(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Harmoni dalam Adab Bertetangga

Oleh: Ahmad Kamali Hairo

ISIF CIREBON – Adab bertetangga merupakan sebuah pemahaman tentang jalinan hubungan dengan tetangga berdasarkan harmonisasi akhlaqiyah (akhlak mulia). Adab bertetangga harus diaplikasikan bukan dalam bentuk teroritis, tetapi dalam bentuk praktik, yakni mengamalkan adab bertetangga secara humanis (kemanusiaan), sehingga akan menumbuhkan jalinan cinta kasih yang sejati antara sesama manusia, baik yang seagama maupun yang beda agama.

Pengamalan adab bertetangga secara humanis merupakan pemahaman dari ajaran Islam yang rahmatalil’alamin secara universal. Oleh karena itu, adab bertetangga merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus dibawakan secara humanisasi, hal ini untuk menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarakan radikalisme dan intoleran, melainkan Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.

Salah satu titik harmoni dari “Adab Bertetangga” ialah yang tersirat dalam sebuah syair berikut ini:

/1/Uluk salam kanggo salaman,

Uluk senyum kanggo tawadhu’an

/2/Ulur tangan kanggo dermawan,

Ngirim berkat kanggo duluran.

Harmoni yang dipancarkan dari “Adab Bertetangga” adalah sebuah gambaran perjalanan hidup manusia untuk selalu menebarkan benih-benih salam (kedamaian atau keselamatan) pada alam semesta.

Uluk salam adalah simbol ke-tasliman, ketundukan kita sebagai seorang ‘abid kepada Tuhan yang telah memberikan amanah hukum-hukum Islam (Islam, Iman, Ihsan) untuk diaplikasikan dengan penuh kemurnian hati sebagai bekal mendapatkan kebahagian di akhirat nanti.

Uluk senyum adalah simbol ke-tawadhu’an, kerendahan hati kita sebagai manusia yang penuh dengan lumpur kesombongan di saat kita berada di atas angin duniawi. Harmoni ini, akan mampu menyirnakan kesombongan yang bersemayam di dalam hati kita, di saat merasa memiliki dunia dan seisinya. Sungguh akan indah dan bening, jika tradisi uluk salam ini dilestarikan dalam hamparan sosial yang luas ini.

Ulur tangan adalah simbol ke-berpihakan, rasa perhatian kita terhadap sesama yang membutuhkan atas apa yang kita miliki. Harmoni ini, merupakan bagian dari esensi teologi pembebasan dalam rangka membebaskan diri kita dari pengaruh jahat sifat kikir, tamak, rakus, dan menentang arus kapitalisme yang menghegemoni dalam menguasai status sosial antara si miskin dan si kaya.

Dengan ini, tidak ada pertentangan strata sosial antar umat manusia, yang berujung pada eksploitasi hak-hak manusia dalam lingakaran teologi eksklusif.

Ngirim berkat adalah simbol ke-kerabatan, rasa jalinan kasih dengan mewujudkan persaudaran yang hakiki antar sesama. Harmoni ini dapat diaplikasikan melalui media saling berbagi atas apa yang kita miliki. Karena dengan ini, ketegangan budaya  bisa di atasi secara bil hal dan dapat menumbuhka rasa saling memiliki tanpa kepribadian superioritas. []

The Real Civil Society Movement is GUSDURian Network

Oleh : Dr. KH. Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Sebagai warga dengan multi-identitas, ada banyak agenda yang wajib diikuti. Ada agenda tahunan, agenda dua tahunan, agenda empat tahunan, dan ada juga agenda lima tahunan.

Kali ini, sebagai warga Gusdurian, saya mewajibkan diri untuk mengikuti agenda dua tahunan TUNAS GUSDURIAN 2022, yakni Temu Nasional Jaringan Gusdurian se-Indonesia tahun 2022.

Kegiatan yang diikuti oleh sekitar 1.500-an orang dari 155 komunitas Gusdurian mulai dari Sumatera hingga Papua dan sejumlah negara ini dilaksanakan selama 3 hari, Jum’at-Ahad, 14-16 Oktober 2022 di Surabaya.

