by admin | 2 Sep 2025 | Artikel, Opini
Oleh: Nana Sastrawan (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Sebelum menjadi pejabat publik, baik di lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, banyak tokoh dikenal ramah, peduli, dan jadi pembela terdepan ketidakadilan. Mereka tidak hanya baik, tetapi juga cerdas, berani, dan tentu saja berpendidikan. Namun, setelah berkuasa, banyak di antara mereka menjadi pribadi yang berbeda dengan sebelumnya. Inilah paradoks kekuasaan, mereka justru lebih banyak menampilkan perilaku yang dominatif, manipulatif, dan hilangnya empati.
Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka? Banyak hal yang memengaruhi mereka, akan tetapi bisa saja karena persoalan ‘ketidaktahuan sejarah’ di kalangan mereka, seperti ungkapan ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Jika kita melihat kepada sejarah, tokoh-tokoh muda terdahulu membangun negara Indonesia dengan segala kekuatan yang dimiliki, dari tenaga, pikiran hingga harta benda bahkan nyawa pun dikorbankan. Kepentingan tokoh-tokoh muda tersebut hanya untuk mencapai ‘kemerdekaan bangsa dari penjajah’. Mereka tidak pernah bekerja dan berjuang untuk kelompok individu, partai atau lembaga lainnya, tapi untuk mendirikan sebuah negara yaitu Indonesia.
Misalnya, Muhammad Yamin. Satu di antara tokoh yang merumuskan teks ‘Sumpah Pemuda’. Sebuah rancangan gagasan yang pada akhirnya menjadi sebuah gerakan perlawanan. Dalam isi tersebut dinyatakan bahwa masyarakat Nusantara memiliki tanah air yang satu, Bangsa yang satu dan merumuskan bahasa Persatuan. Muhammad Yamin bukan tidak mengetahui sejarah, ia sangat sadar betul bahwa Nusantara memiliki sejarah yang kuat pada saat kejayaan Majapahit, dimana Gajah Mada melakukan Sumpah, yang dikenal Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara. Kesadaran akan sejarah itu, tentu menginspirasi Muhammad Yamin untuk menyatukan kembali wilayah Nusantara.
Isi teks sumpah pemuda yang dinyatakan pada 28 Oktober 1928 dalam kongres Pemuda II, sebelumnya pernah diterbitkan dalam bentuk puisi oleh Muhammad Yamin, berjudul Indonesia, Tumpah Darahku yang diciptakan di Pasundan, 26 Oktober 1928. Dalam puisi itu, Muhammad Yamin menyampaikan cita-citanya untuk mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, satu bahasa.
Tokoh pemuda selanjutnya adalah WR Supratman yang mempunyai ‘Puisi Besar’ berjudul ‘Indonesia Raya’. Puisi tersebut kemudian diubah menjadi lagu dan dinyanyikan pada kongres pemuda II, hingga sampai sekarang menjadi lagu kebangsaan. Tokoh-tokoh pemuda pada kongres Sumpah Pemuda II di tahun 1928 bukan kemudian tenang dan hidup enak di rumah-rumah megah dengan fasilitas memadai. Usai kongres, mereka malah diburu dan dikejar-kejar, dihujani peluru oleh ‘Penjajah’, yaitu Kolonial Belanda.
Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh pemuda itu, terus diikuti dari tahun ke tahun sehingga tercapailah kemerdekaan pada tahun 1945. Tentu saja, kemerdekaan Indonesia tercapai atas keterlibatan semua pihak dan perjuangan semua suku bangsa, baik secara individu maupun kelompok.
Pengetahuan sejarah jika dicermati, dihayati akan menjadi sebuah jalan penyadaran untuk membangun negeri yang merdeka ini di masa kini yang akan terus berdampak ke masa depan. Bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari cita-cita tokoh bangsa yang belum terselesaikan yang dituangkan pada UUD 1945 dan Pancasila. Pondasi ini tentu harus menjadi sebuah ‘kebijakan-kebijakan’ yang kemudian membangun negeri Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bukan menjadikan Indonesia semakin hari, semakin terlihat ‘kesenjangan sosial’ antara para pejabat dengan rakyatnya.
