(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Pemkab Kuningan Dituding Langgar Konstitusi Terkait Pelarangan Jalsah Salanah di Manis Lor, Lingkar Fahmina: Segera Cabut Surat Larangannya!

Sejumlah elemen yang tergabung dalam Lingkar Fahmina mengecam langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan yang melarang penyelenggaraan kegiatan Jalsah Salanah di Manis Lor.

Kegiatan yang akan diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) itu dibatalkan secara tiba-tiba lantaran turunnya surat larangan yang diterbitkan Pemkab Kuningan.

Surat larangan tersebut bernomor 200.1.4.3/4697/BKBP perihal Pelaksanaan Kegiatan Jalsah Salanah JAI di Kabupaten Kuningan tertanggal 4 Desember 2024 yang meminta agar kegiatan tersebut tidak dilaksanakan.

Alasannya, sebagaimana disampaikan Pj Bupati Kuningan Agus Toyib, kegiatan Jalsah Salanah dapat menyebabkan kondusivitas daerah terganggu.

Agus Toyib juga menyampaikan bahwa larangan tersebut merupakan hasil pertemuan dengan unsur Forkopimda Kabupaten Kuningan, Forkopimcam Jalaksana, Ketua Ormas Keagamaan, dan FKUB.

Surat tersebut dilanjutkan dengan surat Sekda Kabupaten Kuningan Nomor 200.1.4.3/4666/BKBP perihal Pemberhentian Kegiatan Persiapan Jalsah Salanah JAI di Kuningan yang dibuat 5 Desember 2024.

Dalam surat ini diduga Pj Sekda mengancam jika kegiatan persiapan Jalsah Salanah tidak dihentikan, maka akan dilakukan penertiban sebagaimana mestinya.

Merepons hal itu sejumlah perwakilan dari berbagai elemen yang tergabung dalam Lingkar Fahmina bertemu untuk menyikapi tindakan Pemkab Kuningan.

Sebelum menggelar pertemuan, sejumlah perwakilan turun ke lokasi melakukan pengamatan di lapangan yang ada di Desa Manis Lor pada Jumat, 6 Desember 2024 pukul 10.00-11.30 WIB.

Mereka di antaranya Rektor ISIF Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute Marzuki Rais, Direktur LBH Fahmina Mukhtaruddin, sejumlah dosen ISIF dan aktivis Fahmina.

Hasil pengamatan di lapangan, sebagaimana disampaikan juru bicara Lingkar Fahmina, Marzuki Rais, menemukan semua jalan menuju kawasan JAI Manis Lor ditutup oleh aparat keamanan di mana terlihat dalam pemblokiran jalan personel Polisi, TNI dan Satpol PP.

“Akhirnya, kami jalan kaki dari jalan raya menuju kawasan JAI di Manis Lor. Kami lihat tenda-tenda tempat Jalsah Salanah sudah dibongkar, petanda bahwa JAI tidak akan menyelenggarakan kegiatan Jalsah Salanah karena larangan dari Pemerintah Kuningan,” ungkap Marzuki Rais.

Dia menyampaikan, diperoleh informasi dari pimpinan JAI bahwa Jalsah Salanah bahwa sedianya akan dilaksanakan sebelum Pilkada 2024, namun karena menghormati suasana Pilkada, akhirna diundur setelahnya.

“Warga JAI Manis Lor pun telah bersiap menyambut tamu yang akan datang dari berbagai daerah se-Indonesia pada 6 Desember 2024,” sambungnya.

Bahkan, kata dia, setelah diterbitkan surat pemberhentian oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan sekalipun, 2000-an Jamaat Ahmadiyah Manislor menandatangani untuk tetap diselenggarakan Jalsah Salanah karena persiapannya yang sudah matang.

Dikatakan, persiapan pelaksanaan Jalsah Salanah telah dilakukan warga JAI Manis Lor sejak dua bulan yang lalu, namun gagal gegera surat pemberhentian dari Pemkab Kuningan yang datang tiba-tiba.

Melihat hal itu, Lingkar Fahmina memandang bahwa tindakan Pemkab Kuningan adalah pelanggaran atas konstitusi sebagaimana diundangkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Termasuk soal keyakinan, UUD 45 Pasal 29 ayat (2) juga menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan.

Selain itu, lanjut dia, tindakan Pemkab Kuningan juga menciderai demokrasi Pancasila yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.

