(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Melayani dengan Kasih Sayang (6)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Episode berikutnya adalah menjelang dan masa pelaksanaan haji. Setelah seluruh jamaah haji tidak ada yang singgah di Madinah, karena harus melaksanakan ibadah haji di Mekah, maka kami pun bergeser ke Mekah. Mekah tentu beda dengan Madinah. Tantangan baru pun dimulai.

Selama di Mekah, posisi petugas Daker Madinah adalah supporting system atas kerja-kerja Daker Mekah.

Sebelum masuk masa Armina/Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Persisnya di depan Zamzam Tower atau WC 3.

Selama beberapa hari, kami bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji yang tersesat jalan, terpisah dari rombongan, dan kelelahan setelah muter-muter tidak menemukan jalan pulang.

Tugas ini sama persis dengan tugas saya selama dua hari pertama kedatanganku di Mekah. Tugas ini sudah dijelaskan panjang lebar pada bagian pertama dari serial tulisan ini.

*

Masuklah masa haji. Hari tarwiyah 8 Dzul Hijjah dan hari Arafah 9 Dzul Hijjah adalah saat jamaah haji memulai ibadah, memakai pakaian ihram dan niat haji dari miqat.

Menghadapi Armina/Armuzna ini, tugas utama para petugas haji di kapling-kapling. Petugas haji Daker Bandara ditugaskan di Arafah. Petugas haji Daker Mekah ditugaskan di Muzdalifah. Sementara kami dari Daker Madinah ditugaskan di Mina. Meski begitu, dalam pelaksanaannya kita saling membantu dan memperkuat.

Di sini, saya tidak akan cerita penugasan di Arafah atau Muzdalifah, karena itu bukan tugas utama kami. Saya akan bercerita penugasan di Mina yang menjadi core duty kami.

*

Untuk jamaah haji Indonesia pada umumnya proses ibadah haji dimulai dari Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Jamaah haji sudah tiba di Arafah sejak malam 9 Dzul Hijjah, dan berada di Arafah sampai habis maghrib. Mereka wukuf di Arafah sejak dhuhur hingga malam hari.

Agenda utama wukuf di Arafah adalah mendengarkan khutbah wukuf, sholat dhuhur dan ashar di qashar jama’ taqdim, lalu berdoa dan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).

Habis maghrib, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah diangkut dengan bus yang telah disediakan Masyariq. Mabit di Muzdalifah hingga tengah malam, jam 00 lewat.

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah bergerak ke Mina diangkut dengan bus untuk lontar jamrah aqobah pada tanggal 10 Dzul Hijjah, lalu mabit di Mina hingga tgl 12 Dzul Hijjah bagi yang memilih nafar awwal, dan 13 Dzul Hijjah bagi yang memutuskan nafar tsani.

Kegiatan utama di Mina selama 3 atau 4 hari adalah mabit (bermalam) dan lontar jamrah ula/shughra, wustha, dan aqobah/kubra setiap hari pada tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah bagi nafar awwal, dan hingga 13 Dzul Hijjah bagi nafar tsani.

Nah, kami akan bercerita bagaimana pelayanan yang kami lakukan selama di Mina, sejak jamaah haji tiba hingga meninggalkan Mina menuju Mekah.

*

Sejak jam 00 dini hari tanggal 10 Dzul Hijjah, kami stand by di Maktab tempat tugas kami. Kami cek dan kontrol persiapan Maktab untuk melayani mabit jamaah haji. Tidak hanya tenda dan kasur bantalnya, tetapi juga AC, dapur, kamar mandi, mushalla, klinik, minum, dan fasilitas lainnya.

Semuanya dicek berdasarkan standar kelayakan dan ketercukupan jumlah jamaah haji yang akan masuk ke Maktab tersebut.

