by admin | 14 Jan 2025 | Artikel
Husein Muhammad
Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina
ISIF Cirebon – Pesantren diakui secara luas merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara.
Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, diambil dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu. Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka, mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.
Pakaian sarung atau kopyah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri.
Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangan alur ceritanya oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam.
Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.
Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisime yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Satu hal yang saya kira menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai. Hal ini dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan.
Kenyataan ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami’ dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim : Vihara dan Gereja. Bangunan antara Vihara dan Gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya.
Hubungan antara Kiyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan sepanjang sejarahnya pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan Tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.
Demikianlah, maka saya kira di tengah karut-marutnya hubungan antaragama dan antarumat Islam sendiri dewasa ini, Pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antarberbagai orang sesama bangsa. Pesantren sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk — meminjam istilah KH. Ahmad Shiddiq — ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Semoga. Amin.
— Disarikan dari tulisan Buya Husein dalam buku “Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman; Potret dari Cirebon” (Marzuki Rais, dkk. Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman: Potret dari Cirebon. Cirebon: Yayasan Fahmina, 2014.)
by admin | 14 Jan 2025 | Artikel
Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina
ISIF Cirebon — Apakah agama, dalam hal ini Islam, mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka? Atau sebaliknya, apakah Islam mengafirmasi diskriminasi berdasarkan gender?
Secara lebih elaboratif, pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik. Perlakuan itu, misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik. Selain itu apakah perempuan perlakuan dan kedudukan yang sama dalam mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.
Kontroversi
Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan, dua aliran besar. Aliran pertama, berpendapat bahwa posisi perempuan adalah subordinat laki-laki. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki. Perempuan inferior dan laki-laki superior.
Posisi subordinat perempuan ini diyakini agamawan aliran ini sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh diubah. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus dibedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/politik. Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki.
Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat. Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Tuhan, dan keputusan Tuhan adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata. Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim.
Aliran kedua, berpendapat bahwa perempuan mempunyai status dan posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut aliran ini memiliki potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki,baik dari aspek intelektual/akal, fisik maupun aspek mental-spiritual.
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki signifikansi yang mewajibkan kita untuk membedakan mereka dalam mengekspresikan hak dan kewajiban masing-masing di depan hukum dan aktifitas social yang lain. Atas dasar pikiran ini, aliran ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka baik dalam ranah privat maupun publik. Aliran ini dianut oleh sangat sedikit ulama Islam, dan kita mungkin menyeburnya sebagai aliran progresif.
Adalah menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argument keagamaan dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur-an dan Hadits Nabi. Dua sumber paling otoritatif dalam sistem keagamaan kaum muslimin. Kedua sumber Islam ini memang menyediakan teks-teks yang menjelaskan tentang kedudukan manusia yang setara di hadapan Tuhan, penghormatan martabat manusia, penegakan keadilan dan sebagainya di satu sisi. Di sisi yang lain, teks-teks juga membedakan antara laki-laki dan perempuan, keunggulan dan otoritas laki-laki atas perempuan, kelemahan akal dan agama perempuan, dan sebagainya. Ulama Islam terkemuka; Imam Jalal al Din al Suyuti, dalam bukunya “Al Asybah wa al Nazhair” menyebut sekitar 100 lebih perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Pandangan-pandangan keagamaan tersebut masih menjadi rujukan bangsa-bangsa muslim di dunia. Tetapi harus segera dikemukakan bahwa pandangan keagamaan yang mendiskriminasi perempuan masih mendominasi kerangka berpikir masyarakat muslim pada umumnya. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat bahwa sumber-sumber legitimasi keagamaan mereka masih merupakan produk pemikiran para sarjana muslim generasi klasik. Mereka memandang produk-produk pemikiran tersebut paling dapat dipercaya dibanding lainnya.
Universal versus Partikular
Sumber-sumber utama Islam menyediakan dua katagori teks. Yakni teks-teks universal dan teks-teks partikular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan, untuk semua orang di segala ruang dan waktu. Ia berisi prinsip-prinsip fundamental atau dalam konteks sekarang bisa disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Al Ghazali (w. 1111 M) menyebut ini dengan istilah “Al Kulliyyat al Khams” (Lima prinsip Universal). Yaitu hifzh al din” (perlindungan terhadap keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al ‘aql (perlindungan atas hak berpikir dan berekspresi), hifzh al nasl/al ‘irdh (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatandiri) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik).
Contoh teks Universal adalah ayat-ayat tentang kebebasan, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabat manusia, penegakan keadilan bagi semua manusia, sikap jujur dan ajaran-ajaran moral yang lain. Para ahli Islam menyebutkan katagori ini sebagai “al-Muhkamat” (ayat-ayat yang kokoh dan tidak dapat diabaikan sama sekali). Al Ghazali menyebutnya sebagai “Maqashid al Syari’ah”, misi Agama, yang kepadanya seluruh gagasan manusia harus disandarkan.
Sementara katagori teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks-teks partikular muncul sebagai respon atas suatu peristiwa atau kasus dalam sebuah ruang dan waktu. Karena sifatnya yang demikian maka ia selalu terkait dengan kejadian faktal dalam konteks tertentu. Oleh karena itulah ia harus dimaknai secara kontekstual. Semua teks-teks hukum adalah partikular. Isu-isu tentang kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan oleh laki-laki (wilayah), poligami, kewarisan dan lain-lain adalah isu-isu partikular. Ayat-ayat seperti ini masuk dalam katagori “mutasyabihat”, interpretable, dapat diinterpretasikan, dan oleh karena itu bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.
Pandangan mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara teks universal versus teks partikular, maka teks partikular membatasi berlakunya teks universal. Teks partikular harus diutamakan. Pandangan ini ditolak keras oleh Imam al Syathibi, seraya mengatakan bahwa “aturan-aturan umum atau hukum universal bersifat pasti dan normatif, sedangkan pesan-pesan atau petunjuk-petunjuk khusus bersifat relatif. Karena itu, hukum umum dan ketentuan universal,menurutnya harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus (partikular).