Tindakannya bukan saja tidak menghargai kelompok minoritas dan kelompok rentan, melainkan telah menciderai kemanusiaan dari ibu-ibu dan anak-anak, baik yang tinggal di Manis Lor maupun yang terpaksa menginap di jalan karena dipaksa untuk pulang kembali ke daerahnya.

Disampaikan, tindakan diskriminasi dan intoleransi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan ini berkontribusi terhadap posisi Jawa Barat sebagai daerah yang terendah tingkat toleransinya.

“Sebagaimana Indeks Kerukunan Umat Beragama yang dikeluarkan Kementerian Agama RI tahun 2024 memosisikan Jawa Barat sebagai 10 besar provinsi yang intoleran di Indonesia,” ucap Marzuki Rais.

Atas dasar argument tersebut, sambung Marzuki Rais, Lingkar Fahmina menyampaikan sejumlah tuntutan antara lain:

1. Menuntut Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mencabut surat pemberhentian Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor Kuningan yang seharusnya dilaksanakan sejak 6 Desember sampai 8 Desember 2024.

2. Menuntut Forkopimda Kabupaten Kuningan terutama aparat Kepolisian dan Satpol PP agar memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan terhadap warga Ahmadiyah yang mengikuti kegiatan Jalsah Salanah di Manislor Kuningan. Tidak malah tunduk pada kebijakan yang diskriminatif dan ancaman kelompok-kelompok intoleran yang justru memecah belah kesatuan bangsa.

3. Menuntut Pemerintah Pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Mabes Polri untuk menginstruksikan kepada jajarannya di Kabupaten Kuningan agar mencabut kebijakan pemberhentian Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan kepada semua warga Ahmadiyah yang hadir sebagai warga negara Indonesia.

4. Menuntut Pemerintah Kabupaten untuk menghormati dan melindungi para perempuan dan anak-anak yang datang ke Kuningan untuk mengikuti Jalsah Salanah, bukan malah menahan untuk tidak masuk kawasan Manislor, dan ‘mengusir’nya untuk kembali ke daerah tanpa mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan jamaat Ahmadiyah.

5. Mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga toleransi di atas perbedaan yang ada serta memperkuat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman dengan menjalankan konstitusi dan pengamalan ajaran agama yang tawassuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh, sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo dan program unggulan Kementerian Agama RI.

Pihaknya meminta masyarakat agar terus memperjuangkan keadilan, penghormatan hak asasi manusia, toleransi, dan kebebasan beragama di Indonesia, agar cita-cita kemerdekaan bisa dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia.

Sejumlah elemen Lingkar Fahmina yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain:

  1. Marzuki Rais (Direktur Fahmina Institute)
  2. Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina)
  3. Mukhtaruddin, SH (Direktur LBH Fahmina)
  4. Abdul Hamid (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Jamblang Cirebon)
  5. Arijalusshobirin (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Arjawinangun Cirebon)
  6. Abdul Barih (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Gebang Cirebon)
  7. Izzi Maulana (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Losari Cirebon)
  8. H. Achmad Rivai (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Weru Cirebon)
  9. Haryono (Pelita Perdamaian Cirebon)
  10. Heru Kusumo (Penggerak Moderasi Beragama Kota Cirebon)
  11. Intan Damayanti (Fatayat NU dan Pengerak moderasi Kab Majalengka)
  12. Rizki Fadillah (Ketua Komunitas Kita Mengabdi)
  13. Ahmad Koer Afandi (Ketua Komunitas Deru Majalengka Bangkit)
  14. Anggara (Kordinator Steering Committe KUMPPARAN Kab Majalengka )
  15. Yuli Elita Theresia Hutauruk (Lingjar Fahmina Kuningan)
  16. Ahmad khoer afandi (Ketua Komunitas Deru Majalengka Bangkit)
  17. Anggara (Kordinator Steering Committe KUMPPARAN Kab Majalengka )
  18. Fiki Hasbi (IPNNU Kab Majalengka)
  19. Dinda Maulida (Pengerak moderasi Majalengka)
  20. Fredrico Oktavinus (Pemuda Katolik Kabupaten Cirebon)
  21. Pipih Indah Permatasari (Penggerak Moderasi Beragama Babakan Cirebon)
  22. Silviana Rohmah (Penggerak Moderasi Beragama Ciledug Cirebon)
  23. Devi Farida (Forkolim Remaja Cirebon Timur)
  24. Bayu (Forum pemuda Lintas Agama (Komsulin) Kedawung Cirebon)
  25. Zanuba (Forum Lintas Agama (Kelabang) Kec. Lemah Abang Cirebon). ***

