(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

MISI ISIF ke-VIII Bahas Inklusifitas Agama terhadap Penyandang Disabilitas

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar seri Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) yang ke-VIII secara daring pada Selasa malam, 13 Mei 2025. Pertemuan kali ini mengangkat tema “Tuhan (Agama) dan Pemanusiaan Penyandang Disabilitas: Masalah, Tantangan, Hambatan, dan Ikhtiar untuk Mewujudkannya.”

Kegiatan ini berangkat dari keresahan terhadap isu disabilitas yang kerap luput dari perbincangan keagamaan, padahal isu ini menyangkut aspek kemanusiaan yang fundamental. Forum ini menjadi ruang penting untuk menggali apakah ajaran agama selama ini benar-benar membuka ruang bagi pengalaman hidup penyandang disabilitas, serta untuk merumuskan tantangan dan upaya menuju keadilan dan kesetaraan yang inklusif.

Acara ini menghadirkan Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., M.A.I.S., Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai narasumber utama. Hadir pula Meta Puspitasari, M.A., dari Pusat Layanan Difabel UIN Yogyakarta sebagai penanggap, serta dimoderatori oleh Direktur LP2M ISIF Cirebon, Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I.

Dalam forum ini hadir pula Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Marzuki Wahid, yang turut memberikan sambutan kegiatan. Dalam sambutannya,  ia menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian inisiatif yang berkelanjutan dalam mengangkat isu disabilitas dalam perspektif keagamaan.

“Ini adalah pertemuan kedua. Yang pertama dulu kami adakan secara luring, sebelum Ramadhan kemarin, bersama teman-teman penyandang disabilitas. Lalu sekarang yang kedua secara daring. Mudah-mudahan, ke depan kita bisa menyelenggarakan forum semacam ini secara rutin, baik daring maupun luring,” kata Marzuki Wahid.

Ia pun menyadari bahwa wacana ini bukan hal yang sepenuhnya baru, namun tetap penting untuk terus dihidupkan dan dikembangkan oleh sebanyak mungkin pihak, termasuk oleh ISIF Cirebon.

“Saya tahu ini bukan hal yang benar-benar baru, karena sudah banyak dilakukan oleh teman-teman di tempat lain. Tapi kami ingin juga mengambil bagian, ikut belajar, ikut mendalami kajian ini,” tambahnya.

Di akhir sambutannya, Marzuki berharap agar forum ini dapat menjadi ruang pembelajaran bersama yang berdampak nyata bagi upaya membangun keberagamaan yang inklusif dan mencerahkan.

“Semoga diskusi malam ini bisa memberikan insight dan wawasan bagi kita semua, dan membuat agama benar-benar hadir untuk mereka (penyandang disabilitas), hadir untuk semua orang,” tutupnya.

Menggagas Fikih Inklusif

Diskusi berlanjut dengan pemaparan dua narasumber utama yang menyoroti pentingnya menggagas fiqh yang inklusif—yakni fiqh yang tidak hanya menekankan aspek hukum secara normatif, tetapi juga peka terhadap realitas hidup penyandang disabilitas.

Mengawali pemaparannya, Arif Maftuhin menyampaikan hasil temuannya dari wawancara dengan penyandang disabilitas tentang pengalaman mereka dalam menjalankan praktik keagamaan.

“Temuan saya dari wawancara dengan teman-teman difabel adalah, banyak dari mereka merasa bahwa pendekatan agama yang hanya memberi rukhshah justru membuat agama terasa tidak inklusif. Seperti mereka hanya diberi sisa, bukan bagian yang utuh. Itu menyakitkan secara psikologis,” kata Arif.

Lebih jauh, ia mengkritik bahwa pendekatan rukhshah justru menjadikan negara atau lembaga keagamaan seperti masjid bersikap pasif. Padahal, menurutnya, pendekatan berbasis hak justru menuntut takmir aktif memenuhi hak penyandang disabilitas.

