(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Tulisan ini adalah Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Angkatan VI,  24 Desember 2022, di Hotel Prima Cirebon.

Pengantar

Perkenankan saya memulai dengan mengucapkan ‘Selamat!’ kepada mahasiswa-mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) yang wisuda pada hari ini.

ISIF adalah sebuah aspirasi. Dia bagian dari perjuangan besar untuk menghadirkan kehidupan yang adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua.

Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbagi refleksi tentang membangun pengetahuan transformatif. Saya bicara hari ini bukan sebagai akademisi atau ilmuwan dalam sebuah disiplin ilmu tertentu. Saya hanya seorang penggerak yang terus berpikir kritis di ruang publik dengan sumber daya yang tersedia di ruang publik demi majunya perjuangan besar yang sama-sama sedang diupayakan ini.

Krisis dan Momen Transformatif

Tantangan yang dihadapi dalam perjuangan ini semakin besar dan kompleks sekarang. Pandemi Covid-19 tidak sekedar mengakibatkan porak-porandanya kehidupan umat manusia sedunia. Menyebarnya virus corona ke seantero dunia juga merupakan sebuah pesan dari alam. Melalui partikel mungil yang tak kasat mata ini, alam sedang bersuara bahwa manusia ini telah terlalu jauh menjarah ke ruang hidup alam semesta. Keserakahannya nyaris tidak menyisakan lagi habitat yang aman dan sentosa bagi makhluk-makhluk penghuni lainnya – flora dan fauna yang selama ini ikut memastikan keberlanjutan hidup di Bumi.

Para ilmuwan menyatakan bahwa pandemi sudah pasti akan terjadi lagi jika kita tidak mengubah sistem produksi pangan, membatasi urbanisasi dan industri, menggagas ulang cara transportasi, dan mengurangi peningkatan suhu udara di tengah perubahan iklim. Artinya, pandemi ini akan berulang jika kita tidak melakukan perubahan sistemik, jika kita tidak mampu membayangkan dan membangun sistem ekonomi yang regeneratif – yang menjamin keberlanjutan bukan mematahkannya.

Perang di Ukraina bukan saja membawa kesengsaraan bagi warga negara Ukraina melainkan juga menunjukkan betapa rapuhnya tatanan dunia bahkan di pusat-pusat kekuasaan seperti Dewan Keamanan PBB dan Eropa. Hak veto yang dipegang oleh Rusia dan Cina di Dewan Keamanan PBB, sebagai hasil kesepakatan pasca Perang Dunia II, tidak memungkinkan adanya pihak mana pun yang dapat mencegah serangan Rusia ini. Menghadapi boikot ekonomi oleh negara-negara pembela Ukraina, Rusia malah menghentikan penjualan gandum dan bahan bakar dan mengakibatkan krisis pangan di Afrika serta krisis energi di Eropa.

Lebih dari itu, fakta perang di kawasan Eropa Timur ini telah membuat pemerintahan di mana-mana sibuk mempersenjatai diri sejalan dengan menguatnya logika perang, termasuk di Cina, Jepang, Indonesia dan negara-negara Eropa yang selama ini bergantung pada kekuatan militer Amerika melalui NATO.

Tetapi bagaimana membuat perubahan sistemik di tengah ruang demokrasi yang semakin menyempit? Menurut lembaga internasional yang terus mengamati kondisi demokrasi di dunia, pada akhir tahun 2021, separuh dari 173 negara mengalami kemunduran paling tidak dalam satu aspek kehidupan demokrasi. Bahkan Eropa, kawasan yang selama ini membanggakan diri sebagai pusat demokrasi dunia, harus mengakui bahwa separuh dari negara-negara di sana mengalami kemerosotan demokrasi.[1] Sementara itu, otoritarianisme semakin kuat mengakar di mana-mana, termasuk di kawasan kita, Asia Pasifik, di mana 85% dari penduduknya tengah hidup dalam konteks demokrasi yang serba mundur dan melemah.

Dalam konteks ini, bukankah akan semakin sulit dan berisiko untuk menyuarakan urgensi perubahan sistemik yang niscaya akan menggoyahkan – bahkan mensyaratkan pembongkaran – dari tatanan hierarki kuasa yang selama ini mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat?

