by admin | 23 Mar 2025 | Artikel
ISIF Cirebon – Pada tanggal 8 – 20 Maret 2025, saya bersama 30 teman-teman terpilih mengikuti kegiatan Riset Ekologi yang diselenggarakan oleh SALAM Institute di lima desa, yaitu Desa Cikesal, Cisantana, Ambulu, Kalibuntu, dan Waruduwur.
Kegiatan Riset Ekologi menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga. Akhirnya saya bisa langsung belajar bersama masyarakat. Bahkan selama kegiatan riset, saya memperoleh banyak pengetahuan—baik secara teoretis maupun praktis—melalui interaksi langsung dengan warga desa.
Tak hanya soal pengetahuan ekologi, saya juga belajar mengenai tata cara komunikasi dan cara bergaul dengan masyarakat. Bagi saya, pembelajaran ini sangat penting dalam membangun hubungan yang erat antara peneliti dan masyarakat. Sehingga hasil riset dapat lebih diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Peran Perempuan dalam Ekonomi Lokal
Dari lima desa tersebut, saya bersama lima teman ditempatkan di Desa Waruduwur, Kabupaten Cirebon. Selama satu minggu di sana, saya menyaksikan banyak pembelajaran penting yang tidak saya temukan di lingkungan kampung atau di kampus saya.
Salah satu hal yang sangat mencuri perhatian adalah peran aktif perempuan dalam berbagai aktivitas ekonomi. Terutama dalam kegiatan pengupasan rajungan.
Di Desa Waruduwur, terdapat kelompok pengupas rajungan yang terdiri dari Ibu Munir, Ibu Kusumin, Ibu Ina, dan Ibu Mita sebagai pemilik kelompok pengupasan rajungan.
Dalam sehari ketiga ibu ini bisa mengupas rajungan hingga 10-30 kg rajungan. Setiap ibu-ibu mendapat jatah untuk mengupas sebanyak 1-3 kg. Sementara upah yang mereka dapatkan sebesar Rp. 100.000.
Upah tersebut menurut Ibu Munir tidak hanya menjadi sumber pendapatan tambahan, tetapi juga menjadi strategi dalam pemberdayaan perempuan.
Melalui pengupasan rajungan, para perempuan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan, memanfaatkan waktu secara produktif, dan turut berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan keluarga.
Bahkan, Ibu Munir mengaku pengupasan rajungan menjadi salah satu strategi ekonomi yang krusial di Desa Waruduwur. Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang masih berada di bawah rata-rata.
Hal ini, karena mayoritas perempuan di desa ini adalah dengan bekerja sebagai pengupasan rajungan, sementara laki-laki umumnya bekerja sebagai nelayan.
Walaupun hasil usaha dari pengupasan rajungan dan nelayan kadang-kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pekerjaan ini memberikan ruang bagi perempuan untuk bertahan agar dapur tetap ngebul.
Dalam satu kali pekerjaan, terdapat lima jenis hasil pengupasan yang dikenal dengan sebutan Toto, Sepesial, Cangkang, Lemi, dan Elam. Hasil dari masing-masing kategori ini dijual ke tengkulak yang kemudian mendistribusikan hasilnya ke pasar.
Dengan demikian, setiap aktivitas pengupasan tidak hanya menghasilkan uang. Tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi rumah tangga dan memperkuat posisi perempuan sebagai tulang punggung keluarga.
Cerita Perempuan Pengupas Rajungan
Pada tanggal 11 Maret 2025, Ibu Munir, Ibu Kusumin, Ibu Ina, dan Ibu Mita bercerita tentang pentingnya peran perempuan dalam bekerja sebagai pengupasan rajungan.
Mereka menjelaskan bahwa dengan bergabung dalam kelompok tersebut tidak hanya memberi mereka keuntungan finansial. Tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian.
Hasil pengupasan yang diperoleh dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun disimpan untuk kehidupan masa depan.
Kisah para ibu di Desa Waruduwur ini menunjukkan betapa pentingnya pemberdayaan perempuan dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan sosial di tingkat lokal.
Dengan terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, perempuan tidak hanya mampu menyumbang pada pendapatan keluarga. Tetapi juga mendapatkan pengalaman berharga yang meningkatkan kualitas hidup mereka.
