektor Khusus.

Cara lain, kami menelpon yang bersangkutan bila membawa HP, atau berkoordinasi dengan ketua Kloter dan ketua rombogannya.

Dalam banyak kasus, masalah ini teratasi dan ditemukan hingga akhirnya mereka bertemu dan kembali bersama keluarga atau rombongannya.

Inilah sejumlah kasus yang saya temui saat saya bertugas di sektor Khusus Masjidil Haram selama dua hari pertama kedatangan di Mekah. []

Melayani dengan Kasih Sayang (1)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Awalnya, saya tidak akan menulis apa yang saya lakukan di sini. Saya akan fokus pada tugas saya melayani jamaah haji Lansia dengan penuh kasih sayang.

Akan tetapi, pengalaman berharga ini sayang sekali jika menguap begitu saja, tanpa jejak digital, dan disebarkan untuk kemanfaatan banyak orang.

Akhirnya di tengah rehat saya di kamar, saya coba tulis apa yang saya ingat. Semoga tulisan empiris ini bermanfaat bagi teman-teman, baik yang sedang jadi petugas haji, jamaah haji, maupun yang akan jadi jamaah haji, atau petugas haji kelak.

Bahwa ibadah haji itu kompleks dan totalitas. Ibadah haji itu menyatunya antara kemampuan fisik, finansial, mental, dan spiritual. Sinerginya antara jamaah, petugas, KBIHU, dan pemerintah. Tanpa sinergitas, kolaborasi, dan integrasi ini sulit terwujudnya penyelenggaraan haji yang ramah bagi siapapun.

Kebetulan musim haji tahun 2023 ini adalah 30% nya adalah Lansia, yakni seseorang yang berusia di atas 65 tahun. Sungguh ini tantangan tersendiri. Tentu dibutuhkan pendekatan, strategi, dan cara-cara yang ramah bagi seluruh jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia.

Tulisan ini bercerita tentang pengalaman itu. Sengaja ditulis dan dibagikan di sini, agar terdokumentasikan dan terekam secara digital.

Ini Cerita Saya

15 hari berlalu tugas saya. Antara senang, bangga, kuatir, dan cemas campur aduk. Tidak hanya dalam perasaan dan tangan-tangan, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Kenapa? Mungkin karena harapan dan semangat membara untuk melayani secara prima jamaah haji Lansia menghadapi kenyataan di lapangan yang tidak mudah. Ini terjadi hampir di setiap momentum.

Mungkin juga disebabkan oleh karena tugas ini adalah kali pertama saya lakukan di dalam ritual haji, juga kali pertama saya melayani Lansia dengan berbagai jenis dan karakter.

Tahun 2013, sepuluh tahun yang lalu, memang saya pernah bertugas sebagai TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia), tetapi hanya satu Kloter saja yang berjumlah sekitar 450 orang. Lah, sekarang ini kami harus menangani semua Kloter jamaah haji dari berbagai provinisi dengan komposisi suku, adat, dan bahasa yang berbeda, yang berjumlah sekitar 228 ribu orang.

Berdasarkan data Siskohat (Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu) per 23 Maret 2023, terdapat 66.943 jamaah haji Indonesia Lansia dengan usia 65 tahun ke atas. Artinya sekitar 30% dari total jamaah haji tahun 2023 adalah Lansia. Atau, 1 dari 3 jamaah haji Indonesia tahun 2023 adalah Lansia.

Rinciannya adalah jamaah haji yang berusia di atas 95 tahun berjumlah 555 orang (0,8%), yang berusia 85-94 tahun berjumlah 7.680 orang (11,5%), yang berusia 75-84 tahun berjumlah 12.912 orang (19,3% ), dan yang berusia 65-74 tahun berjumlah 45.796 orang (68,4%).

Saya tidak memiliki data yang pasti, tapi dari pengalaman yang saya layani, kebanyakan Lansia ini berjenis kelamin perempuan. Tidak selaras dengan data BPS tahun 2020, dari 26,82 juta Lansia yang berjenis kelamin perempuan 52,95%, sedangkan Lansia laki-laki 47,05%.

Lansia laki-laki pada umumnya masih berstatus menikah, sementara rerata perempuan Lansia sudah menjanda, baik karena ditinggal mati suaminya atau bercerai sebelumnya.