“Kalau Tuli tidak wajib mendengarkan khotbah, maka takmir merasa tidak punya kewajiban menyediakan akses seperti penerjemah bahasa isyarat. Padahal kalau kita bicara hak, maka kewajiban takmir harus aktif menyediakan. Dari pasif menjadi aktif. Hanya dengan begitu kita bisa melakukan perubahan sosial,” jelasnya.

Sebagai alternatif, ia menegaskan pentingnya membangun fikih yang lebih inklusif dan memuliakan, yang membuka ruang keadilan serta kemanusiaan bagi semua golongan, termasuk penyandang disabilitas.

“Saya ingin membangun fikih yang tidak hanya memaklumi, tapi juga memuliakan. Jadi, fikih yang tidak diskriminatif terhadap kelompok rentan. Fikih yang membuka ruang kemanusiaan dan keadilan,” pungkasnya.

Pelibatan Aktif Penyandang Disabilitas

Meta Puspitasari menanggapi pemaparan Prof. Arif dengan menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam ruang keagamaan adalah tanggung jawab bersama yang harus diatasi secara serius. Ia menegaskan bahwa persoalan yang diangkat oleh Prof. Arif adalah tugas bersama yang harus segera ditindaklanjuti.

“Sebenarnya apa yang disampaikan Pak Arif tadi menjadi PR kita bersama. Apa yang disampaikan beliau menunjukkan bahwa Islam itu mudah, Islam itu memberikan kemudahan bagi semua pemeluknya—baik difabel maupun non-difabel.”

Selain itu, Meta menyoroti pelibatan aktif penyandang disabilitas yang masih minim keterlibatnyannya dalam pengambilan keputusan di ranah keagamaan dan sosial.

“Selain persoalan teknis fikih, saya ingin menyoroti juga soal pelibatan difabel dalam ruang-ruang pengambilan keputusan keagamaan dan sosial. Selama ini, apakah kita sudah benar-benar melibatkan teman-teman difabel sebagai subjek aktif, atau hanya objek belas kasih?”

Ia juga mengingatkan bahwa aksesibilitas tidak hanya terbatas pada fisik, melainkan juga akses terhadap pengetahuan agama yang menyeluruh. Lembaga pendidikan dan komunitas keagamaan, menurutnya, perlu menyediakan program khusus agar penyandang disabilitas bisa mendapatkan akses tersebut. Melalui pertemuan ini, ia berharap agar diskusi seperti ini menjadi titik awal perubahan yang nyata dan berkelanjutan.

“Saya berharap diskusi malam ini bisa menjadi langkah awal untuk mendorong perubahan nyata. Fiqih difabel bukan hanya soal norma hukum, tapi juga tentang bagaimana kita menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan penuh rasa kemanusiaan,” tutupnya.**  (Gun)

KUPI Gelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia di Cirebon, Berikut Rangkaian Kegiatannya

Di tengah krisis sosial, moral, dan kemanusiaan yang kian mencengkeram, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan menggelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia, pada Minggu 18 Mei 2025, di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon.

Dengan mengusung tema “Menghidupkan Warisan Ulama Perempuan untuk Keadilan Umat, Bangsa, dan Semesta” KUPI ingin mendorong penguatan identitas ulama perempuan sebagai aktor penting dalam menjawab persoalan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan masa kini.

Kegiatan ini juga menjadi tonggak gerakan spiritual dan sosial untuk meneguhkan kembali peran ulama perempuan dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kedamaian semesta. Deklarasi in juga secara khusus merupakan ajakan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Bulan Mei sebagai gerakan kultural tahunan: Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia.

Deklarasi yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB ini dihadiri oleh jaringan ulama perempuan dari berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Cirebon Raya, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.

Sejumlah tokoh nasional turut hadir dan menyampaikan pandangan keulamaan. Di antaranya Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid (Dewan Pertimbangan KUPI) yang menyampaikan pidato utama, KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah memimpin doa bersama, serta puisi spiritualitas yang dibacakan oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Ibu Hj. Rieke Diah Pitaloka.