Hasilnya ternyata beda-beda. Ada maktab yang siap banget, lengkap dengan informasi yang memadai tentang peta Maktab, struktur, jadwal makan, jadwal lontar jamrah, dll. Tapi juga terdapat Maktab yang belum siap, baru diberesi malam itu, bahkan tidak ada info yang memadai terkait Maktab tersebut dan info yang dibutuhkan jamaah haji.

Di sinilah fungsi kami hadir untuk memastikan kelayakan dan ketercukupan semua fasilitas yang dibutuhkan. Namun dalam praktiknya tidak mudah, banyak hal yang menjadi kendala. Akhirnya, kami lakukan semaksimal yang bisa kami lakukan.

Benar terjadi, hampir semua tenda tidak memadai untuk menampung seluruh jamaah haji. Meskipun jumlah kasur yang disediakan sesuai dengan jumlah jamaah haji, tetapi luas tenda tidak memadai.

Mitigasinya, tenda untuk mushalla, tenda untuk ‘ummal, dan tenda yang kosong diubah fungsi untuk penginapan jamaah haji.

Ini pun sebagian maktab masih belum memadai, karena memang jumlah jamaah haji tahun ini kuota 100% plus 8000 jamaah tambahan. Jumlah jamaah haji bertambah, sementara tempat di Mina tidak bertambah dan tidak mungkin bertambah kecuali meninggi (ntah kapan akan ada bangunan tingkat di Mina).

*

Kasus-kasus jamaah Lansia mulai muncul ketika mereka melontar jamrah aqobah pada 10 Dzul Hijjah, atau jamrah ula, wustha, dan aqobah pada 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Pada umumnya terjadi kelelahan karena jarak tempuh dari Maktab ke Jamarat yang sangat jauh, rerata 8 km pulang pergi, bahkan bisa lebih tergantung posisi geografis maktabnya.

Selain kasus-kasus kelelahan, kasus lain yang banyak ditemui adalah jamaah haji yang tersesat karena ketidaktahuan posisi maktabnya.

Banyak sekali jamaah haji tersesat jalan, baik di dalam maktabnya sendiri mencari tenda kloternya atau di jalan-jalan mencari nomor maktabnya. Ini terjadi tidak hanya pada jamaah Lansia, tetapi juga pada jamaah muda. Ketersesatan jamaah Lansia memang mendominasi, dan akibatnya lebih rentan ketimbang jamaah non Lansia.

Ada banyak sebab ketersesatan jalan ini terjadi. Pertama, dia terpisah dari rombongan setelah lontar jamrah atau keluar bersama. Tidak punya peta atau tidak paham baca peta, tidak bawa atau tidak punya HP atau tidak bisa mengoperasikan HP, akhirnya tersesat.

Kedua, keluar dari toilet atau kamar mandi. Dia bingung, lalu jalan kaki mengikuti feelingnya, akhirnya tersesat jauh.

Ketiga, adanya kesamaan atau kemiripan pada bentuk tenda, pintu gerbang maktab, dan bangunan toilet menyebabkan jamaah sulit mengenali maktab dan tendanya.

Keempat, jamaah haji tidak diedukasi dan tidak dilengkapi peta geografis maktab-maktab Indonesia dan tenda-tenda dalam satu maktab.

Kelima, meskipun hari ini sudah ada Google Map dan GPS, tetapi banyak jamaah haji tidak bisa mengoperasikan atau tidak memanfaatkan fasilitas digital ini. Bahkan sekadar telp kepada temannya pun tidak dilakukan. Ini terjadi, karena beberapa jamaah haji selain tidak memiliki nomor HP Ketua Kloter, Ketua Rombongan, atau Ketua Regu, tidak bawa atau tidak punya HP, juga tidak mengaktifkan jaringan internet lokal sini atau roaming internasional.

Kerentanan sesat jalan diperparah dengan suhu cuaca di Mina yang saat itu bisa mencapai 46% Celcius. Kondisi ini menyebabkan jamaah haji yang tersesat semakin rentan, dan menyulitkan petugas untuk mengantarkan tanpa ada alat transfortasi yang memadai.

