(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Antara Paradoks Kekuasaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa

Oleh: Nana Sastrawan (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Sebelum menjadi pejabat publik, baik di lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, banyak tokoh dikenal ramah, peduli, dan jadi pembela terdepan ketidakadilan. Mereka tidak hanya baik, tetapi juga cerdas, berani, dan tentu saja berpendidikan. Namun, setelah berkuasa, banyak di antara mereka menjadi pribadi yang berbeda dengan sebelumnya. Inilah paradoks kekuasaan, mereka justru lebih banyak menampilkan perilaku yang dominatif, manipulatif, dan hilangnya empati.

Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka? Banyak hal yang memengaruhi mereka, akan tetapi bisa saja karena persoalan ‘ketidaktahuan sejarah’ di kalangan mereka, seperti ungkapan ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Jika kita melihat kepada sejarah, tokoh-tokoh muda terdahulu membangun negara Indonesia dengan segala kekuatan yang dimiliki, dari tenaga, pikiran hingga harta benda bahkan nyawa pun dikorbankan.  Kepentingan tokoh-tokoh muda tersebut hanya untuk mencapai ‘kemerdekaan bangsa dari penjajah’. Mereka tidak pernah bekerja dan berjuang untuk kelompok individu, partai atau lembaga lainnya, tapi untuk mendirikan sebuah negara yaitu Indonesia.

Misalnya, Muhammad Yamin. Satu di antara tokoh yang merumuskan teks ‘Sumpah Pemuda’. Sebuah rancangan gagasan yang pada akhirnya menjadi sebuah gerakan perlawanan. Dalam isi tersebut dinyatakan bahwa masyarakat Nusantara memiliki tanah air yang satu, Bangsa yang satu dan merumuskan bahasa Persatuan. Muhammad Yamin bukan tidak mengetahui sejarah, ia sangat sadar betul bahwa Nusantara memiliki sejarah yang kuat pada saat kejayaan Majapahit, dimana Gajah Mada melakukan Sumpah, yang dikenal Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara. Kesadaran akan sejarah itu, tentu menginspirasi Muhammad Yamin untuk menyatukan kembali wilayah Nusantara.

Isi teks sumpah pemuda yang dinyatakan pada 28 Oktober 1928 dalam kongres Pemuda II, sebelumnya pernah diterbitkan dalam bentuk puisi oleh Muhammad Yamin, berjudul Indonesia, Tumpah Darahku yang diciptakan di Pasundan, 26 Oktober 1928. Dalam puisi itu, Muhammad Yamin menyampaikan cita-citanya untuk mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, satu bahasa.

Tokoh pemuda selanjutnya adalah WR Supratman yang mempunyai ‘Puisi Besar’ berjudul ‘Indonesia Raya’. Puisi tersebut kemudian diubah menjadi lagu dan dinyanyikan pada kongres pemuda II, hingga sampai sekarang menjadi lagu kebangsaan. Tokoh-tokoh pemuda pada kongres Sumpah Pemuda II di tahun 1928 bukan kemudian tenang dan hidup enak di rumah-rumah megah dengan fasilitas memadai. Usai kongres, mereka malah diburu dan dikejar-kejar, dihujani peluru oleh ‘Penjajah’, yaitu Kolonial Belanda.

Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh pemuda itu, terus diikuti dari tahun ke tahun sehingga tercapailah kemerdekaan pada tahun 1945. Tentu saja, kemerdekaan Indonesia tercapai atas keterlibatan semua pihak dan perjuangan semua suku bangsa, baik secara individu maupun kelompok.

Pengetahuan sejarah jika dicermati, dihayati akan menjadi sebuah jalan penyadaran untuk membangun negeri yang merdeka ini di masa kini yang akan terus berdampak ke masa depan. Bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari cita-cita tokoh bangsa yang belum terselesaikan yang dituangkan pada UUD 1945 dan Pancasila. Pondasi ini tentu harus menjadi sebuah ‘kebijakan-kebijakan’ yang kemudian membangun negeri Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bukan menjadikan Indonesia semakin hari, semakin terlihat ‘kesenjangan sosial’ antara para pejabat dengan rakyatnya.