Semua ini semakin kompleks saat kita juga sedang penuh kegamangan dalam berhadapan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari kita. Di satu pihak, media sosial menciptakan peluang-peluang baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dengan kemampuan untuk menembus waktu dan jarak dalam sekejap. Media sosial memudahkan kita berkomunikasi dengan kekuatan visual yang dinamis dan berdaya gugah secara instan.

Akan tetapi, di pihak lain, revolusi teknologi informasi dan komunikasi ini juga pegang andil besar dalam menyebarkan kebencian dan menguatkan cara berpolitik yang bertumpu pada rasa takut dan serba curiga kepada orang yang berbeda dari diri dan golongan sendiri. Perlu juga kita simak dampak media sosial pada kesehatan mental anak muda. Sebuah survei yang dijalankan sepanjang 10 tahun (2009-2019) di Amerika[2], misalnya,  menemukan bahwa perempuan remaja yang mulai menggunakan media sosial pada usia ke-13 dan terus meningkat frekuensi penggunaannya semakin rentan risiko bunuh diri.

Sebenarnya dalam sejarah peradaban manusia, kita beberapa kali mengalami gejolak besar akibat adanya teknologi baru. Antara lain, Benedict Anderson, pakar ilmu politik, sejarawan dan Indonesianis kondang, memaparkan bagaimana munculnya mesin cetak pada abad ke-15 untuk memroduksi injil Gutenberg menjadi cikal bakal bagi lahirnya penerbit buku yang, pada gilirannya, memungkinkan penyebaran gagasan-gagasan baru, termasuk tentang bangsa dan kebangsaan atau konsep nasion dan nasionalisme. Empat abad setelahnya, proses membayangkan keberadaan sebuah komunitas politik yang berbatas dan berdaulat – disebut ‘imagined community’ – mewujudkan diri pada era dekolonisasi, termasuk di bumi pertiwi kita.

Sebagaimana mesin cetak Gutenberg dulu, mungkin teknologi digital yang juga tanpa preseden akan jadi cikal bakal bagi lahirnya suatu formasi kehidupan sosial-politik yang sama sekali berbeda dari apa yang kita kenal hari ini. Bukan tidak mungkin bahwa, hari ini, umat manusia sekali lagi berada dalam sebuah momen transformatif yang pastinya bakal berlangsung panjang.

Gagasan-gagasan baru yang didasarkan pada kekuatan imajinasi sudah mulai bermunculan sebenarnya. Salah satunya yang baik kita simak adalah sebuah manifesto yang disebut ‘Care Manifesto’, yaitu ajakan untuk membayangkan ulang seluruh sistem politik, ekonomi, tatanan global serta sistem kerabat dan komunitas agar dipandu oleh komitmen untuk saling merawat.

Para penggagas, sebuah kumpulan ilmuwan dan aktivis yang disebut ‘The Care Collective’, membuat manifesto ini sebagai wujud dari penyikapan politik mereka atas fakta interdependensi dari segala dimensi sistem kehidupan. Gagasan, atau lebih tepatnya seruan, yang mereka buat ini merupakan respons atas segala biaya sosial, politik dan personal yang harus ditanggung umat manusia akibat sikap tidak peduli (carelessness) yang hegemonik selama ini. Mereka berkeyakinan bahwa:

Care, atau saling rawat, adalah kemampuan diri dan kemampuan bersama untuk menyediakan kondisi politik, sosial, material dan emosional yang memungkinkan mayoritas orang dan makhluk hidup di bumi ini untuk hidup sentosa, seiring dengan planet di mana mereka berada. Hal ini termasuk kapasitas dan kegiatan bersama untuk merawat segala yang dibutuhkan bagi kesejahteraan dan tumbuh-kembangnya kehidupan. Di atas segalanya, tekad untuk menempatkan upaya saling merawat sebagai poros utama berarti komitmen untuk mengakui dan menerima fakta interdependensi dari segala aspek kehidupan kita.

Secara khusus, hal ini menuntut kesiapan untuk memberi perhatian pada kerja perawatan yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah dan di ruang-ruang pelayanan sosial lainnya serta kesediaan untuk merawat para aktivis yang tengah mengupayakan alternatif-alternatif kolaboratif, ekonomi solidaritas dan kepustakaan dari perjuangannya. Mewujudkan kemampuan bersama untuk saling merawat juga mencakupi kapasitas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang menjamin perumahan yang terjangkau, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memperluas kawasan hijau di bumi ini.