Aturan-aturan khusus ini tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan universal”. Misalnya, al Qur’an menyatakan :
الرجال قوامون علی النساء بما فضل الله بعضهم علی بعض وبما انفقوا من اموالهم
”Laki-laki adalah “qawwam” (pemimpin) atas kaum perempuan, disebabkan Allah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki memberikan sebagian nafkahnya”.(Q.S. Al-Nisa,[4:34].
Pada tempat lain Tuhan mengatakan :
يا ابها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثی وجعلناكم شعوبا وقباءل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم
”Wahai Manusia, Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling terhormat di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”.(Q.S. Al-Hujurat,[49;13].
Ayat Q.S. [4:34] menjadi dasar utama untuk menjustifikasi otoritas dan sperioritas laki-laki. Sementara Q.S 49:13, menegaskan kesetaraan manusia. Ayat ini bersifat universal. Menurut Syathibi, ayat tentang kesetaraan manusia bersafat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan. Sedangkan ayat tentang kepimimpinan laki-laki adalah partikular, bersifat khusus dan sosiologis, maka ia berlaku kontekstual.
Dari uraian di atas kita setidaknya memperoleh suatu gambaran bahwa respon atau sikap kaum muslimin atas isu-isu gender adalah beragam, berbeda-beda, meskipun mereka mengacu pada sumber referensi yang sama. Keberagaman pandangan ini muncul dari perbedaan mereka dalam membaca atau memahami teks. Sebagian memahaminya secara tekstual/harfiyah, dan menganggapnya sebagai kebenaran final, tanpa harus mempertimbangkan aspek rasio, ruh dan tujuan maupun realitas di luarnya.
Sementara pandangan yang lain membaca teks dengan segenap makna terdalamnya, substansial dan holistik. Mereka berpendapat bahwa keberadaan teks tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang melingkupnya. Teks tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan refleksi dan respon dari situasi peristiwa kehidupan yang nyata yang senantiasa mengalami proses perubahan dan dinamis. Setiap pendapat pikiran adalah refleksi dari diri yang hidup dalam lingkungannya masing-masing.
Pandangan yang terakhir ini menarik hati saya, dan saya percaya pula bahwa pesan-pesan agama yang ditulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung logika, tujuan dan ruh kemanusiaan. Tujuan ini dapat dipelajari dan diusahakan untuk diwujudkan. Ia bersifat rasional, dan bukan masalah yang terkait dengan kebenaran scriptural.
Penutup
Dari sini saya ingin menyatakan :
1. Perempuan adalah manusia. Ia memiliki seluruh potensi kemanusiaannya sebagaimana manusia laki-laki: intelektual (akal), mental-spiritual (ruh), hasrat seksual, energi tubuh dan lain-lain. Semua potensi itu diberikan Tuhan dalam kapasitas yang relative sama dengan laki-laki.
Oleh karena itu perempuan memiliki hak-hak kemanusiaannya, di samping kewajiban-kewajibannya, sebagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban kemanusiaan laki-laki. Perempuan berhak menjadi apa saja sebagaimana laki-laki. Semua hak tersebut tidak boleh dikurangi sedikitpun, wajib dihargai dan dilindungi oleh Negara, tradisi dan oleh siapapun.
2. Kesetaraan manusia adalah konsekuensi paling bertanggungjawab atas pengakuan Ke-Esaan Tuhan. Atas dasar ini maka keadilan jender harus ditegakkan. Keadilan adalah bertindak proporsional, dengan memberikan hak kepada siapa saja yang memilikinya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau symbol-simbol primordialnya. “Tuhan tidak menilaimu dari wajah dan tubuhmu, melainkan dari hati dan tindakanmu”, kata Nabi.
3. Subordinasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan secara factual telah menciptakan beban penderitaan berlapis dan kemiskinan perempuan. Penderitaan dan Kemiskinan perempuan secara niscaya berimplikasi serius pada kesehatan reproduksi, pendidikan dan kesejahteraan keluarga, dan pada gilirannya berdampak pada kemiskinan dan penderitaan keluarga, bangsa dan negara.
4. Agama hadir untuk manusia dalam kerangka penegakan prinsip-prinsip kemanusiaan (Rahmatan lil ‘Alamin). Di dalam terma ini terkandung paling tidak tujuh prinsip kemanusiaan : 1. Perlindungan atas hak hidup. 2. hak berkeyakinan. 3. hak berpikir. 4. hak atas kehormatan. 5. hak atas kesehatan reproduksi. 6. hak atas kepemilikan kekayaan, dan 7. hak atas keterpeliharaan dan kelestarian lingkungan.
5. Oleh karena itu, maka sistem sosial, kebijakan negara, pandangan tradisi dan keagamaan serta pandangan apapun yang mendiskriminasi dan mengandung kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya harus diperbaiki atau dihapuskan karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia, agama dan etika kemanusiaan.
by admin | 24 Dec 2024 | Artikel
ORASI ILMIAH DIREKTUR PENERANGAN AGAMA ISLAM
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dalam suasana yang penuh dengan semangat intelektual dan kesadaran moral. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah bertemakan tantangan global yang melibatkan isu dehumanisasi dan perubahan iklim, serta bagaimana peran penting tokoh agama dan kaum cendekia dalam menjawab permasalahan tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Dunia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang semakin mendesak untuk diatasi. Dehumanisasi, yakni penghilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam relasi sosial, dan perubahan iklim, sebagai akibat eksploitasi alam yang berlebihan, menjadi dua persoalan yang mengancam eksistensi manusia secara global. Dalam konteks ini, peran tokoh agama dan kaum cendekia tidak lagi dapat dipandang sebagai periferal, tetapi justru harus berada di garis depan untuk menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Dehumanisasi menjadi salah satu fenomena yang marak terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik bersenjata, ketidakadilan sosial, hingga eksploitasi tenaga kerja. Fenomena ini mencerminkan hilangnya nilai kemanusiaan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat relevan. Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya mengembalikan esensi kemanusiaan yang inklusif, melampaui sekat-sekat identitas.
Perubahan iklim adalah krisis global yang tak terhindarkan. Peningkatan suhu bumi, penggundulan hutan, kenaikan permukaan laut, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah tanda-tanda kerusakan ekologis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensi perubahan iklim tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial, menciptakan gelombang baru pengungsi iklim, konflik sumber daya, dan ketidakstabilan ekonomi.