Kasus-kasus korupsi semakin menumpuk, gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial para pejabat dan pegawai-pegawainya. Baik itu di kalangan lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif semakin tidak mencerminkan sebagai orang-orang ‘yang mengetahui, mengerti, memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia’. Bahkan ada juga di media sosial, para pejabat yang tidak hafal Pancasila dan Lagu Indonesia Raya. Sementara mereka menikmati gaji dari pajak rakyat. Sungguh ini sangat memalukan!

Bukan hanya itu, di dalam lingkungan hidup bermasyarakat terjadi pola yang keliru.  Di mana para pejabat, pegawai pemerintah, anggota dewan dan sejenisnya seolah dijadikan sebagai orang yang terhormat. Seharusnya, mereka masuk dalam kategori ‘pekerja, pelayan masyarakat’ yang membantu mengurai persoalan-persoalan di masyarakat, bukan menambah masalah bagi masyarakat.

Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang untuk menjadi negara yang berdaulat sampai hari ini. Negara yang dibangun dengan ‘berdarah-darah’ tidak seharusnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejarah dengan baik tentang cita-cita tokoh-tokoh bangsa. Bangsa ini, memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Tidak seharusnya diserahkan kepada mereka yang mementingkan hawa nafsu ‘kekuasaan’ dan mempertontonkan gaya hidup bermewah-mewah tanpa memberikan solusi pada kelangsungan hidup masyarakat.

Indonesia Semerawut

Sumber gambar: Antara

Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Pejabat yang harusnya jadi penyambung lidah rakyat, malah mentolol-tololkan rakyat. Pejabat yang untuk seharusnya ikut merasakan keringat rakyat, justru hidup bergelimang harta, kenyang dari fasilitas negara. Itupun masih tega meminta tunjangan dinaikkan, padahal sudah bergaji ratusan juta. Sementara kerjanya nyaris tak nyata, hanya sibuk pencitraan.

Pantas saja jalanan sering dipenuhi demonstrasi, suara rakyat meledak karena muak dengan janji-janji palsu. Rakyat dipaksa menunggu perubahan, tapi yang lahir justru kebijakan yang makin menyengsarakan. Alih-alih mengesahkan aturan untuk merampas aset koruptor, yang mereka rampas justru peluh dan jerih payah rakyat kecil. Semua itu terasa semakin miris—negeri ini seolah diperas dari dalam oleh orang yang seharusnya jadi pelindung.

Apa-apa mahal, apa-apa kena pajak. Pajak naik, harga naik, tapi kesejahteraan rakyat tetap terpuruk. Pertanyaannya: pajak itu buat apa? Untuk rakyat, atau untuk menggemukkan perut pejabat yang sudah kenyang fasilitas?

Rakyat sudah berkali-kali menyuarakan kritik, memberikan saran, bahkan berteriak di jalanan. Namun apa balasannya? Kritik pedas dianggap angin lalu. Suara rakyat masuk telinga kiri, keluar telinga kanan—bahkan lebih hina lagi, dianggap hanya suara kentut yang bau sesaat lalu hilang. Inikah cara pejabat menghargai rakyatnya? Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berkali-kali rakyat diperlakukan seolah tidak ada.

Rakyat sudah tidak butuh lagi kata manis, rakyat butuh keadilan nyata. Jika pejabat masih tega merendahkan rakyat, maka harta mereka harus dipertanyakan, karena semua itu berasal dari keringat rakyat. Rakyat berhak mempertahankan apa yang menjadi haknya, bahkan mengambil kembali harta yang dikuras oleh pejabat rakus. Ingatlah, kalian digaji dari uang rakyat, maka jangan sekali-kali menginjak harga diri rakyat!

Lalu, bagaimana rakyat harus menghadapi pejabat semacam ini? Apakah cukup dengan kata-kata? Nyatanya tidak mempan. Apakah cukup dengan kritik halus? Hanya jadi bahan tertawaan mereka. Apakah cukup dengan demo? Malah dicap perusuh. Padahal rakyat hanya menuntut keadilan, hanya ingin merasakan haknya sebagai warga negara.

Rakyat butuh cara baru, bukan sekadar basa-basi. Rakyat butuh gerakan yang nyata, suara yang bulat, dan kekuatan bersama. Karena bila terus dibiarkan, pejabat yang tuli hati ini akan semakin merampas hak rakyat. Mereka lupa, tanpa rakyat, kursi empuk itu hanyalah kayu kosong tak bernilai.