Oleh karena itu, dengan belajar dari Riset Ekologi di Desa Waruduwur mengajarkan bahwa pemberdayaan perempuan dapat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ekonomi di desa-desa.
Dengan bekerja sebagai pengupasan rajungan, perempuan diberikan kesempatan untuk belajar, berkreasi, dan berkontribusi secara signifikan dalam perekonomian keluarga dan masyarakat.
Saya berharap semoga lebih banyak perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Serta membuka jalan bagi kemajuan sosial dan ekonomi di tingkat komunitas.
Dan saya yakin, banyak perempuan mampu merubah tantangan menjadi peluang. Bahkan dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi keluarga dan komunitas mereka.
by admin | 22 Feb 2025 | Artikel
Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai tasamuh adalah suatu sikap menghargai pendirian serta pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Toleransi juga salah satu nilai pendidikan karakter di pesantren. Al-ikhtilafu rahmatun adalah adagium (ungkapan) yang sangat familiar di kalangan santri. Di pesantren para santri secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan menjadi hal yang indah dan patut dirayakan.
Biasanya di pesantren banyak hal baru yang ditemui para santri yang baru mukim di pesantren, seperti perbedaan bahasa dan daerah para santri. Latar belakang budaya dan wilayah yang bervariasi tentu saja membuat setiap santri mempunyai pola perilaku yang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang positif untuk menumbuhkan kembang seseorang di dalam lingkungan yang heterogen.
Banyak keuntungan yang dapat diambil bagi sesorang yang tumbuh di lingkungan beragam, seperti di pesantren. Misalnya, mereka dapat belajar dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Bagi sebagian orang hal ini sulit dilakukan karena adanya rasa ketidakamanan, keraguan, keengganan atau ketakutan ketika berinteraksi dengan orang asing. Dalam istilah ilmu jiwa gejala seperti ini biasa disebut dengan xenophobia.
Toleransi di Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh santri untuk menggali potensi dalam diri santri. Tidak ada diskriminasi yang diberlakukan di pesantren. Seperti dalam sebuah kisah ini. Suatu ketika ada santri bule yang mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bernama Katrin Bandel, perjalanannya di pesantren sempat dijadikan film dokumenter berjudul “Al Ghoriib ” dan diputar dalam perhelatan Muktamar NU di Jombang tahun 2015. walaupun tampilan fisik dia berbeda dan umurnya terpaut jauh dibandingkan rekan santriwati lainnya, ia tetap mempunyai dalam menjalankan kegiatan dan pelaksanaan santriwati pada umumnya.
Sikap pesantren yang terbuka tidak hanya dimiliki oleh para kiai dan santrinya. Melainkan juga masyarakat luas yang tinggal di lingkungan sekitar pesantren, bahkan tidak terbatas oleh sekat-sekat geografi. Banyak masyarakat yang jauh tinggal di luar pesantren menjadikan kiai atau tokoh di pesantren sebagai rujukan, nasehat atau petuah dalam menyelesaikan permasalahan sosial ataupun agama.
Sekadar contoh, di daerah Pohuwato Gorontalo ada sebuah pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyyah, terletak di Desa Banuroja. Desa tersebut didirikan oleh tiga komunitas agama yang berbeda, Islam, Kristen, dan Hindu. Pengasuh pesantren ini seringkali menjadi sumber rujukan bagi umat tiga agama untuk menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pesantren dan kiai menjadi sebuah institusi yang menjadi rahmat bagi sekelilingnya (rahmatan liman haulahu).
Wajah Islam Indonesia
Di tengah gemparnya Islamophobia yang melanda negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Belanda, Indonesia hadir menawarkan Islam yang ramah dan sangat lekat dengan budaya lokal. Maka, tidak heran jika Fazlur Rahman secara optimis menyatakan bahwa potensi Indonesia sebagai negara penyulut kebangkitan Islam. Hal ini dikarenakan secara teologis Indonesia tidak mempunyai pertentangan yang hebat seperti negeri-negeri muslimn lainnya.
Di Indonesia tidak ada konflik antara Sunni dan Syi’ah, dan tidak terdapat konflik antar mazhab yang runcing (Amien Rais, 1991: 174). Islam Indonesia dengan corak khasnya menjadi jembatan antara budaya dan ajaran agama bisa berjalan satu sama lain, tidak saling memusuhi atau bahkan menjalin hubungan satu sama lain.
