by admin | 14 Feb 2025 | Berita, Kegiatan
ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) dengan mengangkat tema “Fiqh Aplikatif untuk Penyandang Disabilitas” di Ruang Konvergensi ISIF, pada Rabu, 12 Februari 2025.
Dalam forum ini, hadir perwakilan ulama perempuan, akademisi, praktisi, serta aktivis penyandang disabilitas. Mereka membahas bagaimana ajaran Islam dapat lebih inklusif dalam menjamin hak-hak penyandang disabilitas dalam mengamalkan agamanya.
Dalam diskusi, para peserta aktif berpendapat dan menyoroti betapa pentingnya pendekatan fiqh aplikatif yang tidak hanya berlandaskan hukum Islam, tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial.
Alifatul Arifiati, peserta dari Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan, menyoroti realitas sosial yang masih banyak melekatkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Contohnya, pandangan bahwa penyandang disabilitas terlahir dari kesalahan dalam tata cara hubungan seksual.
Stigma ini, menurutnya, memperlihatkan bias yang masih melekat dalam interpretasi keagamaan terhadap kelompok penyandang disabilitas. Selain itu, ia menegaskan bahwa isu disabilitas masih belum menjadi perhatian utama dalam wacana keagamaan.
“Ketika berbicara tentang forum atau kajian keagamaan, pembahasan mengenai disabilitas masih sangat minim. Saya pernah diminta mencari ulama perempuan atau tokoh Muslim yang benar-benar fokus pada isu ini, dan itu sangat sulit menemukannya. Masih sangat sedikit ulama perempuan yang membahas disabilitas dan menempatkannya sebagai ruang khidmahnya,” ujarnya.
Peran Media dalam Membangun Narasi Inklusif
Fitri Nurazizah, perwakilan dari Mubadalah.id turut menggarisbawahi peran media dalam membentuk narasi tentang disabilitas. Banyak media, yang menurutnya, masih belum bisa melunturkan stigma terhadap penyandang disabilitas.
“Sangat penting bagi media untuk mengonfirmasi langsung kepada penyandang disabilitas guna memastikan bahwa istilah yang digunakan tidak menimbulkan stigma,” ujarnya.
Dalam upaya menghadirkan perspektif yang lebih inklusif, media alternatif berperan penting dalam memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang sering terpinggirkan.
“Oleh karena itu, media alternatif seperti Mubadalah.id mencoba menghadirkan narasi yang lebih adil. Kami juga mendorong penyandang disabilitas untuk turut terlibat aktif menuliskan langsung (di Mubadalah.id) pengalaman mereka sendiri,” lanjutnya.
Implementasi Kebijakan yang Belum Optimal
Jojo Suparjo, perwakilan dari Perkumpulan Penyundang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Cirebon, berpendapat bahwa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di rumah ibadah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Banyak penyandang disabilitas yang ingin beribadah dengan nyaman, tetapi fasilitas yang mendukung mereka masih terbatas. Misalnya, belum tersedia tempat duduk untuk wudhu yang memadai, lantai yang licin, serta akses menuju tempat ibadah yang belum ramah bagi mereka.
Selain itu, Jojo juga menyoroti lemahnya implementasi kebijakan terkait disabilitas. Menurutnya, pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan kepedulian terhadap para penyandang disabilitas. Jojo juga melihat lemahnya implementasi kebijakan terkait disabilitas.
“Peraturan yang ada saat ini tentang disabilitas hanya sebatas produk hukum di atas kertas saja, sedangkan implementasinya belum maksimal,” tegasnya.
Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, yang hadir sebagai narasumber, menegaskan bahwa dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara. Sementara itu, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak mereka.
Ia menekankan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum yang setara dan hak asasi yang sama sebagai warga negara Indonesia. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat dan memiliki hak untuk hidup, berkembang, serta berkontribusi secara adil dan bermartabat.
“Kita sebetulnya sama, tidak ada perbedaan sedikitpun. Ada satu jargon yang saya senang untuk mengutipnya, yaitu ‘No one left behind.’ Tidak boleh ada satu pun yang tertinggal dalam proses pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan segala aspek kehidupan, termasuk penyandang disabilitas,” tegasnya.