Fenomena dehumanisasi dan perubahan iklim saling berkelindan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam mencerminkan hilangnya kesadaran akan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab kolektif terhadap sesama makhluk hidup. Kerusakan ekologi ini tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin parah, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.
Di tengah kompleksitas permasalahan ini, agama memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral yang dapat menginspirasi perubahan. Ajaran agama, yang pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab, mampu menjadi panduan dalam mengatasi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Misalnya, dalam Islam, konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Tokoh agama memiliki peran strategis dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan. Melalui dakwah, pendidikan, dan kepemimpinan sosial, mereka dapat mendorong masyarakat untuk mengedepankan solidaritas, empati, dan keadilan. Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari Rabi’a al-Adawiyya, seorang tokoh perempuan Islam yang menekankan cinta kepada Tuhan sebagai jalan menuju cinta kepada sesama manusia. Pemikirannya menegaskan bahwa nilai spiritualitas yang tinggi dapat mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaan sejati.
Selain itu, tokoh agama juga perlu mengambil peran dalam advokasi lingkungan. Mereka dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, mengajak umat untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian asal Kenya, adalah contoh perempuan Muslim yang membuktikan bahwa perjuangan lingkungan dapat berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan. Gerakannya, Green Belt Movement, mengajarkan bahwa pelestarian lingkungan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.
Hadirin yang saya hormati,
Kaum cendekia memiliki peran penting dalam menyusun narasi intelektual yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita dapat memberikan analisis kritis terhadap struktur sosial yang menghasilkan dehumanisasi, serta menawarkan solusi yang berbasis keadilan sosial. Dalam hal ini, cendekiawan perlu memadukan wawasan akademik dengan sensitivitas moral untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Dalam isu perubahan iklim, cendekiawan memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan urgensi krisis ekologis melalui penelitian, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik. Kita juga perlu mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan memastikan bahwa solusi ekologis yang ditawarkan tetap berpihak pada keadilan sosial.
Kerja sama antara tokoh agama dan kaum cendekia menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Tokoh agama dapat memberikan landasan moral dan spiritual, sementara kaum cendekia menyediakan analisis kritis dan solusi berbasis data. Sinergi ini memungkinkan terciptanya gerakan yang lebih inklusif dan efektif dalam menjawab tantangan global.
Menuju Indonesia Emas 2045, peran tokoh agama dan kaum cendekia menjadi semakin penting. Mereka harus mampu menjadi katalis perubahan dalam masyarakat, baik dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan maupun dalam mendorong kesadaran ekologis. Visi Indonesia Emas tidak hanya tentang pembangunan ekonomi, tetapi juga tentang pembangunan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan.
Salah satu cara untuk mewujudkan sinergi ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran ekologis perlu menjadi prioritas, baik di tingkat formal maupun informal. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Meskipun tantangan yang kita hadapi besar, kita harus tetap optimis bahwa perubahan dapat terjadi. Dengan kerja keras, sinergi, dan komitmen, kita dapat mewujudkan dunia yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tokoh agama dan kaum cendekia harus menjadi cahaya penuntun dalam perjalanan ini.
Hadirin yang saya hormati,
Di tengah tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim, sebuah deklarasi lintas agama yang dilakuan beberapa waktu lalu yakni Deklarasi Istiqlal telah menyerukan pentingnya kolaborasi umat beragama untuk menjaga lingkungan hidup dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi ini mengingatkan kita bahwa tanggung jawab keagamaan tidak hanya berpusat pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa agama harus menjadi landasan moral dalam membangun harmoni antara manusia dan lingkungan.
Semangat dari deklarasi tersebut mengajarkan kita bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah ilahi. Umat beragama dipanggil untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan kebersamaan yang diajarkan agama harus menjadi pilar utama dalam upaya global untuk menghadapi tantangan ini. Deklarasi ini juga menjadi pengingat bahwa harmoni antarumat beragama bukan sekadar idealisme, tetapi kunci keberhasilan dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan spirit ini, mari kita jadikan upaya menjaga lingkungan dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Tuhan dan warisan luhur untuk generasi mendatang.
Akhir kata, saya mengajak kita semua untuk menjadikan dehumanisasi dan perubahan iklim sebagai isu bersama yang harus diatasi dengan semangat kolektif. Mari kita berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam upaya mulia ini.
Wallahulmuwafiq Ilaa Awamith Tharieq
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Direktur Penerangan Agama Islam
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
— — Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.
by admin | 24 Dec 2024 | Artikel, Publikasi Ilmiah
ORASI ILMIAH
Lies Marcoes Natsir
Rektor dan para Civitas Akademika ISIF yang terhormat.
Para Kyai Ibu Nyai pengasuh pondok pesantren yang saya muliakan.
Wisudawan Wisudawati yang berbahagia beserta orang tua mereka yang saya hormati.
Para tamu undangan, para alumni dan mahasiswa ISIF yang saya banggakan,
Assalama’laikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Puji dan Syukur kita panjatkan kekadirat Allah SWT dan shalawat serta salam kita limpahkan bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas berkat dan karunia Allah serta bimbingan Nabi, kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk acara Wisuda Sarjana ISIF ke 8 tahun 2024.
Sungguh saya sangat terharu pagi ini bisa berdiri di hadapan civitas akademika ISIF dan para wisudawan, orang tua, alumni dan mahasiswa ISIF sekalian. Sungguh tidak menyangka bahwa sesuatu yang semula hanya sebuah gagasan untuk memiliki lembaga yang melahirkan center of excellence benar-benar bisa terwujud. Saya adalah saksi dari sejumlah orang2 idealis yang melahirkan ISIF lalu tumbuh dan berkembangnya. Kita patut menundukkan kepala bagi mereka yang turut membidani ISIF termasuk Alm Kiai Afandi Mochtar.
Ibu Bapak para tamu undangan yang terhormat,
Pertama-tama izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia kepada para Wisudawan-Wisudawati. Anda sekalian telah merampungkan satu etape paling menantang, paling penting sekaligus paling indah dari etape-etape lain yang telah dan akan dilalui dalam hidup di masa mendatang.
