(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Husein Muhammad 

Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina

ISIF Cirebon – Pesantren diakui secara luas merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara.

Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, diambil dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu. Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka, mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.

Pakaian sarung atau kopyah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri.

Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangan alur ceritanya oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam.

Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.

Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisime yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Satu hal yang saya kira menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai. Hal ini dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan.

Kenyataan ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami’ dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim : Vihara dan Gereja. Bangunan antara Vihara dan Gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya.

Hubungan antara Kiyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan sepanjang sejarahnya pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan Tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.

Demikianlah, maka saya kira di tengah karut-marutnya hubungan antaragama dan antarumat Islam sendiri dewasa ini, Pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antarberbagai orang sesama bangsa. Pesantren sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk — meminjam istilah KH. Ahmad Shiddiq — ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Semoga. Amin.

 

— Disarikan dari tulisan Buya Husein dalam buku “Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman; Potret dari Cirebon” (Marzuki Rais, dkk. Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman: Potret dari Cirebon. Cirebon: Yayasan Fahmina, 2014.)

10