Data BPS 2020 menyebutkan rerata Lansia baik laki-laki maupun perempuan hanya bersekolah sampai kelas 5 SD atau sederajat.

Dari jumlah total Lansia, yang sakit mencapai seperempatnya (24,35%). Artinya 1 dari 4 Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya.

Dari data-data ini sudah terbayang bagaimana besarnya tantangan petugas haji, baik petugas Kloter maupun non-Kloter yang berada di Arab Saudi (Jeddah, Mekah, Bir Ali, dan Madinah), dalam melayani jamaah haji Lansia.

Sebelum saya bercerita pengalaman saya dalam melayani jamaah haji Lansia tahun ini selama 15 hari di Mekah dan Madinah, saya ingin mengurangi kondisi jamaah haji Lansia ini.

Pertama, Lansia yang mandiri. Jamaah haji ini meskipun Lansia tetapi masih bisa mengatur dirinya secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Panca indera dan fisiknya masih sehat dan berfungsi dengan baik.

Kedua, Lansia yang sakit. 24,35% Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya, sehingga membutuhkan penanganan khusus. Sakit di sini bisa sakit fisik atau mental. Sakit fisik misalnya jantung, paru-paru, diabetes, dll. Sakit jiwa misalnya dimensi, dll (saya tidak paham istilah-istilah medisnya). Memperlakukan mereka harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis penyakitnya.

Terhadap haji Lansia yang sakit ini dibagi menjadi jamaah dua. Ada keluarga yang mendampinginya, dan banyak Lansia sakit yang tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.

Ketiga, Lansia yang berkebutuhan khusus. Terdapat Lansia yang tidak bisa berjalan sama sekali, bisa berjalan tapi tidak kuat lama, tidak bisa melihat sama sekali, bisa melihat tapi kabur, tidak bisa dan sulit untuk mendengar, dan lainnya. Pada Lansia jenis ini dibutuhkan alat-alat atau media dan penanganan secara khusus.

Terhadap haji Lansia berkebutuhan khusus pun dibagi menjadi jamaah dua. Ada keluarga yang mendampinginya, dan banyak Lansia berkebutuhan khusus yang tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.

Dari sisi alat atau media yang dibutuhkan, jamaah haji berkebutuhan khusus ini dibagi menjadi dua. Ada yang membawa kursi roda sendiri dari Tanah Air, dan ada yang tidak memiliki kursi roda sendiri.

Inilah kondisi jamaah haji Indonesia tahun 2023. Oleh karena itu, Kementerian Agama menetapkan tema haji tahun ini adalah Layanan Haji Ramah Lansia.

Sebagai komitmen atas layanan haji ramah Lansia ini, Kementerian Agama pada tahun 2023 ini menambah ratusan pasukan Petugas Haji yang khusus untuk melayani jamaah haji Lansia ini, baik petugas Kloter maupun non-Kloter.

Tugas mereka ada yang menjadi anggota samai jamaah haji di Kloter, mulai dari Tanah Air, embarkasi, bandara, selama di pesawat, hingga menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan umrah.

Ada juga petugas yang di luar Kloter yang melayani mereka sejak di embarkasi, bandara di Tanah Air, bandara Jeddah atau Madinah, selama di Madinah, selama di Mekah di tempat thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di muzdalifah, mabit di Mina, di Jamarat, hingga di penginapan.

Semuanya bersemangatkan Pelayanan Haji Ramah Lansia, Sehat, Mabrur, dan Barokah. []

Moderasi Beragama Dalam Relasi Gender dan Seksualitas

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Sudah lama saya ingin tulis ini, sejak terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

PMA 73/2022 ini terbit pada 5 Oktober 2022 dan diundangkan pada 6 Oktober 2022. Sebelum PMA ini terbit telah dikeluarkan Surat Keputusan Dirjen Pendis No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Di tengah gerakan moderasi beragama yang tengah dipimpin Kementerian Agama, saya ingin mengatakan bahwa PMA 73/2022 ini adalah wujud nyata komitmen moderasi beragama dalam relasi gender dan relasi seksual.

Mungkin sebagian orang menduga, dalam moderasi beragama, relasi gender dan relasi seksual bersifat longggar, tengah-tengah antara anti kekerasan seksual dan permisifikasi seksual. Ini tentu cara pandang yang salah sejak memahami moderasi beragama sebagai sikap tengah-tengah, laa wa laa, tidak ke sana tidak ke sini.

