(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Pasal Kontroversi UU KUHP: Perkawinan secara Agama dan Adat akan Dipidanakan

Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Pada Selasa, 6 Desember 2022 pemerintah secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-undang (UU) KUHP.

Di dalam UU KUHP ini bagi saya mengandung sejumlah pasal yang ngawur, kontroversi dan saya kira tidak sejalan dengan kebebasan demokrasi di negera kita Indonesia.

Serta dalam UU KUHP ini juga menimbulkan sejumlah penolakan dari berbagai pihak.

Misalnya, salah satu pasal yang kontroversi menurut saya adalah tentang tindak pidana kesusilaan, yang tertera dalam pasal 416 bab XV.

Perlu kita ketahui, pasal 416 bab XV ini merupakan salah satu pasal dalam UU KUHP yang mengatur tentang hidup bersama seperti suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah menurut negara.

Perkawinan yang sah menurut negara adalah perkawinan harus berdasarkan ketentuan hukum agama atau kepercayaan masing-masing dan tercatatkan di Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).

Apabila pasangan suami istri tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka perkawinannya tidak sah secara negara.

Oleh sebab itu, dalam pasal ini akan memberikan banyak dampak negatif, karena akan mengkriminalisasi pasangan-pasangan yang telah melangsungkan perkawinan secara agama atau adat, karena ia tidak tercatat di PPN.

Di Indonesia terdapat banyak sekali pasangan-pasangan yang hanya melangsungkan perkawinan hanya secara agama atau adat saja tanpa dicatatkan di PPN.

Berdasarkan hasil riset Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) pada 2015 menyebutkan dari 17 provinsi yang ada di Indonesia, sebanyak 36% dari 89.000 pasangan yang sudah menikah tidak memiliki akta/buku nikah.

Dari sekian banyaknya pasangan-pasangan yang tidak memiliki akta/buku nikah tersebut, semuanya berpotensi terkriminalisasi oleh pasal 416 ini.

Kalau memang pemerintah menginginkan semua warga negaranya tertib administrasi. Maka sebaiknya pemerintah tidak perlu menjadikan perkawinan yang tidak tercatatkan sebagai perilaku pidana.

Solusi Alternatif

Akan tetapi pemerintah bisa memberikan solusi alternatif lain. Misalnya, pertama, pemerintah dapat melakukan sosialisasi dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.

Kedua, pemerintah sebaiknya membebaskan pencatatan perkawinan dan isbat nikah (penetapan perkawinan).

Dengan begitu, maka saya kira ke depan tidak ada masyarakat Indonesia yang terpidana hanya gara-gara pekawinanannya tidak tercatat di PNN.

Dan terkait pasal 416 bab XV di atas, sebaiknya pemerintah kembali untuk mengavaluasi, dan mengubah subtansi dari pasal tersebut.

Karena soal pencatatan perkawinan adalah hal yang mudah, yang bisa dilakukan oleh setiap penyuluh agama di setiap daerah masing-masing.

Dan seharusnya pemerintah itu memberikan fasilitas dan akses yang mendukung agar pasangan suami istri yang belum tercatat perkawinannya untuk dapat tercatat secara negera, bukan justru mempidanakan mereka. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 10 Desember 2022 dengan judul: Pasal Kontroversi UU KUHP: Perkawinan secara Agama dan Adat akan Dipidanakan

Segala Bentuk Kemadaratan Dalam UU KUHP Harus Dihapuskan

Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBONSepuluh hari ke belakang, tepatnya pada tanggal 6 Desember 2022 pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang (UU).

Rencananya dalam jangka tiga tahun kedepan KUHP warisan Belanda akan pemerintah hapus dan menggantinya dengan KUHP produk Indonesia. Selama tenggang waktu tersebut, pemerintah telah mempersilahkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik pasal demi pasal dan men-judicial riview (uji materil) ke Mahkamah konstitusi (MK).

Seperti kita ketahui bersama, pengesahan UU KUHP ini, telah mengundang aksi penolakan dari berbagai pihak, terutama aktivis, akademisi dan praktisi hukum. Karena dari 624 pasal yang terkandung dalam KUHP terdapat pasal-pasal ngawur yang berpotensi mengkriminalisasi orang banyak, salah satunya seperti yang tertulis dalam pasal 265.

Pasal ini mengatur tentang larangan mengganggu ketentraman lingkungan dengan cara melakukan hingar-bingar, berisik, dan seruan atau tanda-tanda bahaya palsu pada malam hari. Adapun hukuman yang akan dikenakan bagi orang yang melakukan tindakan tersebut adalah pidana denda paling banyak kategori II (10 juta rupiah).

Pengertian “malam hari” dalam pasal 265 ini adalah waktu di antara matahari terbenam sampai matahari terbit. Adapun “maksud tanda-tanda bahaya palsu” ini misalnya, memukul kentongan sebagai tanda adanya pencurian padahal sebenarnya kejadian tersebut tidak terjadi.

Akibat Hukum dari Pasal 265

Pasal ini sangat berpotensi mengkriminalisasi banyak masyarakat Indonesia, mengingat kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang kerap memperingati perayaan, terutama merayakan peringatan hari raya besar umat Islam hingga larut malam.

Selain itu, dalam perayaan hari-hari besar juga demikian, misalnya ulang tahun kemerdekaan, di mana dalam perayaan ini masyarakat memeriahkan momen itu dengan event-event yang pelaksanaannya sampai berhari-hari bermalam-malam.

Semua hal di atas apabila dilakukan di malam hari sangat berpotensi terjerat Pasal 265. Karena kata mengganggu yang terkandung dalam pasal ini bersifat subjektif.

Artinya sesuatu yang kita anggap baik dan tidak mengganggu. Misalnya: ritual-ritual keagamaan dengan menggunakan pengeras suara, oleh orang lain hal ini bisa menjadi sebagai sesuatu yang mengganggu.

Terlebih dalam pasal 265 tidak ada spesifikasi dan ukuran mengganggu itu seperti apa. Dengan demikian semua orang bisa terkena dengan pasal ini. Bisa saja karena ada unsur kepentingan tersendiri, atau kebencian terhadap salah satu kelompok.

Oleh sebab itu, pasal ini sangat mungkin bisa menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok masyarakat tersebut. Apalagi dampak yang akan terjadi selanjutnya adalah, pemerintah akan mudah memidanakan kelompok masyarakat yang mengganggu di malam hari.

Dengan melihat kemadaratan yang akan terjadi akibat pasal ini, saya sangat menolak dengan keras pengesahan UU KUHP. Terlebih saya juga mengusulkan sebaiknya pasal ini harus men-judicial riview di MK dan menghapusnya dari KUHP. Seperti halnya dalam kaidah fiqh yang menyebutkan:

اَلضَّرَرُ يُزَال

Artinya: Kemudharatan itu harus dihilangkan.

Maka, merujuk kaidah tersebut, Islam sangat menolak segala bentuk kemadaratan yang terjadi di muka bumi. Termasuk kemadaratan yang terdapat di KUHP harus segera pemerintah hapuskan. Karena tujuan dengan adanya undang-undang itu untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia, bukan untuk mengkriminalisasi, apalagi memidanakan masyarakatnya. []

*Tulisan ini telah dimuat di mubadalah.id pada 19 Desember 2022 dengan judul: Segala Bentuk Kemadaratan Dalam UU KUHP Harus Dihapuskan