(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

ISIF Cirebon — Pusat Studi Gusdur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Halaqoh Kultural Pra-TUNAS (Temu Nasional) Jaringan Gusdurian melalui platform Zoom pada Senin malam 25 Agustus 2025.

Kegiatan ini menghadirkan ruang refleksi bagi anak-anak muda Gusdurian untuk membicarakan isu-isu kebangsaan menjelang perhelatan TUNAS Gusdurian 2025.

Acara dibuka dengan pengantar dari moderator, Noer Fahmiatul Ilmia, yang juga menjadi pembawa acara pada malam itu. Pria yang akrab disapa Fahmi ini berharap kegiatan ini menjadi ruang diskusi sekaligus ajang refleksi anak-anak muda Gusdurian terkait isu-isu kebangsaan yang semakin kompleks.

“Acara ini menjadi ruang rembuk atau tukar pemikiran anak-anak muda Gusdurian terkait isu-isu dan kondisi bangsa kita saat ini,” kata Fahmi saat membuka acara.

Diskusi berlangsung membicarakan tiga tema besar meliputi: agama sebagai etika sosial, demokrasi dan supremasi masyarakat sipil, dan keadilan ekologi. Diskusi masing-masing dipantik oleh Unzilatur Rohmah dari Gusdurian Kairo bersama Romo Johan Theodore dari Kristen Ortodoks, Pdt. Ferry Mahulette dari Gusdurian Jogja bersama Abdul Rosyidi dari Pusat Studi Gusdur dan Transformasi Sosial ISIF serta M. Najmi Al Haromain dari Gusdurian Tasikmalaya bersma Firda Ainun dari Gusdurian Jogja.

Peran Agama

Para narasumber menyoroti persoalan-persoalan aktual bangsa, mulai dari bagaimana agama berperan sebagai sumber etika publik, tantangan demokrasi yang dihadapkan pada menguatnya oligarki politik dan lemahnya supremasi sipil, hingga krisis ekologi yang semakin nyata.

Unzilatur Rohmah, misalnya, menyoroti peran agama dalam diri individu dalam menumbuhkan cara pandang terhadap fenomena sosial.

“Ketika agama dihayati secara kolektif, ia menumbuhkan kepekaan etis dan intuitif. Misalnya, ketika seseorang melakukan kesalahan, ia tidak hanya merasa salah secara sosial, tetapi juga berdosa secara religius. Dari sini lahir empati, penghormatan terhadap sesama, dan dorongan untuk tidak semena-mena,” ungkapnya.

Dalam paparan soal keadilan ekolois, Najmi menegaskan bahwa keadilan ekologis harus dimulai dari keberanian mengakui diri sebagai pelaku ketidakadilan ekologis, sebuah kesadaran yang melahirkan gagasan “pertobatan ekologis”. Menurutnya, dari pengakuan itu nantinya akan melahirkan empati dan dorongan untuk melakukan perubahan.

“Keadilan ekologis bukan hanya soal kapitalisme atau isu-isu makro, tapi dimulai dari perubahan pola hidup kita sendiri. Dari tangan, pikiran, dan kaki yang dulu ikut merusak lingkungan, kini harus diarahkan untuk menjadi solusi bagi umat,” paparnya.

Peran Masyarakat Sipil

Di sisi lain, Abdul Rosyidi menegaskan bahwa supremasi sipil menjadi isu yang sangat tepat untuk dibahas dalam forum TUNAS kali ini. Menurutnya, masyarakat sipil memiliki fungsi penting dalam demokrasi, yakni mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi jalannya kekuasaan.

 “Sayangnya, sering kali kritik masyarakat sipil disalahpahami. Ketika kita mengkritik pemimpin atau kebijakan negara, sering dianggap karena kita tidak memilihnya. Padahal justru karena memilih dan peduli, kita harus mengingatkan,” tegasnya.

Secara keseluruhan, diskusi berjalan hangat dengan beberapa pertanyaan dan refleksi dari peserta. Bagi para peserta, halaqoh kultural ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga menjadi ajang konsolidasi nilai dan gerakan.

Semua isu yang dibicarakan dipandang penting untuk terus diperjuangkan melalui gerakan sosial yang berakar pada nilai-nilai Gus Dur: kemanusiaan, keadilan, serta keberpihakan pada kaum tertindas.

Halaqoh ini sendiri menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menuju Temu Nasional (TUNAS) Jaringan Gusdurian 2025 yang akan digelar pada 29–31 Agustus mendatang.*** (Gun)

2