Inilah penyakit bangsa: keserakahan, korupsi, dan pengkhianatan. Jika kerakusan tidak segera dibasmi, bangsa ini akan hancur oleh penguasa yang lupa daratan. Rakyat harus berani bersatu, mempertahankan hak, dan menagih apa yang seharusnya milik mereka. Keadilan harus ditegakkan, karena negeri ini milik rakyat, bukan milik segelintir pejabat rakus.***

Perluas Wawasan Global Mahasiswa, ISIF Cirebon Lakukan Kunjungan ke Dialogue Centre Singapura

Singapura — Rombongan mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) ISIF Cirebon lakukan kunjungan ke Lembaga Dialogue Center, di Singapura  pada 20 — 22 Agusus 2025. Kegiatan ini dirancang untuk memperluas wawasan mahasiswa mengenai multikulturalisme serta memahami bagaimana komunitas Muslim minoritas di Singapura dapat tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang majemuk.

Kunjungan ini dipimpin langsung oleh Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, bersama Dosen Pembimbing Lapangan sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Nurul Bahrul Ulum. Setibanya di Singapura, rombongan langsung disambut hangat oleh perwakilan Dialogue Centre.

Dialogue Centre Singapura sendiri merupakan lembaga yang fokus pada penguatan dialog lintas komunitas dengan pendekatan Brave Space, yakni ruang yang mendorong keberanian untuk mendengar dan memahami perbedaan.

Fokus utama lembaga ini meliputi tiga bidang penting: kebebasan beragama dan berkeyakinan, keragaman dan inklusi, serta pengembangan kepemimpinan muda.

Dalam menjalankan visi dan misinya, Dialogue Center aktif bermitra dengan institusi pendidikan dan komunitas internasional dalam memajukan toleransi dan kehidupan bersama yang harmonis di tengah keberagaman.

Pada sesi pembuka kegiatan,para mahasiswa mendapatkan pengantar dari Dr. Imran Tajudeen, dosen senior Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), yang menjelaskan tentang kawasan warisan Kampong Glam beserta sejarahnya yang kaya dan multikultural.

Selama di Singapura, para mahasiswa juga dijadwalkan untuk mengunjungi NUS, Asian Civilisation Museum, serta mengikuti kelas master (masterclass) yang dipandu oleh para akademisi dan praktisi NUS.

Melalui program ini, ISIF berharap mahasiswa tidak hanya memperluas pengetahuan akademik, tetapi juga memperkaya pengalaman lintas budaya dan membangun jejaring hingga level internasional.

Kerja sama dengan Dialogue Centre Singapura ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan ISIF Cirebon untuk memperkuat perspektif global mahasiswa sekaligus meneguhkan komitmen kampus dalam membangun perdamaian, toleransi, dan kehidupan bersama yang harmonis di tengah keberagaman.*** (Gun)

Sekela-Kela Bae

Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Beberapa tahun belakangan ini, kebijakan pemerintah semakin bikin orang cuma bisa elus dada dan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, korupsi makin menjadi-jadi, kekayaan alam dikeruk tapi yang menikmati hanya segelintir orang.

Di dunia pendidikan pun tak kalah aneh; ada program makan bergizi gratis (MBG), tapi kenyataannya banyak siswa yang justru kehilangan selera. Bahkan, ada sekolah yang makanannya sampai basi dan tidak layak disantap. Belum cukup, muncul lagi istilah “sekolah rakyat”, lalu “sekolah konglomerat”. Seolah-olah sekolah yang sudah ada selama ini bukan untuk rakyat. Bukankah semua anak memang berhak sekolah? Entahlah, kadang logikanya susah dicerna.

Belakangan ini tambah ramai lagi, bahkan melebihi hebohnya pesta nadran, ketika guru dan dosen dicap sebagai beban negara. Ironisnya, masih ada guru yang gajinya cuma 300 ribu, itu pun dibayar dengan cara dirapel. Katanya beban negara? Sementara di sisi lain ada yang bisa mengantongi ratusan juta per bulan, masih juga sibuk mencari celah untuk korupsi.

Saking banyaknya hal ganjil, sampai bingung mau mengeluh dari mana. Intinya, rakyat sudah terlalu sering dijadikan bahan eksperimen, sementara pemimpin terus mencari cara agar dompetnya tidak pernah kempes.