TUNAS 2022 ini membuncah, karena TUNAS 2020 sebelumnya pada masa pandemi dilakukan secara daring. Para Gusdurian tidak hanya kangen secara fisik, tetapi juga pasti rindu mengomunikasikan dan mengonsolidasikan gagasan dan gerakannya dalam pertemuan nasional. Ini yang membuat kepesertaan TUNAS tahun ini sulit dibendung.

Hebatnya, ribuan Gusdurian yang sebagian besar generasi Z dan milenial ini datang dengan biaya sendiri. Ada yang naik bus, kereta api, kapal laut, pesawat, dan ada juga yang rombongan bawa mobil sendiri. Panitia hanya menyediakan tempat penginapan di asrama haji, makan dan minum secukupnya. Kesukarelawanan mereka sangat tampak di sini.

Meski ribuan orang dari berbagai agama dan kepercayaan ini berkumpul, acara berjalan sangat tertib dan rapih. Bahkan penghormatan, keakraban, gotong royong, dan kebersamaan sangat terasa. Tidak ada amarah, lempar kursi, dan kekisruhan sama sekali. Semuanya berjalan secara guyub, tapi dinamis dan tetap kritis.

Menariknya, meskipun kita tahu Gus Dur adalah tokoh muslim, acara ini dibuka dan diakhiri dengan doa lintas agama dan kepercayaan. Ini tidak lain, karena perjuangan Gus Dur untuk kemanusiaan, keadilan, dan kedamaian semesta, Lagi-lagi, kebersamaan agama-agama dan kepercayaan ditemukan dalam forum Gusdurian ini.

Banyak hal yang menjadi karakter keindonesiaan yang sementara ini hilang justru ditemukan di sini.

Selain itu, tentu saja konsolidasi gagasan dan gerakan, recharging energi perjuangan dan spiritualitas Gus Dur juga hadir di TUNAS ini.

Membincang Gus Dur adalah hal utama. Anehnya, gagasan, pemikiran, dan gerakan Gus Dur tidak pernah bosan diperbincangkan.

Setiap tahun, kita tahu sejumlah komunitas ini menyelenggarakan Haul Gus Dur. Pasti membincang Gus Dur. Kegiatan mingguan mereka juga di antaranya melakukan kajian pemikiran dan gerakan Gus Dur. Sekarang, dalam setiap dua tahun kumpul dalam kegiatan TUNAS juga membincang Gus Dur.

Walhasil, Gus Dur adalah sumber gagasan, pemikiran, dan gerakan yang tidak pernah lapuk dan lekang dikaji dan digali oleh para pengikut dan penerusnya.

Gus Dur memang dahsyat dan luar biasa. Belum ada satu tokoh di Indonesia, ntah di dunia, yang setiap tahun hari wafatnya diperingati (haul) oleh semua agama dan kepercayaan. Setiap dua tahun, ribuan pengikut dan pecintanya kumpul dalam satu tempat untuk berbagi dan konsolidasi. Nilai, perjuangan, dan keteladanan Gus Dur dijadikan spirit perjuangan oleh mereka untuk membela orang-orang yang tertindas dan terlemahkan di negeri ini dan belahan dunia.

Ala kulli hal, menurut saya, Jaringan Nasional Gusdurian ini adalah jaringan civil society yang paling solid sekarang ini. Mereka bergerak secara sukarela, tulus ikhlas, tidak ada ikatan formal, apalagi finansial yang mengikat. Mereka terhubung dengan ikon yang sama “Gusdurian” semata-sama karena menjadikan Gus Dur sebagai sumber nilai, perjuangan, dan keteladanan (NPK). Kaderisasi adalah rajutan kultural ideologis yang kuat dari jaringan ini.

Gerakan Gusdurian berpotensi menjadi gerakan civil society terbesar, tersolid, dan paling berpengaruh di masa yang akan datang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.

Penting untuk diketahui, yang membedakan TUNAS 2022 dengan sebelumnya adalah dikeluarkannya “Resolusi Gusdurian untuk Indonesia” yang dibacakan oleh Ning Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, pada acara penutupan, Ahad 16 Oktober 2022. []

Catatan PLP : Teori Vs Realita

Penulis : Fajar Pahrul Ulum, Mahasiswa PLP ISIF di LBH Bandung

ISIF CIREBON – Di penghujung hari melaksanakan Praktik Lapangan Profesi (PLP) di LBH Bandung, tepatnya hari Jumat, 23 September 2022, saya diajak oleh Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) LBH Bandung untuk ikut serta dan menyaksikan bagaimana tim APBH mendampingi korban Operasi Tangkap Tangan (OTT) aksi demonstrasi aliansi mahasiswa di gedung DPRD Kota Bandung pada Kamis, 22 September 2022.