Masa kuliah adalah masa yang paling monumental karena secara psikologis dan sosial serta pengembangan diri. Ini adalah era yang paling fundamental dalam menentukan jalan hidup kita di masa depan. Dari sisi umur itu adalah tahap paling penting dalam melatih cara bergaul, bernegosiasi, Tarik ulur dengan berbagai relasi, cara berpikir, cara beragrumentasi dan mengembangkan pemahaman yang kelak akan menentukan bagaimana kita memandang kehidupan.
Sebagai antropolog saya mengibaratkan dalam metafor bahwa pada masa kuliah adalah masa membangun pondasi yang kelak akan menentukan bentuk bangunan apa yang hendak diwujudkan, seberapa kokoh bangunan itu, ruang-ruang apa yang dianggap prioritas.
Dan sebagai antropolog yang peduli pada isu perempuan saya tentu ingin melihat bagaimana imajinasi pembagian ruang itu dibayangkan. Seberapa besar dan sehat warga penghuni bangunan itu punya aksesabilitas ke sumber-sumber energi seperti dapur, sumur, meja makan dan ruang istirahat. Tempat-tempat seperti dapur, sumur ruang makan bagi kami perempuan adalah pusat gerak. Bukan hanya ruang tamu atau ruang lain yang biasanya dipamerkan.
Dalam arsitektur hunian Islam di era Abbasiyah dan Usmaniyyah, sebelum masuk ke era penjajahan, rumah-rumah dibangun melingkar ke dalam. Sumur dan halaman belakang menjadi penghubung satu rumah dengan rumah lainnya. Teras belakang merupakan tempat yang paling aman dan nyaman bagi kaum perempuan berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan sharing pengasuhan. Dengan metafora itu kita dapat mengibaratkan perpustakaan, ruang produksi pengetahuan, ruang debat dan diskusi adalah ruang yang menyerupai ruang terras bekalang tempat kaum ibu berinteraksi dalam bangunan arsitektur rumah-rumah kaum Mislim yang membuat warganya bebas mengembangkan pikiran dan berpendapat.
Para wisudawan wisudawati yang saya cintai
Izinkan saya menggunakan pengalaman pribadi bukan untuk diteladani tetapi untuk menjadi bahan renungan atau refkelsi. Tahun 1977 atau sekitar 45 tahun lalu, dengan tanpa pilihan saya kuliah di IAIN Ciputat. Padahal waktu itu saya ingin sekali masuk ke IPB, satu-satunya universitas favorit di kampung kami, agar menjadi tukang insinyur pertanian lulusan IPB. Harap diingat di awal Orde Baru orientasi tentang sarjana yang berasal dari desa akan kembali ke desa untuk membangun desa adalah gagasan ideal pemerintah yang masuk akal bagi kami di desa. Kami tak punya niatan untuk menetap di kota melainkan pulang ke desa sebagai sarjana. Kami tak tahu bahwa ternyata desa telah kebih dulu diopukasi oleh industri pabik dan orang kota.
Tapi orang tua saya menghendaki lain. Saya diminta masuk ke jurusan agama seperti kakak sulung kami, prof Musyrifah Sunanto dosen SKI lulusan IAIN Jogyakarta di IAIN Ciputat. Orang tua kami telah menyekolahkan kakak-kakak saya di jurusan eksakta atau non agama; Setelah yang sulung di IAIN Jogyakarta, kakak laki-laki kuliah di AIP dan melanglang buasa sebagai nahkoda kapal Permina/ Pertamina. Lalu kakak perempuan di Fakultas Ekonomi, dilanjutkan kakak perempuan di MIPA jurusan Kimia, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan saya yang ketempuhan kembali ke jalur agama.
Dari pihak Ibu yang akarnya Muhammadiyah di Jogya, orientasi Pendidikan anak-anak adalah agar menjadi priyayi atau interpreuner, sementara dari Pihak ayah yang berasal dari pesantren di Kebarongan Banyumas menghendaki keturunanya masuk ke jalur kajian agama. Saya sendiri tak berinat pada kedua dunia itu, karena saya lebih tertark pada Ilmu – ilmu sosial, sastra dan kehidupan.
Demikianlah dengan rasa kehilangan atas kebanggaan sebagai mahasiswa , saya sering tak mengakui kuliah di IAIN kepada teman-teman seangkatan yang berhasil masuk ke IPB. Saya masuk ke IAIN Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. Rupanya dalam kurikulum Fak Ushuluddin kami mendapatkan materi Sosiologi dan metode penelitan. Waktu itu kampus IAIN kecil saja, kami menyebutkan seperti pabrik panci. Demikianlah saya menapaki hari-hari sebagai mahasiswa dan aktif di kegiatan ektra serta ikut demonstrasi gerakan Mahasiswa tahun 89.
Lalu bagaimana saya bisa berkembang hingga saat ini.
Pertama-tama adalah Membaca
Sejak SMA saya punya hobi membaca, membaca fiksi cerita-cerita roman dari karya-karya Sastra klasik Pujangga baru hingga era modern saya baca. Di SMAN I Banjar Camis telah tersedia perpustakaan dan saya lebih memilih masuk ke perpustakaan daripada jajan di masa-masa istirahat. Untung waktu it belum ada gadget!
Dalam perkembangannya ketika kuliah di IAIN saya tertarik pada Ilmu-ilmu Sosial kritis. Perpustakaan IAIN lumayan koleksinyha. Tapi itu tak cukup buat saya. Di Jakarta, dengan 2 kali naik bus saya rutin pergi ke perpustakaan British Counsil di Gedung Wijoyo Center di Jln Sudirman, di kantor The Ford Foundaion sekarang. Di sana saya membaca buku-buku karya akademik dan mulai membaca buku berbahasa Inggris dan meted penelitian grounded.
