Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
E-mail: marzukiwahid@gmail.com
ISIF Cirebon — Diakui atau tidak, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di negeri ini yang dilakukan oleh sejumlah intelektual yang ada, hingga sekarang tak ada satu karya pun yang monumental untuk dijadikan landasan berfikir dan bertindak yang transformatif bagi umat. Artinya, sementara ini “pembaharuan” di Indonesia masih dalam tahap tekad kuat dan muncul dalam bursa gagasan dan pikiran bebas, tak terkonstruksi secara epistemologis.
Bahkan, tidak sedikit yang masih mendikotomikan kalau NU itu tradisional-konservatif dan Muhammadiyah adalah modernis-pembaharu, tanpa memerinci pokok-pokok perkembangan pemikiran dari kedua organisasi ini, sesuatu yang salah kaprah.
Ada baiknya, barangkali, pada kesempatan ini dikemukakan sekilas gagasan dan visi pembaharuan Hassan Hanafi, seorang filosof dan teolog, pengajar di berbagai universitas dunia, dan pembaharu ternama di Mesir. Hassan Hanafi memang mempunyai program pembaharuan yang disebut al-Turâts wa al-Tajdîd (Warisan Intelektual dan Pembaharuan). Program ini sekaligus menjadi nama bukunya yang menjelaskan metodologi pembaharuannya.
Warisan Intelektual dan Pembaharuan
Pembaharuan pemikiran Islam menurut Hassan Hanafi adalah upaya menafsirkan kembali (merekonstruksi) warisan intelektual Islam (al-turâts al-qadîm) yang tidak sejalan dengan tuntutan zaman (al-turâts al-jadîd), dengan senantiasa mempertimbangkan realitas kontemporer umat Islam (al-wâqi’ al-bâsyir). Artinya, warisan intelektual Islam yang telah usang memang harus ditafsirkan kembali menjadi suatu konstruk pemikiran dan aksi yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Transformasi sosial yang dilakukan Hanafi bisa dipayungi dengan dua kata kunci: “mentransmisikan warisan dan menciptakan yang baru”. Dalam program pembaharuannya, dengan demikian, Hanafi tidak hendak mengambil kebudayaan Barat dan nilai-nilai modernitasnya (al-turâts al-gharbî) secara totalitas sebagai alternatif pengganti warisan Islam yang dianggap usang itu.
Ia juga tidak menginginkan agar tradisi lama tersebut terus dilestarikan tanpa perubahan. Tetapi juga tidak mau jika pembaharuan dilakukan secara ahistoris, terputus dari akar-akar tradisi sebagaimana banyak dilakukan kelompok liberalis. Hanafi tetap menginginkan pembaharuan yang dilakukan tetap memperhatikan warisan Islam lama. Hanya saja, ia harus ditafsirkan terlebih dahulu berdasarkan realitas kontemporer (al-mu’âshirah).
Warisan Barat (al-turâts al-gharbî) tentu harus dipelajari menurut versi kita sebagaimana para orientalis juga mempelajari warisan kita melalui versi mereka sendiri. Hanafi mempelajari warisan intelektual Barat bukan untuk menjadi westernis, melainkan untuk menandingi Barat dengan warisan mereka sendiri yang telah disenyawakan dengan warisan intelektual Islam.
Inti Pembaharuan Hassan Hanafi
Secara singkat, pembaharuan yang dicanangkan Hanafi berusaha mempertemukan tiga nilai yang berada pada tiga dimensi waktu yang berbeda: dulu (al-turâts al-islâmy), kini (al-wâqi’ al-bâsyir), dan esok (al-turâts al-gharbî). Dekonstruksi (pembongkaran) terhadap warisan intelektual lama, menurut Hanafi, merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengadakan rekonstruksi.
Mengenai metode dekonstruksi dan berbagai tawaran rekonstruksi yang ia maksud terdapat dalam karyanya, Min al-’Aqîdah ilâ al-Tsaurah (sebanyak 5 jilid masing-masing terdiri dari 600-700-an halaman), Dirâsât Islâmiyah, dan al-Turâts wa al-Tajdîd. Rekonstruksi warisan intelektual Islam klasik dimaksudkan Hanafi agar mempunyai vitalitas dalam menggerakkan umat Islam serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Selain rekonstruksi, juga kita harus berani mengembalikan keuniversalan dan superioritas kebudayaan Barat pada posisi yang wajar dan lokal. Artinya, hegemoni Barat yang demikian dasyat harus dihadapi dengan penuh kearifan dan bijaksana. Setelah itu, kita berusaha mengadakan teori baru untuk menafsirkan kebudayaan manusia secara global dan mendialogkannya dengan hasil rekonstruksi warisan Islam tersebut, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan berpijak umat manusia di zaman modern ini.
Pemikiran pembaharuan Hanafi ini dilatarbelakangi oleh keterbelakangan, kebodohan, dan ketertindasan yang dialami umat Islam yang menurutnya disebabkan oleh pemikiran mereka yang tradisional. Karena itu, Hanafi berpihak kepada hal-hal yang menyangkut persoalan kerakyatan, ketidakadilan, penindasan, dan kebangsaan. Karenanya, gerakan pembaharuan Hanafi lebih dikenal dengan gerakan Kiri Islam-nya (al-Yasâr al-Islâmî). Demikian. Wallâhu A’lam bi al-Shawâb. **