by Admin | 19 Jun 2023 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Saya adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai Petugas Haji Layanan Jamaah Lansia non-Kloter. Sungguh suatu karunia yang harus disyukuri. Pertama, kerinduan saya selama 10 tahun tidak bermesraan dengan Ka’bah dan Raudlah terobati. Kedua, melayani Lansia adalah tantangan baru bagi saya. Saya adalah tipe orang yang suka mengahadapi tantangan baru.
Atas pertimbangan itu, ketika saya dipanggil untuk menjadi petugas haji layanan jamaah Lansia, tanpa berpikir panjang saya nyatakan siap. Dengan proses yang relatif cepat, akhirnya saya tiba di Haramayn.
Awalnya, saya ditugaskan di Mekah. Namun kemudian dipindah ke Madinah. Sehingga saya beruntung dalam waktu setengah bulan saya mengalami singgah di Mekah dan Madinah, sekaligus merasakan pengalaman yang berbeda dalam melayani jamaah haji Lansia di Mekah dan Madinah.
Bertugas di Mekah, hanya 2 hari saya jalani. Saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Hari pertama saya ditempatkan di tempat sa’i (mas’a) dan tempat thowaf (mathaf) lantai 2, di mana para jamaah Lansia melakukan thawaf dan sa’i dengan kursi roda.
Di situ, selama 12 jam, mulai jam 21.00 – 09.00 WSA saya bersama 3 orang petugas yang lain memantau, melayani, dan membantu jamaah haji Lansia yang menghadapi masalah.
Dalam waktu 12 jam, pada tanggal 14 Dzul Qo’dah 1444 H di mana jamaah haji Indonesia belum semuanya tiba di Mekah, saya menjumpai lebih dari 10 kasus yang dihadapi jamaah haji Lansia di mathaf dan mas’a.
Di antaranya adalah jamaah haji Lansia yang sedang thawaf dan sa’i dengan kursi roda dipindahtangankan dari pendorong awal ke pendorong kedua. KBHIU atau Karom/Karu sudah membayar pendorong dari muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Saudi) atau pihak lain. Lalu, dalam banyak kasus orang ini sedang mendorong jamaah Lansia, namun tiba-tiba ditangkap oleh ‘askar (petugas keamaan Masjidil Haram) karena bukan pendorong yang legal. Akhirnya, kursi roda jamaah haji Lansia ini diambil alih dan diteruskan oleh pendorong legal yang berseragam pakaian Arab berrompi dan bertopi, hingga 7 kali putaran sebagaimana seharusnya.
Nah, ketika sudah selesai 7 kali putaran ini, pendorong terakhir minta bayaran (ujrah). Di sini jamaah haji Lansia ada beberapa kasus.
Pertama, tidak memiliki uang yang cukup. Ada yang memang tidak membawa dompet, ada yang jumlah uangnya kurang, dan ada juga yang dompetnya hilang. Timbul masalah.
Kedua, jamaah haji Lansia memiliki uang, tetapi tidak bisa berbicara bahasa Arab untuk negosiasi upah yang harus dibayarkan. Bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tetapi tidak terjadi kesepakatan jumlah upah yang harus dibayarkan. Baginya terlalu mahal. Juga timbul masalah.
Menghadapi kasus ini, jika bisa diselesaikan dengan negosiasi melalui musyawarah mufakat, maka masalah rampung. Jika untuk menyelesaikannya harus telepon Ketua Kloter, maka kami telepon Ketua Kloter. Intinya, bagaimana jamaah haji Lansia tidak sendirian, ada yang menemani, dan masalah yang dihadapi terselesaikan secara damai, ittifaq, dan taradliy.
Kasus lain yang ditemui adalah jamaah haji Lansia berkursi roda, tetapi tidak ada yang mendorong, ntah tidak menyewa pendorong atau ditinggal pergi oleh pendorongnya. Intinya, dia sendirian tanpa ada yang mendorong.
Menghadapi kasus ini, kami gantian mendorong kursi roda jamaah haji Lansia yang akan thawaf dan sa’i hingga tahallul, atau kami carikan pendorong legal profesional yang siap mendorong hingga tahallul.