Pergantian rezim juga mempengaruhi tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang intoleran. Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, di negeri ini gerakan-gerakan Islam transnasional tumbuh subur. Mereka mengusung misi menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah. Bagi komunitas pesantren yang memiliki gerbong terbesar di negeri ini, khilafah merupakan ancaman yang serius.
Khilafah dianggap memecah belah bangsa, mengancam pancasila, UUD 1945, kebhinnekaan, dan kesatuan bangsa. Walaupun kelompok pemuja khilafah ini sangat kecil, namun gerakan dan aktifitasnya termasuk kategori separatis yang bertentangan dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Corak Islam Indonesia
Husein Muhammad mengungkapkan bahwa corak awal penyebaran Islam masuk ke Indonesia adalah corak Islam sufistik. Masyarakat Hindu-Buddha Jawa mempunyai titik kesamaan dengan misi yang diemban oleh para juru dakwah di tanah Jawa (Walisongo). Kesamaannya pada istilah-istilah yang berlaku dalam budaya lama (Animisme, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (pandangan dunia) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati.
Wadah-wadah lama yang dipakai, diganti. Peninggalan kejeniusan masa lalu masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa, dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi do’anya bukan untuk para “dewa-dewa” namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta. Dan sesajinya -biasanya berupa makanan —dimakan bersama-sama setelah ritual doa. Dakwah seperti ini justru sangat ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk menerima Islam sebagai agama pada saat itu, tanpa mengeliminasi nilai-nilai dan adat istiadat lokal.
Secara singkat, metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan perpaduan antara kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih mempunyai ritualritual tertentu dalam ritus kepercayaanya dan memasukkan nilai-nilai agama Islam di dalamnya. Para Wali juga melakukan syiar keagamaan dengan medium lain, seperti kesenian. Para Wali Songo adalah seniman yang luar biasa, sehingga bisa meingislamkan tanah Jawa, salah satunya dengan jalan seni.
Dengan adanya akulturasi budaya tersebut Islam Indonesia secara umum telah mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Kegiatan kebudayaan yang dibungkus dengan nilai-nilai agama seperti: Syukuran empat bulan kehamilan, nyadran, sedekah laut, dan tradisi sedekah bumi. Inilah bentuk pelestarian Islam Indonesia yang sangat adaptif terhadap kearifan lokal. Islam sebagai agama dan pesantren sebagai lembaga keagamaan di Indonesia memiliki corak pemikiran keagamaan yang ramah dan santun yang telah lama diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Memilih cara damai dan toleran dalam hidup seringkali dianggap oleh kelompok fundamentalis sebagai bentuk dari melemahnya iman dan kendurnya semangat keislaman. Ini adalah anggapan yang keliru dan patut diluruskan. Di dalam Islam sendiri, ada banyak kisah Nabi Muhammad yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti dalam sebuah riwayat berikut,
Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad ra dan Sahal bin Hunaif ra. sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu termasuk penduduk setempat (yakni orang non muslim). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menemui iringan jenazah, lalu dia berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah saw. bersabda: bukankah ia juga manusia?” (Shahih Muslim No.1596).
Nilai-nilai yang menghargai perbedaan semacam ini patut dilestarikan oleh umat Islam dimanapun hingga saat ini. Agen perubahan bisa diinisiasi oleh siapa saja, karena tujuan dari seseorang beragama ada untuk melayani kemanusiaan.
Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Baca selengkapnya dalam: Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017.
by admin | 8 Feb 2025 | Artikel
Ketika kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka pesantren ataupun surau adalah dua institusi yang layak untuk dibahas. Mengapa? Karena kedua institusi pendidikan ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat anak bangsa dalam mengenyam akses pendidikan keagamaan terutama di daerah-daerah terpencil, baik itu di Jawa maupun Sumatera.
Keduanya berperan sangat vital dalam mentransformasikan ajaran-ajaran keagamaan di kalangan masyarakat terutama menyangkut penguatan keimanan seseorang. Di samping itu ada ajaran-ajaran lain yang tidak melulu masalah teologi, tetapi pembelajaran lain yang menyangkut ilmu-ilmu sosial juga diajarkan di kedua lembaga pendidikan ini walaupun pada mulanya kedua pendidikan ini mengajari pendidikan keagamaan saja.
