(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Rakyat Lemah Menderita, Ke Mana Keberpihakan Kita Selama Ini?

ISIF Cirebon – Hari ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang seolah-olah sudah tersihir. Sihir itu bernama gaya hidup hedonistik—semuanya serba instan, glamor, dan serba harus tampak “sukses”. Ia dipromosikan terus-menerus lewat televisi, media sosial, iklan, bahkan ceramah-ceramah keagamaan. Kita seperti dipaksa tunduk kepada satu cara hidup: modern, cepat, dan berbasis teknologi. Siapa yang tak punya HP pintar atau motor keren akan dianggap “tertinggal zaman”.

Tapi gaya hidup ini tidak tumbuh dari tanah yang ramah. Ia mengabaikan ekosistem sosial dan budaya kita. Tidak peduli apakah tradisi dan lingkungan bisa mengikuti atau tidak. Yang penting, semua orang harus kelihatan ‘maju’. Celakanya, yang paling terkena dampaknya justru mereka yang paling lemah: masyarakat kecil, minoritas, dan mereka yang hidup dari sektor informal.

Orang-orang yang lemah, ketika bertindak secara benar dan didukung undang-undang sekalipun, akan tetap dipandang rendah, bahkan tetap berpotensi disalahkan. Sebaliknya, orang yang kuat akan dipandang terhormat dan memperoleh dukungan banyak pihak, sekalipun melanggar peraturan dan undang-undang. Ucapan sarkastik ini bisa dilihat pada kasus-kasus yang menimpa banyak kelompok masyarakat kecil di kota maupun desa. Begitu juga untuk kelompok-kelompok minoritas. Apapun yang mereka lakukan, mereka cenderung akan disalahkan. 

Bagi masyarakat lemah yang hidup di kota, selama hidupnya selalu disalahkan. Tinggal di kolong jembatan disalahkan, di bawah jalan tol juga disalahkan, di pinggir rel kereta api juga disalahkan, di kuburan juga disalahkan, apalagi di pinggir rumah orang-orang kaya pasti akan langsung diusir Satpam setempat. Di Mushalla dan Masjid sekarang sudah tertulis ‘dilarang tidur di dalam Masjid’. Jadi, di mana mereka harus tinggal?

Untuk membeli rumah, mereka tidak memiliki uang yang cukup. Sementara, pekerjaan yang dapat mendatangkan uang bagi mereka pun tidak ada. Mencuri pasti disalahkan. Jadi, apapun yang mereka pilih dan kerjakan, dunia akan cenderung menyalahkan mereka. Mereka tidak diterima untuk hidup di kota. Mereka seharusnya tinggal di desa, tetapi tanah-tanah di desa juga telah direbut orang-orang kota untuk perumahan, villa, dan resort. Yang tersisa hanya lahan yang kering kerontang dan tidak menjanjikan. 

Kalaupun mereka berada di desa, mereka hanya akan meneruskan kebiasaan hidup di kota. Berjualan teknologi kota yang belum tentu diperlukan di desa dan belum tentu ramah dengan lingkungan maupun tradisi desa. Atau, menjadi calo tenaga kerja yang akan dikirim ke luar kota atau luar negeri. Itupun berarti untuk kepentingan di luar desanya, atau akan tercerabut dari lingkungan desanya. Itupun bisa disalahkan sebagai agen ’perdagangan orang’. Sementara orang-orang yang lebih kuat, seperti perusahaan yang merekrut tenaga kerja untuk dipekerjakan di luar negeri, tidak pernah tersentuh oleh aparat hukum. 

Begitu juga kondisi yang menimpa Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia. Mereka akan dipandang salah, tidak tertib, melanggar aturan, dan karena itu terus-menerus akan digusur dan dikejar-kejar. Berbeda dengan para pedagang besar dan pemilik mall-mall. Mereka sebaliknya dielu-elukan sebagai investor dan pemasok devisa bagi negara, sekalipun pada praktiknya mereka: telah menggusur tanah-tanah publik, ruang-ruang umum, cagar budaya, dan mematikan pasar-pasar tradisional. 

