Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Finalitas ini ditetapkan sejak 37 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, tidak diperlukan lagi mencari dasar negara lain selain Pancasila. Pun, tidak diperlukan bereksperimen lagi pada bentuk negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara prinsipal, dalam pandangan NU, negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan, dalam bacaan saya, NU memandang negara Pancasila adalah bentuk lain dari negara Islam. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara Islam itu sendiri. Seperti diketahui bahwa secara sosio-politik, negara Islam tidak pernah tunggal dan monolitik, tidak pula universal dalam bentuk yang seragam.
Negara Islam itu bukan nama suatu negara, bukan simbol kenegaraan, atau bukan pula bentuk suatu pemerintahan. Suatu negara bisa disebut negara Islam apabila memenuhi suatu takaran substansi dan tata nilai prinsipal tertentu. Imam Abu Hanifah (80-150 H), misalnya, membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam di suatu negara merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam dalam suatu negara, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.
Dengan kriteria tersebut, jelaslah bahwa negara Pancasila adalah dâr al-Islâm. Umat Islam di Indonesia tidak saja aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan untuk beberapa hal umat Islam sangat diistimewakan. Misalnya, umat Islam punya jalur pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Meskipun labelnya “agama,” tetapi hakim, panitera, pegawai, dan orang-orang yang berperkara di pengadilan itu hanya untuk orang Islam. Sejumlah UU juga hanya ditujukan untuk umat Islam. Sebut saja, misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Meski tidak semua diatur dalam bentuk legal, umat Islam di Indonesia secara umum memiliki kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya, dijamin dan dilindungi secara konstitusional oleh UUD 1945. Oleh karena itu, perbincangan fundamental bangunan negara Indonesia, bagi NU, sudah titik (bukan koma atau titik koma lagi). Sebagai kesepakatan bersama, Indonesia telah berdiri tegak dan kokoh lebih dari 70 tahun meski serangan dan gugatan ideologis berkali-kali dilancarkan. Itulah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersemboyankan Bineka Tunggal Ika. Oleh MPR, fundamental negara ini disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini, oleh warga NU sering disingkat menjadi PBNU, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Yang menarik dari narasi NU tentang Pancasila ini, NU menyelesaikannya bukan dengan pendekatan sosial politik semata, melainkan juga dengan pendekatan keagamaan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fikih, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, tasâmuh, dan i’tidâl merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.
Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya pada pemikiran keagamaan. Apa yang dilakukan NU sesungguhnya adalah jawaban sejarah atas gugatan-gugatan ideologis dari kaum Islamis yang masih mendambakan negara Islam di bumi Indonesia ini. Apa yang dirumuskan NU juga pada dasarnya adalah jawaban teologis atas kegalauan kaum Islamis yang memberontak pada masa lalu bertujuan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Jika kita menggunakan nalar keagamaan ala NU, maka secara paradigmatik relasi agama dan negara telah selesai dan tuntas. Tentu tidak serta merta semua problem kenegaraan dan kebangsaan lalu tidak ada sama sekali. Finalitas ini hanya pada tataran fundamental yang bersifat paradigmatik dan ideologis. Dalam ruang-ruang praksis dan operasional tentu banyak hal yang masih harus dibenahi. Korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, gizi buruk, pendidikan, dan kerusakan alam adalah hal-hal yang harus terus diperbaiki. Namun, janganlah ada tikus di suatu rumah yang sudah kokoh, lalu rumahnya dibakar hanya untuk mengusir tikus.
Pancasila Digugat
Namun, seiring dengan derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang muaranya adalah mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan negara Islam atau khilâfah Islâmiyyah.
Akhirnya kita mencatat, dalam dua dekade terakhir ini, diskursus Pancasila kembali menjadi trending topic. Bukan karena rutinitas tahunan peringatan hari lahir atau hari kesaktian Pancasila, namun karena situasi kebangsaan yang memicunya. Masih hangat dalam ingatan kita, sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, ketika euphoria demokrasi menjangkiti kaum politisi kita, secara beruntun gugatan demi gugatan terhadap Pancasila dan NKRI terus menyeruak. Menariknya, gugatan ini bukan dilakukan oleh kaum komunis atau DI/TII sebagaimana terjadi di masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara sendiri dan organisasi yang sah dalam negara Pancasila. Lebih unik lagi, gugatan ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional dan atas nama demokrasi. Tidak sedikit para penyelenggara negara, baik di lembaga tinggi, pemerintahan, maupun lembaga tertinggi negara, menjadi otak intelektual dan sponsornya.
Kita masih ingat betul bagaimana kelompok Islamis secara konstitusional dalam ruang demokrasi kembali beraksi menggugat Pancasila dan UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket amandemen UUD 1945. Sebelumnya, gugatan ideologis dilakukan pada sidang Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959 dan Sidang Umum MPRS tahun 1966–1968. Ironisnya, semua gugatan ideologis ini dilakukan secara legal konstitusional di bawah lindungan demokrasi Pancasila untuk menggantikan Pancasila dan mengubah UUD 1945 itu sendiri.
Jelaslah gagal, karena kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam masih cukup kuat, baik dalam barisan Parlemen maupun dalam gugusan masyarakat Nusantara. Meskipun gagal, mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan formalisasi syari’at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi Pancasila itu sendiri. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas.