Kasus yang tidak kalah banyaknya adalah jamaah haji Lansia tidak tahu ke mana harus pulang ke hotelnya, dan melalui terminal mana menuju. Dia sendirian di lantai 2 mas’a. Ditanya hotel tempat tinggalnya, tidak tahu. Melalui terminal mana naik bus “sholawat”, tidak tahu, Kloter berapa juga tidak tahu.
—–
Bus “sholawat” adalah suatu istilah sejumlah bus dengan nomor punggung yang berbeda-beda yang telah disediakan Pemerintah Indonesia untuk mengantarkan jamaah haji Indonesia dari hotel tempat tinggal jamaah haji ke Masjidil Haram. Bus ini stand by 24 jam.
—–
Menghadapi kasus yang terakhir ini, kami cek gelangnya. Di situ ada nama embarkasi dan kloternya. Juga kami cek tanda pengenalnya. Melalui aplikasi Haji Pintar yang dibuat Kemenag bisa diketahui nama, nomor passport, embarkasi berangkat, kloter berapa, di hotel mana dia tinggal di Mekah dan Madinah, juga diketahui nama Ketua Kloter, Ketua Rombongan, bahkan diketahui kapan dia akan kembali ke Tanah Air.
Cukup dengan menscan barkode via aplikasi Haji Pintar, kami bisa menemukan semua identitas jamaah haji. Di sinilah pentingnya gelang terbuat besi yang dipakai, dan identitas jamaah haji. Jangan sampai tidak melekat pada jamaah haji Indonesia.
Setelah diketahui semua informasi yang kami butuhkan, tentu saja kami mengantarnya hingga ke terminal bus di mana dia menuju hotelnya. Di setiap terminal bus juga terdapat banyak petugas haji. Tidak sedikit, petugas haji di terminal mengantarkan jamaah haji Lansia ini hingga ke hotelnya.
Ada lagi kasus yang dijumpai, yaitu jamaah haji Lansia kelelahan dan dehidrasi. Dalam kasus ini, kami mencarikan kursi roda, memberinya minum, dan segera berkoordinasi dengan EMT (Emergency Medical Team) petugas kesehatan.
Ini sejumlah kasus yang ditemui di mathaf dan mas’a.
Berbeda lagi kasus-kasus yang ditemui di halaman Masjidil Haram.
Kebetulan pada hari kedua di Mekah, saya ditugaskan oleh Kepala Sektor Khusus untuk memantau, membantu, dan melayani jamaah haji di depan Zamzam Tower (depan WC 3), halaman Masjidil Haram.
Kenapa di sini? Karena di tempat inilah, pintu masuk terdekat untuk melakukan thawaf, pintu keluar dari Masjidil Haram, dan banyak jamaah haji keliru dan kebingungan menentukan arah terminal bus.
Sama dengan hari pertama, pada hari kedua ini saya ditugaskan malam hari juga, yakni sejak jam 21.00-09.00 WSA. Bersama 3 petugas yang lain, kami berbagi siapa berada di pojok mana dari halaman depan Zamzam Tower ini.
Di tempat ini, kasus-kasus jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia, yang paling banyak dijumpai adalah kebingungan menemukan arah terminal bus yang dituju.
Di sekitar Masjidil Haram, terdapat 3 terminal bus di mana bus “sholawat” stand by mengantarkan jamaah haji 24 jam dari terminal Masjidil Haram ke hotel tempat tinggal. Yaitu, terminal Syib Amir, Bab Ali, dan Jiyad. Tiga terminal ini berada di tiga arah kompas yang berbeda.
Menghadapi kasus ini, kami menunjukkan arah atau bila diperlukan mengantarkan jamaah hingga ke terminal yang dimaksud. Bila jamaah haji Lansia dan dibutuhkan kursi roda karena kelelahan atau jauhnya jalan kaki, kami mencarikan kursi roda dan mendorongnya hingga ke terminal.