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, termasuk dalam relasi gender dan relasi seksual, dengan mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Dari definisi ini jelas, dalam moderasi beragama terdapat 9 prinsip yang melekat, yaitu kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan terhadap tradisi.

Nah, kekerasan seksual ditinjau dari manapun bertentangan dengan semua prinsip moderasi beragama itu. Kekerasan seksual adalah tindakan ekstrem yang melanggar kemanusiaan, madlarat, dzalim, dan bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama.

Jika ada suatu ajaran agama yang membolehkan atau menyetujui kekerasan seksual, maka cara beragama tersebut adalah ekstrem. Tentu bertentangan dengan cara pandang, sikap, dan tindakan moderasi beragama.
Ini berlaku untuk semua jenis kekerasan seksual, dalam lingkup domestik atau publik, dalam ranah private, keluarga, masyarakat, atau negara.

Oleh karena kekerasan seksual adalah tindakan yang dilarang agama (haram), maka mencegahnya, membela korban, dan menghukum pelaku adalah wajib hukumnya.

Tujuannya tentu saja agar kemafsadatan ini tidak terjadi lagi. Pelaku jera dan bertobat. Korban tertolong dan dipulihkan secara fisik, psikis, sosial, finansial, dan spiritual.

Nah, hebatnya PMA 73/2022 ini sudah mencakup semua ini. Kami sungguh sangat bangga dan mengapresiasi langkah-langkah kongkret dari Kementerian Agama untuk menghadirkan Islam yang anti kekerasan, rahmah, adil, maslahat, dan senantiasa menjunjung tinggi kemuliaan manusia (karomatul insan). Inilah wujud nyata moderasi beragama dalam relasi gender dan relasi seksual.

Dengan PMA 73/2022 ini, saya berdoa dan ingin menyaksikan pendidikan agama dalam berbagai jenis dan jenjangnya bebas dan bersih dari kekerasan seksual, mulai dari hulu hingga hilir. []

The Real Civil Society Movement is GUSDURian Network

Oleh : Dr. KH. Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Sebagai warga dengan multi-identitas, ada banyak agenda yang wajib diikuti. Ada agenda tahunan, agenda dua tahunan, agenda empat tahunan, dan ada juga agenda lima tahunan.

Kali ini, sebagai warga Gusdurian, saya mewajibkan diri untuk mengikuti agenda dua tahunan TUNAS GUSDURIAN 2022, yakni Temu Nasional Jaringan Gusdurian se-Indonesia tahun 2022.

Kegiatan yang diikuti oleh sekitar 1.500-an orang dari 155 komunitas Gusdurian mulai dari Sumatera hingga Papua dan sejumlah negara ini dilaksanakan selama 3 hari, Jum’at-Ahad, 14-16 Oktober 2022 di Surabaya.

TUNAS 2022 ini membuncah, karena TUNAS 2020 sebelumnya pada masa pandemi dilakukan secara daring. Para Gusdurian tidak hanya kangen secara fisik, tetapi juga pasti rindu mengomunikasikan dan mengonsolidasikan gagasan dan gerakannya dalam pertemuan nasional. Ini yang membuat kepesertaan TUNAS tahun ini sulit dibendung.

Hebatnya, ribuan Gusdurian yang sebagian besar generasi Z dan milenial ini datang dengan biaya sendiri. Ada yang naik bus, kereta api, kapal laut, pesawat, dan ada juga yang rombongan bawa mobil sendiri. Panitia hanya menyediakan tempat penginapan di asrama haji, makan dan minum secukupnya. Kesukarelawanan mereka sangat tampak di sini.

Meski ribuan orang dari berbagai agama dan kepercayaan ini berkumpul, acara berjalan sangat tertib dan rapih. Bahkan penghormatan, keakraban, gotong royong, dan kebersamaan sangat terasa. Tidak ada amarah, lempar kursi, dan kekisruhan sama sekali. Semuanya berjalan secara guyub, tapi dinamis dan tetap kritis.

Menariknya, meskipun kita tahu Gus Dur adalah tokoh muslim, acara ini dibuka dan diakhiri dengan doa lintas agama dan kepercayaan. Ini tidak lain, karena perjuangan Gus Dur untuk kemanusiaan, keadilan, dan kedamaian semesta, Lagi-lagi, kebersamaan agama-agama dan kepercayaan ditemukan dalam forum Gusdurian ini.