Dalam urusan-urusan seperti ini, para investor dan pemodal itu seringkali melanggar aturan tata ruang, aturan perizinan, dan aturan persaingan dunia usaha. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang justru ngemplang uang negara melalui fasilitas ‘kredit yang mereka lakukan‘ di bank-bank negara. 

Anehnya, para pejabat negara, termasuk Pemerintah Daerah, menganggap mereka sebagai pahlawan devisa dan pejuang ekonomi bangsa. Ini berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi yang dihadapi para pedagang kecil yang berada di sektor-sektor informal—yang sering disebut pelaku ekonomi menengah ke bawah. 

Usaha ekonomi kecil dan menengah, serta sentra-sentra pasar tradisional adalah anak sah dari model perekonomian awal di Indonesia. Justru pendirian mall-mall lahir dari model perekonomian yang merujuk pada mazhab ekonomi akumulasi modal atau biasa disebut dengan kapitalisme. 

Kita seharusnya jujur bahwa meledaknya sentra-sentra ekonomi lemah, atau tepatnya PKL, adalah akibat dari kebijakan pembangunan yang hanya difokuskan pada pembangunan kota. Masyarakat desa tidak lagi tertarik untuk bekerja di desa. Bahkan, tidak ada lowongan pekerjaan yang bisa mereka akses. 

Ketika tanah dan sawah sudah dibeli; ketika tanah dan sawah sudah tidak produktif lagi; ketika bekerja di sawah sama sekali tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan tidak memiliki prestis sosial sama sekali, maka semua rakyat desa akan berbondong-bondong tersedot memasuki kota untuk mengadu nasib. 

Mereka tidak punya pilihan lagi. Seluruh program pembangunan tidak memihak kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Mereka terpaksa mengambil sudut-sudut dan trotoar jalan. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk berusaha, bahkan untuk bertahan hidup sekalipun. Pembangunan mall-mall dan sentra-sentra bisnis seringkali tidak menyisakan tempat untuk mereka. 

Padahal mayoritas pekerja di dalam mall itu adalah pekerja yang digaji kecil, yang hanya bisa makan di kelas-kelas PKL. Anehnya, yang kita saksikan adalah penggusuran dan pengejaran, atau — meminjam bahasa pemerintah “penertiban.” Mereka tidak diakui, tetapi mereka tetap harus bayar retribusi. Bahkan, penggusuran pun seringkali menciptakan PKL yang baru, yang harus bayar lahan kembali dari awal dan retribusi seperti biasa. 

Sepertinya, penggusuran hanya menjadi sirkulasi untuk memperoleh tawaran dari PKL yang baru, dengan model pembayaran baru dan retribusi baru. Ini adalah front pembangunan yang setia menjadi “wirid” pemerintah sejak zaman Orde Baru. 

Dalam relasi dengan negara-negara maju, Indonesia selalu disalahkan. Indonesia dilarang menebang hutan sebagai paru-paru dunia. Namun, Indonesia tidak diberi pilihan lain untuk mempertahankan kehidupannya, selain hutan. Padahal hutan adalah sumber daya alam strategis yang dimiliki Indonesia. 

Lalu bagaimana? Bahkan kita, bangsa indonesia, dipaksa untuk membeli produk-produk teknologi dan makanan instan produksi negara-negara maju. Kita memanfaatkan hutan salah, tidak membeli produk mereka juga salah, orang lemah — bahkan negara lemah pun memang selalu disalahkan. 

Ini harus menjadi kepedulian bersama. Kita memang selalu dikepung oleh kehidupan hedonistik yang mengancam segala kekayaan kita: kekayaan agama, tradisi, dan alam. Budaya instan hedonis inilah yang akan menghancurkan tradisi kebersamaan dan persatuan. 

Invasi budaya ini, tanpa kita sadari, telah merasuki seluruh kehidupan kita. Apabila kita tidak memiliki kewaspadaan yang ekstra, kita malah akan berbalik menyalahkan orang-orang yang lemah dan kalah dalam percaturan ekonomi global. 

