(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

MBG: Makanan Bikin Galau

Sumber gambar: Kompas

Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon  —  Secara logika, menerima bantuan mestinya bikin senang. Tapi kenyataannya? Orang malah khawatir, bingung, bahkan sesekali ingin tepuk jidat. Bukan sekali dua kali, anak-anak yang seharusnya mendapat gizi cukup, sehat, dan cerdas dari makanan yang dimasak chef bersertifikat dan didampingi ahli gizi, malah sakit setelah makan.

Bayangkan: “menu spesial masa depan” ini ternyata lebih cocok jadi bahan meme daripada kenyataan. Bahkan di Jawa Barat, ribuan anak mengalami hal serupa. Jadi pertanyaannya: ahli gizi atau ahli sulap nih? Kok bisa makanan berubah jadi penyihir yang bikin anak muntah-muntah?

Beberapa kasus ekstrem bikin orang tua geleng-geleng kepala: anak sampai dilarikan ke rumah sakit karena makanan bau dan rasanya “unik”. Unik di sini maksudnya bukan lezat, tapi lebih ke kategori eksperimen sains yang gagal. Ahli gizi dan chef yang digaji mahal ini, apa mereka pakai rumus matematika rahasia atau cuma lempar-lempar bumbu? Jangan-jangan, ini program “Masak Ala Kadarnya” versi triliunan rupiah.

Yang bikin pusing, pemerintah dan pihak terkait seolah menutup mata. Bukannya evaluasi atau introspeksi, malah buka cabang baru di sana-sini. Bukannya “off” dulu, malah “on” terus—kayak lampu yang tak bisa dimatikan. Apakah ini manajemen modern atau sekadar ajang pencitraan dengan menu drama gratis? Anehnya, semakin parah, semakin semangat buka cabang baru. Kalau gini, mungkin sebentar lagi ada menu “Makan Sehat, Sakit Gratis” edisi terbatas di tiap kota.

Di tengah kritik publik, Presiden Prabowo bahkan pernah mengatakan: “Yang keracunan hanya 200 dari 3 juta orang, berarti keberhasilannya 99,99%.” Angka 3 juta orang sekian memang terdengar indah di kalkulator, tapi di lapangan 200 anak itu nyata—muntah, sakit, bahkan masuk rumah sakit. Bagi mereka, itu bukan 0,006%, tapi 100% penderitaan. Kalau logikanya begitu, nanti kalau ada 20 ribu anak yang keracunan pun masih bisa disebut sukses 99%. Wah, ini bukan program makan bergizi, tapi program uji nyali massal.

Ironisnya, yang mestinya jadi menu sehat malah jadi paket hemat: “Nasi Box + Infus Gratis”. Jangan-jangan sebentar lagi ada promo baru: “Tertawa Sebelum Masuk IGD”. Program triliunan rupiah ini lebih cocok jadi stand-up comedy ketimbang kebijakan serius.

Triliunan rupiah sudah digelontorkan, tapi hasilnya ala kadarnya. Kualitas makanan minimal, pengawasan minimal. Tanggung jawab? Juga minimal. Sudah jelas bahwa dana tidak benar-benar turun ke anak-anak, tapi entah menguap ke mana—mungkin jadi bumbu rahasia agar rasa makanan jadi “unik”. Anak-anak, yang seharusnya prioritas, jadi korban. Investasi masa depan berubah jadi eksperimen mahal yang bikin geleng kepala.

Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan sistemik. Banyak pihak terlibat—chef, ahli gizi, penyedia logistik, pemerintah daerah—tapi hasilnya tetap sama: anak-anak sakit, orang tua resah, kepercayaan publik turun. Bukannya diperbaiki, malah menimbulkan pertanyaan serius soal akuntabilitas. Triliunan rupiah seakan menghilang ke dimensi paralel, sementara anak-anak tetap menghadapi menu “bau misterius”.

Kalau ini terus berlanjut, lebih baik dana dialihkan ke program yang lebih aman dan jelas manfaatnya. Makanan untuk anak-anak bukan ajang eksperimen, apalagi ajang pencitraan politik. Anak-anak seharusnya tumbuh sehat, cerdas, dan ceria, bukan trauma atau sakit karena makanan “versi kreatif ala kadarnya”. Sudah saatnya evaluasi serius dilakukan, bukan menambah cabang baru yang kemungkinan besar akan mengulang drama lama.

Yang lebih menyedihkan, triliunan rupiah seakan cuma jadi “uang mainan” buat drama berkepanjangan. Alih-alih membangun generasi cerdas, kita menyaksikan program gagal yang bisa jadi viral karena absurdnya. Pemerintah dan pihak terkait perlu introspeksi: apakah ini benar-benar investasi masa depan, atau cuma show gratis buat konten media sosial? Kalau dana tidak dimanfaatkan dengan benar, itu bukan sekadar sia-sia, tapi juga komedi tragis dengan anak-anak sebagai penonton.