Rangkaian Kegiatan

Rangkaian kegiatan diawali dengan khataman Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pembacaan sholawat dan tawassul yang dipimpin para ulama perempuan dari berbagai daerah.

Lalu, penguatan suasana spiritual semakin khusyuk dengan doa bersama yang dipanjatkan, dipimpin oleh KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah.

Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian pidato keulamaan oleh  Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid yang menjadi pokok refleksi dalam momentum deklarasi ini.

Pidato ini diikuti dengan pembacaan pernyataan sikap Jaringan KUPI sebagai bentuk komitmen bersama dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan kebangsaan.

Sebagai pelengkap, nuansa spiritual dan sastra hadir melalui pembacaan puisi oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Hj. Rieke Diah Pitaloka yang mengangkat tema spiritualitas perempuan.

Selain itu, semangat kerja sosial diwujudkan dalam penandatanganan kerja sama penguatan koperasi pesantren antara Hj. Masruchah selaku Sekretaris Majlis Musyawarah KUPI dan perwakilan dari Kementerian Koperasi serta jaringan pesantren.

Sebagai penutup, seluruh peserta melakukan napak tilas dan ziarah ke maqbarah Syekh Dzatul Kahfi, Syarifah Mudaim, dan Sunan Gunung Jati, sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak keulamaan yang menjadi inspirasi gerakan KUPI.

Kegiatan ini bersifat terbatas untuk tamu undangan, namun akan disiarkan secara langsung melalui kanal resmi KUPI agar dapat diikuti masyarakat luas. Selain itu, lima lembaga penyangga KUPI—Fahmina, Rahima, Alimat, Gusdurian, dan Aman Indonesia—akan menyelenggarakan nonton bareng dan aktivitas lokal di komunitas masing-masing.** (Gun)

 

Revisi UU TNI Disahkan: Perempuan semakin Rentan Menjadi Korban Kekerasan

Pemerintah baru saja mengesahkan revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 kemarin. Dengan sahnya revisi UU TNI, tentu saja membuat kondisi Indonesia yang tadinya gelap menjadi semakin gelap.

Bagaimana tidak semakin gelap? Revisi ini jelas mengingatkan kita pada masa Orde Baru, ketika militer tidak hanya menjaga keamanan negara tetapi juga menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk kepada kehidupan para seluruh perempuan.

Sebagai perempuan yang hidup di Indonesia, saya marah, muak dan geram. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa ketika militer terlalu mendominasi, perempuan sering kali menjadi korban pertama dari sistem yang represif. Era Orde Baru adalah bukti nyata. Saat itu, perempuan bukan hanya kehilangan suara mereka, tetapi juga menjadi sasaran kekerasan dan penindasan yang sistematis.

Mari kita ingat sejenak apa yang terjadi di masa lalu. Di bawah orde baru, militer memiliki kekuasaan besar dalam urusan sipil. Dengan dalih menjaga stabilitas, mereka sering kali menggunakan kekerasan untuk membungkam suara-suara kritis. Sehingga membuat perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan.

Kasus Gerwani, misalnya, adalah contoh tragis bagaimana perempuan difitnah, disiksa, dan dibunuh tanpa proses hukum yang jelas. Mereka dijadikan simbol “ancaman” hanya karena berani bersuara.

Kini, dengan revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam kehidupan sipil termasuk membantu pemerintah daerah mengatasi masalah sosial, saya tidak bisa menahan rasa takut bahwa sejarah kelam itu bisa terulang.

Ketika militer diberi ruang lebih besar untuk beroperasi di luar tugas utamanya menjaga pertahanan negara, risiko penyalahgunaan kekuasaan semakin nyata.

3 Point Penting

Ada beberapa point dalam revisi UU TNI yang membuat saya marah, geram dan muak terhadap pemerintah:

Pertama, keterlibatan militer dalam urusan sipil. UU TNI memungkinkan prajurit aktif menduduki lebih banyak posisi di kementerian dan lembaga sipil.