Meski mengutuk demokrasi dan memandang negara Pancasila sebagai thoghut, tetapi sebagian kelompok Islamis itu hidup dan berkembang di bawah payung demokrasi dan ideologi Pancasila. Sebagian mereka menjadi Parpol yang ikut Pemilu dan bahkan kader-kadernya masuk ke dalam barisan parlemen, jajaran pemerintahan, dan pasukan kepolisian/tentara. Sebagian lagi tetap menjadi Ormas dan gerakan ekstra-parlementer yang menjadikan gerakan politik sebagai strategi utama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh mutakhir yang bisa dikemukakan. Dia hidup dalam alam demokrasi yang diharamkan sendiri, berkembang dalam negara Pancasila yang di-thoghut-kan sendiri, tetapi strategi perjuangannya jelas dan tetap konsisten mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah Islamiyyah.
Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dewasa ini mutlak dilakukan. Tidak saja oleh negara, pihak yang paling bertanggungjawab, tetapi juga oleh masyarakat sipil (civil society). Perlu dicari cara dan pola baru untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan cara indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses ilmiah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam hati sanubari warga negara.
Dari Ideologi ke Praksis
Indonesia zaman now tentu berbeda dengan Indonesia zaman old. PKI dan HTI sudah dibubarkan. DI/TII dan Permesta sudah ditumpas. Aktor-aktor utamanya sudah dipenjarakan. Namun, paham, gagasan, dan ideologinya tidak pernah bisa dibunuh dan dikuburkan. Kita tidak mungkin bisa melarang dan menghukum pikiran, gagasan, keyakinan, dan ideologi yang bersemayam dalam otak dan sanubari seseorang. Sehingga, kemungkinan akan reinkarnasi, bangkit kembali, memberontak, dan menyerang kembali Pancasila dan UUD 1945 sangat bisa dipahami. Karena, ideologi itu tidak pernah mati, terus hidup, berkembang, mencari simpati, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya mewujud menjadi gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan budaya, hingga menjadi gerakan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini semua sangat mungkin terjadi. Kewaspadaan untuk ini tidak boleh hilang.
Akan tetapi, harus disadari bahwa tantangan Indonesia ke depan sangat kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri, baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional dan global. Arus besar globalisasi, pasar bebas, radikalisme, terorisme, narkoba, dan transmisi ideologi transnasional adalah sebagian isu global dan regional yang menjadi tantangan, sedang dan akan terus memengaruhi Indonesia ke depan. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perusakan alam, dan ketidakmerataan kesejahteraan adalah tantangan nyata dari dalam negeri yang terus akan menggugat peran dan fungsi Pancasila, bahkan hingga keberadaannya. Tantangan Pancasila hari ini bukan soal ideologi an sich, sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi yang paling memengaruhi gerakan massa adalah tantangan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan yang sehari-hari menyatu dalam kehidupan warga negara.
Ini tantangan nyata yang sangat dirasakan dan dialami oleh semua warga negara. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, kondisi ini akan berubah menjadi gerakan politik dan ideologi yang akan merongrong peran dan keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang gerakan ideologi yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sehari-hari warga negara. Ingat, Presiden Soeharto yang telah membangun kekuasaan lebih dari 30 tahun jatuh bukan karena ideologi non-Pancasila, tetapi karena kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sehari-hari dirasakan warga negara.
Dengan demikian, kehadiran Pancasila dengan pola, cara, dan pendekatan baru sangat niscaya. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk menurunkan Pancasila dari ideologi menjadi praksis gerakan sosial. Pancasila bukan sekadar ideologi negara yang singgah dalam jantung pemerintahan, melainkan yang terpenting harus menancap dalam hati sanubari bangsa Indonesia menjadi pandangan hidup (way of life). Yakni, pandangan hidup yang operasional menyentuh realitas sosial yang terus berubah dan realitas kehidupan yang dialami langsung oleh warga negara Indonesia. Pandangan hidup yang kontekstual dan dinamis merespons perubahan-perubahan yang terus terjadi, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar yang tetap (tsawabit, kulliyyât).
Pancasila juga harus hadir menjadi pegangan nilai bagi warga negara dalam menghadapi setiap masalah kehidupan dan tantangan-tantangan baru, baik dari ruang global, regional, maupun nasional dan lokal. Bukan sekadar tampil secara ideologis, melainkan Pancasila hari ini harus merespons dan menjawab tantangan-tantangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.
Dalam merespons tantangan yang kompleks itu, Pancasila harus tampil tidak semata-mata sebagai ideologi yang melangit (utopis), melainkan harus metamorfosis menjadi gerakan sosial, gerakan politik, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan dalam secara sistematis mewujudkan khittah-nya, yakni khittah Pancasila. Menurunkan ideologi ke dalam praksis sosial yang membebaskan adalah tantangan tersendiri dalam menerjemahkan Pancasila hari ini.
Dengan sejumlah tantangan di sekelilingnya, di hadapannya, dan di belakangnya, Pancasila harus mampu menjadi inspirasi gerakan sosial bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan persatuan Indonesia, yang didasari dengan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut berpedoman pada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Walhasil, kita—terutama negara—harus bisa menghadirkan Pancasila dalam ruang nyata kewarganegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang ada dalam kehidupan Indonesia. Wujud kehadiran itu adalah keberpihakan dan pembelaannya melalui kebijakan, perhatian, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang secara nyata mampu mengubahnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari ini, kita perlu menemukan kembali (reinventing) “khittah Pancasila.” Sejak Pancasila lahir, dia memiliki khittahnya. Khittah ini penting, karena khittah adalah tonggak garis perjuangan dan landasan dasar Pancasila ini ada. “Khittah Pancasila,” menurut saya, berada dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya yang melekat dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilâhiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-ra’iyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Lima nilai dan prinsip dasar ini merupakan satu keutuhan yang tak terpisahkan (five in one) dalam sistem nilai Pancasila. []