Selain kebingungan menentukan arah terminal, juga kebanyakan jamaah haji terutama yang Lansia tidak tahu tempat tinggalnya. Dia tertinggal dan terpisah dari rombongan jamaah thawaf dan sa’i atau rombongan sholat maktubah. Ditanya tinggal di mana, tidak tahu. Kloter berapa tidak tahu.
Dalam menghadapi kasus ini, mitigasinya sama dengan kasus sejenis yang terjadi di mas’a.
Ada lagi kasus istri terpisah dari suaminya atau suami terpisah dari istrinya atau anak dari orang tuanya atau dengan teman rombongan jamaahnya. Mereka saling mencari dan kebingungan menemukannya.
Menghadapi kasus ini, kami berkoordinasi dengan sesama petugas di Sektor Khusus untuk menemukan orang yang terpisah ini dengan cara memfoto yang bersangkutan dan identitas yang diperlukan. Lalu, diunggah ke grup Sektor Khusus.
Cara lain, kami menelpon yang bersangkutan bila membawa HP, atau berkoordinasi dengan ketua Kloter dan ketua rombogannya.
Dalam banyak kasus, masalah ini teratasi dan ditemukan hingga akhirnya mereka bertemu dan kembali bersama keluarga atau rombongannya.
Inilah sejumlah kasus yang saya temui saat saya bertugas di sektor Khusus Masjidil Haram selama dua hari pertama kedatangan di Mekah. []
by Admin | 18 Jun 2023 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Awalnya, saya tidak akan menulis apa yang saya lakukan di sini. Saya akan fokus pada tugas saya melayani jamaah haji Lansia dengan penuh kasih sayang.
Akan tetapi, pengalaman berharga ini sayang sekali jika menguap begitu saja, tanpa jejak digital, dan disebarkan untuk kemanfaatan banyak orang.
Akhirnya di tengah rehat saya di kamar, saya coba tulis apa yang saya ingat. Semoga tulisan empiris ini bermanfaat bagi teman-teman, baik yang sedang jadi petugas haji, jamaah haji, maupun yang akan jadi jamaah haji, atau petugas haji kelak.
Bahwa ibadah haji itu kompleks dan totalitas. Ibadah haji itu menyatunya antara kemampuan fisik, finansial, mental, dan spiritual. Sinerginya antara jamaah, petugas, KBIHU, dan pemerintah. Tanpa sinergitas, kolaborasi, dan integrasi ini sulit terwujudnya penyelenggaraan haji yang ramah bagi siapapun.
Kebetulan musim haji tahun 2023 ini adalah 30% nya adalah Lansia, yakni seseorang yang berusia di atas 65 tahun. Sungguh ini tantangan tersendiri. Tentu dibutuhkan pendekatan, strategi, dan cara-cara yang ramah bagi seluruh jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia.
Tulisan ini bercerita tentang pengalaman itu. Sengaja ditulis dan dibagikan di sini, agar terdokumentasikan dan terekam secara digital.
Ini Cerita Saya
15 hari berlalu tugas saya. Antara senang, bangga, kuatir, dan cemas campur aduk. Tidak hanya dalam perasaan dan tangan-tangan, tetapi juga dalam tindakan nyata.
Kenapa? Mungkin karena harapan dan semangat membara untuk melayani secara prima jamaah haji Lansia menghadapi kenyataan di lapangan yang tidak mudah. Ini terjadi hampir di setiap momentum.
Mungkin juga disebabkan oleh karena tugas ini adalah kali pertama saya lakukan di dalam ritual haji, juga kali pertama saya melayani Lansia dengan berbagai jenis dan karakter.
Tahun 2013, sepuluh tahun yang lalu, memang saya pernah bertugas sebagai TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia), tetapi hanya satu Kloter saja yang berjumlah sekitar 450 orang. Lah, sekarang ini kami harus menangani semua Kloter jamaah haji dari berbagai provinisi dengan komposisi suku, adat, dan bahasa yang berbeda, yang berjumlah sekitar 228 ribu orang.