 

— Artikel ini dihimpun dari laman CirebonTimes.com (https://www.cirebontimes.com/nasional/79414102556/pemkab-kuningan-dituding-langgar-konstitusi-terkait-pelarangan-jalsah-salanah-di-manis-lor-lingkar-fahmina-segera-cabut-surat-larangannya?page=4)  yang terbit pada Sabtu, 7 Desember 2024 pukul 13:09 WIB dengan judul:  “Pemkab Kuningan Dituding Langgar Konstitusi Terkait Pelarangan Jalsah Salanah di Manis Lor, Lingkar Fahmina: Segera Cabut Surat Larangannya!

Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme: Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui

Oleh Sukma Aulia Rohman

Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh keberagaman. Baik keragaman gender, sifat, ras, suku, serta kepribadian. Keragaman hal tersebut dapat menjadikan dunia ini penuh warna warni. Dalam kepercayaan agama Islam, keragaman tersebut sengaja diciptakan Tuhan agar manusia saling mengenal.

Dalam aspek sosial, manusia tidak dapat tumbuh dan menjalani hidup seorang diri. Melainkan manusia pasti membutuhkan manusia lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan.

Dalam menjalani kehidupan sebagai mahluk sosial, manusia perlu menjaga kesehatan dirinya baik fisik maupun mental. Karena dunia ini bersifat dinamis maka berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial tidak dapat dihindari.

Menjaga kesehatan mental dapat berpengaruh pada kualitas hidup karena antara mental dan kepribadian memiliki korelasi yang kuat. Tak jarang dikemukakan oleh ahli kesehatan bahwa banyak kasus dimana seseorang yang mengalami sakit secara fisik ternyata dipengaruhi oleh kesehatan mentalnya.

Contoh sederhana dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang dilanda patah hati akibat putus cinta. Maka beberapa orang akan melakukan tindakan sebagai bentuk responsif dengan cara tidak mau makan, mengurung diri, bahkan sampai melakukan tindakan self harm atau bahkan lebih parah yaitu bunuh diri. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya tekanan emosional yang kemudian direalisasikan oleh fisik.

Untuk mencegah melakukan tindakan yang merugikan akibat tidak terkontrolnya emosi, para ahli Psikologi memaparkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga agar emosi kita tetap stabil. Diantaranya adalah melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain game, jalan-jalan atau healing, berhias, membaca buku dan lain sebagainya.

Tentang Novel Solilokui

Membaca buku merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurai emosi atau rasa kesal yang ada dalam jiwa. Kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup ketika kita menemukan hal yang relate dengan apa yang kita rasakan.

Ada banyak macam jenis buku baik fiksi maupun non fiksi yang berbicara mengenai realita kehidupan yang terjadi. Salah satu buku fiksi menarik yang akhir-akhir ini saya baca adalah novel Solilokui karya Nana Sastrawan.

Novel Solilokui ini merupakan karya sastra bercorak Psiokologi serta Filsafat yang membaluti nilai-nilai kehidupan dalam aspek sosial, teologi, maupun personal. Novel berjumlah 103 halaman ini bagi sebagian orang akan terasa tipis, namun bagi saya pribadi diperlukan pengulangan untuk membacanya lebih dari satu kali. Karena seperti halnya Novel sastra kebanyakan, yang banyak menggunakan kalimat Metofara dalam penulisannya.

Novel ini meggunakan kata orang pertama atau “Aku” yang melakoni perannya sebagai tokoh utama yang akan menarik imajinasi para pembaca ke dalam alur cerita yang cukup menguras energi.

Skeptisisme tokoh “Aku”

Dalam novel ini tokoh aku digambarkan sebagai sosok yang memiliki beberapa gangguan Psikologis seperti kecemasan, depresi, halusinasi, yang membuat ia ingin bunuh diri ditanggal kelahirannya. Tanggal kelahirannya atau kelahirannya ke dunia seolah menjadi sebab mengapa ia menderita sehingga kemudian ia mengatakan bahwa “Aku merasakan bahwa, takdir ku adalah mati bunuh diri, tak ada yang lain”.