Kasus-kasus korupsi semakin menumpuk, gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial para pejabat dan pegawai-pegawainya. Baik itu di kalangan lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif semakin tidak mencerminkan sebagai orang-orang ‘yang mengetahui, mengerti, memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia’. Bahkan ada juga di media sosial, para pejabat yang tidak hafal Pancasila dan Lagu Indonesia Raya. Sementara mereka menikmati gaji dari pajak rakyat. Sungguh ini sangat memalukan!
Bukan hanya itu, di dalam lingkungan hidup bermasyarakat terjadi pola yang keliru. Di mana para pejabat, pegawai pemerintah, anggota dewan dan sejenisnya seolah dijadikan sebagai orang yang terhormat. Seharusnya, mereka masuk dalam kategori ‘pekerja, pelayan masyarakat’ yang membantu mengurai persoalan-persoalan di masyarakat, bukan menambah masalah bagi masyarakat.
Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang untuk menjadi negara yang berdaulat sampai hari ini. Negara yang dibangun dengan ‘berdarah-darah’ tidak seharusnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejarah dengan baik tentang cita-cita tokoh-tokoh bangsa. Bangsa ini, memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Tidak seharusnya diserahkan kepada mereka yang mementingkan hawa nafsu ‘kekuasaan’ dan mempertontonkan gaya hidup bermewah-mewah tanpa memberikan solusi pada kelangsungan hidup masyarakat.
by admin | 1 Sep 2025 | Artikel, Opini
Sumber gambar: Antara
Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Pejabat yang harusnya jadi penyambung lidah rakyat, malah mentolol-tololkan rakyat. Pejabat yang untuk seharusnya ikut merasakan keringat rakyat, justru hidup bergelimang harta, kenyang dari fasilitas negara. Itupun masih tega meminta tunjangan dinaikkan, padahal sudah bergaji ratusan juta. Sementara kerjanya nyaris tak nyata, hanya sibuk pencitraan.
Pantas saja jalanan sering dipenuhi demonstrasi, suara rakyat meledak karena muak dengan janji-janji palsu. Rakyat dipaksa menunggu perubahan, tapi yang lahir justru kebijakan yang makin menyengsarakan. Alih-alih mengesahkan aturan untuk merampas aset koruptor, yang mereka rampas justru peluh dan jerih payah rakyat kecil. Semua itu terasa semakin miris—negeri ini seolah diperas dari dalam oleh orang yang seharusnya jadi pelindung.
Apa-apa mahal, apa-apa kena pajak. Pajak naik, harga naik, tapi kesejahteraan rakyat tetap terpuruk. Pertanyaannya: pajak itu buat apa? Untuk rakyat, atau untuk menggemukkan perut pejabat yang sudah kenyang fasilitas?
Rakyat sudah berkali-kali menyuarakan kritik, memberikan saran, bahkan berteriak di jalanan. Namun apa balasannya? Kritik pedas dianggap angin lalu. Suara rakyat masuk telinga kiri, keluar telinga kanan—bahkan lebih hina lagi, dianggap hanya suara kentut yang bau sesaat lalu hilang. Inikah cara pejabat menghargai rakyatnya? Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berkali-kali rakyat diperlakukan seolah tidak ada.
Rakyat sudah tidak butuh lagi kata manis, rakyat butuh keadilan nyata. Jika pejabat masih tega merendahkan rakyat, maka harta mereka harus dipertanyakan, karena semua itu berasal dari keringat rakyat. Rakyat berhak mempertahankan apa yang menjadi haknya, bahkan mengambil kembali harta yang dikuras oleh pejabat rakus. Ingatlah, kalian digaji dari uang rakyat, maka jangan sekali-kali menginjak harga diri rakyat!
Lalu, bagaimana rakyat harus menghadapi pejabat semacam ini? Apakah cukup dengan kata-kata? Nyatanya tidak mempan. Apakah cukup dengan kritik halus? Hanya jadi bahan tertawaan mereka. Apakah cukup dengan demo? Malah dicap perusuh. Padahal rakyat hanya menuntut keadilan, hanya ingin merasakan haknya sebagai warga negara.
Rakyat butuh cara baru, bukan sekadar basa-basi. Rakyat butuh gerakan yang nyata, suara yang bulat, dan kekuatan bersama. Karena bila terus dibiarkan, pejabat yang tuli hati ini akan semakin merampas hak rakyat. Mereka lupa, tanpa rakyat, kursi empuk itu hanyalah kayu kosong tak bernilai.
