(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Beberapa tahun belakangan ini, kebijakan pemerintah semakin bikin orang cuma bisa elus dada dan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, korupsi makin menjadi-jadi, kekayaan alam dikeruk tapi yang menikmati hanya segelintir orang.

Di dunia pendidikan pun tak kalah aneh; ada program makan bergizi gratis (MBG), tapi kenyataannya banyak siswa yang justru kehilangan selera. Bahkan, ada sekolah yang makanannya sampai basi dan tidak layak disantap. Belum cukup, muncul lagi istilah “sekolah rakyat”, lalu “sekolah konglomerat”. Seolah-olah sekolah yang sudah ada selama ini bukan untuk rakyat. Bukankah semua anak memang berhak sekolah? Entahlah, kadang logikanya susah dicerna.

Belakangan ini tambah ramai lagi, bahkan melebihi hebohnya pesta nadran, ketika guru dan dosen dicap sebagai beban negara. Ironisnya, masih ada guru yang gajinya cuma 300 ribu, itu pun dibayar dengan cara dirapel. Katanya beban negara? Sementara di sisi lain ada yang bisa mengantongi ratusan juta per bulan, masih juga sibuk mencari celah untuk korupsi.

Saking banyaknya hal ganjil, sampai bingung mau mengeluh dari mana. Intinya, rakyat sudah terlalu sering dijadikan bahan eksperimen, sementara pemimpin terus mencari cara agar dompetnya tidak pernah kempes.

Dalam acara kenegaraan juga, entah kenapa, dengan asyiknya para pejabat berjoget-joget seakan-akan mereka sedang menghadiri hajatan kawinan di kampung sebelah. Rasanya, kok aneh ya! Acara resmi yang katanya mewakili rakyat justru lebih mirip panggung hiburan. Sepertinya hal itu tidak layak untuk ditiru, apalagi dijadikan kebiasaan.

Kenapa yah, setiap ada acara, joget-joget selalu dijadikan pelengkap? Kaya sayur tanpa garam kalau gak joget. Padahal, rakyat di bawah sedang pusing mikirin harga beras, listrik, sekolah anak, dan cicilan yang makin mencekik. Tapi di atas sana, para wakil rakyat bisa joget ria dengan senyum lebar, seolah dunia ini baik-baik saja.

Kalau dipikir-pikir, lama-lama acara kenegaraan bisa berubah jadi festival joget nasional. Bayangkan saja, mungkin nanti ada lomba joget kategori “menteri paling lentur”, “gubernur paling lincah”, sampai “bupati paling enerjik di atas panggung”. Rakyat yang nonton? Ya cuma bisa ketawa getir sambil mikir, “Ini yang katanya kerja untuk rakyat, kok malah joget mulu?”

Lucunya lagi, joget ini seperti jadi “obat mujarab” untuk menutupi segala kebijakan aneh. Bikin program gagal? Joget dulu. Ada isu korupsi? Joget dulu. Harga-harga naik? Joget lagi. Lama-lama kita bingung, ini pemerintah atau grup dangdut keliling?

Rakyat yang nonton pun dapat dua hiburan sekaligus: hiburan musik di panggung, dan hiburan batin melihat kelakuan pejabatnya. Bedanya, kalau musik dangdut bikin goyang badan, pejabat berjoget justru bikin goyang kepala sambil ngomong, “Astaghfirullah… Ini negara serius apa negara lawakan?”

Pada akhirnya, satu pertanyaan paling sederhana pun muncul: jangan-jangan negeri ini bukan sedang dijalankan, tapi sedang dijalankan-jalankan?

96