(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Aswaja, Kitab Kuning dan Tradisi Keilmuan

Prof. Dr. K.H. A. Chozin Nasuha (Alm.) — Rektor ISIF Periode 2008–2016

Aswaja, atau Ahlussunnah wal Jamaah, merupakan tradisi keagamaan yang telah menjadi rujukan bagi banyak umat Islam di Indonesia. Dalam konteks keilmuwan, Aswaja bukan hanya sebuah doktrin keagamaan, tetapi juga berpotensi untuk berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang dapat berkontribusi pada pemikiran Islam secara lebih luas. Pengembangan ini menjadi semakin jelas mengingat tantangan dan dinamika sosial yang dihadapi masyarakat saat ini memerlukan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai Aswaja.

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) telah mengemukakan gagasan bahwa Aswaja dapat bertransformasi menjadi ilmu yang lebih sistematis dan kritis. Pendekatan ini berlandaskan pada pemikiran kritis dan kesadaran akan kesenjangan antara pemahaman ideal tentang Aswaja dan praktiknya yang telah terjadi secara historis.

Dengan demikian, pengembangan Aswaja sebagai ilmu membutuhkan penelitian yang beragam dan mendalam, yang meliputi berbagai pendekatan, baik filosofis, historis, maupun interdisipliner. Upaya ini penting untuk menciptakan landasan teori yang kokoh dalam rangka menjadikan Aswaja sebagai bagian integral dari keilmuwan Islam.

Munculnya pemikiran Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) bahwa Aswaja dapat berkembang menjadi ilmu didorong oleh dua hal pokok, yaitu pemikiran kritis dan kesadaran adanya kesenjangan antara Aswaja yang ideal dengan Aswaja secara historis.

Meskipun dua model Aswaja itu tidak beriringan, tetapi bisa dijadikan sebagai dasar masuknya Aswaja menjadi model keilmuwan tertentu dalam Islam. Pekerjaan ini sangat panjang, karena masih banyak memerlukan penelitian dengan berbagai pendekatan filosofis, yuridis, teologis, logis, atau pendekatan historis, antropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis, dan lain sebagainya.

Dari segi lain, pendekatan satu dapat digabungkan dengan pendekatan lain untuk kepentingan ini, misalnya penggabungan antara pendekatan filosofis dan antropologis, atau pendekatan interdisipliner lainnya. Upaya penelitian di atas menurut penulis perlu dilakukan terus-menerus sehingga menemukan berbagai teori yang kuat untuk pengembangan
Aswaja sebagai ilmu.

Pemikiran kritis yang dimaksudkan di sini adalah kajian dinamis dan eksploratif atas Aswaja yang mengalami kristalisasi berwatak normatif dan mapan menjadi berstatus sebagai doktrin kehidupan. Konsep Aswaja dikaji dari aspek sumber rujukannya, yaitu materi dari Kitab Kuning, dan dari segi lain mengajukan penalaran atau optimalisasi daya berfikir.

Hal itu sangat mungkin dilakukan, karena isi Kitab Kuning itu berasal dari upaya penalaran terhadap Al-Qur’an dan al-Hadits yang terakumulasi dan terformalisasi secara sistematis. Dengan demikian, Kitab Kuning pada dasarnya adalah merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat al-(Juran dan al-Hadits, melalui proses pemikiran yang panjang atau secara teknis disebut ijtihad,

Dalam Kitab Kuning tadi, ada ajaran yang mengandung pemahaman yang harus diterima secara bulat (taken for granted) yang menjadi dogma (akidah) dan bersifat qath’iy (given), dan sebagian lagi berisi pemikiran yang beragam yang selanjutny menjadi ilmu yang bersifat zhanni. Bagian yang kedua inilah yang harus disentuh dengan pemikiran kritis, dan bagian inilah materi yang paling banyak diuraikan dalam kitab-kitab fiqh.