Tercatat jumlah korban OTT sebanyak 16 orang, satu di antaranya adalah perempuan. Mereka merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada Bandung. Berdasarkan keterangan salah satu tim APBH LBH Bandung, yang menjadi korban OTT tersebut kebanyakan salah tangkap. Seperti tim medis, dan mahasiswa yang pulang dari kampus dan kebetulan waktu pulang melewati arah yang tengah terjadi chaos.

Pada saat tim APBH datang ke Polrestabes Bandung untuk mendampingi korban OTT, mereka dihalang-halangi untuk bertemu korban dan menyebabkan pendampingan korban sulit dilaksanakan karena belum ada surat kuasa dari korban.

Ditambah lagi, beberapa orang tua dan saudara dari korban yang datang ke Polrestabes pun tidak diperkenankan untuk bertemu. Padahal, jangankan yang masih status terperiksa, yang sudah naik status menjadi tersangka dan terdakwa pun dalam KUHAP diatur mengenai hak-hak tersangka yang salah satunya adalah tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa.

Ini statusnya masih terperiksa, dan keluarganya ingin bertemu untuk memastikan anak/saudaranya yang berstatus terperiksa tersebut baik-baik aja, tapi masih saja tidak diizinkan.

Tim APBH terus melakukan negosiasi dengan aparat supaya hak-hak korban OTT tersebut tidak dilanggar. Tapi aparat tersebut malah berdalih bahwa dirinya hanya patuh pada perintah atasan. Padahal setiap Aparat Penegak Hukum, yang dalam hal ini adalah polisi harus patuh terhadap KUHAP dalam memeriksa atau memproses suatu perkara, bukan pada atasan.

Setelah beberapa kali tim APBH melakukan negosiasi dengan aparat tersebut, akhirnya keluarga korban diperkenankan untuk menemui korban, dan pemberian kuasa hukum oleh korban kepada tim APBH dapat ditempuh sehingga tim APBH menjadi lebih leluasa menangani perkara tersebut.

Sekitar pukul 15.30, satu persatu korban OTT dikeluarkan dari tahanan. Terpancar dalam raut wajahnya perasaan sumringah dan berkata “akhirnya bisa menghirup lagi udara segar setelah hampir satu hari satu malam terkurung di lapas”.

Sebelum mereka dibebaskan, mereka dipaksa untuk membuat surat pernyataan tertulis sebagai syarat dibebaskan. Dalam surat pernyataan tersebut, terdapat beberapa poin yang dianggap janggal. Salah satunya ‘bersedia datang ke Polrestabes apabila ada pemanggilan untuk keperluan tertentu’.

Masalahnya, polisi hanya berhak memanggil seseorang hanya untuk dua kepentingan saja, pertama sebagai saksi, kedua sebagai terlapor. Selain dua kepentingan tersebut polisi tidak berhak memanggil seseorang. Dan apabila kita dipanggil polisi selain dua kepentingan tersebut, kita berhak menolak.

Karena khawatir polisi menyalah gunakan surat pernyataan yang dibuat secara terpaksa oleh korban tersebut, tim APBH memberikan penguatan kepada korban terkait hak pihak kepolisian dalam melakukan pemanggilan seseorang guna jaga-jaga apabila ada pemanggilan lagi oleh pihak kepolisian.

Setelah selesai melakukan penguatan pada korban-korban OTT, salah satu tim APBH menepuk pundak saya sambil berkata:

“Bagaimana perasaannya belajar hukum langsung di lapangan? Bikin streskan? Serumit apapun materi-materi hukum yang kamu pelajari di kelas, lebih rumit lagi belajar hukum langsung di lapangan. Karena memang aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam beracara itu kebanyakan oleh APH yang dalam hal ini polisi, tidak dipakai. Mereka lebih tunduk pada perintah atasannya ketimbang pada peraturan perundangan-undangan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).” []

Nilai-Nilai Pendidikan Cinta Tanah Air Dalam Kitab “Hey Kabeh Bocah”

(sumber foto: jabar.nu.or.id)

Oleh : Ahmad Kamali Hairo (Alumni Pesantren Winong dan Direktur LADADI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)

Rasa nasionalisme adalah sikap kebangsaan atau cinta tanah air suatu bangsa  yang tumbuh karena cinta terhadap bumi kelahirannya. Terusirnya kolonialisme-kolonialisme yang bercokol menjajah bangsa Indonesia, tidak lain karena tumbuhnya kekuatan rasa nasionalisme bangsa Indonesia untuk melepaskan diri mereka dari sistem perbudakan kemanusian itu.

