ISIF Cirebon – Pusat Studi Islam dan Gender (PUSIGA) ISIF Cirebon bersama Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pemahaman Santri tentang Kekerasan dalam P2GP/Sunat Perempuan dan Pencegahannya.” Acara yang berlangsung di Rumah Joglo, Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina pada Minggu, 15 Desember 2024 ini menghadirkan Lies Marcoes Natsir, konsultan temporal United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, sebagai narasumber utama.
Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen PUSIGA ISIF untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, salah satunya praktik Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. FGD ini juga diselenggarakan sebagai respons terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang menegaskan larangan praktik sunat perempuan karena dampaknya yang membahayakan kesehatan fisik dan mental anak perempuan.
Menurut Lies Marcoes, sunat perempuan masih banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, meskipun telah terbukti tidak membawa manfaat apapun bagi perempuan.
“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, mengungkapkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan,” papar Lies.
Angka tersebut menurut Lies, mencerminkan masih kuatnya penerimaan sosial terhadap praktik yang sejatinya berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Dalam diskusi, Lies juga memaparkan hasil penelitiannya terhadap sikap empat organisasi keagamaan besar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) – yang memiliki pandangan berbeda-beda terkait praktik sunat perempuan. Yang paling menarik baginya adalah pandangan KUPI yang menggunakan women lives reality (pengalaman khusus perempuan) sebagai alat ukur kemaslahatannya.
“Kalau mau mengetahui sunat perempuan itu adil atau tidak, jangan tanya kepada laki-laki yang memegang ayat, tapi (tanya) kepada pengalaman perempuan yang mengalami langsung sunat perempuan,” ungkap penulis buku Merebut Tafsir ini.
Setelah pemaparan, Lies Marcoes memfasilitasi diskusi bersama para santri Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Para peserta berbagi pengalaman terkait praktik sunat perempuan di daerah asal mereka. Beberapa peserta menyatakan bahwa praktik ini masih dianggap sebagai kewajiban sosial dan ritual adat yang harus dijalankan.
“Jika anak perempuan tidak disunat, mereka akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dianggap tidak suci atau tidak sempurna,” ungkap salah seorang peserta.
Sikap Tegas PUSIGA ISIF terhadap Praktik Sunat Perempuan
Melalui FGD ini, PUSIGA ISIF menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis di kalangan santri mengenai bahaya Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Nafida Inarotul Huda, fasilitator dari PUSIGA, menekankan bahwa praktik P2GP harus dilihat sebagai bentuk kekerasan berbasis gender. Hal ini baginya tidak hanya merugikan perempuan secara fisik tetapi juga melanggar hak asasi perempuan.
“Sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena di sana ada upaya melukai alat reproduksi perempuan. Di beberapa kasus, praktik ini mengakibatkan pendarahan hebat, bahkan menyebabkan kematian,” tegas Nafida.
Sebagai lembaga yang berfokus pada isu gender dan keadilan sosial, PUSIGA ISIF memiliki komitmen kuat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang serta trauma psikologis bagi perempuan.
“Sunat perempuan adalah harmful practices atau praktik yang berbahaya dan merugikan perempuan sehingga penting bagi PUSIGA ISIF untuk mengadvokasi dan menghentikan praktik ini,” lanjut Direktur PUSIGA ini.
Dalam diskusi tersebut, PUSIGA ISIF juga menekankan pentingnya peran santri sebagai agen perubahan. Santri diharapkan mampu memahami hak-hak reproduksi perempuan serta menyebarkan informasi mengenai dampak buruk sunat perempuan di lingkungan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka dapat, santri dapat berkontribusi dalam upaya advokasi dan pencegahan praktik sunat perempuan di masyarakat.
“Kami berharap santri teredukasi dan terinformasi tentang hak-hak reproduksi perempuan, serta memahami dampak sunat perempuan. Selain itu, melalui testimoni dan cerita pengalaman perempuan yang dibagikan dalam forum ini, kita bisa memperkaya khazanah pengalaman khas perempuan,” tambah Nafida.
Pengalaman-pengalaman ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi penting bagi aktivis, advokator, dan pembuat kebijakan. Kesaksian langsung dari perempuan yang mengalami praktik ini dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk segera mengakhiri tradisi dan praktik sunat perempuan.**