Komitmen ISIF
Melalui diskusi ini, ISIF ingin mengintegrasikan nilai-nilai keislaman yang selama ini menjadi basis kajian ISIF dengan perspektif hak-hak penyandang disabilitas. Di sisi lain, hasil-hasil diskusi diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan bagi semua elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan adanya diskusi rutin seperti MISI, diharapkan terbentuk pemahaman yang lebih luas dan kebijakan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas dalam ruang-ruang sosial dan keagamaan.
Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen ISIF dalam upaya memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dalam bingkai keadilan dan kesetaraan dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan yang kuat dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.* (Gunawan)
by admin | 11 Feb 2025 | Agenda, Berita, Pengabdian Masyarakat
ISIF Cirebon – Praktik Islamologi Terapan (PIT) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon mendapat apresiasi dari Kuwu Desa Waruduwur, Yadi, serta segenap warga setempat dalam kegiatan Ekspose Pemetaan Spasial yang digelar di Masjid Jami Al-Mubarok pada Senin malam, 10 Februari 2025. Kuwu mengakui tidak pernah mendapati kegiatan pengabdian masyarakat dari kampus-kampus lain seperti yang dilakukan ISIF.
“Sudah banyak mahasiswa dari kampus-kampus ternama, baik dari luar maupun dalam wilayah Cirebon yang melakukan KKN di sini tapi tidak ada yang seperti ini. Saya sangat senang dan mengapresiasi karena apa yang dilakukan mahasiswa ISIF di sini sangat membantu warga,” katanya.
Dari hasil pemetaan spasial yang dilakukan mahasiswa ISIF di Waruduwur, Najmudin, Dina Tirtana, Sulisnawati, Ramdhani Fitriani Putri, Putri Syafa’aturrizqi, Wahyu Illahi, Mukhamad Irfan Ilmi, Nur Muhammad Iskandar, dan Dindin Misbahudin, Kuwu Yadi mengaku dia dan warganya bisa memahami desanya dengan lebih baik. Bahkan dia berharap lewat peta spasial itu, seluruh jajaran pemerintahan desa hingga tingkat terkecil di Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) bisa melayani warganya dengan baik.
“Biasanya kalau Ketua RT kita tanya berapa jumlah rumah dan keluarga di RT masing-masing, mereka jawabnya tidak tahu. Jumlah persisnya tidak tahu. Ada apa saja di RT-nya juga kurang tahu dengan yakin. Dengan (peta) ini semoga nanti bisa terbantu,” lanjutnya.
Kuwu Yadi juga memberikan masukan dan koreksi terhadap titik-titik tertentu di dalam peta yang belum sesuai dengan keadaan sebenarnya. Tidak hanya Kuwu, warga yang hadir juga terlihat antusias dan juga memberikan masukan serta koreksi terhadap gambar di peta yang kurang tepat ataupun kurang lengkap.
Pemetaan Spasial: Proses Partisipatif Bersama Masyarakat
Rektor ISIF, K.H. Marzuki Wahid mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Waruduwur karena sudah memberikan masukan dan koreksi terhadap peta spasial yang dibuat mahasiswa. Rektor juga mengatakan bahwa mahasiswa ISIF yang melakukan PIT di Desa Waruduwur sejatinya sedang belajar.
“Mereka belajar langsung di sini supaya memahami dengan betul bagaimana hidup di tengah masyarakat yang sesungguhnya. Nanti mereka akan kembali di daerahnya masing-masing untuk berkiprah di tengah masyarakatnya,” katanya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Siti Latifah, ME, pada kesempatan itu juga memberikan masukan-masukan penting bagi mahasiswa PIT kelompok Desa Waruduwur.
Peta spasial merupakan peta yang dibuat mahasiswi dan mahasiswa hasil dari kerja lapangan mereka dalam minggu pertama PIT. Di lapangan mereka berkeliling desa setiap hari, menemui orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, mewawancarai mereka tentang tempat-tempat yang ada di desa, dan membuat peta bersama-sama warga. Hasil dari pengamatan, wawancara, dan menggambar peta bersama warga itulah yang kemudian mereka tuangkan dalam Peta Desa Waruduwur.
Kegiatan Ekspose Peta Spasial merupakan bagian dari proses menggambar peta bersama masyarakat. Dalam kegiatan ini, mahasiswa memaparkan terlebih dulu hasil pemetaan mereka dengan warga untuk kemudian warga sendiri memberikan koreksi dan masukan. Proses tersebut dilakukan agar peta yang dihasilkan benar-benar merupakan peta bersama yang bisa memotret tidak hanya benda-benda mati melainkan juga denyut kehidupan warga.