Nah, menghadapi kasus-kasus ini mitigasi yang kami lakukan adalah: pertama, jika jamaah yang tersesat adalah Lansia dan jamaah berkebutuhan khusus, maka kami antarkan langsung hingga ke maktab atau tendanya, baik dengan jalan kaki (di bawah terik matahari) maupun alat transportasi (meskipun jarang dijumpai).

Kedua, jika mereka tampak sehat dan kuat, kami cukup tunjukkan arah dan berikan peta digital untuk panduan jalannya.

Oleh karena di setiap pojok krusial ada petugas yang stand by, tidak jarang –meskipun tidak selalu– kami menggunakan sistem estafet untuk mengantarkan jamaah.

Karena sangking banyaknya jamaah yang tersesat jalan, kami keluar dikit dari tenda saja hanya sekadar ke kamar mandi atau jalan dikit, pasti akan me(di)temui jamaah tersesat dan kami harus melayaninya. Begitu tiap hari selama 4 hari di Mina.

*

Ada cerita menarik saat ada jamaah Lansia yang karena kelelahan tergeletak di jalan raya ke arah pulang dari Jamarat.

Persisnya, saya dan Pak Ihsan –petugas pembimbing ibadah– dalam perjalanan pulang habis lontar jamrah aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah menjelang maghrib. Tiba-tiba di tengah jalan terdapat seorang kakek jamaah haji dari embarkasi Surabaya (berusia sekitar 85 tahun) yang tergeletak tiduran di bahu tengah jalan raya.

Kami kaget, terhentak, dan terhenti. Kami dekati dan tanya ke orang sekitar yang ada di situ. Ternyata dia kelelahan, tidak kuat jalan, pusing, lemas, dan akhirnya menidurkan diri di bahu tengah jalan pulang dari Jamarat ke penginapan.

Selain karena faktor Lansia, ini terjadi karena kelelahan yang sangat atas perjalanan maraton dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sangat mungkin istirahat tidak cukup, bahkan tidak sempat istirahat yang berkualitas sama sekali. Untungnya, saat itu matahari sudah hampir terbenam, sehingga cuaca tidak begitu panas.

Akhirnya, kami telp berbagai perangkat petugas haji yang terkait. Hasilnya, ambulance tidak bisa melintas, kursi roda sulit, sewa kursi roda tidak mau hingga ke Maktab 40.

Setelah kakek ini minum dan makan roti yang diberikan jamaah yang lewat, dan dengan sisa tenaga yang ada, saya dan Pak Ihsan akhirnya memutuskan untuk memapa kakek ini berpegangan bahu saya dan bahu Pak Ihsan.

Meter per-meter kita tapaki. Dalam setiap 300 m, istirahat untuk mengambil nafas dan minum. Begitu seterusnya hingga sampai ke Maktab 40, yang kurang lebih berjarak 4 km dari tempat tidur sang kakek.

Menariknya, selama perjalanan memapa kakek ini, kami juga ditanya puluhan jamaah yang tersesat jalan. Sebagian kita antar jika satu arah, sebagian lagi kita beri petunjuk jalan saja. Sehingga dalam waktu 3 jam, kami baru bisa menyerahkan sang kakek ini kepada rombongan di Kloternya. []

Melayani dengan Kasih Sayang (3)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Hari berikutnya, saya bergeser ke Madinah. Di daerah kerja Madinah, petugas haji dibagi ke dalam 6 sektor. 5 sektor melayani dan menangani ribuan jamaah haji yang menginap di sejumlah hotel sekitar Masjid Nabawi, dan 1 sektor khusus yang bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji di sejumlah titik krusial di lingkungan Masjid Nabawi.

Dalam menjalankan tugas, saya ditempatkan di Sektor III Madinah, yang wilayah kerjanya di sebelah barat Masjid Nabawi.

Sektor III Madinah ini menangani, memantau, melayani, dan membantu jamaah haji yang singgah di 25 hotel sekitar Masjid Nabawi.