Saya bertanya-tanya: apakah ini akan membuka pintu bagi kontrol militer atas kehidupan kita? Dalam sejarahnya, ketika militer terlalu dekat dengan urusan sipil, perempuan sering kali kehilangan ruang untuk bersuara dan berpartisipasi secara bebas.

Kedua, peradilan militer. Dalam rentang tahun 2020-2024, Komnas Perempuan mencatat sedikitnya terdapat 190 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan personal maupun di wilayah publik yang dilakukan oleh prajurit.

Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat 10 kasus kekerasan di ranah negara pada 2020-2024 terkait kondisi konflik sumber daya alam, agraria dan tata ruang yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan dengan terlapor adalah prajurit TNI. Perempuan adat menjadi pihak yang menghadapi kerentanan khusus dan dampak yang khas dari kekerasan yang terjadi dalam konteks ini.

Salah satu masalah besarnya adalah bagaimana kasus-kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI sering kali diselesaikan melalui peradilan militer. Sistem ini cenderung tertutup dan tidak berpihak pada korban.

Komnas Perempuan mencatat bahwa banyak perempuan korban kekerasan seksual oleh prajurit TNI kesulitan mendapatkan keadilan karena proses hukum yang tidak transparan.

Trauma Kolektif

Ketiga, trauma kolektif. Bagi banyak perempuan di Indonesia, bayang-bayang kekerasan di masa lalu belum sepenuhnya hilang. Pengesahan UU ini seperti membuka luka lama trauma kolektif dari era ketika hak-hak perempuan tidak dihormati dan tubuh mereka sering kali menjadi objek kekerasan.

Sebagai seorang perempuan Indonesia, saya merasa bahwa pengesahan UU TNI ini adalah langkah mundur bagi demokrasi kita. Saya takut, ruang aman bagi perempuan untuk berbicara dan berpartisipasi akan semakin sempit jika militer kembali mendominasi kehidupan sipil. Saya khawatir, kontrol terhadap seksualitas dan tubuh perempuan akan semakin kuat di bawah sistem yang cenderung otoriter.

Namun, saya juga percaya bahwa suara kita masih bisa didengar. Kita harus terus berbicara tentang ketidakadilan ini, tentang bagaimana kebijakan seperti revisi UU TNI dapat merugikan kelompok rentan dan perempuan. Kita harus mengingatkan pemerintah bahwa demokrasi sejati adalah tentang melindungi semua warga negara, termasuk perempuan.

Pengesahan revisi UU TNI adalah pengingat bahwa perjuangan untuk hak-hak perempuan belum selesai. Kita harus tetap waspada agar bayang-bayang Orde Baru tidak kembali menghantui kita dan agar generasi mendatang bisa hidup dalam masyarakat yang benar-benar demokratis dan setara.

Perempuan Pengupas Rajungan di Desa Waruduwur, Refleksi dari Riset Ekologi

ISIF Cirebon – Pada tanggal 8 – 20 Maret 2025, saya bersama 30 teman-teman terpilih mengikuti kegiatan Riset Ekologi yang diselenggarakan oleh SALAM Institute di lima desa, yaitu Desa Cikesal, Cisantana, Ambulu, Kalibuntu, dan Waruduwur.

Kegiatan Riset Ekologi menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga. Akhirnya saya bisa langsung belajar bersama masyarakat. Bahkan selama kegiatan riset, saya memperoleh banyak pengetahuan—baik secara teoretis maupun praktis—melalui interaksi langsung dengan warga desa.

Tak hanya soal pengetahuan ekologi, saya juga belajar mengenai tata cara komunikasi dan cara bergaul dengan masyarakat. Bagi saya, pembelajaran ini sangat penting dalam membangun hubungan yang erat antara peneliti dan masyarakat. Sehingga hasil riset dapat lebih diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Peran Perempuan dalam Ekonomi Lokal

Dari lima desa tersebut, saya bersama lima teman ditempatkan di Desa Waruduwur, Kabupaten Cirebon. Selama satu minggu di sana, saya menyaksikan banyak pembelajaran penting yang tidak saya temukan di lingkungan kampung atau di kampus saya.