PIT ISIF dan Model Pembelajaran Berbasis PAR
Pemetaan spasial sendiri merupakan kegiatan pertama sebelum mahasiswa melakukan pemataan-pemetaan selanjutnya yang meliputi pemetaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai langkah awal, pemetaan ini berfungsi memberikan gambaran dasar tentang kondisi geografis desa, yang kemudian menjadi landasan dalam memahami berbagai aspek sosial dan ekonomi secara lebih mendalam.
Dengan memahami ruang secara fisik, mahasiswa dapat melihat keterkaitan antara faktor-faktor spasial dengan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Seluruh proses ini dirancang secara partisipatif, melibatkan warga sebagai subjek aktif dalam penelitian agar hasilnya benar-benar merepresentasikan kondisi nyata di lapangan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang menjadi pendekatan dalam desain kegiatan PIT ISIF 2025
Pada 2025, ada empat desa yang menjadi wilayah dampingan mahasiswa ISIF melakukan PIT, yakni Desa Waruduwur Kec. Mundu, Desa Warukawung Kec. Depok, Desa Cikeusal Kec. Gempol di Kab. Cirebon, dan Kelurahan Kesenden di Kota Cirebon. *** (Abdul Rosyidi)
by admin | 8 Feb 2025 | Artikel
Ketika kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka pesantren ataupun surau adalah dua institusi yang layak untuk dibahas. Mengapa? Karena kedua institusi pendidikan ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat anak bangsa dalam mengenyam akses pendidikan keagamaan terutama di daerah-daerah terpencil, baik itu di Jawa maupun Sumatera.
Keduanya berperan sangat vital dalam mentransformasikan ajaran-ajaran keagamaan di kalangan masyarakat terutama menyangkut penguatan keimanan seseorang. Di samping itu ada ajaran-ajaran lain yang tidak melulu masalah teologi, tetapi pembelajaran lain yang menyangkut ilmu-ilmu sosial juga diajarkan di kedua lembaga pendidikan ini walaupun pada mulanya kedua pendidikan ini mengajari pendidikan keagamaan saja.
Transformasi Pesantren di Era Modern
Dalam pengantarnya di buku Bilik-Bilik Pesantren, Azyumardi Azra mengatakan seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas, pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 7).
Mengingat pendidikan adalah hak primer yang wajib dimiliki oleh setiap individu dan bagian penting bagaimana cara masyarakat terlibat dalam modernitas dan globalisasi. Maka pesantren merespon tantangan zaman tersebut dengan perubahan di dalam institusi pesantren. Sekali lagi, yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak dilakukan untuk menggeser tradisi-tradisi lama pesantren yang luhur namun hanya untuk membekali diri para santri untuk siap sedia dengan perubahan zaman yang terjadi.
Secara garis besar pesantren terbagi menjadi dua: pertama, pesantren tradisional yang tetap menjaga tradisi klasik pendidikan Islam dan fokus dalam kajian-kajian kitab kuning. Kedua, pesantren modern yang mempunyai titik tekan dalam pembelajaran ilmu-ilmu kontemporer, seperti sekolah publik pada umumnya, tidak jarang juga di pesantren modern, para santri diwajibkan memiliki soft skill berbahasa Arab dan Inggris.
Saat ini, bentuk pesantren tradisional telah mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pesantren tradisional kini memiliki madrasah dan sekolah umum. Perbedaan utama antara pesantren tradisional dan pesantren modern terletak pada penguasaan bahasa asing. Pesantren modern cenderung lebih dominan dalam penggunaan bahasa Arab dan Inggris dibandingkan pesantren tradisional.
Dinamika Pesantren dalam Menghadapi Modernisasi
Pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam sejarah suksesi kemerdekaan bangsa. Namun, hingga kini, pesantren masih belum memiliki kekuatan besar dalam melobi penyesuaian kurikulum pendidikan umum. Pemerintah cenderung menekan agar terjadi penyeragaman antara pendidikan umum dan pendidikan di pesantren. Awalnya, pesantren hanya memiliki madrasah dengan hari libur yang umumnya jatuh pada hari Jumat. Seiring waktu, pesantren mulai berkembang dengan menyediakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.
Perkembangan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ingin membekali santrinya dengan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, pesantren telah memiliki kurikulum yang sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum sekolah menengah pertama dan menengah atas ada. Selain itu, aturan kegiatan belajar mengajar di sekolah umum berada di bawah kewenangan instansi pemerintah terkait, yang sering kali berbeda dengan sistem pendidikan pesantren.