Kesenjangan antara Aswaja ideal dengan Aswaja realitas dilihat dari sisi historis-antropologis menunjukkan relevansi dan diferensiasi yang jelas. Sebagai teoritik (doktrin) Aswaja merupakan hal yang harus diamalkan, namun demikian secara empiris pelaksanaan doktrin Aswaja dapat dipraktikkan dalam berbagai cara yang tidak sama.

Diferensiasi praktik Aswaja telah dicontohkan oleh kisah para ulama dari kalangan Aswaja yang tampaknya tidak sama persis dengan doktrin Aswaja yang ada di dalam buku. Praktik mereka bahkan tampak seperti kontradiktif dengan doktrin Aswaja, misalnya sikap toleran terhadap pemikiran lain seperti Syi’ah, Mu’tazilah, “Ibadliyah, dan pemikiran fiqh dan tasawuf yang kontemporer.

Ketidakdisiplinan ulama tersebut dalam berpraktik doktrin Aswaja dipengaruhi mungkin oleh perkembangan pemikiran mereka yang menganggap Aswaja sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat. Konsep Aswaja yang ada dengan demikian dianggap tidak responsif terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam yang terus berkembang.

Konsep sebuah doktrin mengalami kondisi kritis seperti merupakan hal yang wajar karena konsep ini dikembangkan ketika Islam mengalami situasi kejumudan pemikiran dan keterbelakangan di hampir segala bidang kehidupan misalnya dalam aspek ilmu dan teknologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, perkembangan akademik dan komunikasi. Situasi kritis ini mendorong perubahan struktural ajaran Aswaja, yang kemudian dikenal dengan perkembangan ilmu (science).

Ilmu pada sebenarnya memiliki watak kontemplatif dan futuristik. Berdasarkan hal ini ilmu dapat membentuk pembangunan kembali (rekonstruksi) konsep Aswaja dan mengkontekstualisasi ajaran, pemikiran dan tradisi (klasik) sesuai dengan situasi dan persoalan masyarakat modern, sehingga lebih bersifat mengubah keaadaan atau transformatif. Tidak hanya merekonstruksi konsep Aswaja, namun ilmu juga dapat melampai gagasan klasik secara dekonstruktif melalui pengembangan pemikiran dan penafsiran baru terhadap teks-teks yang sudah ada dan memberikan alternatif cara pandang yang baru.

Pemikiran yang dirintis oleh ISIF di atas merupakan keinginan yang masih baru dan masih harus dikembangkan dan dioperasikan melalui kelembagaan yang terorganisir sehingga menjadi pola pikir dan gerakan umat Islam. Orientasi baru konsep Aswaja ini memerlukan tindak lanjut melalui kajian dan dialog lebih kuat dan memerlukan pengujian pemikiran secara ilmiah sampai layak untuk direalisasikan. Meskipun demikian, pemikiran transformatif ini perlu dikompromikan dengan model-model pemikiran keilmuwan Kitab Kuning, sehingga mendapatkan sambutan yang memadai dan mengurangi penolakan yang tidak perlu.

 

— Disarikan dari buku Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-sunnah wa al-jamaah (Nasuha, A. C. (2015). Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-sunnah wa al-jamaah. Pustaka Sempu.)

Kolaborasi Mahasiswa dan Alumni ISIF Luncurkan Buku Perempuan Penggerak Perdamaian untuk Suarakan Peran Perempuan Lintas Iman

ISIF Cirebon — Buku ‘Perempuan Penggerak Perdamaian: Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning’ secara resmi diluncurkan di Rumah Rengganis, Cirebon, pada Sabtu, 5 Oktober 2024.  Acara ini dihadiri oleh puluhan peserta yang berasal dari berbagai elemen, komunitas, dan organisasi lintas iman, termasuk kalangan pondok pesantren dan mahasiswa.

