(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Moderasi Beragama: Jalan Tengah Menuju Keharmonisan

Oleh: Ahmad Kamali Hairo (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Dalam konteks kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi sebuah keniscayaan. Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengedepankan keseimbangan antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan terhadap praktik beragama orang lain. Moderasi beragama bukan berarti mengurangi kadar keimanan, melainkan menjadikan agama sebagai landasan untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan harmonis.

Konsep ini penting untuk terus digaungkan di tengah menguatnya arus ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Di satu sisi, ada kecenderungan memahami agama secara sempit dan kaku, yang memunculkan sikap eksklusif dan bahkan kekerasan atas nama agama. Di sisi lain, ada pula pandangan yang menafikan peran nilai-nilai spiritual dan merelatifkan semua keyakinan secara ekstrem. Moderasi hadir sebagai jalan tengah yang menjembatani dua kutub ini, menghadirkan wajah beragama yang ramah, adil, dan kontekstual.

Untuk mewujudkan moderasi beragama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi panduan moral, tetapi juga menjadi pedoman praktis dalam bersikap dan bertindak di tengah masyarakat yang majemuk. Setidaknya, terdapat lima prinsip utama yang menjadi pilar moderasi beragama dan dapat dijadikan pegangan bagi setiap individu dalam membangun kehidupan yang harmonis dan saling menghargai.

Lima Prinsip Utama Moderasi Beragama

1. Jalan Tengah (Tawassuth)
Mengambil posisi di antara dua ekstrem: tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula meremehkannya. Sikap ini menghindari radikalisme maupun liberalisme, dan memastikan ajaran agama dipahami serta diamalkan secara seimbang.

2. Toleransi (Tasāmuh)
Menghargai perbedaan keyakinan dan praktik beragama. Toleransi bukan berarti menyetujui semua keyakinan, tetapi memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan maupun diskriminasi.

3. Kesetaraan (Musāwah)
Memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan, tanpa membedakan suku, ras, atau agama. Prinsip ini menolak segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, serta menjamin hak dan martabat yang sama bagi setiap individu.

4. Keadilan (I’tidāl)
Menegakkan kebenaran dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, tanpa memandang latar belakang agama. Keadilan menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.

5. Dinamis (Tathawwur)
Menyadari bahwa ajaran agama dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan konteks sosial. Prinsip ini mendorong umat beragama untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan kontemporer tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar agama.

Dengan mengamalkan prinsip-prinsip ini, moderasi beragama menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.  Selain itu ia turut serta menciptakan peradaban yang beradab dan penuh kasih sayang.

Moderasi Beragama Dalam Relasi Gender dan Seksualitas

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Sudah lama saya ingin tulis ini, sejak terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

PMA 73/2022 ini terbit pada 5 Oktober 2022 dan diundangkan pada 6 Oktober 2022. Sebelum PMA ini terbit telah dikeluarkan Surat Keputusan Dirjen Pendis No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Di tengah gerakan moderasi beragama yang tengah dipimpin Kementerian Agama, saya ingin mengatakan bahwa PMA 73/2022 ini adalah wujud nyata komitmen moderasi beragama dalam relasi gender dan relasi seksual.

Mungkin sebagian orang menduga, dalam moderasi beragama, relasi gender dan relasi seksual bersifat longggar, tengah-tengah antara anti kekerasan seksual dan permisifikasi seksual. Ini tentu cara pandang yang salah sejak memahami moderasi beragama sebagai sikap tengah-tengah, laa wa laa, tidak ke sana tidak ke sini.

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, termasuk dalam relasi gender dan relasi seksual, dengan mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Dari definisi ini jelas, dalam moderasi beragama terdapat 9 prinsip yang melekat, yaitu kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan terhadap tradisi.

Nah, kekerasan seksual ditinjau dari manapun bertentangan dengan semua prinsip moderasi beragama itu. Kekerasan seksual adalah tindakan ekstrem yang melanggar kemanusiaan, madlarat, dzalim, dan bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama.

Jika ada suatu ajaran agama yang membolehkan atau menyetujui kekerasan seksual, maka cara beragama tersebut adalah ekstrem. Tentu bertentangan dengan cara pandang, sikap, dan tindakan moderasi beragama.
Ini berlaku untuk semua jenis kekerasan seksual, dalam lingkup domestik atau publik, dalam ranah private, keluarga, masyarakat, atau negara.

Oleh karena kekerasan seksual adalah tindakan yang dilarang agama (haram), maka mencegahnya, membela korban, dan menghukum pelaku adalah wajib hukumnya.

Tujuannya tentu saja agar kemafsadatan ini tidak terjadi lagi. Pelaku jera dan bertobat. Korban tertolong dan dipulihkan secara fisik, psikis, sosial, finansial, dan spiritual.

Nah, hebatnya PMA 73/2022 ini sudah mencakup semua ini. Kami sungguh sangat bangga dan mengapresiasi langkah-langkah kongkret dari Kementerian Agama untuk menghadirkan Islam yang anti kekerasan, rahmah, adil, maslahat, dan senantiasa menjunjung tinggi kemuliaan manusia (karomatul insan). Inilah wujud nyata moderasi beragama dalam relasi gender dan relasi seksual.

Dengan PMA 73/2022 ini, saya berdoa dan ingin menyaksikan pendidikan agama dalam berbagai jenis dan jenjangnya bebas dan bersih dari kekerasan seksual, mulai dari hulu hingga hilir. []