Tokoh aku seolah menentang Tuhan karena menurutnya takdirnya adalah mati. Padahal jika kita memandang menggunakan perspektif hukum islam, maka percaya kepada takdir merupakan suatu keharusan bagi seluruh manusia. Tuhan tentu saja memiliki skenario yang tidak diketahui oleh siapapun.

Namun kepercayaan umat islam terhadap takdir ini mungkin saja ditolak oleh beberapa golongan. Diantranya adalah golongan Skeptisisme yang berarti ragu atau meragukan segala sesuatu.

Tokoh “Aku” pada bab pertama, melontarkan pertanyaan soal realita yang terjadi. “mengapa kita lahir sebagai manusia?”.

Pertanyaan tokoh “Aku” secara tidak langsung menanyakan mengapa Tuhan menciptakan manusia? Atau mengapa kita ditakdirkan sebagai manusia? Pertanyaan semacam ini merupakan bentuk keraguan terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta atau yang menciptakan manusia.

Dalam filsafat, orang yang bertanya seperti demikian disebut Skeptis atau dapat disebut juga Skeptisisme. Skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap meragukan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.

Skepstis pada dasarnya mendorong kita untuk lebih berpikir kritis namun jika kita salah dalam berpikir maka skeptis dapat menghantarkan kita untuk tidak mempercayai Tuhan. Seperti teori Skeptisisme David Hume yang mengatakan bahwa “ tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk meyakinkan keberadaan Allah”. Hal tersebut ia katakan karena ia mendengar apa yang dikatakan oleh teolog bahwa Tuhan itu maha sempurna.

Hume menolak keras perkataan teolog tersebut karena ia melihat banyak ketidaksempurnaan yang ada di alam ini seperti kejahatan, penyiksaan, dan keburukan. Jika Tuhan disebut maha sempurna, adanya bukti tersebut dapat dipahami juga bahwa Tuhan tidak maha sempurna, bahkan Tuhan merupakan pelaku kejahatan. Pernyataan dari Hume di atas akan dirasa sebuah kebenaran jika dipahami oleh seseorang yang merasa bahwa hidupnya hanya berisi penderitaan, keputusasaan atau bahkan menganggap bahwa takdirnya adalah mati seperti tokoh “Aku”.

Gangguan psikologi tokoh “Aku”

Tokoh “Aku” dalam novel ini memiliki beberapa gangguan terhadap jiwanya. Pada mulanya penulis Novel ini hanya menceritakan tokoh “Aku” yang mengalami gangguan dalam kejiwaanya seperti penderitaan, kecemasan, halusinasi, keputusasaan, hingga mengutuk Tuhan, tanpa menjelaskan latar belakang mengapa tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut.

Kemudian penulis baru menceritakan alasan tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut pada tengah Novel yaitu karena ia telah membunuh ibu dan istrinya. Kemudian tokoh aku mengalami depresi, kecemasan, hingga halusinasi selama ia mengasingkan diri ke sebuah villa di perbukitan.

Jika kita melihat dari alur cerita yang disajikan oleh penulis, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa segala bentuk gangguan jiwa hingga keinginan bunuh diri tokoh “Aku” disebabkan karena ia telah membunuh ibu dan istrinya.

Dalam perspektif Psikologi, ada satu bahasan menarik mengenai kondisi jiwa para pelaku pembunuhan. Secara gamblang mungkin dapat dikatakan bahwa pelaku pembunuhan akan mengalami beberapa hal di antaranya adalah diliputi rasa bersalah, dihantui oleh bayang-bayang korban, hingga mengalami halusinasi yang semuanya dapat menggoncang kondisi kejiwaan secara otomatis. Namun di sini kita akan mencoba menggali kondisi pelaku pembunuhan saat atau setelah melakukan pembunuhan.

Dinamika Emosional pelaku pembunuhan

Sebelum membahas lebih lanjut terkait kondisi emosional pelaku pembunuhan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sifat agresif seseorang sudah ada sejak ia lahir? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori yang dikemukaan oleh para ahli psikologi di antaranya adalah teori Bandura (1973 dalam Batrol & Batrol). Ia mengatakan bahwa sifat agresif manusia merupakan hasil dari belajar Psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan tindak kejahatan oleh orang di sekitar yang kemudian memunculkan pengulangan paparan disertai dengan penguatan sehingga semakin memicu orang untuk melakukan tindak kejahatan dari apa yang ia lihat.