Buku ini merupakan kolaborasi antara mahasiswa dan alumni ISIF, yang mengisahkan enam tokoh perempuan lintas iman yang aktif dalam menjaga perdamaian di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Tiga tokoh perempuan yang menyumbangkan cerita mereka dalam buku tersebut, yaitu Juwita Djatikusumah, Cici Situmorang, dan Alifatul Arifiati, turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi bedah buku.

Selain itu, kehadiran enam penulis buku juga menambah semarak acara, yang terdiri dari mahasiswa ISIF, Siti Robiah dan Fuji Ainayyah, serta alumni ISIF, Gun Gun Gunawan, Fajar Pahrul Ulum, Fitri Nurajizah, dan Fachrul Misbahuddin.

Ketua Program Beda Setara, Fitri Nurajizah, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penulisan buku ini didasari oleh pandangan sosial yang sering mengabaikan peran perempuan dalam menyuarakan perdamaian. “Teman-teman Beda Setara melihat bahwa perempuan selalu dianggap tidak ikut berkontribusi dalam upaya-upaya menjaga perdamaian dan menyuarakan nilai-nilai toleransi,” ujarnya.

Fitri menambahkan bahwa meskipun ada perempuan yang terlibat, peran mereka sering dianggap remeh. “Ternyata ada banyak sekali perempuan yang ikut terlibat bahkan menjadi inisiator untuk menyebarkan atau menjaga perdamaian,” lanjutnya.

Dalam kesempatan ini, Fitri juga menyoroti keunikan cara perempuan dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi. “Ada yang mulai dari rumah ke komunitas, ada yang memang mulai dari kegelisahan, dan ada yang dikarebakan menjadi korban diskriminasi,” katanya.

Fitri berharap, dengan diterbitkannya buku ini, akan muncul lebih banyak karya yang menuliskan tentang peran perempuan dalam gerakan perdamaian, tidak hanya di Ciayumajakuning, tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. “Kami berharap buku ini menginspirasi anak-anak muda untuk menuliskan dan menyebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian,” tutupnya.

ISIF Cirebon Gelar Seminar Hasil Praktik Lapangan Profesi Secara Terbuka

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) menggelar Seminar Hasil Praktik Lapangan Profesi (PLP) bertempat di ruang Konvergensi yang berlangsung pada Senin, 30 September 2024. Kegiatan ini menjadi ajang penting bagi para mahasiswa untuk mempresentasikan hasil praktik lapangan yang telah mereka jalani. Sebanyak 37 peserta dari tiga program studi—Ekonomi Syariah, Pendidikan Agama Islam, dan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir—terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka terbagi ke dalam delapan kelompok, masing-masing memaparkan pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan selama praktik di berbagai lokasi.

Seminar PLP ini dijadwalkan berlangsung selama dua hari, mulai 30 September hingga 1 Oktober 2024. Ada perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan pelaksanaan seminar PLP tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya acara ini hanya terbatas bagi penguji dan peserta, kali ini seminar dilaksanakan secara terbuka, memberikan kesempatan bagi seluruh civitas akademika ISIF untuk turut serta menyimak hasil-hasil yang disajikan. Langkah ini diambil dengan tujuan untuk memperluas cakupan manfaat dari kegiatan tersebut dan mendorong terjadinya pertukaran ide di antara mahasiswa dan dosen yang hadir.

Menurut Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ISIF, Zaenab Mahmudah, Lc. ME.I., keputusan untuk menggelar seminar secara terbuka bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan bahwa format baru ini diharapkan mampu menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh peserta selama menjalani PLP, sehingga lebih banyak mahasiswa yang bisa mengambil manfaat dari pengalaman tersebut.

“Seminar ini dilaksanakan supaya pengetahuan yang didiapat mahasiswa bisa dibagikan lebih menyeluruh, jadi tidak hanya mandek di ruang pengujian antara mahasiswa dan dosen penguji,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya berbagi pengalaman lapangan secara terbuka, terutama agar mahasiswa lain dapat memahami tantangan dan peluang yang dihadapi peserta PLP saat berada di lokasi praktik.