Kasus Porong Sidoarjo Jawa Timur menunjukkan betapa negara tidak memiliki keberpihakan yang jelas kepada rakyat yang tergusur. Bahkan, rakyat digusur dan dikorbankan dengan semburan lumpur Lapindo. Pemerintah gamang memberikan sanksi kepada perusahaan yang mengakibatkan penderitaan permanen rakyat. Negara juga tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk penghidupan korban lumpur Lapindo. Padahal jumlah mereka ribuan orang. Mereka kehilangan rumah, tanah, kehidupan, dan masa depan. Tidak ada yang peduli. 

Tidak ada juga gerakan masif yang memaksa negara untuk bertanggung jawab dan melindungi korban. Kelompok-kelompok agama, seperti NU, Muhammadiyah, atau yang lain diam seribu bahasa menyaksikan penindasan massal ini. Tidak juga dari partai politik yang mengatasnamakan Islam atau nasionalisme. Ironis! Ini sangat ironis. 

Sepertinya, kita harus memikirkan ulang model keberagamaan, kepartaian, dan kebangsaan kita selama ini. Kita masih saja membiarkan orang-orang lemah dan minoritas kalah dan dikalahkan. Saya teringat dengan pernyataan yang diucapkan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra.,

“Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di sisiku, karena itu’ aku perjuangkan hak-hak untuknya. Sementara orang — yang kuat di antara kamu, adalah lemah di sisiku, karena itu aku akan memastikan kewajiban mereka dilunasi untuk memenuhi hak-hak yang lain” .[]

 

—  Artikel ini merupakan tulisan K.H. Syarief Utsman Yahya dengan judul asli “Berpihak kepada Rakyat Lemah” dalam buku Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Silakan baca tulisan lengkapnya dalam, Syarif Utsman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008.

Kontekstualisasi Fikih dalam Menjawab Masalah Kekinian

ISIF Cirebon – Kita sering kali memahami fikih sebagai sesuatu yang kaku, seolah-olah hukum yang berlaku di satu waktu dan tempat bisa langsung diterapkan begitu saja di waktu dan tempat lain. Padahal, tidak sesederhana itu. Fikih sejatinya adalah hasil ijtihad ulama yang sifatnya kontekstual.

Istilah kontekstualisasi sering diartikan secara sempit sebagai “menyesuaikan fikih dengan ruang dan waktu”. Tapi sebenarnya lebih luas dari itu. Kontekstualisasi adalah upaya untuk memastikan hukum Islam bisa menjawab realitas yang selalu berubah—entah itu karena situasi ekonomi, kesehatan, lingkungan sosial, atau bahkan kondisi psikologis seseorang.

Jadi, bisa saja karena sakit, sehat, panas, dingin, miskin, kaya, dan lain sebagainya, kontekstualisasi bisa berlaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi dalam fikih adalah upaya agar hukum fikih bisa mengikuti dan memberikan jawaban atas kondisi dan keadaan yang terus berubah dan berbeda-beda.

Kita sering terjebak dalam memahami fikih, sebagai fikih yang digunakan dalam kondisi normal. Seakan-akan ini berlaku untuk dan di semua situasi. Sebagai contoh, hukum potong tangan bagi pencuri. Sesungguhnya hukum itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan normal. Dalam kondisi yang tidak normal, seperti mencuri karena kelaparan, dan tidak ada yang memberi makanan, maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan. Ini seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab r.a.

Kita memahami hukum Islam dan menerjemahkannya dalam atas realitas secara bijak. Jadi, tidak asal faham fikih lalu diterapkan secara membabi buta. Faktanya, dalam wilayah fikih tidak selamanya setiap hukum bisa langsung diterapkan. Ada syarat-syarat tertentu dimana suatu hukum bisa dilaksanakan, atau sebaliknya.

Dalam hal pencurian, ada syarat yang menyangkut jenis dan kadar minimal benda yang dicuri, kondisi ekonomi pencuri, alasan-alasan pencurian dan lain-lain. Syarat-syarat yang menyangkut benda yang dicuri meliputi: Berapa nilai barang yang dicuri, apakah barang itu disimpan atau tidak, dan seterusnya. Dari kondisi ekonomi saat itu, apakah yang mencuri itu karena situasi kelaparan atau tidak. Jadi banyak lagi faktor untuk bisa menetapkan apakah seorang pencuri dihukum potong tangan atau tidak.