Dalam acara kenegaraan juga, entah kenapa, dengan asyiknya para pejabat berjoget-joget seakan-akan mereka sedang menghadiri hajatan kawinan di kampung sebelah. Rasanya, kok aneh ya! Acara resmi yang katanya mewakili rakyat justru lebih mirip panggung hiburan. Sepertinya hal itu tidak layak untuk ditiru, apalagi dijadikan kebiasaan.

Kenapa yah, setiap ada acara, joget-joget selalu dijadikan pelengkap? Kaya sayur tanpa garam kalau gak joget. Padahal, rakyat di bawah sedang pusing mikirin harga beras, listrik, sekolah anak, dan cicilan yang makin mencekik. Tapi di atas sana, para wakil rakyat bisa joget ria dengan senyum lebar, seolah dunia ini baik-baik saja.

Kalau dipikir-pikir, lama-lama acara kenegaraan bisa berubah jadi festival joget nasional. Bayangkan saja, mungkin nanti ada lomba joget kategori “menteri paling lentur”, “gubernur paling lincah”, sampai “bupati paling enerjik di atas panggung”. Rakyat yang nonton? Ya cuma bisa ketawa getir sambil mikir, “Ini yang katanya kerja untuk rakyat, kok malah joget mulu?”

Lucunya lagi, joget ini seperti jadi “obat mujarab” untuk menutupi segala kebijakan aneh. Bikin program gagal? Joget dulu. Ada isu korupsi? Joget dulu. Harga-harga naik? Joget lagi. Lama-lama kita bingung, ini pemerintah atau grup dangdut keliling?

Rakyat yang nonton pun dapat dua hiburan sekaligus: hiburan musik di panggung, dan hiburan batin melihat kelakuan pejabatnya. Bedanya, kalau musik dangdut bikin goyang badan, pejabat berjoget justru bikin goyang kepala sambil ngomong, “Astaghfirullah… Ini negara serius apa negara lawakan?”

Pada akhirnya, satu pertanyaan paling sederhana pun muncul: jangan-jangan negeri ini bukan sedang dijalankan, tapi sedang dijalankan-jalankan?

PIT-PAR: Manifestasi Paradigmatik Kampus Transformatif ISIF

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon)

ISIF Cirebon —  Di setiap perguruan tinggi, selalu ada mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mata kuliah ini dimaksudkan untuk mendekatkan mahasiswa dengan kehidupan masyarakat, agar mahasiswa ketika lulus nanti memahami masalah-masalah sosial yang nyata dihadapi masyarakat. Ilmu yang diperolehnya di kampus tidak hanya benar secara teoritik, tetapi juga mampu menjawab problem nyata yang dialami masyarakat.

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon memandang bahwa KKN harus disesuaikan dengan disiplin ilmu yang digeluti mahasiswa di kampus, bukan sesuatu yang terpisah. Oleh karena ISIF mengambil disiplin “studi Islam” (Islamic studies, dirâsât Islâmiyyah), maka nama KKN dalam Kurikulum Transformatif ISIF 2025 diubah menjadi PIT (Praktik Islamologi Terapan). Oleh karena pelaksanaan PIT ini menggunakan metodologi Participatory Action Research (PAR), maka namanya dipertegas menjadi PIT-PAR, singkatan dari Praktik Islamologi Terapan Berbasis Participatory Action Research.

Mengapa Islamologi Terapan?

Secara epistemologis, Islamologi Terapan adalah pendekatan interdisipliner yang mempelajari Islam tidak hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai living tradition (tradisi hidup) yang berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

Konsep “Terapan” menunjukkan orientasi untuk menghubungkan kajian teoretis dengan konteks empiris. Dengan demikian, Praktik Islamologi Terapan (PIT) adalah aktivitas akademik yang membawa mahasiswa keluar dari ruang kuliah di kampus untuk [1] mengamati fenomena sosial keagamaan secara langsung, bahkan terlibat (participant observation), [2] menganalisis dinamika sosial dengan perspektif Islamologi, [3] mengintegrasikan nilai-nilai Islam (etika, keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian) dalam praksis sosial, dan [4] menghasilkan pengetahuan baru yang relevan bagi masyarakat (people knowledge building).