Salah satu hal yang sangat mencuri perhatian adalah peran aktif perempuan dalam berbagai aktivitas ekonomi. Terutama dalam kegiatan pengupasan rajungan.

Di Desa Waruduwur, terdapat kelompok pengupas rajungan yang terdiri dari Ibu Munir, Ibu Kusumin, Ibu Ina, dan Ibu Mita sebagai pemilik kelompok pengupasan rajungan.

Dalam sehari ketiga ibu ini bisa mengupas rajungan hingga 10-30 kg rajungan. Setiap ibu-ibu mendapat jatah untuk mengupas sebanyak 1-3 kg. Sementara upah yang mereka dapatkan sebesar Rp. 100.000.

Upah tersebut menurut Ibu Munir tidak hanya menjadi sumber pendapatan tambahan, tetapi juga menjadi strategi dalam pemberdayaan perempuan.

Melalui pengupasan rajungan, para perempuan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan, memanfaatkan waktu secara produktif, dan turut berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan keluarga.

Bahkan, Ibu Munir mengaku pengupasan rajungan menjadi salah satu strategi ekonomi yang krusial di Desa Waruduwur. Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang masih berada di bawah rata-rata.

Hal ini, karena mayoritas perempuan di desa ini adalah dengan bekerja sebagai pengupasan rajungan, sementara laki-laki umumnya bekerja sebagai nelayan.

Walaupun hasil usaha dari pengupasan rajungan dan nelayan kadang-kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pekerjaan ini memberikan ruang bagi perempuan untuk bertahan agar dapur tetap ngebul.

Dalam satu kali pekerjaan, terdapat lima jenis hasil pengupasan yang dikenal dengan sebutan Toto, Sepesial, Cangkang, Lemi, dan Elam. Hasil dari masing-masing kategori ini dijual ke tengkulak yang kemudian mendistribusikan hasilnya ke pasar.

Dengan demikian, setiap aktivitas pengupasan tidak hanya menghasilkan uang. Tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi rumah tangga dan memperkuat posisi perempuan sebagai tulang punggung keluarga.

Cerita Perempuan Pengupas Rajungan

Pada tanggal 11 Maret 2025, Ibu Munir, Ibu Kusumin, Ibu Ina, dan Ibu Mita bercerita tentang pentingnya peran perempuan dalam bekerja sebagai pengupasan rajungan.

Mereka menjelaskan bahwa dengan bergabung dalam kelompok tersebut tidak hanya memberi mereka keuntungan finansial. Tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian.

Hasil pengupasan yang diperoleh dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun disimpan untuk kehidupan masa depan.

Kisah para ibu di Desa Waruduwur ini menunjukkan betapa pentingnya pemberdayaan perempuan dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan sosial di tingkat lokal.

Dengan terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, perempuan tidak hanya mampu menyumbang pada pendapatan keluarga. Tetapi juga mendapatkan pengalaman berharga yang meningkatkan kualitas hidup mereka.

Oleh karena itu, dengan belajar dari Riset Ekologi di Desa Waruduwur mengajarkan bahwa pemberdayaan perempuan dapat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ekonomi di desa-desa.

Dengan bekerja sebagai pengupasan rajungan, perempuan diberikan kesempatan untuk belajar, berkreasi, dan berkontribusi secara signifikan dalam perekonomian keluarga dan masyarakat.

Saya berharap semoga lebih banyak perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Serta membuka jalan bagi kemajuan sosial dan ekonomi di tingkat komunitas.

Dan saya yakin, banyak perempuan mampu merubah tantangan menjadi peluang. Bahkan dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi keluarga dan komunitas mereka.