Kontekstualisasi itu sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya, semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fikih pasti kontekstual. Artinya, fikih tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit.

Istilah fikih sendiri berarti pemahaman atau hasil ijtihad dari seorang ulama. Jadi pasti kontekstual. Karena, suatu hasil ijtihad pasti terkait dengan siapa yang berijtihad, dimana dan kapan berijtihad, serta kepada siapa dan untuk apa ijtihod itu diberikan atau diperlukan. Inilah yang dimaksud kontekstual. Karena itu, ulama dahulu lebih rendah hati dalam mengatakan fikih Syafi’i atau fikih Madinah, dan fikih Maghrib, bukan dengan klaim-klaim besar dengan istilah ‘fikih Islam’ atau ‘Hukum Syari’ah’.

Karena, sudah disadari bahwa semua itu masih dalam koridor Islam dan Hukum Syari’ah, hanya saja harus dijelaskan menurut pemahaman siapa dan dimana agar tidak dimutlakkan. Perbedaan konteks, waktu tempat, dan komunitas penting dijelaskan untuk memberikan batasan-batasan atas kemutlakannya.

Sebagai contoh mudah, dalam bab riba, dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus sebanding atau senilai. Tetapi, dalam keadaan terpaksa Rasulullah Saw. menyatakan boleh saja tidak sebanding, kemudian dikenal dengan bai’ul aroyah.

Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Bai’ul aroyah ini, pada awalnya tidak boleh karena timbangan atau nilainya belum tentu sama, tapi karena kebutuhan mendesak maka Rasulullah membolehkan praktik tersebut.

Fikih juga selalu kontekstual dalam segala hal terutama yang berhubungan dengan mu’amalah. Tinggal bagaimana kita memahami konteks tersebut. Bukankah Allah Swt sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 185 yang penggalan ayatnya berbunyi,

“Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu”,

Di sinilah, makna kemurahan Tuhan kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya, terkadang pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah menciptakan lain atau karena hal-hal yang disebabkan ketidakmampuannya.

Allah Swt. telah memberikan peluang kepada hambanya untuk melakukan kontekstualisasi. Allah Swt menurunkan syariat agama, mulai dari Adam, Idris, Ibrahim, Musa, sampai Nabi Muhammad disesuaikan dengan zamannya. Untuk hal-hal yang terkait dengan aqidah, dari satu nabi ke nabi yang lain, semuanya sama. Tetapi, syariatnya berbeda-beda.

Dalam sejarah, proses pemahaman keberagamaan satu tokoh dengan tokoh lainnya, tidak selalu sama. Karena perbedaan itulah, muncul para imam mazhab seperti mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan masih banyak mazhab yang lain. Para pengikut satu mazhab juga dalam beberapa hal bisa berbeda, bisa karena perbedaan tempat, waktu atau budaya. Contohnya, di dalam mazhab Syafi’i sendiri timbul berbedaan terutama antara Syafi’i aliran Iraqi dan Syafi’i Khurasani.

Jika ada pemikiran fikih yang menggunakan pola pengandaian biasanya disebut ’ala thariqoti khurasani, itu metode fikih orang-orang Khurasan. Makanya, di dalam kitab Safinatun Najah ada pengandaian yang sangat jauh, seperti ”andaikan kambing beranak manusia, setelah besar dia menjadi khotib pada shalat ‘Idul Adha, boleh tidak dia dijadikan hewan kurban?” Sementara dalam Mazhab Syafi’i aliran Iraqi, pengandaian itu tidak perlu dibahas. Yang perlu dibahas dan ditetapkan hukumnya adalah sesuatu yang memang sudah terjadi. Bukan mengandai-andai, sesuatu yang belum atau tidak mungkin terjadi.

Ketika kita mengambil fikih dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi, maka kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas sangat besar. Oleh karena itu, kontekstualisasi mutlak diperlukan agaf fikih , tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini, salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam memahami fikih adalah dengan metode ’urfi. Bukankah kaidah Ushul Fikih menyatakan bahwa, As-Tsabit bil ’Urfi kas Tsabit bin Nash (apa yang ditetapkan melalui adat kebiasaan setempat sama nilainya dengan yang dtetapkan melalui Nash al-Qur’an dan al-Hadits).

