ISIF Cirebon – Hari ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang seolah-olah sudah tersihir. Sihir itu bernama gaya hidup hedonistik—semuanya serba instan, glamor, dan serba harus tampak “sukses”. Ia dipromosikan terus-menerus lewat televisi, media sosial, iklan, bahkan ceramah-ceramah keagamaan. Kita seperti dipaksa tunduk kepada satu cara hidup: modern, cepat, dan berbasis teknologi. Siapa yang tak punya HP pintar atau motor keren akan dianggap “tertinggal zaman”.
Tapi gaya hidup ini tidak tumbuh dari tanah yang ramah. Ia mengabaikan ekosistem sosial dan budaya kita. Tidak peduli apakah tradisi dan lingkungan bisa mengikuti atau tidak. Yang penting, semua orang harus kelihatan ‘maju’. Celakanya, yang paling terkena dampaknya justru mereka yang paling lemah: masyarakat kecil, minoritas, dan mereka yang hidup dari sektor informal.
Orang-orang yang lemah, ketika bertindak secara benar dan didukung undang-undang sekalipun, akan tetap dipandang rendah, bahkan tetap berpotensi disalahkan. Sebaliknya, orang yang kuat akan dipandang terhormat dan memperoleh dukungan banyak pihak, sekalipun melanggar peraturan dan undang-undang. Ucapan sarkastik ini bisa dilihat pada kasus-kasus yang menimpa banyak kelompok masyarakat kecil di kota maupun desa. Begitu juga untuk kelompok-kelompok minoritas. Apapun yang mereka lakukan, mereka cenderung akan disalahkan.
Bagi masyarakat lemah yang hidup di kota, selama hidupnya selalu disalahkan. Tinggal di kolong jembatan disalahkan, di bawah jalan tol juga disalahkan, di pinggir rel kereta api juga disalahkan, di kuburan juga disalahkan, apalagi di pinggir rumah orang-orang kaya pasti akan langsung diusir Satpam setempat. Di Mushalla dan Masjid sekarang sudah tertulis ‘dilarang tidur di dalam Masjid’. Jadi, di mana mereka harus tinggal?
Untuk membeli rumah, mereka tidak memiliki uang yang cukup. Sementara, pekerjaan yang dapat mendatangkan uang bagi mereka pun tidak ada. Mencuri pasti disalahkan. Jadi, apapun yang mereka pilih dan kerjakan, dunia akan cenderung menyalahkan mereka. Mereka tidak diterima untuk hidup di kota. Mereka seharusnya tinggal di desa, tetapi tanah-tanah di desa juga telah direbut orang-orang kota untuk perumahan, villa, dan resort. Yang tersisa hanya lahan yang kering kerontang dan tidak menjanjikan.
Kalaupun mereka berada di desa, mereka hanya akan meneruskan kebiasaan hidup di kota. Berjualan teknologi kota yang belum tentu diperlukan di desa dan belum tentu ramah dengan lingkungan maupun tradisi desa. Atau, menjadi calo tenaga kerja yang akan dikirim ke luar kota atau luar negeri. Itupun berarti untuk kepentingan di luar desanya, atau akan tercerabut dari lingkungan desanya. Itupun bisa disalahkan sebagai agen ’perdagangan orang’. Sementara orang-orang yang lebih kuat, seperti perusahaan yang merekrut tenaga kerja untuk dipekerjakan di luar negeri, tidak pernah tersentuh oleh aparat hukum.
Begitu juga kondisi yang menimpa Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia. Mereka akan dipandang salah, tidak tertib, melanggar aturan, dan karena itu terus-menerus akan digusur dan dikejar-kejar. Berbeda dengan para pedagang besar dan pemilik mall-mall. Mereka sebaliknya dielu-elukan sebagai investor dan pemasok devisa bagi negara, sekalipun pada praktiknya mereka: telah menggusur tanah-tanah publik, ruang-ruang umum, cagar budaya, dan mematikan pasar-pasar tradisional.
Dalam urusan-urusan seperti ini, para investor dan pemodal itu seringkali melanggar aturan tata ruang, aturan perizinan, dan aturan persaingan dunia usaha. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang justru ngemplang uang negara melalui fasilitas ‘kredit yang mereka lakukan‘ di bank-bank negara.
Anehnya, para pejabat negara, termasuk Pemerintah Daerah, menganggap mereka sebagai pahlawan devisa dan pejuang ekonomi bangsa. Ini berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi yang dihadapi para pedagang kecil yang berada di sektor-sektor informal—yang sering disebut pelaku ekonomi menengah ke bawah.
Usaha ekonomi kecil dan menengah, serta sentra-sentra pasar tradisional adalah anak sah dari model perekonomian awal di Indonesia. Justru pendirian mall-mall lahir dari model perekonomian yang merujuk pada mazhab ekonomi akumulasi modal atau biasa disebut dengan kapitalisme.