Peran Pesantren dalam Menanamkan Nilai-Nilai Toleransi

Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai tasamuh adalah suatu sikap menghargai pendirian serta pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Toleransi juga salah satu nilai pendidikan karakter di pesantren. Al-ikhtilafu rahmatun adalah adagium (ungkapan) yang sangat familiar di kalangan santri. Di pesantren para santri secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan menjadi hal yang indah dan patut dirayakan.

Biasanya di pesantren banyak hal baru yang ditemui para santri yang baru mukim di pesantren, seperti perbedaan bahasa dan daerah para santri. Latar belakang budaya dan wilayah yang bervariasi tentu saja membuat setiap santri mempunyai pola perilaku yang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang positif untuk menumbuhkan kembang seseorang di dalam lingkungan yang heterogen.

Banyak keuntungan yang dapat diambil bagi sesorang yang tumbuh di lingkungan beragam, seperti di pesantren. Misalnya, mereka dapat belajar dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Bagi sebagian orang hal ini sulit dilakukan karena adanya rasa ketidakamanan, keraguan, keengganan atau ketakutan ketika berinteraksi dengan orang asing. Dalam istilah ilmu jiwa gejala seperti ini biasa disebut dengan xenophobia.

Toleransi di Pesantren 

Pesantren sebagai lembaga pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh santri untuk menggali potensi dalam diri santri. Tidak ada diskriminasi yang diberlakukan di pesantren. Seperti dalam sebuah kisah ini. Suatu ketika ada santri bule yang mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bernama Katrin Bandel, perjalanannya di pesantren sempat dijadikan film dokumenter berjudul “Al Ghoriib ” dan diputar dalam perhelatan Muktamar NU di Jombang tahun 2015. walaupun tampilan fisik dia berbeda dan umurnya terpaut jauh dibandingkan rekan santriwati lainnya, ia tetap mempunyai dalam menjalankan kegiatan dan pelaksanaan santriwati pada umumnya.

Sikap pesantren yang terbuka tidak hanya dimiliki oleh para kiai dan santrinya. Melainkan juga masyarakat luas yang tinggal di lingkungan sekitar pesantren, bahkan tidak terbatas oleh sekat-sekat geografi. Banyak masyarakat yang jauh tinggal di luar pesantren menjadikan kiai atau tokoh di pesantren sebagai rujukan, nasehat atau petuah dalam menyelesaikan permasalahan sosial ataupun agama.

Sekadar contoh, di daerah Pohuwato Gorontalo ada sebuah pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyyah, terletak di Desa Banuroja. Desa tersebut didirikan oleh tiga komunitas agama yang berbeda, Islam, Kristen, dan Hindu. Pengasuh pesantren ini seringkali menjadi sumber rujukan bagi umat tiga agama untuk menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pesantren dan kiai menjadi sebuah institusi yang menjadi rahmat bagi sekelilingnya (rahmatan liman haulahu).

Wajah Islam Indonesia

Di tengah gemparnya Islamophobia yang melanda negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Belanda, Indonesia hadir menawarkan Islam yang ramah dan sangat lekat dengan budaya lokal. Maka, tidak heran jika Fazlur Rahman secara optimis menyatakan bahwa potensi Indonesia sebagai negara penyulut kebangkitan Islam. Hal ini dikarenakan secara teologis Indonesia tidak mempunyai pertentangan yang hebat seperti negeri-negeri muslimn lainnya.

Di Indonesia tidak ada konflik antara Sunni dan Syi’ah, dan tidak terdapat konflik antar mazhab yang runcing (Amien Rais, 1991: 174). Islam Indonesia dengan corak khasnya menjadi jembatan antara budaya dan ajaran agama bisa berjalan satu sama lain, tidak saling memusuhi atau bahkan menjalin hubungan satu sama lain.

Pergantian rezim juga mempengaruhi tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang intoleran. Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, di negeri ini gerakan-gerakan Islam transnasional tumbuh subur. Mereka mengusung misi menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah. Bagi komunitas pesantren yang memiliki gerbong terbesar di negeri ini, khilafah merupakan ancaman yang serius.