Banyak hal yang menjadi karakter keindonesiaan yang sementara ini hilang justru ditemukan di sini.

Selain itu, tentu saja konsolidasi gagasan dan gerakan, recharging energi perjuangan dan spiritualitas Gus Dur juga hadir di TUNAS ini.

Membincang Gus Dur adalah hal utama. Anehnya, gagasan, pemikiran, dan gerakan Gus Dur tidak pernah bosan diperbincangkan.

Setiap tahun, kita tahu sejumlah komunitas ini menyelenggarakan Haul Gus Dur. Pasti membincang Gus Dur. Kegiatan mingguan mereka juga di antaranya melakukan kajian pemikiran dan gerakan Gus Dur. Sekarang, dalam setiap dua tahun kumpul dalam kegiatan TUNAS juga membincang Gus Dur.

Walhasil, Gus Dur adalah sumber gagasan, pemikiran, dan gerakan yang tidak pernah lapuk dan lekang dikaji dan digali oleh para pengikut dan penerusnya.

Gus Dur memang dahsyat dan luar biasa. Belum ada satu tokoh di Indonesia, ntah di dunia, yang setiap tahun hari wafatnya diperingati (haul) oleh semua agama dan kepercayaan. Setiap dua tahun, ribuan pengikut dan pecintanya kumpul dalam satu tempat untuk berbagi dan konsolidasi. Nilai, perjuangan, dan keteladanan Gus Dur dijadikan spirit perjuangan oleh mereka untuk membela orang-orang yang tertindas dan terlemahkan di negeri ini dan belahan dunia.

Ala kulli hal, menurut saya, Jaringan Nasional Gusdurian ini adalah jaringan civil society yang paling solid sekarang ini. Mereka bergerak secara sukarela, tulus ikhlas, tidak ada ikatan formal, apalagi finansial yang mengikat. Mereka terhubung dengan ikon yang sama “Gusdurian” semata-sama karena menjadikan Gus Dur sebagai sumber nilai, perjuangan, dan keteladanan (NPK). Kaderisasi adalah rajutan kultural ideologis yang kuat dari jaringan ini.

Gerakan Gusdurian berpotensi menjadi gerakan civil society terbesar, tersolid, dan paling berpengaruh di masa yang akan datang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.

Penting untuk diketahui, yang membedakan TUNAS 2022 dengan sebelumnya adalah dikeluarkannya “Resolusi Gusdurian untuk Indonesia” yang dibacakan oleh Ning Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, pada acara penutupan, Ahad 16 Oktober 2022. []

Stunting dan Masa Depan Indonesia

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

Stunting –yang dulu disebut ‘anak kerdil’—masih menjadi pe-er besar bagi bangsa Indonesia. Per tahun 2021 kemarin, prevalensi stunting masih di angka 24,4% (SSGI, 2021) atau sekitar 5,33 juta Balita stuned. Meskipun prevalensi ini mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, namun tidak bisa dipandang enteng.

Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia lumayan lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Ini agenda besar yang tidak bisa dikerjakan sambil lalu.

Kita tahu, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (Balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Ini terjadi terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai dari janin hingga anak berusia dua tahun.

Masalah Multidimensi

Stunting memang masalah kesehatan, tetapi sebab dan akibatnya tidak melulu soal kesehatan. Penyebab langsung tentu saja kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai, tetapi penyebab tidak langsungnya bisa karena ketidaktahuan, akses pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau, sanitasi yang buruk, anggaran yang tidak memadai, ketidakpedulian sosial, dan juga komitmen pemerintah yang kurang kuat.

Dengan begitu, stunting adalah masalah multidimensi. Tidak hanya berdampak pada gangguan kesehatan fisik, stunting juga menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang tidak baik sehingga mudah sakit. Lebih dari itu, stunting juga mengganggu kesehatan jiwa dan perkembangan otak, berpotensi memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.

Jika tidak segera diturunkan hingga batas minimal 20 persen dalam standar WHO atau seperlima dari jumlah total anak Balita, maka cepat atau lambat stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan sosial, yang pada akhirnya akan memengaruhi kualitas demokrasi kita. Bonus demografi yang hendak kita rayakan pada tahun 2030-2035, bisa jadi gagal panen.