Untuk melakukan kontekstualisasi, yang mutlak diperhatikan adalah Maqasid al-Syari’ah, yang berupa’ hifdzud din, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama. Hifdzul ’aql, menjaga akal, termasuk menjamin kebebasan berfikir. Hifdzun nafs, menjaga jiwa, termasuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat banyak. Juga menjamin keamanan individu dan masyarakat.

Hifdzun nasl, menjaga keturunan, termasuk menjaga kesehatan reproduksi. Hifdzul mal, menjaga harta, termasuk menjaga kesejahteraan dan perekonomian orang banyak. Hifdzul ’Irdh, menjaga kehormatan, termasuk di dalamnya menjaga hak-hak asasi sebagai manusia.

Maqasid al-syari’ah ini diupayakan dengan tujuan untuk mencapai mardhotillah, keseimbangan antara kebutuhan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Semua itu demi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.[]

— Disarikan dari buku Islam, Pesantren, dan Pesan Kemanusiaan (Syarif Ustman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008).

Ruang Dialog Agama dan Negara dalam Pengadilan Agama

ISIF Cirebon – Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, tetapi sejak awal berdirinya, Indonesia tidak mengambil bentuk negara agama. Para pendiri bangsa memilih jalan tengah: membentuk negara yang menjamin kebebasan beragama, sekaligus tidak tunduk pada tafsir keagamaan tertentu. Pancasila menjadi dasar negara yang menampung keberagaman dan menjadi titik temu antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.

Namun, ini bukan berarti hubungan antara agama dan negara di Indonesia selalu tenang. Sejak awal, terutama dalam konteks Islam, selalu ada perdebatan dan negosiasi. Islam, sebagai agama yang membawa nilai-nilai hukum dan sosial, memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Di sisi lain, negara memiliki kepentingan menjaga kesatuan, stabilitas, dan keadilan bagi semua warganya, tak peduli latar belakang agama mereka.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa negara kerap mengambil posisi sebagai penengah. Di masa Orde Baru, negara cenderung menekan ekspresi politik Islam. Zaman pemerintahan Soeharto antara tahun 1966 hingga 1998, suatu periode ketika Islam, seringkali ditafsirkan berpotensi menjadi ancaman politik terhadap negara yang terpusat, otoritarian, dan sekuler yang telah dibentuk oleh militer.

Namun setelah Reformasi 1998, ruang ekspresi semakin terbuka. Banyak pembatasan atas ekspresi identitas Muslim yang diterapkan selama Pemerintah Orde Baru, dicabut tidak lama setelah kejatuhan Soeharto, yakni pada saat demokratisasi Indonesia menuju era keterbukaan baru. Hal ini mengakibatkan munculnya identitas Islam yang begitu marak dalam kehidupan pribadi dan publik, termasuk dalam politik.

Kelompok-kelompok Islam, baik yang besar maupun kecil, mulai menyuarakan kembali aspirasi untuk membentuk masyarakat yang lebih Islami, termasuk lewat penerapan hukum syariah.

Tentu saja, aspirasi ini tidak tunggal. Ada yang menginginkan penerapan syariah secara penuh, ada pula yang memandang syariah sebagai nilai moral yang bisa hidup berdampingan dengan hukum nasional. Perdebatan ini semakin hidup dalam masyarakat dan politik Indonesia. Di tengah dinamika itu, muncul pertanyaan: bagaimana negara dan agama berdialog secara sehat?

Salah satu ruang dialog itu terlihat dalam lembaga Pengadilan Agama. Sebagai bagian dari sistem peradilan negara, namun khusus menangani perkara umat Islam, Pengadilan Agama menjadi tempat menarik untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dan hukum negara saling berinteraksi.

Pengadilan Agama secara konsisten menunjukkan dukungan terhadap nasionalisme negara yang berlandaskan Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya, Pengadilan Agama tidak hanya merujuk pada sumber-sumber hukum Islam tradisional seperti Al-Qur’an, Hadis Nabi, dan fikih klasik, tetapi juga mengadaptasi aturan-aturan hukum negara. Adaptasi ini dilakukan meskipun dalam beberapa kasus dianggap bertentangan dengan interpretasi kaum tradisional dari sumber-sumber tersebut.