Ada rahasia lain, harus diakui itu juga karena dorongan pacar!. Mantan pacar yang kemudian menjadi suami saya, Ismed Natsir adalah seorang penulis, karya tulisnya di Prisma membuat dia diperhitungkan sebaga intelektual muda dengan pikiran tajam karena dia juga kuliah di Filsafat Driyarkara. Jadi salah satu keindahan masa kuliah adalah mencari pasangan. Cari pasangan yang baik, pintar, bacaanya banyak dan tidak melakukan bentuk violence apapun.
Saya membaca buku tebal serius sejak SMA, Mukaddimah karya Ibnu Haldun saya baca! Lalu apa buku yang sedang say abaca saat ini? Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik draft karya Dr Noor Huda ismail karena kebetulan saya diundang sebagai editornya untuk memastikan elemen GEDSI masuk ke dalam buku itu.
Kedua adalah Menulis
Modal menulis adalah kemampuan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak didekati dalam grammaernya tapi bagaimana itu diterapkan dalam kalimat yang fungsional. Contoh terbaru soal kata para-para. Kalau kita lihat di KBBI parapara artnya langit langit atau jaringn jarring di atas peraian untuk menyiman makanan yang bisa diawetan, sementara para adalah kata penyerta untuk menegaskan kalimat majemuk. Atau kata untuk menunjukkan hal yang tinggi yang lebih baik seperti kata parama, paramadina.
Membaca tulisan orang lain menjadi penting untuk melihat pola-pola kalimat dan cara tuturnya. Sejak SMA saya telah aktif menulis di Bulettin dan Mading. Bangganya bukan main ketika tulisan diterbitkan di Mading. Hingga minggu lalu tulisan saya masih dimuat sebagai opini di Jakarta Post tentang Perkembangan policy Sunat Perempuan. Menulis itu tidak ada kata pension.
Ketika kuliah, bacaan utama yang paling bergengsi adalah jurnal Prisma LP3ES. Jadi untuk mengembangkan teori dan analisis yang baru kita baca Prisma. Di sini pula pertama kali membaca tulisan-tulisan tentang gagasan feminisme dari Julia Suryakusuma dan Marianne Kattopo, Tutty Heraty Nurhadi.
Dari LP3ES, selain dunia pemikiran, kami belajar soal pengembangan masyarakat, pendampingan Masyarakat dan pengabdian masyarakat. Dalam isu tertentu terkait dengan Islam, lahir P3M. Di sana pula saya membaca hasl hasil penelitian sosial keagamaan yang dikenalkan oleh Gus Dur.
Penerbit LP3ES juga menerbitkan buku-buku sosial antropologi kritis seperti Moral Ekonomi Petani buku yang paling pening dalam memahami cara kerja penelitian etnografi dari James Scott Weapons of the Weak. Yang kemudian diterbitkan oleh Grameda. Itu adalah sebuah kajian antropologi perlawanan kaum petani di Sedaka /Kedah di era revolusi hijau ketika FAO mengembangkan pertanian modern yang memiskinkan buruh dan petani cilik. Kelemahan buku itu adalah petani digambarkan dalam dimensi kela seperti tuan tanah, buruh dantengulak , tapi tak secara tajam melihat dimensi gender! Kata petani miskin jadi kata yang tunggal tidak majemuk dan berlapis. .
Buku lainnya adalah Peter L Berger Piramida Korban Manusia yang meletakkan dasar-dasar analisis ketimpangan kelas sosial. Dalam kajian sejarah Islam saya terpesona oleh ketelitian kajian historis Deliar Noer tentang Gerakan Modernis Islam di Indonesia, Lagi-lagi kalau dibaca dengan analissi gender kita akan tahu Pak Deliar tak melihat peran organisasi perempuan Islam. Padahal di Minang, menurut Pak Taufik Abdullah, gerakan kaum muda dimotori oleh kaum ibu yang memastikan kaum lelaki untuk kembali ke praktik Islam yang benar, berhenti sabung ayam, minum tuak dan manin batu/judi. Itu dilakukan oleh kaum perempuan yang seperti sekarang, pusing melihat laki-laki judi online!.
Ada dua buku penting yang sangat berpengaruh kepada pemikiran saya yaitu Kumpulan tulisan di Prisma tahun 1977 “Manusia Dalam Kemelut Sejarah”. Didalamya terdapat pengantar dari Taufik Abdullah, Manusia Dalam Sejarah Sebuah Pengantar; Lalu tulisan tentang Sukarno oleh Pak Onghikham : Mitos Dan Realitas, Lalu “Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus” yang ditulis Y.B. Mangunwijaya; Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim ditulis oleh Mohammad Roem; Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian oleh Alfian; Kahar Muzakkar: Profil Patriot Pemberontak oleh Mattulada; lalu tulisan “Revolusi Memakan Anak Sendiri”: Tragedi Amir Sjarifudin oleh Abu Hanifah; dan satu satunya tokoh perempuan Rahmah El Yunusiyyah: Kartini Perguruan Islam oleh Aminuddin Rasyad Dosen Fakultas Tarbiah IAIN Jakarta.
Buku kedua adalah yang editornya suami sendiri Ismed Natsir: Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, juga ban Catatan Harian Seorang Demonstran Soe Hok Gie.
Kala itu di tahun-tahun 80-90an Majalah Mingguan Tempo merupakan majalah dengan kolom-kolom yang istimewa. Di sana pikiran-pikiran kritis dalam isu sosial, politik, keagamaan, sejarah dan isu Pembangunan dapat kita peroleh dari Gus Dur, Umar Kayam, Aswab Mahasin, Romo Mangun, Masri Singarimbun, Onghokham, Toety Herati, Taufik Abdullah dll.
Tetapi untuk menajamkan kemampuan menulis kita harus membaca karya sastra. Suami saya pindah dari LP3ES ke Graffiti Press. Disana terbit buku2 sastra yang indah, “Roti dan Anggur” karya Ignazo Silone yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh Novelis Marianne Katoppo, atau buku Gadis Pantai dari Pramoedya Ananta Toer. Penggamabarannya begitu hidup, kritik atas feodalisme islam di pesantren yang melanggengkan tradisi poligami sebagai pengganti pergundikan di Jawa. Buku “Pramuria dari Lucknow” karya sastrawan Parsi Mohammad Hadi Ruswa, serta Perempuan d Titik Nol karya Nawal El Sadawi. Pada era berikutnya tentu buku-buku karta Pramudya Ananta Toer ikut menyertai bacaan sastra saya Bumi Manusia Anak Segala Bangsa dan Jejak Langkah. Tapi ada juga buku yang saya baca berulangkali Mushahshi yang tebalnya setebal bantal. Karena kalau metafornya buku Telepon kalian pasti tak pernah melihat buku telepon.