Berdasarkan teori Bandura, maka ada kemungkinan bahwa pelaku pembunuhan melakukan tindakannya karena sebelumnya ia pernah melihat tindakan yang sama, baik melihat secara langsung atau tidak langsung seperti melalui buku bacaan, ragam tontonan, dan lain sebagainya.

Jika seseorang melakukan aksi pembunuhan karena ia pernah menyaksikan hal yang sama, maka apa yang ada di benaknya saat dan setelah ia melakukan pembunuhan?.

Dalam hal ini, beberapa temuan berdasarkan hasil penelitian terhadap para pelaku pembunuhan mencoba menjawab bagaimana kondisi emosional pelaku pembunuhan.

Dalam melakukan tindakan pembunuhan, para pelaku ini melakukan sebuah tindakan Implusif yang artinya melakukan suatu tindakan tanpa berpikir panjang atau tanpa merefleksikan akibat dari perilakunya. Seperti saat tokoh “Aku” menusuk dada ibunya dengan belati. Kemudian dalam Novel ini disebutkan “Hatiku hancur atau lebih tepatnya marah terhadap diri sendiri. Mengapa harus aku lakukan?”. Narasi tersebut menandakan bahwa ia telah melakukan tindakan Implusif.

Kemudian pelaku pembunuhan akan dihantui oleh perasaan bingung, ketakutan dan bayangan rasa bersalah. Perasaan tersebut akan terus menghantui pelaku dan kemudian mendorong ia untuk melakukan beberapa tindakan salah satu atau yang paling umumnya adalah melarikan diri.

Rasa trauma terhadap benda tajam juga akan menghantui benak pelaku, dan tak sedikit dari pelaku pembunuhan yang akan ketakutan ketika melihat benda yang pernah ia gunakan untuk melakukan pembunuhan.

Penutup

Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari beberapa permasalahan hidup. Terkadang beberapa permasalahan yang hadir dalam hidup tak pernah disangka-sangka kedatangannya. Dalam perspekti psikologi, segala permasalahan yang kita hadapi tentu saja akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita.

Kondisi kejiwaan yang buruk, serta ketidakmampuan kita untuk mengontrol emosi, akan berdampak buruk pada diri. Kita bisa menyalahkan bahkan mengutuk takdir yang Tuhan berikan kepada kita.

Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menggapai kehabagiaan agar kondisi kejiwaan kita dapat tetap stabil salah satunya adalah membaca buku.

Buku Solilokui karya Nana Sastrawan ini, layak untuk dibaca dan dapat kita petik pelajaran untuk senantiasa menjaga emosi serta mengontrol diri agar kita tidak melakukan tindakan konyol yang akan berujung pada penyesalan serta penghakiman terhadap Tuhan.

Bahagia dapat kita peroleh melalui beberapa cara. Namun pada hakikatnya bahagia adalah saat kita terhindar dari emosi negatif yang membuat kita merasa terganggu.

 

— Artikel ini telah terbit lebih dahulu pada Senin, 25 November 2024 di laman https://mbludus.com (https://mbludus.com/dampak-gangguan-psikologis-dan-pengaruhnya-terhadap-skeptisisme-analisis-tokoh-aku-dalam-novel-solilokui/) dengan judul “Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui.” 

Pesantren Fahmina Sambut Kunjungan dan Dialog Antaragama Pelajar BPK Penabur

ISIF Cirebon – Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menerima kunjungan dan dialog antaragama dari pelajar BPK Penabur Cirebon yang dipimpin oleh Pendeta Kukuh dari GKI Pamitran, di Rumah Joglo Cirebon pada Senin malam, 21 Oktober 2024.

Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan santri dan pelajar, yang saling berdialog dan berbagi pengetahuan serta pengalaman keagamaan. Tujuan utama kunjungan ini adalah untuk mempererat hubungan antara Mahasantriwa (sebutan khusus bagi santri PP Luhur Manhajiy Fahmina) yang beragama Islam dan pelajar BPK Penabur yang beragama Kristen.