Inilah penyakit bangsa: keserakahan, korupsi, dan pengkhianatan. Jika kerakusan tidak segera dibasmi, bangsa ini akan hancur oleh penguasa yang lupa daratan. Rakyat harus berani bersatu, mempertahankan hak, dan menagih apa yang seharusnya milik mereka. Keadilan harus ditegakkan, karena negeri ini milik rakyat, bukan milik segelintir pejabat rakus.***
by admin | 21 Aug 2025 | Artikel, Opini
Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Beberapa tahun belakangan ini, kebijakan pemerintah semakin bikin orang cuma bisa elus dada dan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, korupsi makin menjadi-jadi, kekayaan alam dikeruk tapi yang menikmati hanya segelintir orang.
Di dunia pendidikan pun tak kalah aneh; ada program makan bergizi gratis (MBG), tapi kenyataannya banyak siswa yang justru kehilangan selera. Bahkan, ada sekolah yang makanannya sampai basi dan tidak layak disantap. Belum cukup, muncul lagi istilah “sekolah rakyat”, lalu “sekolah konglomerat”. Seolah-olah sekolah yang sudah ada selama ini bukan untuk rakyat. Bukankah semua anak memang berhak sekolah? Entahlah, kadang logikanya susah dicerna.
Belakangan ini tambah ramai lagi, bahkan melebihi hebohnya pesta nadran, ketika guru dan dosen dicap sebagai beban negara. Ironisnya, masih ada guru yang gajinya cuma 300 ribu, itu pun dibayar dengan cara dirapel. Katanya beban negara? Sementara di sisi lain ada yang bisa mengantongi ratusan juta per bulan, masih juga sibuk mencari celah untuk korupsi.
Saking banyaknya hal ganjil, sampai bingung mau mengeluh dari mana. Intinya, rakyat sudah terlalu sering dijadikan bahan eksperimen, sementara pemimpin terus mencari cara agar dompetnya tidak pernah kempes.
Dalam acara kenegaraan juga, entah kenapa, dengan asyiknya para pejabat berjoget-joget seakan-akan mereka sedang menghadiri hajatan kawinan di kampung sebelah. Rasanya, kok aneh ya! Acara resmi yang katanya mewakili rakyat justru lebih mirip panggung hiburan. Sepertinya hal itu tidak layak untuk ditiru, apalagi dijadikan kebiasaan.
Kenapa yah, setiap ada acara, joget-joget selalu dijadikan pelengkap? Kaya sayur tanpa garam kalau gak joget. Padahal, rakyat di bawah sedang pusing mikirin harga beras, listrik, sekolah anak, dan cicilan yang makin mencekik. Tapi di atas sana, para wakil rakyat bisa joget ria dengan senyum lebar, seolah dunia ini baik-baik saja.
Kalau dipikir-pikir, lama-lama acara kenegaraan bisa berubah jadi festival joget nasional. Bayangkan saja, mungkin nanti ada lomba joget kategori “menteri paling lentur”, “gubernur paling lincah”, sampai “bupati paling enerjik di atas panggung”. Rakyat yang nonton? Ya cuma bisa ketawa getir sambil mikir, “Ini yang katanya kerja untuk rakyat, kok malah joget mulu?”
Lucunya lagi, joget ini seperti jadi “obat mujarab” untuk menutupi segala kebijakan aneh. Bikin program gagal? Joget dulu. Ada isu korupsi? Joget dulu. Harga-harga naik? Joget lagi. Lama-lama kita bingung, ini pemerintah atau grup dangdut keliling?
Rakyat yang nonton pun dapat dua hiburan sekaligus: hiburan musik di panggung, dan hiburan batin melihat kelakuan pejabatnya. Bedanya, kalau musik dangdut bikin goyang badan, pejabat berjoget justru bikin goyang kepala sambil ngomong, “Astaghfirullah… Ini negara serius apa negara lawakan?”
Pada akhirnya, satu pertanyaan paling sederhana pun muncul: jangan-jangan negeri ini bukan sedang dijalankan, tapi sedang dijalankan-jalankan?