Modal Ketiga adalah Menajamkan Analisis Melalui Diskusi
Di Ciputat, saya tumbuh di tengah-tengah pendampingan tokoh-tokoh yang aktif mengembangkan forum diskusi yang dikembangkan sejak era Cak Nur, lalu ada Cak Irhamni dan lanjut Fachry Ali, Azyumardi Azra, Iqbal Abdur Rauf Saimima, Mereka adalah tokoh penting yang mendorong saya berani menulis di koran dan Majalah Panjimas. Memang kala itu belum ada tokoh perempuan selain dalam stuktur organisasi ektra seperti Kohati dan Kopri
Modal Keempat adalah Bergabung dengan Gerakan Feminis
Basis-basis pengetahuan dan critical thinking saya peroleh di luar kampus ketika aktif di kelompok perempuan Kalyanamitra. Di sana dasar-dasar pemikiran kritis tentang feminisme saya peroleh. Gagasan itu kemudian dikembangkan dalam gerakan yang kontekstual yaitu gerakan penyadaran hak-hak perempuan dalam Islam melalui forum Fiq an Nisa. Inilah fondasi penting dalam berkembangnya isu-isu gender dan Islam. Hal ini yang kemudian melahirkan orang seperti Kyai Husein Muhammad, Kiai Faqihuddn Abdul Kodir, Kiai Marzuki Wahid, Nyai Masriah Anva da ratusan nyai yang melahirkan KUPI di Cirebon tahun 2017
Tahap Berikutnya adalah Menentukan Etape Perjalanan yang Cocok dengan Kepribadian Kita.
Karenanya untuk jalan berikutnya adalah mengembangkan minat. Mau jadi apa? Kebetulan selain menulis saya sangat meminati dunia penelitian sejak tahun 1984, dan sampai 2024.minggu lalu saya masih pergi blusukan ke lapangan. Mbahnya adalah Prof Martin van Bruinessen. Selama 1 tahun di tahun 2083-1984 saya belajar langsung etnografi di lapangan, tinggal di kampung kota / urban miskin di Bandung. Itu adalah sekolah yang lengkap, belajar mendengarkan, meneliti, menulis dan menerbitkannya. Tidak ada bidang pekerjaan lain yang betul-betul membuat bergariah selain dalam penelitian. Itu adalah jalan samurai yang tidak ringan. Banyak peneliti berhenti di jalan atau mengandalkan asisten peneliti. Tapi saya merasa dunia penelitian adalah ladang hidup lahir batin , mencari nafkah sekaligus mengasah ketajaman spiritual saya.
Dunia penelitian menggabungkan seluruh tahapan-tahapan yang telah dikemukakan: membaca, menulis, mengasah teori baru, skeptisisme terhadap suatu temuan penelitian, dan curious untuk mencari jawaban.
Minat kedua dalam pengembangan diri adalah menjadi fasilitator dan Trainer dalam isu gender. Guru saya adalah Bang Roem Topatimasang dan Alm Mansour Fakih. Maka saya kemudian mengembangkan modul-modul dan training Islam, gender dan hak-hak reproduksi perempuan. Sampai saat ini saya masih mengisi pelatihan-pelatihan termasuk dalam menulis kritis untuk perguran tinggi di Indonesia Timur dengan program KONEKSI DFAT. Pelatihan terakhir dalam forum yang besar adalah 9 hari melahir para aktivis HAM jaringan Sisters in islam di KL.
Demikianlah kiranya yang dapat saya sampaikan. Ilmu tak datang dari ruang kosong di langit, tapi dengan ilmu kita pasti mampu menggapai langit.
Depok, 23 Desember 2024
Lies Marcoes-Natsir
Wali Amanah Yayasan Fahmina
— Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.
by admin | 13 Oct 2024 | Artikel, Buku
Perbedaan (al-ikhtilaf) adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas. Ia tidak bisa ditekan, ditutup, atau ditahan dengan peraturan, undang-undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi SAW menyatakan bahwa “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”. Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT.
Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan sering kali dikelola dalam konteks konflik. Namun, dengan perkembangan pemikiran, kita dihadapkan pada tantangan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada dialog, bukan kekerasan. Oleh karena itu, penghargaan terhadap perbedaan serta mekanisme relasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan harus ditegakkan.
Lima Pilar Fiqh Ikhtilaf
Dalam Islam, sebagimana diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku ‘Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon,’ ada lima pilar utama yang menjadi landasan untuk menghadapi perbedaan.
Pilar pertama adalah pengakuan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan perbedaan sebagai bagian dari rencana-Nya, dan ini adalah sesuatu yang harus diterima oleh umat manusia. Kita perlu memahami bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah masalah, melainkan bagian dari rahmat Allah yang memperkaya kehidupan kita.
Pilar kedua menegaskan bahwa keyakinan adalah persoalan hati. Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Ini adalah hak asasi yang harus dihormati dalam interaksi antarumat beragama. Kebebasan berkeyakinan adalah pilar utama dari sebuah peradaban, dan dengan kebebasan ini, perbedaan dapat muncul dalam ruang yang layak dan memperoleh penghormatan yang sepantasnya.
Pilar ketiga adalah pentingnya dialog sebagai metode interaksi. Dialog yang baik harus dilakukan dengan kesetaraan, di mana tidak ada pihak yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ajaklah (orang-orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.” Melalui dialog yang setara, kita dapat memahami perspektif orang lain dan menjalin hubungan yang harmonis meskipun berbeda pendapat.
Pilar keempat menekankan bahwa pemaksaan tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan dengan kekerasan. Kekuatan tidak akan pernah dapat memaksakan keyakinan atau pandangan keagamaan pada orang lain. Sebaliknya, pemaksaan hanya akan menimbulkan kemunafikan dan dendam.