Hal ini selaras dengan paradigma praxis-oriented education, di mana teori didialogkan, dikritisi, dan diperkaya melalui perjumpaan dengan realitas sosial di masyarakat.

Islamologi terapan juga merupakan pengejawantahan dari integrasi konkret Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam dharma pendidikan,  mahasiswa menginternalisasi teori, metodologi, dan nilai-nilai keilmuan Islam melalui praktik dan pengalaman di lapangan. PIT secara sadar menggunakan pendekatan ilmiah (Participatory Action Research/PAR) untuk menggali data, menganalisis akar masalah, dan memproduksi pengetahuan baru. Ini adalah pelaksanaan dari dharma penelitian. Dalam waktu yang sama, sebagai manifestasi dari pengabdian kepada masyarakat, PIT juga mendorong mahasiswa berperan aktif bersama komunitas dalam merumuskan solusi sosial dan melakukan aksi nyata untuk keberdayaan masyarakat dalam menghadapi masalahnya.

Dalam teori pendidikan kritis Paulo Freire, hal ini disebut sebagai conscientização, yakni proses kesadaran kritis yang hanya lahir melalui perjumpaan antara refleksi (teori) dan aksi (praktik sosial) secara terus menerus tiada henti (never ending).

Wujud Misi Transformatif

Diketahui bahwa ISIF Cirebon sejak awal berdirinya memosisikan diri sebagai kampus transformatif, yakni sebuah kampus yang tidak sekadar mencetak sarjana agama, melainkan intelektual yang membumi, menggerakkan, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kedamaian semesta dalam kehidupan masyarakat yang dinamis. Misi transformatif itu bukan sekadar jargon, tetapi diwujudkan melalui praktik akademik yang nyata dan berdampak di masyarakat. Salah satu pilar yang menjembatani ruang akademik dengan realitas sosial adalah Praktik Islamologi Terapan berbasis Participatory Action Research (PIT-PAR).

PIT-PAR adalah ‘tafsir praksis’ dari integrasi Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di ISIF, tiga dimensi dharma tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan paradigmatik yang terhubung. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses dialogis yang menumbuhkan kesadaran kritis. Penelitian bukan sekadar pengumpulan data hingga kesimpulan, tetapi memahami realitas sosial untuk terjadi transformasi sosial. Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar bakti sosial, melainkan praksis pembebasan bersama komunitas untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta. Di titik inilah metodologi Participatory Action Research (PAR) yang digunakan dalam PIT menemukan relevansinya.

Paradigma PIT-PAR

PAR bukan sekadar metode penelitian, tetapi paradigma pengetahuan. Ia mendekonstruksi sekat yang menganga antara  peneliti dan masyarakat, mengubah relasi “peneliti dan yang diteliti” menjadi “peneliti belajar bersama masyarakat.” Dalam PIT-PAR, mahasiswa dan dosen tidak hadir sebagai “pakar” atau “konsultan” yang membawa solusi instan ke masyarakat atas masalah yang mereka hadapi, melainkan mereka sebagai mitra belajar yang bergerak bersama komunitas.

Melalui metode PAR, kegiatan PIT tidak berhenti pada tahap mengamati, mengidentifikasi, dan menganalisis masalah, melainkan civitas akademika terlibat langsung dalam siklus refleksi-aksi-refleksi-aksi hingga tanpa berkesudahan. Masalah sosial yang ditemukan bukan sekadar didiagnosis dan dianalisis akar strukturnya, melainkan bersama masyarakat dicari alternatif pemecahan yang sesuai konteks lokal dengan aksi nyata, kemudian dievaluasi kembali bersama, lalu dilakukan aksi baru, begitu seterunya. Dengan demikian, PAR adalah metodologi dialogis, kritis, sekaligus praksis—sejalan dengan visi Islamologi Terapan yang dikembangkan ISIF.

Spirit ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pendidikan kritis. Freire menegaskan, “Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom” (1970). Pendidikan yang sejati adalah proses dialogis yang memampukan manusia membaca realitasnya (conscientização), mengkritisi struktur penindasan, dan bertindak mengubah keadaan. PIT-PAR hadir sebagai medium pendidikan kritis—menyatukan pembelajaran di kampus dengan realitas sosial masyarakat marginal.