Berdasarkan data Siskohat (Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu) per 23 Maret 2023, terdapat 66.943 jamaah haji Indonesia Lansia dengan usia 65 tahun ke atas. Artinya sekitar 30% dari total jamaah haji tahun 2023 adalah Lansia. Atau, 1 dari 3 jamaah haji Indonesia tahun 2023 adalah Lansia.
Rinciannya adalah jamaah haji yang berusia di atas 95 tahun berjumlah 555 orang (0,8%), yang berusia 85-94 tahun berjumlah 7.680 orang (11,5%), yang berusia 75-84 tahun berjumlah 12.912 orang (19,3% ), dan yang berusia 65-74 tahun berjumlah 45.796 orang (68,4%).
Saya tidak memiliki data yang pasti, tapi dari pengalaman yang saya layani, kebanyakan Lansia ini berjenis kelamin perempuan. Tidak selaras dengan data BPS tahun 2020, dari 26,82 juta Lansia yang berjenis kelamin perempuan 52,95%, sedangkan Lansia laki-laki 47,05%.
Lansia laki-laki pada umumnya masih berstatus menikah, sementara rerata perempuan Lansia sudah menjanda, baik karena ditinggal mati suaminya atau bercerai sebelumnya.
Data BPS 2020 menyebutkan rerata Lansia baik laki-laki maupun perempuan hanya bersekolah sampai kelas 5 SD atau sederajat.
Dari jumlah total Lansia, yang sakit mencapai seperempatnya (24,35%). Artinya 1 dari 4 Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya.
Dari data-data ini sudah terbayang bagaimana besarnya tantangan petugas haji, baik petugas Kloter maupun non-Kloter yang berada di Arab Saudi (Jeddah, Mekah, Bir Ali, dan Madinah), dalam melayani jamaah haji Lansia.
Sebelum saya bercerita pengalaman saya dalam melayani jamaah haji Lansia tahun ini selama 15 hari di Mekah dan Madinah, saya ingin mengurangi kondisi jamaah haji Lansia ini.
Pertama, Lansia yang mandiri. Jamaah haji ini meskipun Lansia tetapi masih bisa mengatur dirinya secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Panca indera dan fisiknya masih sehat dan berfungsi dengan baik.
Kedua, Lansia yang sakit. 24,35% Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya, sehingga membutuhkan penanganan khusus. Sakit di sini bisa sakit fisik atau mental. Sakit fisik misalnya jantung, paru-paru, diabetes, dll. Sakit jiwa misalnya dimensi, dll (saya tidak paham istilah-istilah medisnya). Memperlakukan mereka harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis penyakitnya.
Terhadap haji Lansia yang sakit ini dibagi menjadi jamaah dua. Ada keluarga yang mendampinginya, dan banyak Lansia sakit yang tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.
Ketiga, Lansia yang berkebutuhan khusus. Terdapat Lansia yang tidak bisa berjalan sama sekali, bisa berjalan tapi tidak kuat lama, tidak bisa melihat sama sekali, bisa melihat tapi kabur, tidak bisa dan sulit untuk mendengar, dan lainnya. Pada Lansia jenis ini dibutuhkan alat-alat atau media dan penanganan secara khusus.
Terhadap haji Lansia berkebutuhan khusus pun dibagi menjadi jamaah dua. Ada keluarga yang mendampinginya, dan banyak Lansia berkebutuhan khusus yang tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.
Dari sisi alat atau media yang dibutuhkan, jamaah haji berkebutuhan khusus ini dibagi menjadi dua. Ada yang membawa kursi roda sendiri dari Tanah Air, dan ada yang tidak memiliki kursi roda sendiri.
Inilah kondisi jamaah haji Indonesia tahun 2023. Oleh karena itu, Kementerian Agama menetapkan tema haji tahun ini adalah Layanan Haji Ramah Lansia.
Sebagai komitmen atas layanan haji ramah Lansia ini, Kementerian Agama pada tahun 2023 ini menambah ratusan pasukan Petugas Haji yang khusus untuk melayani jamaah haji Lansia ini, baik petugas Kloter maupun non-Kloter.