Pilar kelima adalah pengakuan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan mengadili kebenaran ajaran-ajaran yang ada. Kita sebagai manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim sebagai pembela kebenaran mutlak, karena hal ini hanya diketahui oleh Allah SWT.
Dengan memahami lima pilar ini, kita dapat merumuskan suatu etika sosial yang humanis dan berorientasi pada kebaikan umat manusia. Fiqh al-Ikhtilaf tidak hanya memberikan kerangka untuk memahami perbedaan pendapat, tetapi juga menjadi panduan untuk membangun dialog yang konstruktif dan menghindari konflik.
Dalam menghadapi perbedaan, kita perlu merangkul keberagaman sebagai rahmat yang memperkaya hidup kita, bukan sebagai alasan untuk saling memusuhi. Dengan menerapkan pilar-pilar ini, kita dapat menciptakan suasana damai dan saling menghormati, serta membangun pemahaman yang lebih baik di tengah perbedaan.
— Disarikan dari buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon (Alifatul Arifiati, dkk. (2017). Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon. Cirebon: Fahmina Institute.)
by admin | 12 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Finalitas ini ditetapkan sejak 37 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, tidak diperlukan lagi mencari dasar negara lain selain Pancasila. Pun, tidak diperlukan bereksperimen lagi pada bentuk negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara prinsipal, dalam pandangan NU, negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan, dalam bacaan saya, NU memandang negara Pancasila adalah bentuk lain dari negara Islam. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara Islam itu sendiri. Seperti diketahui bahwa secara sosio-politik, negara Islam tidak pernah tunggal dan monolitik, tidak pula universal dalam bentuk yang seragam.
Negara Islam itu bukan nama suatu negara, bukan simbol kenegaraan, atau bukan pula bentuk suatu pemerintahan. Suatu negara bisa disebut negara Islam apabila memenuhi suatu takaran substansi dan tata nilai prinsipal tertentu. Imam Abu Hanifah (80-150 H), misalnya, membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam di suatu negara merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam dalam suatu negara, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.
Dengan kriteria tersebut, jelaslah bahwa negara Pancasila adalah dâr al-Islâm. Umat Islam di Indonesia tidak saja aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan untuk beberapa hal umat Islam sangat diistimewakan. Misalnya, umat Islam punya jalur pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Meskipun labelnya “agama,” tetapi hakim, panitera, pegawai, dan orang-orang yang berperkara di pengadilan itu hanya untuk orang Islam. Sejumlah UU juga hanya ditujukan untuk umat Islam. Sebut saja, misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Meski tidak semua diatur dalam bentuk legal, umat Islam di Indonesia secara umum memiliki kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya, dijamin dan dilindungi secara konstitusional oleh UUD 1945. Oleh karena itu, perbincangan fundamental bangunan negara Indonesia, bagi NU, sudah titik (bukan koma atau titik koma lagi). Sebagai kesepakatan bersama, Indonesia telah berdiri tegak dan kokoh lebih dari 70 tahun meski serangan dan gugatan ideologis berkali-kali dilancarkan. Itulah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersemboyankan Bineka Tunggal Ika. Oleh MPR, fundamental negara ini disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini, oleh warga NU sering disingkat menjadi PBNU, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Yang menarik dari narasi NU tentang Pancasila ini, NU menyelesaikannya bukan dengan pendekatan sosial politik semata, melainkan juga dengan pendekatan keagamaan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fikih, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, tasâmuh, dan i’tidâl merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.
Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya pada pemikiran keagamaan. Apa yang dilakukan NU sesungguhnya adalah jawaban sejarah atas gugatan-gugatan ideologis dari kaum Islamis yang masih mendambakan negara Islam di bumi Indonesia ini. Apa yang dirumuskan NU juga pada dasarnya adalah jawaban teologis atas kegalauan kaum Islamis yang memberontak pada masa lalu bertujuan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Jika kita menggunakan nalar keagamaan ala NU, maka secara paradigmatik relasi agama dan negara telah selesai dan tuntas. Tentu tidak serta merta semua problem kenegaraan dan kebangsaan lalu tidak ada sama sekali. Finalitas ini hanya pada tataran fundamental yang bersifat paradigmatik dan ideologis. Dalam ruang-ruang praksis dan operasional tentu banyak hal yang masih harus dibenahi. Korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, gizi buruk, pendidikan, dan kerusakan alam adalah hal-hal yang harus terus diperbaiki. Namun, janganlah ada tikus di suatu rumah yang sudah kokoh, lalu rumahnya dibakar hanya untuk mengusir tikus.
Pancasila Digugat
Namun, seiring dengan derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang muaranya adalah mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan negara Islam atau khilâfah Islâmiyyah.
Akhirnya kita mencatat, dalam dua dekade terakhir ini, diskursus Pancasila kembali menjadi trending topic. Bukan karena rutinitas tahunan peringatan hari lahir atau hari kesaktian Pancasila, namun karena situasi kebangsaan yang memicunya. Masih hangat dalam ingatan kita, sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, ketika euphoria demokrasi menjangkiti kaum politisi kita, secara beruntun gugatan demi gugatan terhadap Pancasila dan NKRI terus menyeruak. Menariknya, gugatan ini bukan dilakukan oleh kaum komunis atau DI/TII sebagaimana terjadi di masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara sendiri dan organisasi yang sah dalam negara Pancasila. Lebih unik lagi, gugatan ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional dan atas nama demokrasi. Tidak sedikit para penyelenggara negara, baik di lembaga tinggi, pemerintahan, maupun lembaga tertinggi negara, menjadi otak intelektual dan sponsornya.
Kita masih ingat betul bagaimana kelompok Islamis secara konstitusional dalam ruang demokrasi kembali beraksi menggugat Pancasila dan UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket amandemen UUD 1945. Sebelumnya, gugatan ideologis dilakukan pada sidang Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959 dan Sidang Umum MPRS tahun 1966–1968. Ironisnya, semua gugatan ideologis ini dilakukan secara legal konstitusional di bawah lindungan demokrasi Pancasila untuk menggantikan Pancasila dan mengubah UUD 1945 itu sendiri.