Berbeda dengan KKN konvensional yang sering kali hanya berupa kegiatan seremonial di desa, PIT-PAR mengusung spirit transformasi sosial berkelanjutan. Mahasiswa tidak sekadar hadir beberapa minggu, lalu pergi tanpa jejak, tetapi mereka masuk ke komunitas dengan sikap partisipatif, mendengarkan, membangun kesadaran kritis, membangun hubungan sosial kemanusiaan, dan meninggalkan jejak keberdayaan yang menancap pada akar tradisi lokal.

Dalam konteks pendidikan tinggi, metode PAR yang digunakan dalam PIT-PAR menghubungkan riset, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat dalam satu kesatuan siklus. Yakni, identifikasi masalah bersama masyarakat, analisis kritis sebab-akibat dan potensi solusi, perencanaan aksi berbasis partisipasi komunitas, implementasi aksi sosial secara kolektif, serta evaluasi dan refleksi bersama untuk meningkatkan kapasitas komunitas. Hasil akhir dari proses ini adalah transformasi sosial yang tidak hanya mengubah kondisi struktural, tetapi juga menumbuhkan critical consciousness, baik pada mahasiswa maupun masyarakat dampingan.

Melalui pengalaman ini, mahasiswa diharapkan menguasai kompetensi teoritik dan praktik PAR, memahami dinamika sosial berbasis nilai-nilai Islam, serta mampu membangun sinergi antara kampus dan masyarakat. Setelah PIT-PAR selesai, masyarakat tidak ditinggal begitu saja, melainkan tetap didampingi dan dibersamai oleh dosen-dosen dalam menjalankan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Desa atau komunitas PIT-PAR dijadikan sebagai desa dampingan atau kawasan studi oleh civitas akademika Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).

Mengapa PAR Penting?

Metodologi PAR yang melekat pada PIT bukan pilihan teknis, tetapi sebuah manifestasi paradigmatik dari tri dharma perguruan tinggi, yang kemudian menjadi rangkaian metodologis yang sistematis. Dalam dimensi pendidikan, PAR menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa. Mereka belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari realitas kehidupan masyarakat. Mahasiswa dilatih menjadi intelektual organik—yang mampu mendengar, berdialog, dan membangun solusi bersama masyarakat, bukan mendikte dari menara gading akademik.

Dalam dimensi penelitian, PAR menolak netralitas semu yang sering melekat pada riset positivistik. Ia menegaskan bahwa penelitian harus berpihak pada keadilan. Data bukan sekadar dikumpulkan, tetapi diolah bersama masyarakat sebagai alat pembebasan. Dengan PAR, mahasiswa belajar bahwa pengetahuan sejati lahir dari perjumpaan kritis antara teori dan realitas yang dialami masyarakat.

Sebagai pengabdian kepada masyarakat, PAR melampaui pendekatan karitatif. Pengabdian tidak berhenti pada bantuan material, melainkan mendorong kesadaran kritis, perubahan relasi, hingga munculnya keberdayaan struktural yang berkelanjutan. Pengabdian bukan tentang “membantu yang lemah”, tetapi membangun kesadaran bahwa masyarakat memiliki kekuatan kolektif untuk mengubah nasibnya sendiri berangkat dari sumber daya yang dimilikinya saat ini.

Dengan demikian, PAR adalah jembatan antara teori dan praksis, antara kampus dan masyarakat, antara ilmu dan transformasi untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta, misi yang diusung ISIF. Inilah mengapa PIT-PAR menjadi inti dari identitas ISIF sebagai “kampus transformatif.”

Merambah ke Global

Seiring dengan perkembangan ISIF sebagai kampus berbasis gerakan sosial, PIT-PAR kini berkembang dalam tiga skema pelaksanaan. Dua skema pertama telah dilaksanakan sebelumnya, yakni PIT-PAR Reguler dan PIT-PAR Mandiri. Adapun skema PIT-PAR Internasional baru dilaksanakan pada tahun 2025 ini.