Tugas mereka ada yang menjadi anggota samai jamaah haji di Kloter, mulai dari Tanah Air, embarkasi, bandara, selama di pesawat, hingga menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan umrah.
Ada juga petugas yang di luar Kloter yang melayani mereka sejak di embarkasi, bandara di Tanah Air, bandara Jeddah atau Madinah, selama di Madinah, selama di Mekah di tempat thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di muzdalifah, mabit di Mina, di Jamarat, hingga di penginapan.
Semuanya bersemangatkan Pelayanan Haji Ramah Lansia, Sehat, Mabrur, dan Barokah. []
by Admin | 5 May 2023 | Artikel
ISIF Cirebon – Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.
AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang ini dibuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas dan ditutup oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi. Giat ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Forum ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Tema yang diangkat pada gelaran tahun ini adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.
Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional. Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).
Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lainnya.
“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki, di Surabaya, Kamis (4/5/2023).
“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjutnya membacakan rekomendasi berikutnya.
Rektor UIN Sunan Ampel Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan? Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?
Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu:
Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. (Rilis)
by Admin | 29 Apr 2023 | Berita
Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)
LPM LATAR ISIF- DEMA ISIF menggelar acara seminar bertajuk “Seminar Desa Preneurship: Membangun Perekonomian Desa Melalui Ekonomi Kreatif” di gedung auditorium Insitut Studi Islam Fahmina Cirebon pada Kamis (16/6/2022).
Seminar ini dihadiri langsung oleh penggagas Desa Preneurship, Budi Yuniarsa, yang bertindak sebagai pemateri serta Nadisa Astawi dari Lembaga Penjamin Mutu (LPM) ISIF.
Seminar yang dihadiri langsung oleh puluhan mahasiswa ISIF ini merupakan salah satu program Dewan Eksekutif Mahasiswa ISIF dalam mewujudkan sinergitas antara mahasiswa dengan masyarakat.
“Dewan Eksekutif Mahasiswa ingin menyelaraskan gerak dan peran mahasiswa dalam lingkup masyarakat dalam hal ini desa, dengan strategi pembangunan perekonomian desa yang salah satu caranya ialah dengan perspektif Desa Preneurship,” ucap Gun Gun Gunawan selaku Ketua DEMA ISIF.
Lebih lanjut, seminar ini diharapkan bisa menarik masyarakat desa untuk memiliki karakter wirausaha.
“Desa Preneurship adalah suatu karakter atau sifat kewirausahaan yang orientasinya adalah desa,” kata Budi Yuniarsa
Budi menuturkan pembentukan karakter wirausaha diharapkan bisa menjadikan desa tidak hanya memiliki ketahanan tapi kedaulatan dalam pengelolaannya.
“Karakter ini tidak hanya menjadikan desa bertahan tapi berdaulat, salah satu contohnya dalam hal kedaulatan pangan,” lanjut Pendiri LSM Kampus Desa ini.
Sejalan dengan Budi, menurut Nadisa Astawi, Desa Preneurship ini adalah bagian dari prinsip PAR jika dipadukan secara berkelanjutan dengan cara komunikatif dan inovatif.
“Desa Preneurship adalah bagian dari participation action research (PAR) untuk dipadukan secara berkelanjutan dengan cara komunikatif dan inovatif secara bersama sama membangun kemandirian dan kedaulatan ketahanan pangan,” tutup Direktur LPM ISIF ini.
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Judul Buku: Fiqih Perempuan
Penulis: Husein Muhammad
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit: 2019
Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Buku ini adalah refleksi kegelisahan KH. Husein Muhammad sebagai kiai pesantren atas isu-isu perempuan. Melalui pemikirannya, pria yang kerap disapa Buya Husein menuangkan gagasannya tentang problematika perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif Islam.
Hasilnya, buku ini menjadi sebuah diskursus yang brilian dan mendobrak sekat-sekat dogmatis tradisi keagamaan konservatif yang masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki.
Melalui penyusunan dan editing yang apik oleh Kiai Faqih Abdul Kodir pula, buku ini memberikan pemahaman alternatif mengenai posisi perempuan sebagai makhluk yang sama dan setara dengan laki-laki.