Tugas kami adalah sebelum rangkaian ibadah haji dimulai, menerima kedatangan jamaah haji gelombang I dari Tanah Air ke Madinah, dan setelah rangkaian haji terlaksana, menerima jamaah haji gelombang II yang datang dari Mekah ke Madinah.

Jamaah haji Indonesia tinggal di Madinah selama 8 hari. Tujuan utamnaya adalah agar bisa mengejar “arbain”. Yakni, sholat berjamaah di Masjid Nabawi dalam 40 waktu sholat.

Sembari mencapai “arbain”, para jamaah haji selama di Madinah pada umumnya melakukan ziarah ke maqbaroh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, singgah di Raudlah, ziarah ke maqbaroh para sahabat Nabi SAW di pemakaman Baqi’, ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Quba, Masjid Qiblatain, jabal Uhud, dan lain-lain.

Setelah 8 hari di Madinah, para jamaah haji gelombang I kita dorong berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Dalam perjalanan ke Mekah, mereka melakukan niat ihram di miqot Bir Ali.

Jamaah haji gelombang II, setelah 8 hari di Madinah, kita dorong kembali ke Tanah Air, naik pesawat terbang melalui Bandara Madinah atau Jeddah.

Nah, tugas kami adalah menyambut kedatangan para jamaah haji di Madinah dan mengantarkan para jamaah haji bergeser ke Mekah atau pulang ke Tanah Air.

Dalam penyambutan kedatangan jamaah haji, banyak hal yang harus dilakukan. Di antaranya adalah memastikan ketersediaan dan kesiapan kamar hotel untuk satu kloter dalam sekali kedatangan, konsumsi mereka saat datang, memastikan koper besar, koper kecil, kursi roda, dan barang-barang bawaan jamaah haji aman dan tidak hilang.

Nah, petugas haji layanan jamaah Lansia di sini memastikan para Lansia, terutama yang berkebutuhan khusus, terlayani dengan baik. Jika butuh kursi roda dan didorong, disediakan kursi roda dan didorong hingga ke kamar hotel. Jika harus dituntun hingga ke kamar hotel, kita tuntun dengan ramah. Jika harus digendong, kita gendong. Intinya, para jamaah haji Lansia dan disabilitas harus terlayani sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Pelayanan terhadap Lansia dan disabilitas tidak hanya ini, tetapi juga kita memastikan mereka didahulukan dalam naik lift, masuk kamar, peroleh makanan, atau kalaupun harus menunggu bisa duduk dengan nyaman.

Demikian seterusnya hingga seluruh jamaah haji, termasuk Lansia dan disabilitas, sudah menemlati kamar masing-masing lengkap dengan koper besar, koper kecil, dan barang bawaan lainnya.

Ada prioritas lantai hotel untuk para jamaah haji Lansia dan disabilitas, yaitu ditempatkan di lantai paling bawah dan dekat dengan lift untuk memudahkan akses keluar masuk hotel.

Untuk konteks ini, saya ingin bercerita beberapa kasus layanan Lansia dan disabilitas dalam penyambutan kedatangan mereka.

Kasus yang paling banyak adalah kebutuhan mereka terhadap kursi roda dan mendorong mereka hingga ke kamar hotel. Ini sudah biasa kami lakukan.

Kasus lain adalah Lansia yang berkebutuhan khusus, ada yang tidak bisa berjalan sama sekali dan ada yang tidak bisa melihat sama sekali.

Terhadap mereka yang tidak bisa berjalan sama sekali, kami gendong dari atas mobil bus hingga ke kursi roda. Lalu, kursi roda didorong hingga ke kamar hotel.

Adapun terhadap yang tidak bisa melihat sama sekali, kami menuntunnya dengan penuh kecermatan untuk menapaki tangga mobil dari atas hingga ke kursi roda. Setelah duduk di kursi roda, kami dorong hingga ke kamar hotel.