PIT-PAR Reguler adalah skema utama dan terjadwal sebagai bagian dari kegiatan akademik setiap semester. PIT-PAR Reguler diselenggarakan di wilayah lokal (desa, kampung, komunitas urban) yang ditentukan oleh kampus. Mahasiswa dari berbagai program studi melaksanakan kegiatan sesuai fokus keilmuannya, misalnya: mahasiswa PAI memperkuat pendidikan agama di masyarakat, mahasiswa Ekonomi Syariah mendampingi penguatan ekonomi komunitas, mahasiswa Hukum Keluarga Islam memfasilitasi literasi hukum keluarga, dan mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir mengembangkan literasi keagamaan berbasis tafsir kontekstual. Skema ini di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) ISIF.

PIT-PAR Mandiri memberi fleksibilitas bagi mahasiswa yang, karena kondisi tertentu –misalnya mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), tidak dapat mengikuti PIT-PAR Reguler. Dalam skema ini, mahasiswa melaksanakan PIT-PAR di daerah asal atau komunitasnya sendiri, dengan rancangan program yang disetujui LP2M. Keunggulan skema ini adalah memungkinkan mahasiswa lebih kontekstual karena mengenal baik komunitasnya dan mendorong mahasiswa menjadi agen perubahan di lingkungannya sendiri.

Adapun skema terbaru, yakni PIT-PAR Internasional, merupakan pengembangan global PIT-PAR yang dilaksanakan di luar Indonesia. Mahasiswa dapat mengikuti program ini untuk belajar tentang isu-isu keislaman, sosial, dan pemberdayaan masyarakat dalam konteks lintas budaya dan negara. Contoh implementasinya adalah praktik pemberdayaan komunitas Muslim minoritas di Asia Tenggara, kolaborasi dengan lembaga internasional dalam isu keadilan sosial dan gender, dialog interkultural dengan masyarakat di luar negeri sebagai learning society. PIT-PAR Internasional memperluas perspektif mahasiswa tentang Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang dapat dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial-budaya dan kewarganegaraan.

Melalui ketiga skema tersebut, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah lapangan, tetapi menjadi model kegiatan akademik transformatif berbasis riset partisipatoris yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat dari ketidakadilan struktural, kemiskinan, keterbelakangan, serta problem sosial lainnya. Dengan demikian, PIT-PAR menjadi medium untuk menghadirkan Islam yang humanis, egaliter, dan kontekstual, mengintegrasikan studi Islam klasik dengan ilmu sosial kontemporer, menciptakan lulusan ISIF yang memiliki kompetensi akademik, spiritual, dan sosial, sekaligus sensitif terhadap isu-isu gender, keadilan, dan keberagaman.

ISIF: Bergerak dari Lokal ke Global

Melalui PIT-PAR, ISIF mengukuhkan dirinya sebagai kampus yang tidak hanya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, tetapi juga menggerakkan masyarakat; tidak hanya mencerdaskan masyarakat, tetapi juga memberdayakan kehidupannya; tidak hanya mengkritik, tetapi juga membangun solusi bersama yang berkelanjutan.

Dalam konteks Indonesia yang masih sarat dengan ketimpangan, intoleransi, dan ketidakadilan, kampus agama seperti ISIF tidak cukup hanya memproduksi lulusan yang hafal teks, tetapi harus melahirkan ilmuwan-aktivis yang mampu merumuskan Islam sebagai kekuatan pembebasan sosial. Di sinilah, Islamologi Terapan menemukan relevansinya—Islam yang membumi, Islam yang menyentuh realitas, Islam yang mengubah keadaan, Islam yang mampu mengantarkan terwujudnya keadilan dan kemaslahatan.

Dalam konteks ini, PIT-PAR adalah laboratorium sosial yang membentuk mahasiswa menjadi insan yang tidak hanya kritis, tetapi juga peduli dan berdaya ubah. Dengan dimensi internasionalnya, PIT-PAR menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya agenda lokal, tetapi juga agenda global yang harus diperjuangkan oleh civitas akademika kampus.

Belajar, Bergerak, Berubah

Sebagai kampus transformatif, ISIF melalui PIT-PAR mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dipraktikkan; bukan untuk kemuliaan individu, tetapi untuk keberdayaan masyarakat di mana kita bersamanya. PAR sebagai metodologi bukan sekadar pilihan akademik, tetapi manifestasi komitmen moral kampus pada keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.