Kita seharusnya jujur bahwa meledaknya sentra-sentra ekonomi lemah, atau tepatnya PKL, adalah akibat dari kebijakan pembangunan yang hanya difokuskan pada pembangunan kota. Masyarakat desa tidak lagi tertarik untuk bekerja di desa. Bahkan, tidak ada lowongan pekerjaan yang bisa mereka akses.
Ketika tanah dan sawah sudah dibeli; ketika tanah dan sawah sudah tidak produktif lagi; ketika bekerja di sawah sama sekali tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan tidak memiliki prestis sosial sama sekali, maka semua rakyat desa akan berbondong-bondong tersedot memasuki kota untuk mengadu nasib.
Mereka tidak punya pilihan lagi. Seluruh program pembangunan tidak memihak kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Mereka terpaksa mengambil sudut-sudut dan trotoar jalan. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk berusaha, bahkan untuk bertahan hidup sekalipun. Pembangunan mall-mall dan sentra-sentra bisnis seringkali tidak menyisakan tempat untuk mereka.
Padahal mayoritas pekerja di dalam mall itu adalah pekerja yang digaji kecil, yang hanya bisa makan di kelas-kelas PKL. Anehnya, yang kita saksikan adalah penggusuran dan pengejaran, atau — meminjam bahasa pemerintah “penertiban.” Mereka tidak diakui, tetapi mereka tetap harus bayar retribusi. Bahkan, penggusuran pun seringkali menciptakan PKL yang baru, yang harus bayar lahan kembali dari awal dan retribusi seperti biasa.
Sepertinya, penggusuran hanya menjadi sirkulasi untuk memperoleh tawaran dari PKL yang baru, dengan model pembayaran baru dan retribusi baru. Ini adalah front pembangunan yang setia menjadi “wirid” pemerintah sejak zaman Orde Baru.
Dalam relasi dengan negara-negara maju, Indonesia selalu disalahkan. Indonesia dilarang menebang hutan sebagai paru-paru dunia. Namun, Indonesia tidak diberi pilihan lain untuk mempertahankan kehidupannya, selain hutan. Padahal hutan adalah sumber daya alam strategis yang dimiliki Indonesia.
Lalu bagaimana? Bahkan kita, bangsa indonesia, dipaksa untuk membeli produk-produk teknologi dan makanan instan produksi negara-negara maju. Kita memanfaatkan hutan salah, tidak membeli produk mereka juga salah, orang lemah — bahkan negara lemah pun memang selalu disalahkan.
Ini harus menjadi kepedulian bersama. Kita memang selalu dikepung oleh kehidupan hedonistik yang mengancam segala kekayaan kita: kekayaan agama, tradisi, dan alam. Budaya instan hedonis inilah yang akan menghancurkan tradisi kebersamaan dan persatuan.
Invasi budaya ini, tanpa kita sadari, telah merasuki seluruh kehidupan kita. Apabila kita tidak memiliki kewaspadaan yang ekstra, kita malah akan berbalik menyalahkan orang-orang yang lemah dan kalah dalam percaturan ekonomi global.
Kasus Porong Sidoarjo Jawa Timur menunjukkan betapa negara tidak memiliki keberpihakan yang jelas kepada rakyat yang tergusur. Bahkan, rakyat digusur dan dikorbankan dengan semburan lumpur Lapindo. Pemerintah gamang memberikan sanksi kepada perusahaan yang mengakibatkan penderitaan permanen rakyat. Negara juga tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk penghidupan korban lumpur Lapindo. Padahal jumlah mereka ribuan orang. Mereka kehilangan rumah, tanah, kehidupan, dan masa depan. Tidak ada yang peduli.
Tidak ada juga gerakan masif yang memaksa negara untuk bertanggung jawab dan melindungi korban. Kelompok-kelompok agama, seperti NU, Muhammadiyah, atau yang lain diam seribu bahasa menyaksikan penindasan massal ini. Tidak juga dari partai politik yang mengatasnamakan Islam atau nasionalisme. Ironis! Ini sangat ironis.
Sepertinya, kita harus memikirkan ulang model keberagamaan, kepartaian, dan kebangsaan kita selama ini. Kita masih saja membiarkan orang-orang lemah dan minoritas kalah dan dikalahkan. Saya teringat dengan pernyataan yang diucapkan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra.,
“Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di sisiku, karena itu’ aku perjuangkan hak-hak untuknya. Sementara orang — yang kuat di antara kamu, adalah lemah di sisiku, karena itu aku akan memastikan kewajiban mereka dilunasi untuk memenuhi hak-hak yang lain” .[]
— Artikel ini merupakan tulisan K.H. Syarief Utsman Yahya dengan judul asli “Berpihak kepada Rakyat Lemah” dalam buku Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Silakan baca tulisan lengkapnya dalam, Syarif Utsman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008.