Jelaslah gagal, karena kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam masih cukup kuat, baik dalam barisan Parlemen maupun dalam gugusan masyarakat Nusantara. Meskipun gagal, mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan formalisasi syari’at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi Pancasila itu sendiri. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas.
Meski mengutuk demokrasi dan memandang negara Pancasila sebagai thoghut, tetapi sebagian kelompok Islamis itu hidup dan berkembang di bawah payung demokrasi dan ideologi Pancasila. Sebagian mereka menjadi Parpol yang ikut Pemilu dan bahkan kader-kadernya masuk ke dalam barisan parlemen, jajaran pemerintahan, dan pasukan kepolisian/tentara. Sebagian lagi tetap menjadi Ormas dan gerakan ekstra-parlementer yang menjadikan gerakan politik sebagai strategi utama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh mutakhir yang bisa dikemukakan. Dia hidup dalam alam demokrasi yang diharamkan sendiri, berkembang dalam negara Pancasila yang di-thoghut-kan sendiri, tetapi strategi perjuangannya jelas dan tetap konsisten mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah Islamiyyah.
Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dewasa ini mutlak dilakukan. Tidak saja oleh negara, pihak yang paling bertanggungjawab, tetapi juga oleh masyarakat sipil (civil society). Perlu dicari cara dan pola baru untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan cara indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses ilmiah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam hati sanubari warga negara.
Dari Ideologi ke Praksis
Indonesia zaman now tentu berbeda dengan Indonesia zaman old. PKI dan HTI sudah dibubarkan. DI/TII dan Permesta sudah ditumpas. Aktor-aktor utamanya sudah dipenjarakan. Namun, paham, gagasan, dan ideologinya tidak pernah bisa dibunuh dan dikuburkan. Kita tidak mungkin bisa melarang dan menghukum pikiran, gagasan, keyakinan, dan ideologi yang bersemayam dalam otak dan sanubari seseorang. Sehingga, kemungkinan akan reinkarnasi, bangkit kembali, memberontak, dan menyerang kembali Pancasila dan UUD 1945 sangat bisa dipahami. Karena, ideologi itu tidak pernah mati, terus hidup, berkembang, mencari simpati, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya mewujud menjadi gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan budaya, hingga menjadi gerakan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini semua sangat mungkin terjadi. Kewaspadaan untuk ini tidak boleh hilang.
Akan tetapi, harus disadari bahwa tantangan Indonesia ke depan sangat kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri, baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional dan global. Arus besar globalisasi, pasar bebas, radikalisme, terorisme, narkoba, dan transmisi ideologi transnasional adalah sebagian isu global dan regional yang menjadi tantangan, sedang dan akan terus memengaruhi Indonesia ke depan. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perusakan alam, dan ketidakmerataan kesejahteraan adalah tantangan nyata dari dalam negeri yang terus akan menggugat peran dan fungsi Pancasila, bahkan hingga keberadaannya. Tantangan Pancasila hari ini bukan soal ideologi an sich, sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi yang paling memengaruhi gerakan massa adalah tantangan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan yang sehari-hari menyatu dalam kehidupan warga negara.
Ini tantangan nyata yang sangat dirasakan dan dialami oleh semua warga negara. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, kondisi ini akan berubah menjadi gerakan politik dan ideologi yang akan merongrong peran dan keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang gerakan ideologi yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sehari-hari warga negara. Ingat, Presiden Soeharto yang telah membangun kekuasaan lebih dari 30 tahun jatuh bukan karena ideologi non-Pancasila, tetapi karena kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sehari-hari dirasakan warga negara.
Dengan demikian, kehadiran Pancasila dengan pola, cara, dan pendekatan baru sangat niscaya. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk menurunkan Pancasila dari ideologi menjadi praksis gerakan sosial. Pancasila bukan sekadar ideologi negara yang singgah dalam jantung pemerintahan, melainkan yang terpenting harus menancap dalam hati sanubari bangsa Indonesia menjadi pandangan hidup (way of life). Yakni, pandangan hidup yang operasional menyentuh realitas sosial yang terus berubah dan realitas kehidupan yang dialami langsung oleh warga negara Indonesia. Pandangan hidup yang kontekstual dan dinamis merespons perubahan-perubahan yang terus terjadi, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar yang tetap (tsawabit, kulliyyât).
Pancasila juga harus hadir menjadi pegangan nilai bagi warga negara dalam menghadapi setiap masalah kehidupan dan tantangan-tantangan baru, baik dari ruang global, regional, maupun nasional dan lokal. Bukan sekadar tampil secara ideologis, melainkan Pancasila hari ini harus merespons dan menjawab tantangan-tantangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.
Dalam merespons tantangan yang kompleks itu, Pancasila harus tampil tidak semata-mata sebagai ideologi yang melangit (utopis), melainkan harus metamorfosis menjadi gerakan sosial, gerakan politik, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan dalam secara sistematis mewujudkan khittah-nya, yakni khittah Pancasila. Menurunkan ideologi ke dalam praksis sosial yang membebaskan adalah tantangan tersendiri dalam menerjemahkan Pancasila hari ini.
Dengan sejumlah tantangan di sekelilingnya, di hadapannya, dan di belakangnya, Pancasila harus mampu menjadi inspirasi gerakan sosial bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan persatuan Indonesia, yang didasari dengan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut berpedoman pada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Walhasil, kita—terutama negara—harus bisa menghadirkan Pancasila dalam ruang nyata kewarganegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang ada dalam kehidupan Indonesia. Wujud kehadiran itu adalah keberpihakan dan pembelaannya melalui kebijakan, perhatian, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang secara nyata mampu mengubahnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari ini, kita perlu menemukan kembali (reinventing) “khittah Pancasila.” Sejak Pancasila lahir, dia memiliki khittahnya. Khittah ini penting, karena khittah adalah tonggak garis perjuangan dan landasan dasar Pancasila ini ada. “Khittah Pancasila,” menurut saya, berada dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya yang melekat dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilâhiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-ra’iyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Lima nilai dan prinsip dasar ini merupakan satu keutuhan yang tak terpisahkan (five in one) dalam sistem nilai Pancasila. []