Menghadapi masalah ini pesantren sedikit menolak untuk diseragamkan dengan sekolah umum, dan mencari titik temu dari permasalahan ini. Sebagai contoh kasus di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, pada tahun 1968 didirikan Madrasah Tsanawiyah dibawah naungan Departemen Agama. Namun yang menjadi pembeda antara Madrasah Tsanawiyah di tempat lain adalah hari libur yang jatuh pada setiap hari Jum’at.
Proses perizinan untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari libur tidaklah mudah. Ada negosiasi alot antara pihak pesantren Babakan dan pemerintah saat itu. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kegiatan pesantren tidak terganggu dengan adanya sekolah umum. Meskipun demikian pesantren tidak tercerabut dari akar budayanya, selain fungsi-fungsi pesantren yang tetap berjalan seperti nilai-nilai keislaman, serta kontrol sosial di masyarakat.
Selain perkembangan pendidikan di pesantren, hal yang menarik untuk diulas adalah tentang sikap pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya tanpa mengesampingkan kebutuhan zaman. Tidak hanya dalam hal kurikulum formal, tetapi juga dalam penguatan aspek spiritualitas yang menjadi ruh pendidikan pesantren. Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapat perhatian adalah bidang tasawuf, yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral santri.
Menurut Cak Nur, bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Bidang ini sebenarnya hal yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 21).
Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas pengetahuan santri dalam pelajaran. Hal ini bertujuan agar santri mampu berkompetisi di berbagai lini kehidupan. Santri tidak lagi hanya dikenal sebagai ahli agama, mereka juga dapat menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa depan muncul santri yang berprofesi sebagai arsitek, dokter, insinyur, atau tenaga terampil lainnya. Keragaman profesi santri di masyarakat dapat diimplementasikan secara kolektif oleh lembaga pesantren. Dengan demikian, santri dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks modernisasi, pesantren diharapkan mampu menyumbangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan modern. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki peran strategis dalam masyarakat. Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi, tampak bahwa pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern. Ini menunjukkan bahwa pesantren turut berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Pesantren sebagai Sub-Kultur dalam Masyarakat
Modernitas di pesantren memiliki konteks yang berbeda dibandingkan modernitas masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural pesantren yang khas dan berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Pesantren tidak hanya fokus pada pengajaran agama, lembaga ini juga memiliki kepedulian terhadap berbagai isu sosial di masyarakat. Konteks modern dalam pesantren adalah bagaimana teks-teks keagamaan dapat dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan isu-isu sosial yang berkembang saat ini.
Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sub-kultur dari masyarakat. Namun, di dalamnya terdapat struktur sosial yang berbeda. Di pesantren, terdapat kiai dan nyai sebagai pemimpin, anak kiai dan nyai sebagai generasi penerus, serta ustadz dan ustadzah yang berperan sebagai pembimbing bagi para santri perempuan dan laki-laki. Tata nilai pesantren ini memiliki ruang tersendiri dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Santri adalah pelaku kehidupan di pesantren dalam tataran yang bersentuhan langsung dengan masyarkat (grass root). Merekalah yang menggerakkan roda kegiatan dan aktifitas di pesantren.***
Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren (Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017).
by admin | 28 Jan 2025 | Berita, Kegiatan, Pengabdian Masyarakat
ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar pembekalan bagi mahasiswa yang akan melaksanakan Praktik Islamologi Terapan (PIT) di Aula Aula Affandi Mochtar pada Kamis dan Jumat, 23-24 Januari 2025.
Pembekalan ini menjadi langkah awal bagi mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat untuk melaksanakan pengabdian berbasis Participatory Action Research (PAR). Kegiatan pula ditujukan untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menemukenali dan menyelesaikan masalah secara partisipatif bersama masyarakat.
Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, hadir sebagai pemateri utama dan memberikan pemaparan mendalam terkait falsafah dan konsep dasar PIT ISIF. Dalam sambutannya, rektor yang akrab disapa Kang Zekky ini menegaskan bahwa PIT bukan sekadar program akademik, melainkan upaya bersama untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat desa dengan pendekatan transformatif berbasis nilai-nilai keislaman.
“Melalui PIT, ISIF ingin berkontribusi pada terwujudnya peradaban manusia yang berkemampuan dan berkeadilan, berdasarkan kesadaran kritis,” tuturnya.
