(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah kampus atau lembaga pendidikan tinggi Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial kemanusiaan Fahmina-institute. Kampus ini berdiri di atas dasar aspirasi publik yang mengemuka pada saat peringatan 7 tahun Fahmina dan hasil ‘ijtihad’ para pendiri Fahmina sendiri pada tahun 2007 yang lalu.

Atas dukungan banyak pihak, kampus progresif ini tampak terus tumbuh, mengembangkan, dan memantapkan langkah-langkah akademiknya. Tiga pilar (tri dharma) perguruan tinggi –pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat– terus ditancapkan hingga ke akar bumi, sementara buah akademiknya terus menggelayut ke atap langit, membangun peradaban Indonesia yang adil, setara, humanis, dan unggul.

Membedakan ISIF

Penting dicatat, perbedaan mendasar ISIF dengan PTAI lainnya adalah struktur dan substansi kurikulumnya. Dalam konteks itu, ISIF menempatkan keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-basyariyah), lokalitas (al-‘adah), dan kebhinekaan (at-ta’addudiyyah) sebagai perspektif atau paradigma untuk studi keislaman, baik bagi mahasiswa maupun dosennya.

Pada semester pertama, mahasiswa ISIF memperoleh mata kuliah studi gender, studi HAM, studi demokrasi, studi pluralisme, studi kebudayaan lokal, dan studi gerakan sosial, sesuatu yang jarang ditemukan dari kurikulum PTKI manapun.

Setelah rumpun mata kuliah perspektif ini, mahasiswa ISIF pada semester kedua memperoleh rumpun mata kuliah metodologi dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan ‘kebenaran’. Di antara metodologi yang diberikan adalah metodologi penelitian kualitatif, metodologi penelitian kuantitatif, metodologi penelitian aksi partisipatoris, analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, serta belajar dan hidup bersama masyarakat. Harapannya, mahasiswa ISIF sejak dini memiliki kemampuan metodologis untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis realitas sosial, realitas sejarah, teks, dan realitas budaya.

Pada semester ketiga, ISIF menawarkan rumpun mata kuliah “studi pengantar ilmu-ilmu keislaman.” Di antaranya adalah studi pengantar al-Our’an, studi pengantar al-Hadits, studi pengantar kalam, studi pengantar hukum Islam, studi pengantar tasawuf, dan studi pengantar ushul figh. Sejak semester ini, mahasiswa ISIF mulai memasuki bidang studi Islam, dari studi pengantar hingga ke substansi yang mendalam, kepakaran, dan mata kuliah pilihan profesi pada semester ketujuh dan kuartal.

Posisi Epistemologi Islam

Ditilik dari kurikulum ini saja, ISIF tampak berbeda dengan PTKI lainnya. ISIF mengambil posisi yang jelas antara keislaman, sejarah kemanusiaan, dan realitas sosial yang terus berubah. Tiga hal itu diposisikan ISIF hampir sama dengan konsep trinitas dalam pemahaman Kristiani,

Moto ISIF tegas, yakni memadukan teori, praktik, dan transformasi sosial berbasis tradisi intelektualisme Islam-pesantren. Mengapa intelektualisme Islam-pesantren? Harus diakui bahwa pesantren adalah pranata sosial Indonesia yang sangat kaya dan kuat dengan tradisi pemikiran dan akademik.

Dalam tradisi akademik pesantren, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah hal yang biasa, lumrah terjadi, dihargai, dan menjadi bagian dari ruh kehidupan. Pesantren juga kuat dengan ikatan tradisi, menyatu dengan kebudayaan di mana ia bersamanya, serta mampu hidup dalam kebhinekaan, tanpa bertendensi menundukkan dan menyeragamkannya.

Sesuai dengan motonya, ISIF hendak menghasilkan intelektual organik (organic intellectuals), yakni sarjana Islam yang menggali pengetahuan lokal (local knowledge) dari pengalaman kehidupan masyarakat, dan menggunakan pengetahuan itu untuk melakukan perubahan dan memecahkan problematika sosial bersama masyarakatnya.

Dalam bahasa lain, sarjana Islam yang hendak dihasilkan ISIF adalah sarjana yang memiliki jiwa kenabian (profetik), yakni menjadikan ilmu pengetahuannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mereka alami. Dalam keyakinan epistemologi ISIF, ilmu bukan untuk ilmu, melainkan ilmu untuk transformasi sosial demi kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (wisdom) di muka bumi.

Sikap terhadap Masa Lalu

Selain teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits, ISIF juga melakukan studi realitas keislaman masa lalu, sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga masa sekarang. Kecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, semuanya dipandang ISIF sebagai realitas sosial budaya yang tidak mutlak, karena realitas itu lahir dari rahim peradaban suatu tempat dan saat tertentu yang diliputi dengan subyektifitas dan faktor-faktor spesifik yang melatarinya. Kecuali wahyu, tidak ada yang universal dan langgeng, semuanya bisa ber(di)ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Inilah asas fleksibilitas (murunah) dalam pemahaman keislaman.