Ini sejumlah pelayanan yang kami lakukan pada saat jamaah haji tiba di Madinah, baik gelombang I maupun gelombang II.

Perlu dicatat, kedatangan mereka itu berjumlah antara 360 hingga 450 orang jamaah haji dalam satu Kloter.

Dalam satu hari, bisa saja datang 10 Kloter pada 1 Sektor. Datang dengan waktu yang beragam, kadang siang hari, ada juga yang datang jam 1 atau 3 dini hari.

Berapapun kloter jamaah haji datang dalam satu hari, dan jam berapapun mereka datang di Madinah, kami petugas haji selalu siap melayani mereka, dan tidak boleh telat sedetik pun. []

Melayani dengan Kasih Sayang (1)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Awalnya, saya tidak akan menulis apa yang saya lakukan di sini. Saya akan fokus pada tugas saya melayani jamaah haji Lansia dengan penuh kasih sayang.

Akan tetapi, pengalaman berharga ini sayang sekali jika menguap begitu saja, tanpa jejak digital, dan disebarkan untuk kemanfaatan banyak orang.

Akhirnya di tengah rehat saya di kamar, saya coba tulis apa yang saya ingat. Semoga tulisan empiris ini bermanfaat bagi teman-teman, baik yang sedang jadi petugas haji, jamaah haji, maupun yang akan jadi jamaah haji, atau petugas haji kelak.

Bahwa ibadah haji itu kompleks dan totalitas. Ibadah haji itu menyatunya antara kemampuan fisik, finansial, mental, dan spiritual. Sinerginya antara jamaah, petugas, KBIHU, dan pemerintah. Tanpa sinergitas, kolaborasi, dan integrasi ini sulit terwujudnya penyelenggaraan haji yang ramah bagi siapapun.

Kebetulan musim haji tahun 2023 ini adalah 30% nya adalah Lansia, yakni seseorang yang berusia di atas 65 tahun. Sungguh ini tantangan tersendiri. Tentu dibutuhkan pendekatan, strategi, dan cara-cara yang ramah bagi seluruh jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia.

Tulisan ini bercerita tentang pengalaman itu. Sengaja ditulis dan dibagikan di sini, agar terdokumentasikan dan terekam secara digital.

Ini Cerita Saya

15 hari berlalu tugas saya. Antara senang, bangga, kuatir, dan cemas campur aduk. Tidak hanya dalam perasaan dan tangan-tangan, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Kenapa? Mungkin karena harapan dan semangat membara untuk melayani secara prima jamaah haji Lansia menghadapi kenyataan di lapangan yang tidak mudah. Ini terjadi hampir di setiap momentum.

Mungkin juga disebabkan oleh karena tugas ini adalah kali pertama saya lakukan di dalam ritual haji, juga kali pertama saya melayani Lansia dengan berbagai jenis dan karakter.

Tahun 2013, sepuluh tahun yang lalu, memang saya pernah bertugas sebagai TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia), tetapi hanya satu Kloter saja yang berjumlah sekitar 450 orang. Lah, sekarang ini kami harus menangani semua Kloter jamaah haji dari berbagai provinisi dengan komposisi suku, adat, dan bahasa yang berbeda, yang berjumlah sekitar 228 ribu orang.

Berdasarkan data Siskohat (Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu) per 23 Maret 2023, terdapat 66.943 jamaah haji Indonesia Lansia dengan usia 65 tahun ke atas. Artinya sekitar 30% dari total jamaah haji tahun 2023 adalah Lansia. Atau, 1 dari 3 jamaah haji Indonesia tahun 2023 adalah Lansia.

Rinciannya adalah jamaah haji yang berusia di atas 95 tahun berjumlah 555 orang (0,8%), yang berusia 85-94 tahun berjumlah 7.680 orang (11,5%), yang berusia 75-84 tahun berjumlah 12.912 orang (19,3% ), dan yang berusia 65-74 tahun berjumlah 45.796 orang (68,4%).