Pengadilan Agama di Indonesia yang menangani perkara umat Muslim, di satu sisi telah menjadi agen untuk agenda yang lebih membebaskan, yang mencerminkan aspirasi gerakan reformasi yang telah mendominasi kebijakan negara pada era pasca-Soeharto. Akan tetapi, di sisi lain posisi pengadilan agama juga telah banyak mengabaikan aspirasi organisasi Islam konservatif, yang makin tumbuh menonjol pada masa yang bersamaan.

Pendukung Islamisasi yang konservatif seringkali mendapat kritik di Indonesia karena sikapnya yang terang-terangan menunjukkan permusuhan pada perempuan. Misalnya, dalam pengaturan cara berpakaian perempuan, atau dalam membatasi ruang gerak perempuan di masyarakat. Posiai demikian dilihat oleh Pengadilan Agama dengan sebaliknya.

Pengadilan Agama di Indonesia justru dikenal sebagai salah satu sistem hukum keluarga Islam yang paling responsif terhadap hak-hak perempuan di dunia Muslim. Pengadilan Agama telah memimpin upaya-upaya peradilan untuk memperbaiki kedudukan hukum dan kapasitas perempuan untuk menjalankan hak-hak mereka dalam hal hukum keluarga, khususnya hak untuk bercerai dengan cepat dan murah.

Hal ini bisa dilihat pada proses cerai yang cepat dan murah, fleksibilitas dalam perjanjian pernikahan, serta budaya kelembagaan yang simpati terhadap perempuan menjadi cerminan bahwa nilai-nilai Islam dan nilai keadilan sosial bisa berjalan bersama.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Daniel Lev, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama selama puluhan tahun memang memiliki budaya lembaga yang bersimpati pada perempuan yang berperkara. Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan:

“Aturan hukum keluarga Islam di Indonesia telah lama dianggap sebagai salah satu aturan yang paling liberal di dunia muslim. Perjanjian pernikahan diuraikan dengan jelas dan fleksibel, sebagian karena adanya tekanan dan masukan dari organisasiorganisasi perempuan dalam beberapa puluh tahun terakhir.Selain itu, kantor urusan agama dan pengadilan diam-diam telah bersimpati pada perempuan yang mengalami pernikahan yang buruk.”

Dalam pengamatannya, Daniel menemukan kenyataan bahwa pengadilan agama di banyak kasus justru lebih berpihak kepada perempuan pada kasus-kasus perceraiannya.

“Dalam penelitian saya tentang peradilan Islam, yang pada awalnya sempat didasari oleh beberapa miskonsepsi yang umum terjadi, perlahan-lahan saya menyadari bahwa pengadilan umumnya lebih condong pada perempuan yang merupakan klien utama mereka. Mereka jarang menolak permohonan cerai yang diajukan oleh perempuan,” tambahnya.

Para hakim Pengadilan Agama seperti dinyatakan dalam buku “Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin,” menyatakan bahwa religiusitas Islam mereka seringkali diungkapkan tanpa banyak merujuk pada fikih dan doktrin. Namun, lebih pada keinginan untuk mencapai apa yang mereka lihat sebagai keadilan gender dan transformasi sosial. Posisi ini, apapun manfaatnya, pada kenyataannya bersilangan dari nilai-nilai agama yang diekspresikan oleh para pendukung Islami konservatif di Indonesia.

Dari uraian yang disampaikan di atas jelaslah bahwa dalam hal Pengadilan Agama, agama dan negara tidak dalam posisi yang bertentangan. Justru, keduanya keduanya berdialog secara terbuka dan jujur sehingga nilai-nilai luhur dari keduanya akhirnya saling menguatkan satu sama lain.

— Disarikan dari buku Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin (Cate Sumner dan Tim Lindsey. “Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru.” Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute: ISIF (2010)).

