by admin | 26 Aug 2025 | Uncategorized
ISIF Cirebon — Pusat Studi Gusdur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Halaqoh Kultural Pra-TUNAS (Temu Nasional) Jaringan Gusdurian melalui platform Zoom pada Senin malam 25 Agustus 2025.
Kegiatan ini menghadirkan ruang refleksi bagi anak-anak muda Gusdurian untuk membicarakan isu-isu kebangsaan menjelang perhelatan TUNAS Gusdurian 2025.
Acara dibuka dengan pengantar dari moderator, Noer Fahmiatul Ilmia, yang juga menjadi pembawa acara pada malam itu. Pria yang akrab disapa Fahmi ini berharap kegiatan ini menjadi ruang diskusi sekaligus ajang refleksi anak-anak muda Gusdurian terkait isu-isu kebangsaan yang semakin kompleks.
“Acara ini menjadi ruang rembuk atau tukar pemikiran anak-anak muda Gusdurian terkait isu-isu dan kondisi bangsa kita saat ini,” kata Fahmi saat membuka acara.
Diskusi berlangsung membicarakan tiga tema besar meliputi: agama sebagai etika sosial, demokrasi dan supremasi masyarakat sipil, dan keadilan ekologi. Diskusi masing-masing dipantik oleh Unzilatur Rohmah dari Gusdurian Kairo bersama Romo Johan Theodore dari Kristen Ortodoks, Pdt. Ferry Mahulette dari Gusdurian Jogja bersama Abdul Rosyidi dari Pusat Studi Gusdur dan Transformasi Sosial ISIF serta M. Najmi Al Haromain dari Gusdurian Tasikmalaya bersma Firda Ainun dari Gusdurian Jogja.
Peran Agama
Para narasumber menyoroti persoalan-persoalan aktual bangsa, mulai dari bagaimana agama berperan sebagai sumber etika publik, tantangan demokrasi yang dihadapkan pada menguatnya oligarki politik dan lemahnya supremasi sipil, hingga krisis ekologi yang semakin nyata.
Unzilatur Rohmah, misalnya, menyoroti peran agama dalam diri individu dalam menumbuhkan cara pandang terhadap fenomena sosial.
“Ketika agama dihayati secara kolektif, ia menumbuhkan kepekaan etis dan intuitif. Misalnya, ketika seseorang melakukan kesalahan, ia tidak hanya merasa salah secara sosial, tetapi juga berdosa secara religius. Dari sini lahir empati, penghormatan terhadap sesama, dan dorongan untuk tidak semena-mena,” ungkapnya.
Dalam paparan soal keadilan ekolois, Najmi menegaskan bahwa keadilan ekologis harus dimulai dari keberanian mengakui diri sebagai pelaku ketidakadilan ekologis, sebuah kesadaran yang melahirkan gagasan “pertobatan ekologis”. Menurutnya, dari pengakuan itu nantinya akan melahirkan empati dan dorongan untuk melakukan perubahan.
“Keadilan ekologis bukan hanya soal kapitalisme atau isu-isu makro, tapi dimulai dari perubahan pola hidup kita sendiri. Dari tangan, pikiran, dan kaki yang dulu ikut merusak lingkungan, kini harus diarahkan untuk menjadi solusi bagi umat,” paparnya.
Peran Masyarakat Sipil
Di sisi lain, Abdul Rosyidi menegaskan bahwa supremasi sipil menjadi isu yang sangat tepat untuk dibahas dalam forum TUNAS kali ini. Menurutnya, masyarakat sipil memiliki fungsi penting dalam demokrasi, yakni mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi jalannya kekuasaan.
“Sayangnya, sering kali kritik masyarakat sipil disalahpahami. Ketika kita mengkritik pemimpin atau kebijakan negara, sering dianggap karena kita tidak memilihnya. Padahal justru karena memilih dan peduli, kita harus mengingatkan,” tegasnya.
Secara keseluruhan, diskusi berjalan hangat dengan beberapa pertanyaan dan refleksi dari peserta. Bagi para peserta, halaqoh kultural ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga menjadi ajang konsolidasi nilai dan gerakan.
Semua isu yang dibicarakan dipandang penting untuk terus diperjuangkan melalui gerakan sosial yang berakar pada nilai-nilai Gus Dur: kemanusiaan, keadilan, serta keberpihakan pada kaum tertindas.