Para pejuang Indonesia tanpa mengenal lelah, bahkan rela berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak lain karena begitu sangat mengakarnya rasa cinta tanah air dalam hati mereka, hingga terwujudlah simbol hubbul watol minal iman sebagai kekuatan untuk menumbuhkan nilai-nilai pendidikan toleransi pada generasi bangsa selanjutnya.

Suatu bangsa atau negara yang tidak memiliki sistem pendidikan nasionalisme akan mudah dihancurkan oleh musuh negara. Pendidikan toleransi bukan hanya sekedar simbol kecintaan terhadap tanah air, lebih dari itu yaitu sebagai simbol perlawanan terhadap sistem kolonialisme, kapitalisme, radikalisme, dan liberalisme yang dapat merusak keutuhan suatu bangsa.

Munculnya kelompok-kelompok ekstrimis di suatu negara merupakan sebuah bukti bahwa rasa nasionalisme pada benak bangsanya telah mulai menipis dan luntur. Disinilah peran penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan nasional untuk menerapkan pendidikan nasionalisme atau cinta tanah air kepada peserta didiknya melalui rumusan kurikulum yang berbasis pada Pancasila.

Dalam konteks ilmu akhlak, rasa nasionalisme atau cinta tanah air merupakan bagian dari moral, yaitu sikap setia kepada Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, sebagai salah satu wujud ketakwaan manusia selain berbakti kepada Allah, Rasul, dan orang tua. Hal itu sebagaimana yang dituliskan oleh KH. Mustahdi Hasbullah dalam kitabnya “Hey Kabeh Bocah”, yaitu:

Supaya dadi lanang sejati

Lamona wadon, wadon kang bakti

(Supaya menjadi lanang sejati,

Kalau perempuan menjadi perempuan sejati)

Bakti ing Allah lan utusane

Lan tanah air lan wong tuane

(Berbakti kepada Allag dan utusannya,

Dan tanah air serta orang tuannya)

Petikan syair di atas, menejelaskan bahwa cinta tanah air bukan hanya sekedar simbol-simbol kebangsaan, melainkan sebuah perilaku positif yang harus dimiliki oleh setiap bangsa. Dengan nasionalisme, suatu bangsa atau negara akan tetap utuh dan berjaya di atas penjajahan dunia. Perilaku nasionalisme bisa diaplikasin melalui beberapa kegiatan yang memiliki nilai edukatif bagi peningkatan  daya semangat nasionalisme apapun itu bentuknya. Nilai-nilai pendidikan cinta tanah air yang dirumuskan oleh KH. Mustahdi adalah konsep nasionalisme sebagai wujud dari moral bangsa sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Hubungan Toleransi, Cinta Tanah Air dan Moral

Toleransi adalah sikap saling menghargai dalam dinamika perbedaan kehidupa manusia. Sedangkan cinta tanah air adalah sikap kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks kebangsaan. Karena nilai-nilai toleransi terwujud dari nilai-nilai cinta tanah air, begitupun dengan sebaliknya.

Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada dinegaranya dengan melestarikan alam dan lingkungan. Belajar dengan tekun hingga kita juga dapat ikut mengabdi dan membangun negera kita agar tidak ketinggalan dari bangsa lain. Menjaga kelastarian lingkungan, tidak memilih-milih teman, berbakti kepada nusa dan bangsa, serta kepada kedua orang tua.

Toleransi merupakan sebuah sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas , misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.

Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.