Zaenab Mahmudah, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), turut hadir sebagai fasilitator. Dalam paparannya, Zaenab menyoroti distingsi PIT ISIF khususnya penerapan metodologi Participatory Action Research (PAR) sebagai pendekatan pengabdian.
Menurutnya Praktik Islamologi Terapan — yang di perguruan tinggi lain dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN)— merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat yang menjadi bagian dari implementasi Tri Dharma perguruan tinggi Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
Pada hari kedua, mahasiswa mendapatkan materi terkait konsep dan pelaksanaan PAR yang disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Syatori ini, PAR merupakan aktualisasi konsep belajar partisipatif yang bertujuan untuk melahirkan kesadaran kritis masyarakat.
Selain itu, menurutnya, melalui PAR masyarakat dapat terdorong untuk melakukan upaya mandiri untuk
mewujudkan keswadayaan komunitas masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman.
Pada sesi lain Sekretaris LPPM, Siti Latifah, ME, memberikan pembekalan tentang teknik pemetaan secara sosial dan spasial serta analisis sosial, mencakup dimensi sosial-ekonomi, sosial-budaya, hingga sosial-politik.
Mahasiswa juga diajak berdiskusi dalam kelompok bersama dosen pembimbing lapangan (DPL) untuk menyusun rencana kegiatan PIT di lokasi desa masing-masing kelompok.
Secara keseluruhan pembekalan ini diorientasikan agar mahasiswa ISIF tidak hanya memahami Metodologi PAR secara teoritis. Namun mahasiswa juga mampu menerapkannya secara maksimal dalam praktik PIT sehingga menjadikan desa-desa peredaman sebagai pusat pemberdayaan dan transformasi sosial.
by admin | 21 Jan 2025 | Berita
ISIF Cirebon — Kongres Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama resmi akan digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 31 Januari-1 Februari 2025 di Hotel Bidakara, Jakarta. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-102 NU.
Kongres yang akan dihadiri lebih dari 500 orang baik dari internal maupun kemitraan NU ini menggusung tema “Bersama Umat Wujudkan Keluarga Maslahat.” Kegiatan ini secara spesifik bertujuan untuk menyusun arah strategis NU terkait perwujudan keluarga maslahat sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Selain itu, melaui kegiatan ini, PBNU bertujuan mempublikasi inisiatif keluarga maslahat mengenai nilai dan prinsip kemaslahatan keluarga serta mengarusutamakan keluarga maslahat NU sebagai isu bersama, fokus gerakan, dan ruang pemberdayaan untuk masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, Kongres juga bertujuan membangun dan memperluas kemitraan dalam meningkatkan kualitas keluarga Indonesia yang maslahat. Sebagai bagian dari inovasi, PBNU juga akan meluncurkan aplikasi GKMNU (Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama) untuk mempermudah akses informasi dan mendukung keberlanjutan program keluarga maslahat.
Festival Keluarga Indonesia
Selain kongres, PBNU juga akan menggelar Festival Keluarga Indonesia pada 1-2 Februari 2025 di Mall Kota Kasablanka dengan mengusung tema “Keluarga Maslahat Keluarga Hebat.” Festival tersebut terbuka untuk umum dan bisa dihadiri langsung oleh semua kalangan.
Melalui festival ini, PBNU bertujuan menghadirkan NU dalam lanskap awan keluarga Indonesia dan mewujudkan kemaslahatan keluarga Indonesia, khususnya keluarga NU, dengan gerakan khidmah yang solid dan terintegrasi.
Festival ini menghadirkan berbagai pameran menarik yang dapat dikunjungi oleh peserta. Dalam pameran tersebut, tersedia layanan konsultasi untuk keluarga, remaja, beasiswa pendidikan, pengembangan bisnis, kesehatan, serta informasi terkait aplikasi GKMNU. Selain itu, festival ini juga menyelenggarakan talkshow dengan beragam tema inspiratif yang menghadirkan anggota PBNU, tim GKMNU, dan berbagai praktisi ahli di bidang masing-masing.
Festival ini juga akan menampilkan pagelaran seni dan budaya Islam khas Indonesia, yang diramaikan oleh penampilan budayawan serta artis nasional tanah air. Kegiatan ini diharapkan menjadi momentum strategis bagi PBNU dalam mempromosikan kemaslahatan keluarga sebagai isu bersama yang relevan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.