Kumpulan ‘Care Collective’ ini tidak sedang mengajukan sebuah teori yang sudah jadi tetapi mengajak kita untuk berimajinasi secara radikal. Bisa jadi, imajinasi untuk menata ulang sistem kehidupan atas dasar prinsip saling rawat hari ini sama radikalnya dengan imajinasi beberapa abad yang lalu saat otoritas absolut raja dan agamawan dibayangkan perlu dan bisa digantikan dengan kedaulatan rakyat di ruang demokrasi. Hari ini dan saat itu, imajinasi radikal seperti ini bukannya mimpi di siang bolong melainkan sebuah aspirasi berlandaskan analisis yang seksama dan berani tentang kondisi ketidakadilan dalam tatanan sosial politik yang ada.

Apakah analisis kita tentang berbagai masalah ketidakadilan hari ini mampu menghasilkan daya imajinasi yang radikal tentang masa depan yang berbeda dan lebih baik? Apakah cara berpengetahuan kita cukup memadai untuk merealisasikan sebuah perubahan sistemik sebagaimana dituntut oleh era pandemi ini?

Cara Berpengetahuan untuk Perubahan Sistemik

Sementara perspektif sejarah membantu kita untuk memahami bagaimana proses transformasi sistem sosial-politik berlangsung dari jaman ke jaman, sebagai aktor perubahan, kita harus bertanya bagaimana cara membongkar tatanan ketidakadilan yang penuh kemapanan?

Dalam konteks ini, perkenankan saya merujuk pada pertanyaan yang diajukan oleh Sally Haslanger[3], seorang filosof feminis di Amerika Serikat: Bagaimana cara melakukan disrupsi atas proses reproduksi sosial dari suatu sistem kemasyarakatan yang penuh ketidakadilan dan menggantikannya dengan sebuah sistem yang lebih baik?

Menurut Haslanger, suatu masyarakat adalah sistem yang kompleks yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkait-kelindan. Cara kerja unsur-unsurnya tidak selalu linear layaknya garis lurus yang sederhana dan sering kali jalannya pun penuh hal-hal tak terduga. Kendati demikian, ada pola dan keteraturan yang menjamin stabilitas sistem ini berkat kemampuannya untuk senantiasa menata diri atas dasar umpan balik dari berbagai unsur-unsurnya tanpa membutuhkan otoritas sentral.

Dalam pandangan Haslanger, di dalam setiap sistem kemasyarakatan terdapat struktur yang merupakan jaringan relasi yang dibentuk melalui praktik sosial. Struktur sosial tidak hanya mengambil wujud institusional tetapi juga dibentuk oleh proses pembelajaran sosial dan interaksi yang kompleks antar sosok pelaku, budaya dan dunia material.

Sebuah sistem yang penuh ketidakadilan bisa stabil, dalam arti mampu secara langgeng menjalankan proses reproduksi sosial, melalui tiga hal, menurut Haslanger: kuasa, pemberian makna (intelligibility) dan kondisi material (materiality). Artinya, jika kita menginginkan perubahan sistemik maka perubahan yang diupayakan haruslah mencakupi ketiga sumber stabilitas ini. Haslanger meyakini bahwa perubahan ini mensyaratkan perubahan hukum, karena sistem hukum punya andil besar dalam melanggengkan hierarki sosial. Tetapi, hukum (perubahan hukum) tidak berdiri sendiri dan saling berkelindan dengan budaya (perubahan budaya). Struktur hadir dalam interaksi dengan pemaknaan sosial. Menariknya, Haslanger percaya bawha perubahan hukum hanya efektif jika terjadi sebagai akibat dari gerakan sosial yang telah mampu mengubah praktik sosial di akar rumput.

Keyakinan Haslanger akan peran gerakan sosial didasarkan pada amatannya bahwa, dibandingkan dengan institusi-institusi legal formal, gerakan sosial mempunyai kebebasan lebih besar untuk mengkaji ulang (rethink) asumsi-asumsi dasar kita dan untuk menggoyahkan atau melakukan disrupsi pada status quo. Gerakan sosial fasih menciptakan praktik-praktik tandingan serta mengembangkan jaringan sosial baru. Melalui kerja pengorganisasiannya, gerakan sosial punya kemampuan mendorong terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift). Demikian pandangan filosof ini.