Dari beberapa uraian di atas, menegaskan bahwa sikap toleran dan sikap cinta tanah air atau nasionalisme merupakan sebuah wawasan kebangsaan yang bertitik pada sebuah moral bangsa. Jadi hubungan keduanya, bukan hanya sekedar simbol-simbol kebangsaan saja, tetapi sudah menjadi moral atau jati diri bagi sebuah bangsa itu sendiri. Karena identitas sebuah bangsa akan di akui oleh dunia, ketika bangsa itu memiliki moral bangsa.[]

Pemikiran KH. Mustahdi Hasbullah Tentang Nilai-nilai Pendidikan Toleransi dan Cinta Tanah Air

(sumber foto: laduni.id)

Oleh : Ahmad Kamali Hairo (Alumni Pesantren Winong dan Direktur LADADI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)

Allah SWT telah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Semua itu pada dasarnya agar mereka lebih saling mengenal satu sama lainnya dan saling menghargai. Karena pada dasarnya manusia di hadapan Allah SWT adalah sama dan yang membedakan di antara mereka adalah kadar ketakwaannya saja.

Ketakwaan adalah simbol kepatuhan manusia terhadap Tuhan yang telah menciptakan dimensi pluralitas alam semesta ini. Maka tidak patut bagi manusia untuk menciptakan sikap intoleransi atas nama perbedaan. Bukan tugas manusia untuk merusak tatanan pluralitas semesta, melainkan mencari titik harmonisme dalam perbedaan.

Pendidikan toleransi menjadi unsur yang sangat urgen bagi terciptanya harmonisasi keseimbangan antara kutub-kutub perbedaan yang menjadi kotak-kotak dalam menghambat komunikasi antara individu atau sekelompok manusia.

Seringkali terjadinya chaos atau kekacauan di atas muka bumi ini, ialah karena manusia sangat mis-komunikasi dalam mendalami hakikat perbedaan, baik yang menyangkut perbedaan teologi, politik, budaya, etnis, bahasa, dan sosial, serta unsur-unsur lain yang melingkari kehidupan manusia.

Pendidikan toleransi sangat relevan jika di aplikasikan dalam dunia pendidikan. Karena ia adalah kunci untuk membuka sekat-sekat kejumudan fikroh peserta didik yang cenderung melakukan bully atau tidakan kekerasan di lingkungan pendidikan atas nama perbedaan budaya dan status sosial. Hingga kalau dibiarkan tanpa ada pembinaan, mereka kelak akan menjadi generasi yang anarkis, radikalis, dan liberalis dalam menyikapi segala permasalahan manusia yang syarat akan kepluralaan dan kompleksitas.

Seperti munculnya kelompok-kelompok intoleran dan yang sejenisnya yang tumbuh dan berkembang biak di Indonesia. Gerakan mereka sangat masif dan militanisme dalam menyebarkan doktrin-doktrin anti Pancasila.

Mereka tidak memahami, bahwa kekuatan dalam menjaga persatuan dan kesatuan di Indonesia adalah asas Pancasila, yang menjadi ideologi bangsa dalam berfikir, berpolitik, beragama, dan berbudaya bangsa Indonesia di atas lingkaran pluralitas bangsa Indonesia.

Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila bukan hanya sekedar menjadi ideologi bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi peletak dasar bagi pendidikan toleransi.

Diumpamakan sebagai sebuah wadah, pendidikan toleransi adalah wadah yang sangat luas untuk menampung segala macam bentuk perbedaan yang ada dalam kehidupan manusia.

Ia adalah wadah yang mengolah perbedaan itu menjadi sebuah produk manusia yang memiliki sikap keluhuran, yaitu saling menghargai dan menyanyangi antar sesama. Jika itu terwujud dengan baik, maka pendidikan toleransi menjadi brand yang sangat mahal bagi terciptanya kedamaian dunia.

KH. Mustahdi Hasbullah adalah salah satu tokoh pendidikan moral yang berasal dari kalangan Pesantren Winong, yang sangat intens dalam mengkampanyekan arti pentingnya nilai-nilai pendidikan toleransi bagi manusia.

Pemikiran beliau tentang itu, sebagaimana yang tercantum dalam sebuah syair Jawa dalam kitabnya “Nadzam Jawen Masalah Khilafiyah” berikut ini:

Kang seneng ing adzan qomat adzanana
Kelawan neja dzikir hikmah uga ana
(Yang suka adzan dan iqomat silahkan adzan,
Dengan niat dzkir ada hikmahnya)

Malah lamun niat dzkir dadi sunah
Ing kabeh tingkah liyan qodil hajat
(Bahkan jika dengan niat dzikir, maka bisa menjadi sunah,
Pada semua perbuatan tuan hajat)

Ingkang sungkan adzan aja gawe resah
Gawe ribut kang lagi kenang susah
(Yang tidak suka adzan jangan membuat resah,
Membuat keributan pada orang yang terkena kesusahan)

Kelingana ganjarane ngirim mayit
Rong timbangan bebungah warise mayit
(Ingatlah pada pahalanya mengirim doa kepada orang mati,
Dua timbangan seperti menggembirakan ahli warisnya orang mati).