Halaqoh ini sendiri menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menuju Temu Nasional (TUNAS) Jaringan Gusdurian 2025 yang akan digelar pada 29–31 Agustus mendatang.*** (Gun)
by admin | 24 Aug 2025 | Uncategorized
Penulis: Sukma Hadi Watalam
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon – Mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) bersama Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M0 ISIF Cirebon mengadakan kegiatan Rembug Warga di Desa Kejuden pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Kegiatan ini berlangsung di Joglo milik Bapak Malik, sebuah bangunan unik dengan arsitektur perpaduan Jawa dan Bulgaria yang menghadirkan nuansa berbeda meski berada di pedesaan. Suasana semakin akrab dengan suguhan khas berupa teh hangat, singkong rebus, dan kacang khas Papua.
Kegiatan ini dihadiri oleh perangkat desa, warga setempat, serta perwakilan kelompok mahasiswa dari Dukupuntang dan Argasunya yang hadir untuk saling mendukung dan belajar bersama. Diskusi berlangsung penuh keakraban, kadang serius, kadang diselingi tawa yang membuat suasana menjadi cair.
Topik pertama yang diangkat dalam rembug ini adalah sejarah rotan di Desa Kejuden. Dahulu, desa ini dikenal luas sebagai sentra kerajinan rotan. Hampir setiap rumah tangga terlibat dalam produksi maupun distribusinya, sehingga rotan menjadi identitas ekonomi desa.
“Kursi rotan itu kuat, bisa diwariskan. Kalau kursi plastik, diwariskan paling cuma dua kali duduk langsung patah,” kelakar seorang warga., yang disambut gelak tawa peserta forum.
Namun, seiring hadirnya produk kerajinan modern yang lebih murah dan praktis, kejayaan rotan di Kejuden perlahan meredup. Rotan mulai kalah pamor, dan banyak pengrajin beralih ke pekerjaan lain. Padahal, kerajinan rotan memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi, sekaligus ramah lingkungan.
Selain rotan, pembahasan juga menyinggung kondisi sosial-ekonomi persawahan. Hingga kini, sawah masih menjadi tumpuan utama kehidupan masyarakat. Dari sawah lahir beragam tradisi, mulai dari gotong royong, sistem bagi hasil, hingga ritual syukuran sebelum menanam maupun setelah panen. Bagi warga Kejuden, sawah bukan hanya penghasil padi daan penopang perekonomian warga, melainkan juga ruang kebersamaan dan pengikat kehidupan sosial desa.
Rembug kemudian bergeser pada diskusi mengenai tradisi-tradisi khas Kejuden, di antaranya Nyimplo dan Buyut. Tradisi Nyimplo merupakan sarana warga untuk berdoa bersama sambil melantunkan syair-syair penuh makna, sedangkan tradisi Buyut adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang diyakini menjaga desa. Kedua tradisi ini tidak hanya menjadi ekspresi spiritual, tetapi juga pengikat sosial dan budaya warga Kejuden.
“Kalau tidak ada tradisi, kapan lagi bisa doa bareng lalu makan bersama tanpa harus patungan?” canda salah satu warga.
Lebih jauh, mahasiswa juga mengulas sejarah Desa Kejuden. Dengan merujuk pada buku-buku klasik, catatan lama, serta wawancara dengan kuncen, ahli sejarah, dan masyarakat, terungkap beragam kisah menarik. Salah satunya berkaitan dengan asal-usul nama gang di desa. Ternyata, setiap gang menyimpan cerita unik, baik yang terkait tokoh, peristiwa, maupun fungsi tertentu di masa lalu.
Menariknya, banyak warga bahkan perangkat desa yang baru mengetahui kisah tersebut saat dipaparkan mahasiswa. Tidak heran bila kegiatan ini kemudian dijuluki bukan hanya sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN), melainkan juga Kuliah Kupas Nama.
Dari diskusi panjang itu lahir kesadaran bersama semua kebudayaan yang ada dan begitu berharga patut dijaga dan diwariskan. Sebab, jika tidak, bisa jadi anak cucu kita nanti lebih hafal sejarah kerajaan luar negeri daripada asal-usul gang di kampung sendiri.
Melalui rembug warga ini, mahasiswa ISIF bersama masyarakat berupaya untuk saling belajar dan merefleksikan kembali potensi desa, baik dari sisi sejarah ekonomi maupun nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.***
by admin | 24 Mar 2025 | Uncategorized
Pemerintah baru saja mengesahkan revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 kemarin. Dengan sahnya revisi UU TNI, tentu saja membuat kondisi Indonesia yang tadinya gelap menjadi semakin gelap.
Bagaimana tidak semakin gelap? Revisi ini jelas mengingatkan kita pada masa Orde Baru, ketika militer tidak hanya menjaga keamanan negara tetapi juga menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk kepada kehidupan para seluruh perempuan.