Cara pandang Sally Haslanger sejalan dengan mereka yang mengadvokasikan pendekatan transdisiplin dalam dunia pendidikan dan riset. Mereka menekankan bahwa pengetahuan mengalir dari dua arah: dari dunia keilmuan (science) ke masyarakat dan dari masyarakat ke dunia keilmuan, dari akademia dan juga dari dunia luar akademia. Pendekatan transdisiplin mengakui bahwa masyarakat juga pencipta pengetahuan yang absah dan bahkan mampu menggugat produk pengetahuan karya para ilmuwan.[4]

Pendekatan ini mengakui adanya ragam cara berpengetahuan (ways of knowing) dan kemajemukan epistemologi. Berlawanan dengan ini adalah rejim keilmuan yang sekadar membakukan (dan membekukan) batas-batas pemisah antar disiplin dan melanggengkan hierarki dalam berilmu. Sayangnya, masih terlalu banyak lembaga-lembaga pendidikan formal kita yang mengemban rejim keilmuan seperti ini.

Kepeloporan KUPI

Para mahasiswa yang berwisuda hari ini, Anda perlu bangga sebagai lulusan ISIF yang merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia. KUPI merupakan wujud nyata dari pendekatan keilmuan yang transdisiplin di mana ulama, akademisi, aktivis dan penyintas membangun pengetahuan secara interaktif bersama untuk perubahan yang transformatif.

Badriyah Fayumi berulang kali menegaskan bahwa KUPI adalah gerakan intelektual, gerakan keagamaan dan gerakan kultural sekaligus. Bisa kita bayangkan bagaimana filosof Sally Haslanger akan segera mengenali potensi kekuatan gerakan KUPI untuk mendorong perubahan sistemik.

Nur Rofiah menekankan sifat kolektif dari keilmuan dan penyikapan yang dihasilkan oleh ulama perempuan KUPI serta keberakaran yang khas pada pengalaman biologis dan sosial perempuan. Ini adalah wujud dari cara berpengetahuan perempuan dan bukti atas kemajemukan epistemologi yang patut diakui dan dirayakan sebagai prasyarat keadilan yang hakiki.

Dalam pusaran gerakan KUPI, Faqihuddin Abdul Kodir melakukan ajakan kepada laki-laki dan perempuan untuk berani membuat imajinasi radikal, yaitu untuk menggantikan relasi yang penuh ketimpangan kuasa dengan relasi atas dasar prinsip kesalingan di semua aspek kehidupan.

Semua inilah contoh nyata dari upaya membangun pengetahuan transformatif, yaitu cara berpengetahuan yang punya niat dan kemampuan untuk mengubah secara sistemik tatanan kehidupan yang penuh ketidakadilan dan pengrusakan. Otentisitas keilmuan KUPI adalah sumber kekuatan dan legitimasinya yang perlu dirawat bersama. Aspirasi dan komitmennya untuk tetap relevan di tengah berbagai krisis bangsa dan dunia membuat KUPI terus berkembang dan berkelanjutan.

Sebagai penutup, kepada Anda yang wisuda hari ini, semoga pilihan peran di masyarakat yang Anda ambil setelah lulus dari ISIF diwarnai oleh aspirasi yang diemban ISIF sebagai bagian dari sebuah gerakan besar untuk membangun kehidupan yang lebih adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua. Jadilah warga bangsa dan warga dunia yang berkiprah mulia dan kritis di tengah krisis dan momen transformatif yang sedang kita hadapi bersama.[]

Kamala Chandrakira adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Fahmina, Anggota Kelompok Kerja Komisi HAM PBB (2010-2017), Komisi Nasional Perempuan (Sekjen: 1998-2003, Ketua: 2003-2009), Pendiri  Musawah, lulusan S1 Jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia (1979-1981), S1 Sosiologi, Universitas Sophia Tokyo (1981-1983), Magister Sains bidang Sosiologi Pembangunan, Universitas Cornell, Ithaca, New York (1984-1988).

Sumber:

[1] https://www.idea.int/news-media/news/global-democracy-weakens-2022

[2] https://www.newswise.com/articles/10-year-study-shows-elevated-suicide-risk-from-excess-social-media-time-for-teen-girls

[3] Sally Haslanger, Social Justice, Culture and Law, 26 Mei 2022.

[4] https://www.uu.nl/en/research/transdisciplinary-field-guide/get-started/why-transdisciplinary-research