Secara tekstual, beberapa petikan teks syair jawa di atas memang tidak mendeskripsikan pada subtansi etimologi atau terminologi pendidikan toleransi. Melainkan mendeskripsikan pada makna simbolik atau falsafah tentang niai-nilai pendidikan toleransi yang terkandung dalam pembahasan khilafiyah (kontroversial) hukum mengumandangkan adzan dan iqomat di atas kuburan pada saat prosesi pemakaman jenazah.

Ada yang berpendapat hukumnya bid’ah dan ada juga yang berpendapat sunnah, sebagaimana informasi dalam kitab tersebut yang mengutip beberapa pendapat ulama, seperti dalam kitab i’anah, dan syarh al-‘ubab. Perbedaan dalam itu sangatlah wajar, mengingat orientasi masalahnya berkutat pada unsur parsilia (cabang-cabang agama), bukan pada unsur teologia (pokok agama).

Terlepas dari pro-kontra masalah tersebut, yang terpenting bagi kita (umat Islam) adalah menyikapinya dengan rasa bijaksana (moderat/moderasi beragama), tidak dengan rasa fatanisme buta atau arogansi, yaitu menghormati dan menghargai setiap indvidu atau kelompok minoritas maupun mayoritas yang melakukan adzan-iqomat di kuburan ataupun sebaliknya.

Sebagaimana titik ajaran toleransi yang terdapat dalam penggalan syair “Kang seneng ing adzan qomat adzanana (yang suka adzan-iqomat di atas kuburan silahkan melakukan) dan Ingkang sungkan adzan aja gawe resah (yang tidak suka adzan-iqomat di atas kuburan jangan membuat keresahan)”.

Sungguh estetik makna kearifan yang diajarkan oleh KH. Mustahdi Hasbullah dalam syair itu sebagai simbol dari nilai-nilai pendidikan toleransi.

Sikap ini sangat penting bagi kita untuk menciptakan harmonisasi kehidupan manusia di tengah-tengan lingkaran perbedaan pendapat yang selalu muncul setiap saat.

Tanpa sikap moderat, justru akan muncul beberapa kelompok radikalis, ekstrimis, dan liberalis yang siap mengancam harmonisasi tatanan sosial manusia. Dan pada saatnya kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara akan hancur, porak-poranda hanya karena sebab perbedaan furu’iyyah yang sangat akut, seperti yang terjadi kawasan Timur Tengah, Afrika dan sekitarnya.

Titik ajaran kearifan lain yang terdapat dalam kitab tersebut adalah saling menghargai perbedaan pendapat dalam hukum melaksanakan qunut subuh. KH. Mustahdi Hasbullah berkata tentang itu, yaitu:

Ingkang bagus ayuh kita ngenggo qunut
Lamun sungkan aja nacad wong kang qunut
(Yang bagus ayo kita menggunakan qunut,
Jika tidak suka jangan menjelek-jelekan orang yang berqunut)

Petikan syair Jawa di atas, menegaskan kembali bahwa saling menghormati, saling menyayangi dalam menyikapi perbedaan pendapat merupakan bagian dari dimensi nilai-nilai toleransi yang harus terus dipupuk dan dikembangkan dalam kehidupan manusia yang penuh dengan sisi pluralitas.

Umat Islam yang suka dengan qunut tidak boleh mencaci umat Islam lain yang tidak suka qunut, begitupun dengan sebaliknya.

Melalui qunut subuh tersebut, KH. Mustahdi Hasbullah mengajak kita untuk merayakan perbedaan pendapat dengan toleransi, bukan dengan cacian dan makian.

Selagi perbedaan itu bukan pada tataran teologia atau ushuluddin. Karena toleransi adalah spirit untuk meningkatkan vitalitas semangat kerukunan bertetangga, berbangsa, dan bernegara antar umat beragama di belahan dunia ini. []