Transformasi Pesantren di Era Modern
Dalam pengantarnya di buku Bilik-Bilik Pesantren, Azyumardi Azra mengatakan seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas, pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 7).
Mengingat pendidikan adalah hak primer yang wajib dimiliki oleh setiap individu dan bagian penting bagaimana cara masyarakat terlibat dalam modernitas dan globalisasi. Maka pesantren merespon tantangan zaman tersebut dengan perubahan di dalam institusi pesantren. Sekali lagi, yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak dilakukan untuk menggeser tradisi-tradisi lama pesantren yang luhur namun hanya untuk membekali diri para santri untuk siap sedia dengan perubahan zaman yang terjadi.
Secara garis besar pesantren terbagi menjadi dua: pertama, pesantren tradisional yang tetap menjaga tradisi klasik pendidikan Islam dan fokus dalam kajian-kajian kitab kuning. Kedua, pesantren modern yang mempunyai titik tekan dalam pembelajaran ilmu-ilmu kontemporer, seperti sekolah publik pada umumnya, tidak jarang juga di pesantren modern, para santri diwajibkan memiliki soft skill berbahasa Arab dan Inggris.
Saat ini, bentuk pesantren tradisional telah mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pesantren tradisional kini memiliki madrasah dan sekolah umum. Perbedaan utama antara pesantren tradisional dan pesantren modern terletak pada penguasaan bahasa asing. Pesantren modern cenderung lebih dominan dalam penggunaan bahasa Arab dan Inggris dibandingkan pesantren tradisional.
Dinamika Pesantren dalam Menghadapi Modernisasi
Pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam sejarah suksesi kemerdekaan bangsa. Namun, hingga kini, pesantren masih belum memiliki kekuatan besar dalam melobi penyesuaian kurikulum pendidikan umum. Pemerintah cenderung menekan agar terjadi penyeragaman antara pendidikan umum dan pendidikan di pesantren. Awalnya, pesantren hanya memiliki madrasah dengan hari libur yang umumnya jatuh pada hari Jumat. Seiring waktu, pesantren mulai berkembang dengan menyediakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.
Perkembangan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ingin membekali santrinya dengan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, pesantren telah memiliki kurikulum yang sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum sekolah menengah pertama dan menengah atas ada. Selain itu, aturan kegiatan belajar mengajar di sekolah umum berada di bawah kewenangan instansi pemerintah terkait, yang sering kali berbeda dengan sistem pendidikan pesantren.
Menghadapi masalah ini pesantren sedikit menolak untuk diseragamkan dengan sekolah umum, dan mencari titik temu dari permasalahan ini. Sebagai contoh kasus di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, pada tahun 1968 didirikan Madrasah Tsanawiyah dibawah naungan Departemen Agama. Namun yang menjadi pembeda antara Madrasah Tsanawiyah di tempat lain adalah hari libur yang jatuh pada setiap hari Jum’at.
Proses perizinan untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari libur tidaklah mudah. Ada negosiasi alot antara pihak pesantren Babakan dan pemerintah saat itu. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kegiatan pesantren tidak terganggu dengan adanya sekolah umum. Meskipun demikian pesantren tidak tercerabut dari akar budayanya, selain fungsi-fungsi pesantren yang tetap berjalan seperti nilai-nilai keislaman, serta kontrol sosial di masyarakat.
Selain perkembangan pendidikan di pesantren, hal yang menarik untuk diulas adalah tentang sikap pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya tanpa mengesampingkan kebutuhan zaman. Tidak hanya dalam hal kurikulum formal, tetapi juga dalam penguatan aspek spiritualitas yang menjadi ruh pendidikan pesantren. Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapat perhatian adalah bidang tasawuf, yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral santri.
Menurut Cak Nur, bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Bidang ini sebenarnya hal yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 21).
Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas pengetahuan santri dalam pelajaran. Hal ini bertujuan agar santri mampu berkompetisi di berbagai lini kehidupan. Santri tidak lagi hanya dikenal sebagai ahli agama, mereka juga dapat menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa depan muncul santri yang berprofesi sebagai arsitek, dokter, insinyur, atau tenaga terampil lainnya. Keragaman profesi santri di masyarakat dapat diimplementasikan secara kolektif oleh lembaga pesantren. Dengan demikian, santri dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks modernisasi, pesantren diharapkan mampu menyumbangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan modern. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki peran strategis dalam masyarakat. Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi, tampak bahwa pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern. Ini menunjukkan bahwa pesantren turut berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Pesantren sebagai Sub-Kultur dalam Masyarakat
Modernitas di pesantren memiliki konteks yang berbeda dibandingkan modernitas masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural pesantren yang khas dan berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Pesantren tidak hanya fokus pada pengajaran agama, lembaga ini juga memiliki kepedulian terhadap berbagai isu sosial di masyarakat. Konteks modern dalam pesantren adalah bagaimana teks-teks keagamaan dapat dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan isu-isu sosial yang berkembang saat ini.
Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sub-kultur dari masyarakat. Namun, di dalamnya terdapat struktur sosial yang berbeda. Di pesantren, terdapat kiai dan nyai sebagai pemimpin, anak kiai dan nyai sebagai generasi penerus, serta ustadz dan ustadzah yang berperan sebagai pembimbing bagi para santri perempuan dan laki-laki. Tata nilai pesantren ini memiliki ruang tersendiri dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Santri adalah pelaku kehidupan di pesantren dalam tataran yang bersentuhan langsung dengan masyarkat (grass root). Merekalah yang menggerakkan roda kegiatan dan aktifitas di pesantren.***
Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren (Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017).
by admin | 20 Jan 2025 | Artikel
ISIF Cirebon — Studi keislaman di Nusantara, dilihat dari indikasi muatan-muatan discourse-nya, lebih cenderung pada studi keislaman model Timur Tengah. Artinya, bobot muatan studi keislaman yang berkembang di Indonesia hanya sebatas mengusung tema-tema besar yang selama ini telah melembaga dalam sejarah Islamic studies di Timur Tengah. Sehingga studi keislaman di Indonesia cenderung tidak mempunyai basis faktual khas keindonesiaan, serta tidak terakomodasinya muatan-muatan lokal yang “menyejarah”, “meruang” dan “mewaktu” dalam karakteristik khas Islam Indonesia.
Tema-tema yang diangkat seperti zakat, thaharah, atau mu’amalah sering kali hanya mengikuti tradisi sosio-kultural masyarakat Timur Tengah, tanpa mengakomodasi realitas khas Indonesia. Buku-buku handbook dan kurikulum di lembaga pendidikan Islam—seperti IAIN, UIN, pesantren, dan madrasah—juga masih dominan Timur Tengah sentris. Akibatnya, studi Islam di Indonesia sering kali kehilangan pijakan faktual dan gagal menyerap muatan lokal yang kaya dengan konteks sejarah, budaya, dan tantangan zaman di negeri ini.
Padahal, Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan Timur Tengah. Perbedaan ini tak hanya menyangkut geografi dan budaya, tetapi juga cara masyarakat Indonesia memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Misalnya, tema zakat yang dalam konteks Timur Tengah lebih cocok diterapkan pada masyarakat gurun, sementara di Indonesia, masyarakat agraris punya kebutuhan dan mekanisme sosial berbeda.
Kelemahan Studi Keislaman Indonesia
Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berakar pada kekayaan budaya dan tradisi lokal. Namun, dalam studi keislaman Indonesia, muatan lokal khas keindonesiaan tidak terakomodasi. Hal ini menjadikan karakteristik studi keislaman di Indonesia keluar dari akar faktualnya.
Padahal fenomena keberagamaan Islam di Indonesia berlainan dengan keberagamaan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, terdapat beberapa kelemahan dari corak islamic studies di Indonesia yang cenderung Timur Tengah sentris.
Perbedaan tersebut di diakibatkan oleh faktor socio-cultural serta geografi antara Timur Tengah dan Indonesia yang berbeda yang melahirkan pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran teologis yan berbeda pula. Karenanya, mainstream pemikiran keagamaan khas Timur Tengah tidak dapat dipaksakan untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan khas Indonesia.