“Kalau dulu hanya antar penguji dan mahasiswa, dengan format seperti ini seluruh mahasiswa jadi mengetahui antara lokasi di sana seperti apa, pengalamannya seperti apa, dan ilmu yang didapatnya seperti apa,” tambahnya.

Program PLP, lanjutnya, merupakan bagian dari upaya kampus untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi dunia kerja, dengan memberikan pengalaman langsung sesuai dengan bidang studi mereka.

“PLP diselenggarakan jelas sebagai latihan berpraktik profesi bagi mahasiswa. Mahasiswa jadi punya pengalaman belajar di sekolah sebagai seorang guru bagi yang PAI, dan sebagai seorang pengusaha kalau yang Ekonomi Syariah,” katanya menjelaskan.

Dengan digelarnya Seminar Hasil PLP secara terbuka, diharapkan para peserta dapat lebih dalam mengeksplorasi pengetahuan dan berbagi wawasan dengan mahasiswa lainnya. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mendorong terjadinya diskusi yang lebih produktif di kampus, sehingga dapat melahirkan ide-ide baru.

“Seminar ini bertujuan untuk membuka ruang diskusi di kampus supaya ide dan gagasan dapat tumbuh dan berkembang dan dapat didiskusikan,” tutupnya.

Suluk ISIF dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi

Sejak saya diberi amanah oleh Yayasan Fahmina sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) pada tahun 2021, saya mendeklarasikan ISIF sebagai Kampus Transformatif. Tepatnya, kampus transformatif untuk keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.

Tidak hanya itu, saya juga menetapkan visi ISIF untuk menjadi pendidikan tinggi keagamaan unggul dalam riset Islam, gender, dan transformasi sosial pada tahun 2036.

Tekad ini sebetulnya tidak terlalu berlebihan jika menimbang pengalaman Fahmina-institute yang telah bergelut sebelumnya dalam aktivitas intelektualisme, gerakan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah buku hasil kajian dan riset telah diterbitkan. Sejumlah komunitas sosial di berbagai daerah didampingi dan diberdayakan. Sejumlah kebijakan publik diadvokasi. Kerjasama program dilakukan dengan lembaga tingkat lokal, nasional, dan internasional.

Deklarasi Kampus Transformatif bagi saya mencerminkan ruh pemikiran dan gerakan Fahmina yang selama ditancapkan dalam pengalaman sosial. ISIF –yang didirikan Yayasan Fahmina– harus menjadi titik berangkat dan restorasi akademik dari cita peradaban Yayasan Fahmina. Yakni, peradaban umat manusia yang adil dan bermartabat berbasis tradisi kritis Pesantren. Sarjana ISIF yang dihasilkan harus menjadi bengkel peradabannya.

Tulisan berikut hendak mengelaborasi gagasan dan implementasi Kampus Transformatif yang telah saya canangkan. Tentu saja, tulisan ini baru sebatas pokok-pokok pikiran utama yang masih membutuhkan elaborasi yang lebih operasional dan aplikatif.

Makna Kampus Transformatif

Secara leksikal, menurut KBBI, transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi juga mengandung arti perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.

Dengan demikian, Kampus Transformatif bermakna kampus yang berorientasi pada perubahan, baik perubahan mindset, sikap, dan perilaku civitas akademika, maupun perubahan masyarakat yang menjadi muara dari kehidupan kampus.

Secara tegas, kampus transformatif yang dimaksud adalah kampus yang membawa visi dan misi perubahan sistemik struktural relasional dalam kehidupan masyarakat untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian bagi semesta.

Mandat Sejarah

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang didirikan oleh Fahmina pada 1 September 2007 atas permintaan masyarakat yang disampaikan pada resepsi ulang tahun Fahmina-institute ketujuh pada tahun 2007 di Cirebon.

Fahmina adalah NGO (organisasi non-pemerintah) yang didirikan pada November 2000 di Cirebon yang bertujuan mewujudkan peradaban manusia yang bermartabat dan berkeadilan berbasis kesadaran kritis tradisi pesantren.