Link download buku –> Buku_Reformasi_Peradilan

Dari Cirebon, KUPI Kobarkan Semangat Kebangkitan Ulama Perempuan

ISIF CirebonJaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) secara resmi mendeklarasikan Bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang digelar di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, pada Minggu pagi 18 Mei 2025.

Deklarasi ini bertujuan menjadi gerakan kultural tahunan yang akan dihidupkan oleh komunitas-komunitas di seluruh Indonesia setiap bulan Mei. Pemilihan bulan ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjadi pengingat atas peristiwa kelam Mei 1998, ketika perempuan, warga Tionghoa, dan masyarakat miskin kota menjadi korban kekerasan politik.

“Dengan menjadikan bulan ini sebagai ruang kebangkitan ulama perempuan, KUPI ingin menghadirkan ingatan kritis dan spiritual yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan sering dilupakan sejarah,” terang panitia dalam pernyataan resminya.

KUPI mengajak seluruh komunitas, lembaga, dan individu untuk menghidupkan peringatan ini melalui berbagai kegiatan seperti doa bersama, tawassul, puisi, diskusi, pengajian, menulis kisah, hingga aksi sosial. Kegiatan ini juga menjadi momen untuk mendokumentasikan serta menarasikan kiprah para ulama perempuan—nyai, ustadzah, guru ngaji, dan pelayan umat—yang selama ini bekerja dalam kesenyapan namun menopang kehidupan umat dan bangsa.

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Dzikir dan Pikir Paser Bumi, Rieke Diah Pitaloka, mengajak masyarakat meneladani kiprah dan semangat ulama perempuan terdahulu.

“Nyai Syarifah Mudaim telah ajarkan kepada kami keturunannya jiwa cahaya Islam yang pantang menyerah, yang akan menuntun kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan di dalam perjuangan,” ujarnya.

Sementara itu, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, menekankan bahwa kebangkitan nasional tidak hanya menyangkut isu kebangsaan, tetapi juga isu-isu kemanusiaan.

“Kebangkitan nasional Indonesia tidak semata bicara soal nasionalisme, tidak hanya semata bicara soal isu kebangsaan. Saya kira disini juga bicara soal isu kemanusiaan termasuk isu keadilan sosial, keadilan gender, isu non diskriminasi,” katanya.

Menyambung pernyataan Masruchah, dalam pidato keulamaannya, Alissa Wahid menyoroti andil perempuan untuk mengambil peran dalam berbagai ruang, meskipun diliputi rasa takut. Ia mengutip pesan ayahnya almarhum KH. Abdurrahman Wahid,

“Meskipun kita takut, kita harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ martabat dan harga kita ditetapkan dan ulama perempuan harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tersebut,” jelasnya.

Deklarasi ini diharapkan dapat memperkuat memori kolektif umat tentang peran penting perempuan dalam sejarah Islam Indonesia, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkeadaban.** (Gun)

Lima Fondasi Toleransi yang Bisa Jadi Panduan Hidup Rukun di Tengah Perbedaan

ISIF Cirebon – Toleransi adalah salah satu nilai mulia dalam Islam yang sering kali kita dengar, tapi belum tentu kita pahami secara utuh. Dalam istilah Arab, toleransi disebut al-tasamuh atau al-samahah, yang bermakna lapang dada, memberi ruang kepada orang lain, dan tidak memaksakan kehendak. Singkatnya, toleransi berarti tepo seliro dan tenggang rasa dalam kehidupan sosial.

Dalam perkembangannya kemudian penyebutan toleransi “tasamuh” mengandung makna suatu pandangan sikap mental dan cara bertindak memudahkan, lapang dada, lega hati dan berkenan memberi ruang kepada orang lain tidak mempersulit, atau memberatkan atau memaksakan kehendak kepada orang lain.

Dalam praktiknya, toleransi bukan hanya soal “mengizinkan” orang lain berbeda, tapi juga soal menyambut perbedaan itu dengan hati terbuka. Islam mendorong pemeluknya untuk menerima realitas keberagaman, bukan menolak atau menafikannya.

Namun, penting untuk dipahami bahwa menghargai perbedaan agama tidak berarti menyamakan semua agama atau mencampuradukkan keyakinan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan prinsip kebebasan beragama: “Lakum dinukum wa liya din” — “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Artinya, setiap orang punya hak dan kebebasan untuk meyakini dan menjalankan agamanya masing-masing.