Khilafah dianggap memecah belah bangsa, mengancam pancasila, UUD 1945, kebhinnekaan, dan kesatuan bangsa. Walaupun kelompok pemuja khilafah ini sangat kecil, namun gerakan dan aktifitasnya termasuk kategori separatis yang bertentangan dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).

Corak Islam Indonesia

Husein Muhammad mengungkapkan bahwa corak awal penyebaran Islam masuk ke Indonesia adalah corak Islam sufistik. Masyarakat Hindu-Buddha Jawa mempunyai titik kesamaan dengan misi yang diemban oleh para juru dakwah di tanah Jawa (Walisongo). Kesamaannya pada istilah-istilah yang berlaku dalam budaya lama (Animisme, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (pandangan dunia) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati.

Wadah-wadah lama yang dipakai, diganti. Peninggalan kejeniusan masa lalu masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa, dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi do’anya bukan untuk para “dewa-dewa” namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta. Dan sesajinya -biasanya berupa makanan —dimakan bersama-sama setelah ritual doa. Dakwah seperti ini justru sangat ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk menerima Islam sebagai agama pada saat itu, tanpa mengeliminasi nilai-nilai dan adat istiadat lokal.

Secara singkat, metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan perpaduan antara kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih mempunyai ritualritual tertentu dalam ritus kepercayaanya dan memasukkan nilai-nilai agama Islam di dalamnya. Para Wali juga melakukan syiar keagamaan dengan medium lain, seperti kesenian. Para Wali Songo adalah seniman yang luar biasa, sehingga bisa meingislamkan tanah Jawa, salah satunya dengan jalan seni.

Dengan adanya akulturasi budaya tersebut Islam Indonesia secara umum telah mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Kegiatan kebudayaan yang dibungkus dengan nilai-nilai agama seperti: Syukuran empat bulan kehamilan, nyadran, sedekah laut, dan tradisi sedekah bumi. Inilah bentuk pelestarian Islam Indonesia yang sangat adaptif terhadap kearifan lokal. Islam sebagai agama dan pesantren sebagai lembaga keagamaan di Indonesia memiliki corak pemikiran keagamaan yang ramah dan santun yang telah lama diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Memilih cara damai dan toleran dalam hidup seringkali dianggap oleh kelompok fundamentalis sebagai bentuk dari melemahnya iman dan kendurnya semangat keislaman. Ini adalah anggapan yang keliru dan patut diluruskan. Di dalam Islam sendiri, ada banyak kisah Nabi Muhammad yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti dalam sebuah riwayat berikut,

Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad ra dan Sahal bin Hunaif ra. sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu termasuk penduduk setempat (yakni orang non muslim). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menemui iringan jenazah, lalu dia berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah saw. bersabda: bukankah ia juga manusia?” (Shahih Muslim No.1596).

Nilai-nilai yang menghargai perbedaan semacam ini patut dilestarikan oleh umat Islam dimanapun hingga saat ini. Agen perubahan bisa diinisiasi oleh siapa saja, karena tujuan dari seseorang beragama ada untuk melayani kemanusiaan.

 

Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Baca selengkapnya dalam:  Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017.

Situsjitu

Situsjitu

SitusJitu

Situsjitu

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

https://sjsu.seiyunu.edu.ye/

https://ojs.alpa.uy/

https://www.gjeis.com/

hu.edu.ye

odma.od.ua

https://journals.i3l.ac.id/

https://lrc.i3l.ac.id/

https://jpsyh.steizar.ac.id/

https://revistas.peruvianscience.org

https://sdis.inrs.ca/

https://www.efg.inrs.ca/

https://omec.inrs.ca/

https://lsp.inrs.ca/

Slot777

Slot88

Toto 4D

Toto 4D

Slot777

Toto 4D

Toto 4D

Toto 4D