Dengan perspektif Islam tentunya, buku ini menggunakan referensi tafsir ayat al-Qur’an, tafsir hadits, pendapat para ulama terdahulu, kaidah-kaidah fiqih, dan tinjauan maqasyid asy-syari’ah dalam interpretasi terhadap posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Sehingga argumentasi dan pendapat yang diberikan mempunyai posisi dan landasan kuat dan bisa diperdebatkan dengan tafsir terdahulu.
Dengan bahasa yang ringan, buku ini layak menjadi pegangan dasar bagi yang ingin memahami secara utuh tentang perempuan dan kesetaraan gender dari perspektif Islam.
Usia Perkawinan Anak di Berbagai Negara
Atas apa yang menjadi kesan bacaan di atas, sebagai sampel hasil bacaan, saya ingin mengutarakan refleksi atas apa yang telah Buya Husein telurkan dalam buku ini, terkhusus pada bagian yang membahas perkawinan anak.
Dalam bukunya, Buya Husein mengutip pendapat Ibnu Syubrumah, bahwa secara tegas beliau menolak pernikahan anak. Ibnu Syubrumah juga menyebut bahwa kebolehan perkawinan anak hanya berlaku khusus untuk Nabi Muhammad Saw.
Sama halnya dengan pandangan Ibnu Syubrumah, pendapat Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Batti juga menegaskan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah menikah. Sedangkan merujuk kepada pernikahan Nabi dengan Aisyah, mereka berpendapat bahwa pernikahan Nabi Saw dan Aisyah adalah pengecualian dan kekhususan bagi Nabi Saw saja.
Oleh sebab itu, pandangan dari tiga ulama di atas menjadi dasar bagi negara Syiria. Di Syiria terkait peraturan pernikahan mereka menetapkan pelarangan pernikahan anak atas dasar beberapa pertimbangan, di antaranya terkait kemaslahatan, realitas sosial, dan pertimbangan tanggung jawab perkawinan. Syarat yang bisa menikah di Syiria adalah bagi mereka yang sudah baligh dan berusia 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan minimal berusia 17 tahun.
Selain di Syiria, di Mesir juga demikian. Di Mesir elah menetapkan aturan batas usia menikah. Usia bagi perempuan yang ingin menikah 16 tahun sedangkan bagi laki-laki boleh menikah saat usianya masuk 18 tahun. Di Bangladesh, perempuan yang bisa menikah adalah yang telah berusia 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan di Tunisia, seperti di Indonesia, menetapkan umur 19 tahun sebagai acuan batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang boleh menikah.
Larangan Perkawinan Anak
Dalam buku ini, Buya Husein menyebutkan terkait larangan perkawinan anak. Larangan ini, kata Buya Husein, karena beberapa fakta realitas di kehidupan masyarakat kerap kali perkawinan anak ini mendatangkan banyak dampak buruk.
Misalnya, banyaknya anak laki-laki maupun perempuan yang belum siap secara fisik, mental, maupun secara ekonomi. Terlebih, bagi anak perempuan mengalami hamil di usia anak-anak, ini tentu akan berpengaruh kepada fisik dan mental si anak. Tidak sedikit anak mengalami keguguran, kurangnya gizi bagi bayi (stunting).
Sementara itu, dalam ajaran Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk mengambil maslahat dan menghilangkan mafsadat. Jika perkawinan anak ternyata banyak menimbulkan tindakan kemafsadatan seperti, stunting, penelantaran ekonomi dan sebagainya. Maka menghilangkan kemafsadatan tersebut adalah yang utama.
Selain itu, jika meninjaunya dari maqashid asy-syari’ah juga demikian. Dengan kita melarang pernikahan anak ini, menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifdz an-nasl) yang sehat.
Dari beberapa pertimbangan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam usaha untuk mencapai keluarga yang harmonis. Maka kita butuh aturan terkait batas usia perkawinan. Hal ini guna untuk menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan demi tercapainya kemaslahatan bersama. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Oktober 2022 dengan judul: Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam