Penulis: Sukma Hadi Watalam
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon – Mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) bersama Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M0 ISIF Cirebon mengadakan kegiatan Rembug Warga di Desa Kejuden pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Kegiatan ini berlangsung di Joglo milik Bapak Malik, sebuah bangunan unik dengan arsitektur perpaduan Jawa dan Bulgaria yang menghadirkan nuansa berbeda meski berada di pedesaan. Suasana semakin akrab dengan suguhan khas berupa teh hangat, singkong rebus, dan kacang khas Papua.
Kegiatan ini dihadiri oleh perangkat desa, warga setempat, serta perwakilan kelompok mahasiswa dari Dukupuntang dan Argasunya yang hadir untuk saling mendukung dan belajar bersama. Diskusi berlangsung penuh keakraban, kadang serius, kadang diselingi tawa yang membuat suasana menjadi cair.
Topik pertama yang diangkat dalam rembug ini adalah sejarah rotan di Desa Kejuden. Dahulu, desa ini dikenal luas sebagai sentra kerajinan rotan. Hampir setiap rumah tangga terlibat dalam produksi maupun distribusinya, sehingga rotan menjadi identitas ekonomi desa.
“Kursi rotan itu kuat, bisa diwariskan. Kalau kursi plastik, diwariskan paling cuma dua kali duduk langsung patah,” kelakar seorang warga., yang disambut gelak tawa peserta forum.
Namun, seiring hadirnya produk kerajinan modern yang lebih murah dan praktis, kejayaan rotan di Kejuden perlahan meredup. Rotan mulai kalah pamor, dan banyak pengrajin beralih ke pekerjaan lain. Padahal, kerajinan rotan memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi, sekaligus ramah lingkungan.
Selain rotan, pembahasan juga menyinggung kondisi sosial-ekonomi persawahan. Hingga kini, sawah masih menjadi tumpuan utama kehidupan masyarakat. Dari sawah lahir beragam tradisi, mulai dari gotong royong, sistem bagi hasil, hingga ritual syukuran sebelum menanam maupun setelah panen. Bagi warga Kejuden, sawah bukan hanya penghasil padi daan penopang perekonomian warga, melainkan juga ruang kebersamaan dan pengikat kehidupan sosial desa.
Rembug kemudian bergeser pada diskusi mengenai tradisi-tradisi khas Kejuden, di antaranya Nyimplo dan Buyut. Tradisi Nyimplo merupakan sarana warga untuk berdoa bersama sambil melantunkan syair-syair penuh makna, sedangkan tradisi Buyut adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang diyakini menjaga desa. Kedua tradisi ini tidak hanya menjadi ekspresi spiritual, tetapi juga pengikat sosial dan budaya warga Kejuden.
“Kalau tidak ada tradisi, kapan lagi bisa doa bareng lalu makan bersama tanpa harus patungan?” canda salah satu warga.
Lebih jauh, mahasiswa juga mengulas sejarah Desa Kejuden. Dengan merujuk pada buku-buku klasik, catatan lama, serta wawancara dengan kuncen, ahli sejarah, dan masyarakat, terungkap beragam kisah menarik. Salah satunya berkaitan dengan asal-usul nama gang di desa. Ternyata, setiap gang menyimpan cerita unik, baik yang terkait tokoh, peristiwa, maupun fungsi tertentu di masa lalu.
Menariknya, banyak warga bahkan perangkat desa yang baru mengetahui kisah tersebut saat dipaparkan mahasiswa. Tidak heran bila kegiatan ini kemudian dijuluki bukan hanya sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN), melainkan juga Kuliah Kupas Nama.
Dari diskusi panjang itu lahir kesadaran bersama semua kebudayaan yang ada dan begitu berharga patut dijaga dan diwariskan. Sebab, jika tidak, bisa jadi anak cucu kita nanti lebih hafal sejarah kerajaan luar negeri daripada asal-usul gang di kampung sendiri.
Melalui rembug warga ini, mahasiswa ISIF bersama masyarakat berupaya untuk saling belajar dan merefleksikan kembali potensi desa, baik dari sisi sejarah ekonomi maupun nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.***