Selain itu, kecenderungan mengadopsi apa adanya studi keislaman model Timur Tengah, kadang bertentangan dengan budaya dan karakteristik masyarakat Islam lokal. Pemaknaan atas teologi yang dipaksakan akhirnya melahirkan kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang bersifat eksklusif, yang kurang apresiatif terhadap kemajemukan dan perubahan sosial. Munculnya sejumlah paradoks dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sebagian merupakan akibat dari kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang eksklusif.
Paradoks Keberagamaan di Indonesia
Paradoks dalam implementasi nilai-nilai Islam tampak nyata dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan jurang yang lebar antara nilai-nilai ideal agama dan kenyataan praktik keberagamaan sehari-hari. Paradoks kehidupan keagamaan itu bisa dilihat dalam beberapa hal, misalnya:
Pertama, paradoks antara nilai agama yang mengajarkan kesucian dan kedamaian dengan ekspresi perilaku keagamaan yang diwarnai dengan tindakan kotor, kekerasan dan teror.
Kedua, paradoks antara misi agama untuk membebaskan manusia tanpa diskriminasi dengan praktik praktik indoktrinasi yang mengekang jiwa dan nalar umat Islam.
Ketiga, paradoks antara ajaran dasar agama yang mengajarkan kebebasan kesetaraan dan persaudaraan dengan praktik dengan gerakan keagamaan yang membungkam pikiran bebas dan kritik, mempraktikkan agama sebagai sarana diskriminasi, serta menggunakan agama untuk melegitimasi perang yang penuh kebencian.
Corak Islam Indonesia
Untuk membangun studi keislaman yang relevan dan kontekstual, Indonesia perlu menggali karakteristik Islam lokal yang menghargai budaya, tradisi, dan realitas sosial masyarakatnya. Studi Islam tidak harus sekadar mengimpor gagasan Timur Tengah, tetapi perlu merefleksikan keberagaman dan dinamika sosial Indonesia yang kaya.
Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, damai, dan inklusif. Dengan menjadikan konteks lokal sebagai pijakan, Islam dapat menjadi kekuatan pembebas yang melahirkan solusi, membuka ruang dialog, dan membangun peradaban tanpa menjadi pembatas atau penyekat gagasan.
— Disarikan dari buku Nalar Islam Nusantara (M.Mukhsin Jamil.dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah al-Irsyad Persis dan NU. Cirebon: Fahmina Institute, 2008).
by admin | 18 Jan 2025 | Artikel
Achmad Nanang Firdaus — Mahasiswa PAI ISIF
ISIF Cirebon – Sabtu pagi, 11 Januari 2025, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menggelar musyawarah subuh rutinan dengan bahasan yang menarik dan relevan yaitu tentang riba. Tema ini diangkat dari kitab Matan Taqrib karya Imam Abu Syuja’ dan dipandu langsung oleh pengasuh pesantren, KH. Marzuki Wahid, atau yang kami kerap panggil Abi Marzuki.
Para santri hadir dengan penuh antusias. Mereka berharap diskusi ini dapat memperkaya pengetahuan seputar penerapan hukum riba dalam kehidupan sehari-hari.
Diskusi diwarnai berbagai pertanyaan kritis mengenai praktik riba yang kerap dijumpai di masyarakat. Dengan pendekatan khasnya, Abi Marzuki memberikan penjelasan mendalam, mengupas tuntas konsep riba, dan menjawab berbagai pertanyaan yang menjadi ganjalan bagi para santri.
Muamalah: Fleksibel dan Kontekstual
Abi Marzuki menjelaskan perbedaan mendasar antara muamalah dan ibadah. Dalam ibadah, tata caranya bersifat ta’abbudi (ritual) dan tidak selalu dapat dirasionalisasi. Sejak zaman Nabi hingga kini, bentuknya tetap sama di mana pun berada. Sebaliknya, muamalah ini bersifat ijtihadi, yang berarti fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah:
تغير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة والأحوال والعوائد
Artinya: perubahan hukum tergantung pada perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat.
Abi Marzuki juga memaparkan prinsip-prinsip dasar dalam muamalah (mabadi’), yakni:
Pertama, tiadanya kezaliman (‘adamu adz-dhulmi). Kedua, tiadanya penipuan (‘adamu al-gharar). Ketiga, tiadanya spekulasi (‘adamu al-maysir). Keempat, tiadanya eksploitasi (‘adamu al-riba). Kelima, adanya kesepakatan dan kerelaan kedua pihak (al-ittifaq wa at-taradhin).
Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dalam menjawab berbagai persoalan muamalah, khususnya yang berkaitan dengan jual beli.
Memahami Riba: Antara Konsep dan Praktik
Dalam kitab Taqrib, riba didefinisikan sebagai pertukaran barang yang tidak setara dalam ukuran syar’i atau adanya penundaan penyerahan barang yang ditukar. Secara etimologis, riba berarti az-ziyaadah (tambahan). Contoh praktiknya adalah jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak yang tidak dilakukan secara kontan dan setara. Namun, Abi Marzuki mengingatkan bahwa tidak semua tambahan dalam transaksi adalah riba. Jika seorang penjual memberikan bonus kepada pembeli secara sukarela, itu bukan riba, melainkan rezeki. Karena riba yang haram adalah yang mengandung unsur kezaliman, eksploitasi, dan penipuan.
Selain itu, Abi Marzuki menegaskan bahwa riba dilarang karena sifatnya yang merugikan dan menindas pihak tertentu. Misalnya terjadi kecurangan, ketidakadilan, spekulasi berlebihan dan paksaan kepada salah satu pihak.
Hal ini, menurut beliau sangat bertentangan dalam ajaran Islam. Karena di dalam Islam sangat menekankan keadilan dalam semua aspek muamalah.
Polemik Bunga Bank: Perspektif NU
Dalam sesi tanya jawab semakin menarik ketika para santri mengangkat isu bunga bank. Abi Marzuki merujuk pada hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) di Bandar Lampung, 1992. Ada tiga pandangan utama terkait bunga bank:
Pertama, haram. Karena dianggap riba, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, Surah al-Baqarah ayat 275.
Kedua, halal. Karena sebagai fee manajerial yang wajar sesuai regulasi. Ketiga, syubhat. Karena berada di antara halal dan haram.
Abi Marzuki menggarisbawahi bahwa ketiga pandangan ini memberikan pilihan berdasarkan konteks dan pemahaman masing-masing individu.
Islam untuk Kemaslahatan
Di akhir musyawarah, Abi Marzuki menegaskan bahwa syariat Islam hadir untuk mewujudkan kemaslahatan, baik dengan mencegah kerusakan (dar’u al-mafasid) maupun meraih kebaikan (jalbu al-mashalih).
Maka dari itu, dalam muamalah, setiap masalah harus dianalisis dengan mempertimbangkan konteks zaman, tempat, dan keadaan, tanpa meninggalkan prinsip keadilan.
Musyawarah subuh kali ini tidak hanya menambah wawasan para santri tentang hukum riba, tetapi juga mengajak mereka untuk berpikir kritis dan kontekstual dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Dengan demikian, pesantren ini menjadi ruang belajar yang mengedepankan nilai-nilai universal Islam untuk kebaikan bersama. []
— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mubdalah.id (https://mubadalah.id/menyingkap-pemikiran-kh-marzuki-wahid-tentang-riba-dalam-musyawarah-taqrib/) pada Jum’at, 17/01/2025.
by admin | 14 Jan 2025 | Artikel
Husein Muhammad
Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina
ISIF Cirebon – Pesantren diakui secara luas merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara.
Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, diambil dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu. Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka, mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.
Pakaian sarung atau kopyah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri.
Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangan alur ceritanya oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam.
Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.
Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisime yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Satu hal yang saya kira menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai. Hal ini dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan.
Kenyataan ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami’ dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim : Vihara dan Gereja. Bangunan antara Vihara dan Gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya.
Hubungan antara Kiyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan sepanjang sejarahnya pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan Tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.
Demikianlah, maka saya kira di tengah karut-marutnya hubungan antaragama dan antarumat Islam sendiri dewasa ini, Pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antarberbagai orang sesama bangsa. Pesantren sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk — meminjam istilah KH. Ahmad Shiddiq — ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Semoga. Amin.
— Disarikan dari tulisan Buya Husein dalam buku “Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman; Potret dari Cirebon” (Marzuki Rais, dkk. Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman: Potret dari Cirebon. Cirebon: Yayasan Fahmina, 2014.)