Islam masa lalu diposisikan ISIF sebagai bahan baku yang sangat kaya dan penting untuk merajut masa kini. Diperlukan kontekstualisasi, transformasi, dan pribumisasi masa lalu untuk dapat digunakan ke dalam masa kini. Masa lalu tidak bisa di-copy paste begitu saja untuk menjustifikasi masa kini, apalagi untuk masa yang akan datang.

Islam yang ingin dihadirkan ISIF adalah Islam-Indonesia dengan seluruh dasar ideologi dan kebudayaannya hari ini, bukan Islam-Arab, bukan Islam-Timur Tengah, dan bukan pula Islam-Barat. Islam-Indonesia adalah Islam yang menyatu dengan wajah, karakter, dan perilaku keindonesiaan, dengan seluruh kebudayaan, tradisi, dan nalar sosial politiknya.

Untuk menghadirkan Islam-Indonesia hari ini dibutuhkan penguasaan yang mendalam secara bersamaan terhadap pengetahuan Islam masa lalu (at-turats al-Islamiy), pengetahuan Barat (at-turats al-gharbiy) yang menguasai dunia hari ini, dan pengetahuan kebudayaan Indonesia (al-hadlarah al-indunisiyyah), bumi kita berpijak. Segi tiga bangunan pengetahuan dan peradaban ini adalah soko guru keilmuan ISIF.

Islam yang Dicita-citakan

Sebagai lembaga studi Islam, ISIF tentu memiliki bangunan Islam yang dicita-citakan. Islam dalam pandangan ISIF adalah instrumen Allah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat di muka bumi. Islam hadir untuk menjadi rahmat (cinta-kasih) bagi seluruh makhluk-Nya. Jangkauan Islam bukan hanya manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh benda-benda alam lainnya. Semuanya menjadi perhatian Islam sebagai keseimbangan ekosistem.

Dalam posisi ini jelas bahwa Islam adalah keadilan bagi seluruh hamba-Nya, rahmat bagi seluruh ciptaan-Nya, dan pelindung bagi seluruh perbedaan dan keragaman di muka bumi ini. Islam adalah agama keadilan, agama kesetaraan, agama kemaslahatan, agama kedamaian, agama cinta kasih, dan agama pelindung kebhinekaan.

Dengan demikian, adalah pengkerdilan besar-besaran, apabila Islam dipahami hanya untuk umat Islam saja, diidentikkan dengan Arabisme, lalu memusuhi selain Islam, memberantas tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan Arabisme. Islam juga bukan kendaraan politik yang dapat ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan penganutnya.

Sebaliknya, Islam hadir untuk semuanya, untuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun gender dan jenis kelaminnya, apapun orientasi seksualnya, dan apapun warna kulitnya berada dalam naungan rahmat Islam. Semuanya sama dan setara di hadapan Islam. Pembeda mereka di hadapan Allah hanyalah amal perbuatan dan ketakwaannya. Inna akramakum ‘inda Allahi atqokum.

Gerbang Pembaruan

Mencermati kerangka filosofis, paradigmatik, epistemologi, dan kurikulum studi Islam ISIF di atas, kami memiliki obsesi dan optimisme besar akan lahirnya para pembaru Islam dari Cirebon. Obsesi dan optimisme ini sangat berdasar. Di mana-mana, pembaruan selalu dimulai dari kebebasan berpikir, kemudian adanya ruang kebebasan mimbar akademik, dan adanya ruang/ media/fasilitasi untuk menuangkan gagasan-gagasan pembaruan tersebut.

Sejak kelahirannya, ISIF telah menyediakan tiga adegan tersebut. Dasar-dasar berpikir kritis, kebebasan berpikir, penguasaan bahan baku keislaman, semangat perubahan, serta ruang kebebasan mimbar akademik dan media ekspresi pembaruan telah disediakan.

Dengan demikian, pembaruan pangkalan-pangkalan sudah dilakukan oleh para founding fathers/mothers Fahmina. Kami telah menulis sejumlah buku, mulai menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan, membukakan gerbang lebar bagi gerakan pembaruan lanjutan yang lebih luas dan simultan, dan menyediakan media yang mendukung bagi persemaian gagasan-gagasan pembaruan.

Kini saatnya, civitas akademika (dosen dan mahasiswa) ISIF terus berijtihad (berpikir bebas) dan bekerja keras mengubah dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis-transformatif yang digali dari sumber-sumber keislaman dan kekayaan budaya tradisi sendiri.

Ingatlah: perubahan sosial tanpa perubahan ide cerdas ibarat rumah laba-laba, dan ide cerdas tanpa perubahan sosial ibarat busa. Wallahu A’lam bish Shawab.

— Artikel ini telah terbit secara cetak di Majalah LATAR ISIF Edisi 1 no. 1 Tahun 2011.

85