ISIF didirikan untuk menopang cita sosial perjuangan Fahmina, dengan cara: pertama, menghasilkan sarjana Islam yang berintegritas, humanis, adil, dan transformatif, yang disingkat Sarjana Islam BERHATI. Yakni, sarjana Islam yang berperspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebinekaan, dan kearifan lokal dalam pengetahuan holistik keislaman yang transformatif.

Paradigma Koneksi Sinergis

Sebagai implementasi dari pilihan kampus transformatif, ISIF tidak memisahkan antara pendididikan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri dharma ini adalah mata rantai yang saling terhubung dan berkait. Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk riset dan pengabdian kepada masyarakat. Riset dilaksanakan untuk kebutuhan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari riset dan pendidikan, dan untuk menginspirasi pengembangan pendidikan dan riset.

Transformasi dalam Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat

Dengan demikian, menjalin hubungan yang intensif mutualistik dengan masyarakat dan/atau suatu komunitas sosial sebagai kawasan studi bersama (co-learning area) adalah keniscayaan bagi ISIF.

ISIF harus belajar dari masyarakat dan masyarakat pun belajar dari ISIF. ISIF dan masyarakat saling belajar untuk membangun ilmu pengetahuan masyarakat (people knowledge building).

Semua keilmuan ISIF, arah riset dan pembelajarannya harus dikaitkan dengan realitas lokal (lokalogi, ilmu lokal) di mana masyarakat berada.

Dosen dan mahasiswa hidup bersama, belajar bersama, meneliti bersama, menganalisis bersama, dan mengubah bersama (partisipatoris) praktik keseharian masyarakat, baik melalui riset maupun pengabdian kepada masyarakat.

Riset dan pengabdian kepada masyarakat ISIF berada dalam kehidupan masyarakat. Civitas akademika harus hidup bersama masyarakat untuk berproses mengenali, memahami, mengerti, menganalisis, hingga mengubah kehidupannya secara bersama-sama.

Dosen dan mahasiswa belajar bersama masyarakat. Untuk kebutuhan ini, ISIF harus memiliki sujumlah desa sebagai kawasan studi dan perubahan sosial.

Tranformasi dalam Pendidikan

Implementasi transformasi dalam pendidikan adalah mendialogkan teks-teks keagamaan dan realitas sosial secara simultan. Ada tiga jenis riset yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan dosen ISIF dalam setiap pembelajaran.

Pertama, riset ensiklopedis. Dosen mengidentifikasi sejumlah keywords sebagai titik masuk ke mendalami substansi pembelajaran yang digeluti, lalu mahasiswa meriset semua keywords tersebut dengan studi ensikopedis. Yakni, mencari, menemukan, dan mempelajari akar istilah: apa, mengapa, bagaimana, kapan, di mana, siapa, sejarahnya, pendapat para ahli, perbedaannya dengan kata sejenis, melalui buku-buku ensiklopedis yang tersedia. Setelah itu, mahasiswa diminta untuk mempresentasikan hasil riset ensiklopedis ini di kelas.

Kedua, riset bibliografis. Mahasiswa diminta meriset buku-buku yang relevan dengan bahan pembelajaran, terutama buku induk (babon). Minimal 3 buku induk harus diriset dan dibaca hingga tuntas, dipahami, dan dianalisis. Lalu, hasil riset ini dipresentasikan di kelas di hadapan teman sejawat.

Ketiga, riset sosial. Hasil riset ensiklopedis dan bibliografis didialogkan dengan realitas sosial terkait dengan isu yang didalami. Mahasiswa diminta melakukan riset sosial lapangan terkait temuan-temuan dari riset ensiklopedis dan bibliografis. Riset lapangan ini sebisa mungkin menggunakan pendekatan partisipatoris.