Saya tidak memiliki data yang pasti, tapi dari pengalaman yang saya layani, kebanyakan Lansia ini berjenis kelamin perempuan. Tidak selaras dengan data BPS tahun 2020, dari 26,82 juta Lansia yang berjenis kelamin perempuan 52,95%, sedangkan Lansia laki-laki 47,05%.

Lansia laki-laki pada umumnya masih berstatus menikah, sementara rerata perempuan Lansia sudah menjanda, baik karena ditinggal mati suaminya atau bercerai sebelumnya.

Data BPS 2020 menyebutkan rerata Lansia baik laki-laki maupun perempuan hanya bersekolah sampai kelas 5 SD atau sederajat.

Dari jumlah total Lansia, yang sakit mencapai seperempatnya (24,35%). Artinya 1 dari 4 Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya.

Dari data-data ini sudah terbayang bagaimana besarnya tantangan petugas haji, baik petugas Kloter maupun non-Kloter yang berada di Arab Saudi (Jeddah, Mekah, Bir Ali, dan Madinah), dalam melayani jamaah haji Lansia.

Sebelum saya bercerita pengalaman saya dalam melayani jamaah haji Lansia tahun ini selama 15 hari di Mekah dan Madinah, saya ingin mengurangi kondisi jamaah haji Lansia ini.

Pertama, Lansia yang mandiri. Jamaah haji ini meskipun Lansia tetapi masih bisa mengatur dirinya secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Panca indera dan fisiknya masih sehat dan berfungsi dengan baik.

Kedua, Lansia yang sakit. 24,35% Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya, sehingga membutuhkan penanganan khusus. Sakit di sini bisa sakit fisik atau mental. Sakit fisik misalnya jantung, paru-paru, diabetes, dll. Sakit jiwa misalnya dimensi, dll (saya tidak paham istilah-istilah medisnya). Memperlakukan mereka harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis penyakitnya.

Terhadap haji Lansia yang sakit ini dibagi menjadi jamaah dua. Ada keluarga yang mendampinginya, dan banyak Lansia sakit yang tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.

Ketiga, Lansia yang berkebutuhan khusus. Terdapat Lansia yang tidak bisa berjalan sama sekali, bisa berjalan tapi tidak kuat lama, tidak bisa melihat sama sekali, bisa melihat tapi kabur, tidak bisa dan sulit untuk mendengar, dan lainnya. Pada Lansia jenis ini dibutuhkan alat-alat atau media dan penanganan secara khusus.

Terhadap haji Lansia berkebutuhan khusus pun dibagi menjadi jamaah dua. Ada keluarga yang mendampinginya, dan banyak Lansia berkebutuhan khusus yang tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.

Dari sisi alat atau media yang dibutuhkan, jamaah haji berkebutuhan khusus ini dibagi menjadi dua. Ada yang membawa kursi roda sendiri dari Tanah Air, dan ada yang tidak memiliki kursi roda sendiri.

Inilah kondisi jamaah haji Indonesia tahun 2023. Oleh karena itu, Kementerian Agama menetapkan tema haji tahun ini adalah Layanan Haji Ramah Lansia.

Sebagai komitmen atas layanan haji ramah Lansia ini, Kementerian Agama pada tahun 2023 ini menambah ratusan pasukan Petugas Haji yang khusus untuk melayani jamaah haji Lansia ini, baik petugas Kloter maupun non-Kloter.

Tugas mereka ada yang menjadi anggota samai jamaah haji di Kloter, mulai dari Tanah Air, embarkasi, bandara, selama di pesawat, hingga menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan umrah.

Ada juga petugas yang di luar Kloter yang melayani mereka sejak di embarkasi, bandara di Tanah Air, bandara Jeddah atau Madinah, selama di Madinah, selama di Mekah di tempat thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di muzdalifah, mabit di Mina, di Jamarat, hingga di penginapan.

Semuanya bersemangatkan Pelayanan Haji Ramah Lansia, Sehat, Mabrur, dan Barokah. []