Dalam kegiatan ini, para pelajar Kristen dari BPK Penabur berbincang dengan para Mahasantriwa terkait kehidupan sehari-hari di pesantren, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Islam dan isu-isu yang sering muncul dalam hubungan antara umat Islam dan Kristen. Melalui dialog antaragama yang interaktif, mereka berbagi pengalaman keagamaan, pengetahuan, dan pandangan tentang perbedaan serta kesamaan dalam kehidupan beragama.

Dalam Berbagai Kyai Marzuki Wahid , Pimpinan Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, kegiatan ini merupakan momen penting untuk memperkuat silaturahmi dan toleransi antarumat beragama di antara umat Islam dan Kristen.

“Saya terus terang senang, bahagia, dan terharu atas kunjungan teman-teman ke Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Momen ini menjadi momen yang tepat untuk berdialog dan mengklarifikasi apa-apa yang teman-teman ingin ketahui tentang Islam,” kata Kyai Marzuki.

Dalam wawancara dengan Kyai Marzuki, ia juga menekankan bahwa kegiatan ini sejalan dengan misi pesantren dalam menghargai perbedaan dan membangun kerjasama dengan berbagai kelompok keagamaan.

“Perdamaian, keadilan dan kemanusiaan harus diwujudkan melalui kerja sama multipihak, termasuk dengan teman-teman dari agama yang berbeda,” ungkap Kyai Marzuki.

Selain itu, menurutnya, kunjungan ini merupakan langkah konkret dalam upaya Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk mendidik generasi muda agar lebih terbuka, toleran, serta siap hidup berdampingan dengan masyarakat dalam yang plural.

“Dengan kunjungan ini kami ingin mendidik Mahasantriwa Luhur Manhajiy Fahmina untuk berpikir inklusif, toleran, dan moderat terhadap pihak-pihak yang berdeda dengan mereka” tambahnya.

Ia juga berharap agar kegiatan ini dapat menjadi bagian dari edukasi bagi para Mahasantriwa untuk semakin menghargai perbedaan dan memperkuat hubungan lintas agama. Dengan adanya dialog seperti ini, harapannya para santri dan pelajar bisa lebih memahami pentingnya toleransi antarumat beragama dan menyebarkan nilai-nilai perdamaian di lingkungan mereka masing-masing.

“Kita bisa bergaul dengan siapa pun dan di mana pun, asalkan tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan,” tutupnya.[]

— Reporter: Gun Gun Gunawan

Perkuat Perspektif Ke-ISIF-an dan Kapasitas Dosen, ISIF Cirebon Gelar Workshop Keadilan Gender

ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menunjukkan komitmennya dalam mengintegrasikan nilai-nilai keadilan gender ke dalam dunia pendidikan dengan menyelenggarakan Workshop Penguatan Perspektif Ke-ISIF-an dan Keadilan Gender bagi Dosen ISIF Cirebon. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Konvergensi ISIF selama empat hari, mulai dari Selasa hingga Jumat, 15-18 Oktober 2024.

Workshop ini menghadirkan para pemateri ahli dari Yayasan Fahmina yang dikenal aktif memperjuangkan isu keadilan gender dan kemanusiaan. Marzuki Wahid, Faqihuddin Abdul Kodir, dan Buya Husein Muhammad, bersama dengan Rika Rosvianti (Neqy) dari Komunitas perEMPUan, mendampingi dan memandu langsung jalannya workshop.

Selama pelatihan, para dosen diajak mendalami keterampilan dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dengan pendekatan yang responsif terhadap isu gender. Tak hanya itu, mereka juga diberi pemahaman mendalam tentang pentingnya menegakkan keadilan gender sebagai bagian dari misi kemanusiaan yang lebih luas, serta menciptakan perdamaian semesta melalui pendidikan.

Workshop ini bertujuan agar dosen mampu mengembangkan bahan ajar yang tidak hanya peka terhadap isu gender, tetapi juga mendukung pencapaian kesetaraan di dalam kelas dan di seluruh lingkungan pendidikan ISIF.

Dalam sambutan Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid,  menegaskan bahwa integrasi nilai-nilai keadilan gender dalam pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari visi besar ISIF. Ia juga menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai ke-ISIF-an oleh para dosen sebagai penggerak utama perubahan di kampus.

“Workshop ini bertujuan untuk mengintegrasikan visi kampus dengan visi masing-masing dosen yang nantinya dituangkan dalam pembelajaran,” ucapnya.