Sebagai perempuan yang hidup di Indonesia, saya marah, muak dan geram. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa ketika militer terlalu mendominasi, perempuan sering kali menjadi korban pertama dari sistem yang represif. Era Orde Baru adalah bukti nyata. Saat itu, perempuan bukan hanya kehilangan suara mereka, tetapi juga menjadi sasaran kekerasan dan penindasan yang sistematis.
Mari kita ingat sejenak apa yang terjadi di masa lalu. Di bawah orde baru, militer memiliki kekuasaan besar dalam urusan sipil. Dengan dalih menjaga stabilitas, mereka sering kali menggunakan kekerasan untuk membungkam suara-suara kritis. Sehingga membuat perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan.
Kasus Gerwani, misalnya, adalah contoh tragis bagaimana perempuan difitnah, disiksa, dan dibunuh tanpa proses hukum yang jelas. Mereka dijadikan simbol “ancaman” hanya karena berani bersuara.
Kini, dengan revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam kehidupan sipil termasuk membantu pemerintah daerah mengatasi masalah sosial, saya tidak bisa menahan rasa takut bahwa sejarah kelam itu bisa terulang.
Ketika militer diberi ruang lebih besar untuk beroperasi di luar tugas utamanya menjaga pertahanan negara, risiko penyalahgunaan kekuasaan semakin nyata.
3 Point Penting
Ada beberapa point dalam revisi UU TNI yang membuat saya marah, geram dan muak terhadap pemerintah:
Pertama, keterlibatan militer dalam urusan sipil. UU TNI memungkinkan prajurit aktif menduduki lebih banyak posisi di kementerian dan lembaga sipil.
Saya bertanya-tanya: apakah ini akan membuka pintu bagi kontrol militer atas kehidupan kita? Dalam sejarahnya, ketika militer terlalu dekat dengan urusan sipil, perempuan sering kali kehilangan ruang untuk bersuara dan berpartisipasi secara bebas.
Kedua, peradilan militer. Dalam rentang tahun 2020-2024, Komnas Perempuan mencatat sedikitnya terdapat 190 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan personal maupun di wilayah publik yang dilakukan oleh prajurit.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat 10 kasus kekerasan di ranah negara pada 2020-2024 terkait kondisi konflik sumber daya alam, agraria dan tata ruang yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan dengan terlapor adalah prajurit TNI. Perempuan adat menjadi pihak yang menghadapi kerentanan khusus dan dampak yang khas dari kekerasan yang terjadi dalam konteks ini.
Salah satu masalah besarnya adalah bagaimana kasus-kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI sering kali diselesaikan melalui peradilan militer. Sistem ini cenderung tertutup dan tidak berpihak pada korban.
Komnas Perempuan mencatat bahwa banyak perempuan korban kekerasan seksual oleh prajurit TNI kesulitan mendapatkan keadilan karena proses hukum yang tidak transparan.
Trauma Kolektif
Ketiga, trauma kolektif. Bagi banyak perempuan di Indonesia, bayang-bayang kekerasan di masa lalu belum sepenuhnya hilang. Pengesahan UU ini seperti membuka luka lama trauma kolektif dari era ketika hak-hak perempuan tidak dihormati dan tubuh mereka sering kali menjadi objek kekerasan.
Sebagai seorang perempuan Indonesia, saya merasa bahwa pengesahan UU TNI ini adalah langkah mundur bagi demokrasi kita. Saya takut, ruang aman bagi perempuan untuk berbicara dan berpartisipasi akan semakin sempit jika militer kembali mendominasi kehidupan sipil. Saya khawatir, kontrol terhadap seksualitas dan tubuh perempuan akan semakin kuat di bawah sistem yang cenderung otoriter.
Namun, saya juga percaya bahwa suara kita masih bisa didengar. Kita harus terus berbicara tentang ketidakadilan ini, tentang bagaimana kebijakan seperti revisi UU TNI dapat merugikan kelompok rentan dan perempuan. Kita harus mengingatkan pemerintah bahwa demokrasi sejati adalah tentang melindungi semua warga negara, termasuk perempuan.
Pengesahan revisi UU TNI adalah pengingat bahwa perjuangan untuk hak-hak perempuan belum selesai. Kita harus tetap waspada agar bayang-bayang Orde Baru tidak kembali menghantui kita dan agar generasi mendatang bisa hidup dalam masyarakat yang benar-benar demokratis dan setara.
by admin | 31 Jan 2022 | Jurnal, Uncategorized