ISIF CIREBON – Pada tanggal 1 Juni 2024 kemarin, saya diundang dan menghadiri Festival Turath Islami Selangor (FTIS) II yang diselenggarakan oleh Kerajaan Negeri Selangor, Malaysia. Acaranya dipusatkan di Mesjid Sultan Salahuddin Abd Azis Shah di Shah Alam, Selangor.
Festival Turath Islami II ini fokus mengaji dan mengkaji Kitab Riyadlush Sholihin min Kalami Sayyidil Mursalin, karya Imam Nawawi (631-676 H/1233-1277 M). Sebelumnya, pada Festival Turath Islami I mengkaji dan mengaji Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M).
Hadir dalam Festival Turath Islami kedua ini adalah YAB Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar bin Ibrahim membuka Syarahan (Seminar), Al-Imam Profesor Dr. Ali Juma’ah, YAB Dato’ Menteri Besar Datuk Seri Amirudin bin Shari, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Habib Jindan bin Novel bin Salim, Tengku H. Faisal Ali, Ustd. Dr. Adi Hidayat, saya sendiri, dan ulama lain dari Malaysia.
Dalam FTIS II ini, saya mengisi di sesi pertama membahas peradaban akhlak dari Kitab Riyadush Sholihin bersama dengan Prof. Dato’ Dr. Muhammad Nur bin Manuty dari Malaysia.
Dalam paparan ini, saya menjelaskan bahwa kitab yang ditulis oleh al-Imam al-Allamah Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi memiliki peranan penting dalam mewarnai peradaban Islam sejak abad ke 13 M hingga sekarang.
Buktinya, kitab Riyadlush Sholihin setidaknya disyarahi oleh 13 kitab syarah dan dibaca oleh hampir setiap ulama yang mendalami ajaran Islam di seluruh pesantren dan lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia.
Dari Kitab Riyadush Sholihin, kita bisa memetik butiran nilai, prinsip, norma, etika, dan etiket dalam membangun diri yang sholih dan mushlih, keluarga yang mashlahat, masyarakat yang khaira ummah, dan negara yang thayyibatun wa rabbun ghafur untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin.
Oleh karena Riyadush Sholihin adalah kitab hadits, maka tantangannya adalah bagaimana kita mampu membaca Kitab Riyadush Sholihin secara kontekstual (siyaqiyyah), mampu menangkap makna substantif (cum maghza), maqoshid asy-syari’, dan membumikannya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa melalui kebijakan publik dan pembudayaan, hingga menjadi etika sosial, etika politik, etika birokrasi, etika hukum, etika ekonomi, dan etika global.
Saya mengatakan bahwa peradaban akhlak yang ingin dibangun oleh Imam Nawawi melalui Kitab Riyadush Sholihin berbasis pada tauhidullah (spiritualitas monotheis) dan diorientasikan tidak saja untuk kebahagiaan di dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat (eskatalogis).
Ini dibuktikan dengan pembahasan dalam Kitab Riyadush Sholihin dimulai dengan bab al-ikhlash wa ihdlari an-niyyati fi jami’ al-a’mal wa al-aqwal wa al-ahwal al-barizah wa al-khafiyyah dan diakhiri dengan bab al- istighfar dan bab ma a’adda Allahu ta’ala li al-mu’minina fi al-jannah.
Bab al-ikhlash di sini bermakna tauhidullah, karena Imam Nawawi membuka babnya dengan mengutip al-Qur’an Surat al-Bayyinah Ayat 5, yakni “Wa mā umirū illā liya’budullāha mukhliṣīna lahud-dīna ḥunafā`a wa yuqīmuṣ-ṣalāta wa yu`tuz-zakāta wa żālika dīnul-qayyimah”
Artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” []