Kapasitas Dosen dan Mahasiswa yang Dibutuhkan

Dengan demikian, di antara kapasitas dosen dan mahasiswa ISIF yang harus dimiliki adalah menguasai metodologi participatory action research (PAR), analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, sosiologi pedesaan, antropologi sosial, dan advokasi, serta terjun langsung ke masyarakat desa yang menjadi kawasan studi. ISIF memastikan dosen dan mahasiswa memiliki kapabilitas ini.

Dengan cara ini, dalam waktu minimal lima tahun secara konsisten dan simultan, ISIF akan tampak mewujud menjadi kampus transformatif sebagaimana dicita-citakan.**

PBAK ISIF Cirebon 2024 Angkat Tema Transformasi Nilai-Nilai Kebudayaan

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) untuk mahasiswa baru dengan tema “Merajut Keadilan dan Kesetaraan dengan Transformasi Nilai-nilai Kebudayaan” di Auditorium Aula Affandi Mochtar hari ini, Sabtu 21 September 2024 .

Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) ISIF Cirebon merupakan kegiatan wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa baru. Hal ini berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2939 Tahun 2024 tentang Pedoman Umum Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari dari tanggal 21-23 September 2024 ini diikuti oleh puluhan mahasiswa baru dari empat Program Studi (Prodi), yaitu Prodi Ahwal As-Syakhsyiyah (AS), Pendidikan Agama Islam (PAI), Ilmu Al – Qur’an Tafsir (IAT), dan Ekonomi Syariah (ES).

Acara pembukaan dihadiri langsung oleh Wakil Rektor Bidang Akademik Kemahasiswaan, Safrotulloh, M.Pd.

Dalam sambutannya, Safrotulloh menyambut hangat mahasiswa baru dan menyampaikan bahwa PBAK merupakan kesempatan penting untuk memahami lebih lanjut tentang budaya akademik ISIF.

“PBAK adalah gerbang bagi mahasiswa baru untuk mengenal suasana kampus, terutama terkait nilai-nilai dan budaya ke-ISIF-an,” tuturnya.

Ia juga menekankan perbedaan PBAK tahun ini, yang diwarnai dengan keberagaman mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.

“Kampus ISIF terbuka bagi siapa pun, dari mana pun. Tahun ini, mahasiswa baru datang dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk Kalimantan, Sumatera, Aceh, dan Riau,” jelasnya.

Lebih lanjut Safrotulloh menjelaskan tentang orientasi pendidikan di ISIF, yakni untuk memberikan perubahan signifikan bagi masyarakat.

“Tujuan dari pendidikan ISIF adalah mengubah kondisi masyarakat dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari minadzulumaati ilannur ,” tambahnya.

Selain itu, di tengah dinamika sosial yang terus berkembang dan tuntutan akan pendidikan yang lebih inklusif, ISIF Cirebon berkomitmen membangun reputasi sebagai institusi yang tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

“Kampus ISIF termasuk kampus yang sudah familiar di kalangan akademis sebagai kampus yang berperspektif keadilan, kemanusisaan, dan keadilan gender,” tambahnya.

Safrotulloh berharap kepada para peserta untuk mengikuti kegiatan ini dengan baik dan jangan ragu untuk saling berkenalan dengan satu sama lain.

“Jadikan momen PBAK ini sebagai momen untuk taaruf satu sama lain sehingga dapat menumbuhkan benih-benih persaudaraan,” pesannya.

Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ISIF, Siti Robiah, menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran tentang budaya yang dimiliki oleh mahasiswa.

“Tema ini dipilih sebagai bentuk usaha untuk membangkitkan kesadaran tentang budaya yang kita miliki,” ungkapnya.

Selain itu ia menekankan pentingnya membangun budaya akademik mahasiswa sehingga mampu menyuarakan pendapat dengan lebih kritis.
“Mahasiswa sudah seharusnya berpikir kritis, rasional dan punya kebebasan penuh, sebagai garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi untuk mewujudkan keadilan,” tutupnya**