Kegiatan ini  menjadi wadah bagi dosen untuk memperkuat pemahaman mereka mengenai konsep keadilan gender, yang tidak hanya relevan dalam konteks kajian Islam tetapi juga dalam berbagai program studi lainnya. Selain itu, workshop ini diharapkan menghasilkan tenaga pendidik yang memiliki pemahaman kuat tentang isu-isu gender dan mampu mendidik mahasiswa dengan fondasi keadilan gender sebagai prinsip utama.

Lebih lanjut, Marzuki Wahid juga menyampaikan agar workshop ini tidak hanya sekadar menjadi pelatihan teknis, tetapi mampu memberikan dorongan bagi para dosen untuk merumuskan strategi dan pendekatan baru dalam pengajaran yang lebih inklusif dan adil gender.

“Saya berharap hasil dari workshop ini dapat menghasilkan inovasi baru dan revolusi dalam pembelajaran di perguruan tinggi, keluar dari kebiasaan lama dan berani mencoba praktik baru yang lebih tepat berbasis perspektif keadilan gender dan memerdekakan manusia,” tutupnya.[]

5 Pilar Fiqh Al-Ikhtilaf: Cara Bijak Menghadapi Perbedaan dalam Islam

Perbedaan (al-ikhtilaf) adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas. Ia tidak bisa ditekan, ditutup, atau ditahan dengan peraturan, undang-undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi SAW menyatakan bahwa “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”. Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT.

Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan sering kali dikelola dalam konteks konflik. Namun, dengan perkembangan pemikiran, kita dihadapkan pada tantangan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada dialog, bukan kekerasan. Oleh karena itu, penghargaan terhadap perbedaan serta mekanisme relasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan harus ditegakkan.

Lima Pilar Fiqh Ikhtilaf

Dalam Islam, sebagimana diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku ‘Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon,’ ada lima pilar utama yang menjadi landasan untuk menghadapi perbedaan.

Pilar pertama adalah pengakuan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan perbedaan sebagai bagian dari rencana-Nya, dan ini adalah sesuatu yang harus diterima oleh umat manusia. Kita perlu memahami bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah masalah, melainkan bagian dari rahmat Allah yang memperkaya kehidupan kita.

Pilar kedua menegaskan bahwa keyakinan adalah persoalan hati. Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Ini adalah hak asasi yang harus dihormati dalam interaksi antarumat beragama. Kebebasan berkeyakinan adalah pilar utama dari sebuah peradaban, dan dengan kebebasan ini, perbedaan dapat muncul dalam ruang yang layak dan memperoleh penghormatan yang sepantasnya.

Pilar ketiga adalah pentingnya dialog sebagai metode interaksi. Dialog yang baik harus dilakukan dengan kesetaraan, di mana tidak ada pihak yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ajaklah (orang-orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.” Melalui dialog yang setara, kita dapat memahami perspektif orang lain dan menjalin hubungan yang harmonis meskipun berbeda pendapat.

Pilar keempat menekankan bahwa pemaksaan tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan dengan kekerasan. Kekuatan tidak akan pernah dapat memaksakan keyakinan atau pandangan keagamaan pada orang lain. Sebaliknya, pemaksaan hanya akan menimbulkan kemunafikan dan dendam.

Pilar kelima adalah pengakuan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan mengadili kebenaran ajaran-ajaran yang ada. Kita sebagai manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim sebagai pembela kebenaran mutlak, karena hal ini hanya diketahui oleh Allah SWT.

Dengan memahami lima pilar ini, kita dapat merumuskan suatu etika sosial yang humanis dan berorientasi pada kebaikan umat manusia. Fiqh al-Ikhtilaf tidak hanya memberikan kerangka untuk memahami perbedaan pendapat, tetapi juga menjadi panduan untuk membangun dialog yang konstruktif dan menghindari konflik.

Dalam menghadapi perbedaan, kita perlu merangkul keberagaman sebagai rahmat yang memperkaya hidup kita, bukan sebagai alasan untuk saling memusuhi. Dengan menerapkan pilar-pilar ini, kita dapat menciptakan suasana damai dan saling menghormati, serta membangun pemahaman yang lebih baik di tengah perbedaan.

— Disarikan dari buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf:  Potret dan Prakarsa Cirebon (Alifatul Arifiati, dkk. (2017). Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon. Cirebon: Fahmina Institute.)