Jurus Pemerintah

Presiden Jokowi sebetulnya telah mengantisipasi kemungkinan buruk ini dengan memasukkan program pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007). Yakni, terjaminnya ketersediaan pangan yang meliputi produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup diharapkan dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada kantong-kantong stunting dalam wilayah Indonesia.

Presiden Jokowi juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini diadopsi dari Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang dirumuskan pada tahun 2018. Bahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana percepatan penurunan stunting telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN-PASTI) 2021-2024 (Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021).

Di sini, tampak sekali pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai program prioritas pemerintah. Pada tahun 2022 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran negara sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung penurunan stunting. Rp34,1 triliun tersebar pada 17 kementerian dan lembaga, dan Rp8,9 triliun dibagikan ke Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik serta Rp1,8 triliun untuk DAK Nonfisik.

Sebetulnya upaya percepatan pencegahan stunting yang dikomandani oleh Wakil Presiden RI menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terjadi penurunan angka prevalensi stunting dari tahun ke tahun. Jika pada awal pelaksanaan Stranas, tahun 2018, angka prevalensi stunting berada pada 30,8% (Riskesdas, 2018), maka pada tahun 2019 turun ke level 27,7% (SSGI, 2019), dan pada tahun 2021, angka prevalensi stunting nasional turun ke level 24,4% (SSGI, 2021). Dengan demikian, telah terjadi penurunan 6,4% selama 2018-2021.

Komitmen pemerintah pun sangat ambisius, prevalensi stunting harus turun pada 14% di tahun 2024. Ini artinya prevalensi stunting harus turun 10,4% poin dalam 2,5 tahun ke depan. Mungkinkah akan tercapai?

Perlunya Konvergensi dan Kolaborasi

Tercapai atau tidaknya target 14% pada tahun 2024 tergantung pada ketercapaian lima pilar berikut. Pertama, apakah komitmen para pemimpin pemerintahan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan semakin meningkat atau tidak untuk menurunkan stunting. Kedua, apakah komunikasi perubahan perilaku kepada masyarakat sasaran semakin efektif atau tidak dalam mengedukasi pentingnya bebas dari stunting. Ketiga, apakah intervensi spesifik dan intervensi sensitif semakin konvergen dan tepat sasaran atau tidak hingga ke masyarakat sasaran di desa-desa yang terpencil, terdalam, dan terluar.

Keempat, apakah ketahanan pangan dan gizi di daerah-daerah kantong stunting semakin meningkat atau tidak. Kelima, apakah sistem, data, informasi, riset, dan inovasi tentang stunting akurat dan dipakai secara efektif atau tidak dalam menurunkan stunting. Tambahan, apakah semua pilar ini betul-betul menyasar pada lima kelompok sosial prioritas atau tidak? Yakni, remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-59 (lima puluh sembilan) bulan.

Selain itu, untuk mempercepat penurunan stunting pemerintah harus fokus pada provinsi-provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi dan provinsi-provinsi dengan jumlah stunting terbesar. Berdasarkan SSGI 2021, ada 7 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Sementara provinsi dengan jumlah stunting terbesar ada 5, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten (SSGI, 2021).

Jika dalam 2,5 tahun ini implementasi lima pilar tidak ada progres dan peningkatan, maka jutaan anak kerdil di masa mendatang sangat mungkin menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Menurut saya, target ambisius ini tidak akan tercapai jika hanya pemerintah sebagai aktor tunggal dalam penanganan stunting. Sekuat apapun komitmen pemerintah dan sebanyak apapun anggaran yang digelontorkan, jika tidak ada dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta, dan media (pentahelix stakeholders) rasanya sulit terwujud.

Di sinilah, stunting harus menjadi keprihatinan kita bersama, keprihatinan kemanusiaan, keprihatinan masa depan bangsa, dan bagian dari problem besar manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berkualitas. Stunting tidak cukup hanya menjadi program prioritas pemerintah, tapi harus menjadi program prioritas bangsa. Keterlibatan semua pihak dalam penanganan stunting mutlak adanya. Partisipasi semua pihak akan sangat memengaruhi ketercapaian target prevalensi 14% pada tahun 2024.[]

Artikel ini sudah dimuat di Koran SINDO, pada Rabu, 13 Juli 2022.