Dengan PIT-PAR, ISIF menegaskan bahwa kampus bukan menara gading, melainkan ruang perjumpaan, dialog, dan transformasi sosial. Selaras dengan gagasan Paulo Freire dan Orlando Fals Borda, bahwa “Education is freedom. Research is liberation. Action is justice.”

Kini, dengan mengusung PIT-PAR Internasional, ISIF menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya mandat Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab peradaban Islam di tingkat global. Mahasiswa ISIF tidak hanya menjadi saksi, tetapi aktor perubahan sosial, baik di desa di Cirebon maupun di komunitas transnasional di Malaysia dan Singapura.

PIT-PAR mengajarkan bahwa transformasi sosial dimulai dari keberanian untuk hadir, mendengar, dan bergerak bersama. Jelaslah, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah, tetapi adalah jiwa dari ISIF sebagai kampus transformatif dan jantung praksis akademik ISIF yang menghubungkan kampus dengan realitas sosial.[]

Moderasi Beragama: Jalan Tengah Menuju Keharmonisan

Oleh: Ahmad Kamali Hairo (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Dalam konteks kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi sebuah keniscayaan. Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengedepankan keseimbangan antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan terhadap praktik beragama orang lain. Moderasi beragama bukan berarti mengurangi kadar keimanan, melainkan menjadikan agama sebagai landasan untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan harmonis.

Konsep ini penting untuk terus digaungkan di tengah menguatnya arus ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Di satu sisi, ada kecenderungan memahami agama secara sempit dan kaku, yang memunculkan sikap eksklusif dan bahkan kekerasan atas nama agama. Di sisi lain, ada pula pandangan yang menafikan peran nilai-nilai spiritual dan merelatifkan semua keyakinan secara ekstrem. Moderasi hadir sebagai jalan tengah yang menjembatani dua kutub ini, menghadirkan wajah beragama yang ramah, adil, dan kontekstual.

Untuk mewujudkan moderasi beragama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi panduan moral, tetapi juga menjadi pedoman praktis dalam bersikap dan bertindak di tengah masyarakat yang majemuk. Setidaknya, terdapat lima prinsip utama yang menjadi pilar moderasi beragama dan dapat dijadikan pegangan bagi setiap individu dalam membangun kehidupan yang harmonis dan saling menghargai.

Lima Prinsip Utama Moderasi Beragama

1. Jalan Tengah (Tawassuth)
Mengambil posisi di antara dua ekstrem: tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula meremehkannya. Sikap ini menghindari radikalisme maupun liberalisme, dan memastikan ajaran agama dipahami serta diamalkan secara seimbang.

2. Toleransi (Tasāmuh)
Menghargai perbedaan keyakinan dan praktik beragama. Toleransi bukan berarti menyetujui semua keyakinan, tetapi memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan maupun diskriminasi.

3. Kesetaraan (Musāwah)
Memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan, tanpa membedakan suku, ras, atau agama. Prinsip ini menolak segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, serta menjamin hak dan martabat yang sama bagi setiap individu.

4. Keadilan (I’tidāl)
Menegakkan kebenaran dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, tanpa memandang latar belakang agama. Keadilan menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.

5. Dinamis (Tathawwur)
Menyadari bahwa ajaran agama dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan konteks sosial. Prinsip ini mendorong umat beragama untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan kontemporer tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar agama.

Dengan mengamalkan prinsip-prinsip ini, moderasi beragama menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.  Selain itu ia turut serta menciptakan peradaban yang beradab dan penuh kasih sayang.

situsjitu

Simpatitogel

hu.edu.ye

odma.od.ua

https://siakad.staibu.ac.id/

https://journals.i3l.ac.id/

https://lrc.i3l.ac.id/

https://observatorioambientallamatanza.unlam.edu.ar/

https://jpsyh.steizar.ac.id/

https://sjii.es/

slot dana

Slot777

Situs Gacor

toto macau

Toto 4D

Toto 4D

situs toto

Toto 4D

https://revistas.peruvianscience.org

Toto 4D

Simpatitogel

Slot Gacor

Situsjitu

Situsjitu

Situsjitu

Slot Jepang

slot jepang

Toto 4d

jurnal.stai-tangho.ac.id

SLOT 4D

SLOT JEPANG

Simpatitogel

SIMPATITOGEL

simpatitogel

Angkasa17

Angkasa17