(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Sumber gambar: Antara

Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Pejabat yang harusnya jadi penyambung lidah rakyat, malah mentolol-tololkan rakyat. Pejabat yang untuk seharusnya ikut merasakan keringat rakyat, justru hidup bergelimang harta, kenyang dari fasilitas negara. Itupun masih tega meminta tunjangan dinaikkan, padahal sudah bergaji ratusan juta. Sementara kerjanya nyaris tak nyata, hanya sibuk pencitraan.

Pantas saja jalanan sering dipenuhi demonstrasi, suara rakyat meledak karena muak dengan janji-janji palsu. Rakyat dipaksa menunggu perubahan, tapi yang lahir justru kebijakan yang makin menyengsarakan. Alih-alih mengesahkan aturan untuk merampas aset koruptor, yang mereka rampas justru peluh dan jerih payah rakyat kecil. Semua itu terasa semakin miris—negeri ini seolah diperas dari dalam oleh orang yang seharusnya jadi pelindung.

Apa-apa mahal, apa-apa kena pajak. Pajak naik, harga naik, tapi kesejahteraan rakyat tetap terpuruk. Pertanyaannya: pajak itu buat apa? Untuk rakyat, atau untuk menggemukkan perut pejabat yang sudah kenyang fasilitas?

Rakyat sudah berkali-kali menyuarakan kritik, memberikan saran, bahkan berteriak di jalanan. Namun apa balasannya? Kritik pedas dianggap angin lalu. Suara rakyat masuk telinga kiri, keluar telinga kanan—bahkan lebih hina lagi, dianggap hanya suara kentut yang bau sesaat lalu hilang. Inikah cara pejabat menghargai rakyatnya? Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berkali-kali rakyat diperlakukan seolah tidak ada.

Rakyat sudah tidak butuh lagi kata manis, rakyat butuh keadilan nyata. Jika pejabat masih tega merendahkan rakyat, maka harta mereka harus dipertanyakan, karena semua itu berasal dari keringat rakyat. Rakyat berhak mempertahankan apa yang menjadi haknya, bahkan mengambil kembali harta yang dikuras oleh pejabat rakus. Ingatlah, kalian digaji dari uang rakyat, maka jangan sekali-kali menginjak harga diri rakyat!

Lalu, bagaimana rakyat harus menghadapi pejabat semacam ini? Apakah cukup dengan kata-kata? Nyatanya tidak mempan. Apakah cukup dengan kritik halus? Hanya jadi bahan tertawaan mereka. Apakah cukup dengan demo? Malah dicap perusuh. Padahal rakyat hanya menuntut keadilan, hanya ingin merasakan haknya sebagai warga negara.

Rakyat butuh cara baru, bukan sekadar basa-basi. Rakyat butuh gerakan yang nyata, suara yang bulat, dan kekuatan bersama. Karena bila terus dibiarkan, pejabat yang tuli hati ini akan semakin merampas hak rakyat. Mereka lupa, tanpa rakyat, kursi empuk itu hanyalah kayu kosong tak bernilai.

Inilah penyakit bangsa: keserakahan, korupsi, dan pengkhianatan. Jika kerakusan tidak segera dibasmi, bangsa ini akan hancur oleh penguasa yang lupa daratan. Rakyat harus berani bersatu, mempertahankan hak, dan menagih apa yang seharusnya milik mereka. Keadilan harus ditegakkan, karena negeri ini milik rakyat, bukan milik segelintir pejabat rakus.***

2