Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
Kembali ke Khittah Indonesia 1945
ISIF Cirebon – Tiga belas tahun yang lalu, pada Munas dan Konbes tahun 2012 di Cirebon, Nahdlatul Ulama (NU) mengangkat tema “Kembali ke Khittah Indonesia Tahun 1945”. Ada apa dengan Indonesia Tahun 1945, sehingga harus dijadikan rujukan sebagai Khittah?
Tahun 1945 adalah tahun yang bersejarah bagi NU. Selain kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan, tahun 1945 juga adalah lahirnya fatwa NU tentang Resolusi Jihad untuk melawan para penjajah yang membonceng Jepang. Fatwa ini kemudian menggema menjadi perlawanan Arek-arek Soerobojo, yang kemudian ditetapkan sebagai hari Pahlawan Nasional pada setiap 10 November.
Seperti diketahui, NU adalah organisasi masyarakat sipil (civil society organization) berbasis pondok pesantren yang turut serta mendirikan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Setelah beratus-ratus tahun gigih berjuang melawan penjajah, NU bersama komponen bangsa lain mengisi dan mewarnai kemerdekaan Republik Indonesia. KH. Wahid Hasyim, putera pendiri NU dan ayah kandung Gus Dur, yang saat itu masih belia memang diutus ayahnya mewakili NU untuk bersama-sama kelompok lain membangun fondasi negara Indonesia, menyusun dasar negara Pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia ini. Ir. Soekarno, proklamator RI, menjadi Presiden RI juga atas hasil istikharah pendiri NU, Hadratusy Syaikh Mbah KH. M. Hasyim Asy’ari.
Walhasil, Tahun 1945 adalah khittah keberadaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Khittah ini ditandai dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia. Tanpa tahun 1945, Indonesia tidak akan pernah ada. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan pernah rukun dan bersatu. Tanpa UUD 1945, Indonesia tak akan pernah memiliki pemerintahan yang kokoh dan berwibawa. Tanpa Bhineka Tunggal Ika, Indonesia cacat dan tidak utuh. Patutlah, Indonesia Tahun 1945 dijadikan Khittah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini yang tengah mengalami erosi nasionalisme dan ancaman kebangsaan.
Negara Pancasila, Negara Islam
Salah satu prestasi NU yang paling monumental dalam satu abad sejarahnya adalah pemikiran politiknya tentang hubungan agama dan negara. Pemikiran itu sangat dapat dibanggakan. Di tengah ambisi kuat kalangan modernis dan transnasionalis memimpikan ‘negara Islam’, ‘daulah Islamiyyah’ atau ‘khilafah Islamiyyah’ di bumi Indonesia, NU dengan ‘nalar tradisionalitas’nya dan ‘teologi-pesantren’nya justru mengukuhkan negara Pancasila sebagai bentuk final dalam politik Islam (fiqh siyasah). “Tidak perlu mencari bentuk negara Islam lain, ‘Negara Pancasila adalah Negara Islam’ itu sendiri,” demikian kesimpulan ijtihad politik NU selama seabad.
Kita tahu wacana hubungan agama dan negara dalam Islam adalah wacana yang sangat krusial, telah lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer. Di sejumlah negara yang mayoritas muslim, perdebatan ini tidak saja mengundang konflik antarumat Islam, melainkan menjadi prahara bagi negara.
Indonesia adalah contohnya. Tahun 1950-an, negeri ini geger karena puluhan ribu orang terbunuh akibat perang guna mempertahankan ideologi ‘negara Islam’. Dengan bendera Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sekelompok orang Islam melakukan pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kecenderungan pemikiran mereka mempertentangkan antara Islam dengan negara non-Islam. Pilihannya hitam-putih: negara Islam atau perang. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah adalah contoh jalan pikirian hitam-putih ini.
Nahdlatul Ulama, melalui evolusi pemikirannya yang panjang, sejak masa penjajahan, perdebatan dasar negara menjelang pemerdekaan negara ini, hingga tahun 1984, telah berhasil mendamaikan atau merekonsiliasi secara teologis wujud ‘negara-bangsa’ dengan Islam. Tentu ini bukan perkara mudah, karena para kiai NU harus berijtihad secara radikal, merevisi teks, dan mengakui realitas empiris sebagai bagian dari ‘kebenaran’ yang harus dipertimbangkan.
Bagi Nahdlatul Ulama, diskusi tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila, sudah lama selesai. Keputusan Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada tahun 1984 telah mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 itu mengukuhkan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983.
Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari bahtsul masa`il ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa.
Nalar keagamaan NU telah menetapkan bahwa negara Indonesia dengan berdasarkan Pancasila sebagai bentuk final negara-bangsa. Bagi saya, kerangka pemikiran ini adalah masterpiece atau magnum opus pemikiran politik NU yang sangat brilliant, yang dimiliki kiai pesantren tradisional sebagai sumbangan atas bangunan teologi negara Pancasila.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia—yang dipimpin oleh para kiai tradisional-pesantren–telah menawarkan suatu penyelesaian teologis yang cemerlang melalui fikih politik dalam hubungan Islam dan Pancasila. Penalaran fikih politik ini tampaknya dapat menjadi pedoman atau inspirasi bagi organisasi keagamaan lain yang masih gamang menghadapi kenyataan ‘negara-modern’ Pancasila.[]