Di tengah masyarakat yang semakin beragam dan kompleks, kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai menjadi kebutuhan mendasar. Islam, sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah lama menanamkan nilai-nilai toleransi sebagai bagian penting dari ajarannya.

Salah satu ulama besar, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana ditulis oleh Buya Husein dalam buku ‘Toleransi dalam Islam,’ menyebutkan bahwa ada lima fondasi utama toleransi dalam Islam.

  1. Persaudaraan atas dasar kemanusiaan (al-ikhwan al-insani).

Islam memandang seluruh manusia sebagai saudara, tanpa memandang suku, bangsa, atau agama. Islam telah mengajarkan kita bahwa semua manusia berasal dari satu jiwa dan harus saling menghormati sebagaimana tercantum dalam  Al-Qur’an.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ۝١

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. An-Nisa [4:1])

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Maka, tak ada alasan untuk merasa lebih unggul dari orang lain hanya karena perbedaan identitas.

  1. Pengakuan dan penghormatan terhadap yang lain (al i’tiraf bi al-akhar wa ihtiramuh)

Islam mengajarkan kita untuk mengakui dan menghormati eksistensi orang lain. Artinya, kita tidak boleh merendahkan keyakinan atau pilihan hidup orang lain, meskipun berbeda dengan kita.

Pengakuan atas eksistensi orang lain dengan keyakinannya sesungguhnya adalah sikap mengakui fakta dan realitas akan eksistensi agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia yang berbeda-beda dan harus dihormati. Pengakuan atas pluralisme dan toleransi antar umat beragama hanya berarti memberikan penghargaan kepada pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.

  1. Kesetaraan manusia (al-musawah baina an-nas jami’an)

Semua manusia dipandang setara di hadapan Allah. Tidak ada keistimewaan berdasarkan warna kulit, status sosial, atau keyakinan. Prinsip ini menekankan bahwa semua manusia memiliki nilai yang sama di hadapan Allah, terlepas dari perbedaan ras, sosial, atau agama mereka. Yang membedakan derajat seseorang di sisi Allah adalah tingkat ketakwaannya atau ketaatannya kepada Allah. 

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13, Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat [49:13])

  1. Keadilan sosial dan hukum (al-’adI fi at-ta’amul)

Toleransi juga berarti berlaku adil terhadap siapa pun, termasuk kepada mereka yang berbeda agama. Keadilan tidak boleh berat sebelah hanya karena perbedaan identitas. Toleransi tidak hanya berarti menerima keberagaman, tetapi juga berlaku adil terhadap semua orang, termasuk mereka yang berbeda agama. Keadilan harus diterapkan secara objektif, tidak memihak, dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan identitas seperti agama.

  1. Kebebasan yang diatur oleh undang-undang (aI-hurriyyah al-munazzamah)

Islam menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Namun kebebasan itu juga harus dijaga agar tidak menimbulkan konflik dan tetap menghormati hak orang lain. Dalam konteks Indonesia hal ini sudah terjamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. 

Toleransi dalam Islam bukan sekadar wacana, melainkan nilai yang hidup dalam setiap ajarannya. Saat dunia menghadapi banyak konflik atas nama perbedaan, Islam hadir membawa pesan damai yang relevan sepanjang zaman. Mari saling menghargai, berdampingan dengan damai, dan menebar kasih sayang sesama umat manusia.

 

Situsjitu

Situsjitu

SitusJitu

Situsjitu

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

https://sjsu.seiyunu.edu.ye/

https://ojs.alpa.uy/

https://www.gjeis.com/

hu.edu.ye

odma.od.ua

https://journals.i3l.ac.id/

https://lrc.i3l.ac.id/

https://jpsyh.steizar.ac.id/

https://revistas.peruvianscience.org

https://sdis.inrs.ca/

https://www.efg.inrs.ca/

https://omec.inrs.ca/

https://lsp.inrs.ca/

Slot777

Slot88

Toto 4D

Toto 4D

Slot777

Toto 4D

Toto 4D

Toto 4D