Sudah saatnya ada transparansi, pengawasan ketat, dan evaluasi menyeluruh. Setiap rupiah harus menghasilkan manfaat nyata, bukan lelucon triliunan rupiah ala kadarnya. Anak-anak bukan objek percobaan, dan triliunan rupiah bukan mainan. Kalau ingin masa depan berhasil, jangan lagi ulang drama lama—lebih baik berhenti sejenak, menata ulang, dan memastikan setiap langkah nyata dan berfaedah.[]

Harta Karun Dunia Bernama Indonesia

Oleh: Sukma Hadi Watalam – Dosen ISIF Cirebon

ISIF Cirebon — Pernah nggak kalian kepikiran kenapa dulu bangsa-bangsa asing begitu ngotot ingin menjajah Indonesia? Kalau menurut saya, jawabannya sederhana: karena negeri ini ibarat toko serba ada dengan diskon besar-besaran. Tanahnya subur, hasil pertaniannya melimpah, rempah-rempahnya dulu dihargai lebih mahal daripada emas, lautnya kaya ikan dan Mutiara, bahkan udang pun melimpah. Bukan udang di balik batu, ya, tapi udang yang benar-benar ada di lautan. Belum lagi isi perut buminya penuh dengan harta karun tambang.

Saya pernah membaca sebuah postingan di media sosial yang tiba-tiba muncul begitu saja. Kalau pakai istilah bahasa Indramayunya “seliweran” dan bahasa gaulnya “fyp”. Di situ dijelaskan bahwa ada penelitian, bahwa Indonesia sebenarnya adalah pemain kelas dunia dalam tambang bahkan masuk jajaran top player di sektor natural resources.

Contohnya, untuk produksi emas, Indonesia duduk manis di peringkat 6 dunia, di bawah: Australia, Rusia, Afrika Selatan, Amerika Serikat,  dan China. Sementara untuk produksi batubara, kita menempati posisi nomor 3 setelah China dan India, mengalahkan Amerika Serikat dan Rusia.

Adapun untuk nikel, jangan ditanya lagi. Indonesia adalah juara dunia! Saingannya bukan negara recehan, bukan negara ecek-ecek, tapi raksasa macam China, Amerika, Australia, bahkan Putin loh. Kanada sendiri pun angkat tangan, tak mampu menyaingi kedigdayaan Indonesia.

Jadi, kalau bicara kekayaan alam, Indonesia ibarat “peti harta karun dunia” yang isinya tak habis-habis. Saking banyaknya, kalau disebut satu-satu bisa bikin lidah keseleo: emas, nikel, batubara, ikan, kayu, laut, udara—wah, pokoknya se-aha-aha-aha-aha lah. Tidak bisa dihitung dengan jari.

Tapi, pertanyaan besarnya: kenapa negeri yang begitu kaya raya justru masih begini-begini saja? Mengapa rakyatnya banyak yang hidup pas-pasan, bahkan miskin, padahal tanah airnya bagaikan surga dunia? Kenapa potensi sebesar ini tidak otomatis membuat rakyatnya sejahtera? Apakah karena salah urus? Apakah karena salah kelola? Ataukah memang ada yang sengaja membiarkan?

Ironis sekali. Negeri yang tanahnya subur, tapi masih ada rakyat yang tak mampu membeli beras. Lautnya luas, tapi nelayan sering pulang dengan tangan kosong. Tambangnya berlimpah, tapi masyarakat di sekitar tambang hanya jadi penonton, bahkan ada yang terusir dari tanahnya sendiri. Bukankah itu menyakitkan? Bukankah itu pilu?

Tak heran bila kini muncul suara-suara dari Papua yang ingin merdeka. Kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan, bukan cuma dengan alat berat semacam beko, tapi dengan berbagai cara besar-besaran. Namun, hasilnya tak banyak berdampak bagi rakyat setempat.

Bayangkanlah ironi ini: di atas tanah yang penuh emas, masih ada anak-anak yang berangkat sekolah dengan sandal jepit putus. Di tepian laut yang penuh ikan, masih ada ibu-ibu yang kebingungan membeli lauk untuk makan malam. Di sekitar tambang yang menghasilkan triliunan rupiah, masih ada keluarga yang menyalakan pelita karena tak mampu membeli listrik.

Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “Negeri ini memang kaya, tapi sayangnya belum banyak yang benar-benar mengelola dengan kaya hati dan kaya akhlak.”

Kalau kekayaan ini terus salah urus, jangan-jangan kelak anak cucu kita hanya bisa membaca di buku sejarah bahwa dulu Indonesia pernah disebut “harta karun dunia”. Tetapi mereka sendiri sudah tidak bisa lagi merasakannya.[]

Dari Tradisi Unik sampai Warisan Leluhur, Ini Ceritaku Muludan di Benda Kerep

Oleh: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF)

ISIF Cirebon — Setiap bulan Rabiul Awal diperingati oleh bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap daerah memiliki cara berbeda utuk memperingatinya. Di Benda Kerep Kelurahan Argasunya Kota Cirebon, tradisi ini dikenal dengan sebutan Muludan. Muludan di Benda Kerep telah menjadi pesta rakyat tahunan yang penuh makna.  Mulai dari do’a-do’a yang dilantunkan, gema sholawat, pedagang kaki lima di sepanjang jalan, hingga berkat atau bingkisan khas Maulid.

Lebih dari sekedar tradisi, muludan di Benda Kerep telah menjadi ruang kebersamaan. Warga dari berbagai kalangan dan wilayah berkumpul, bergotong-royong, dan saling berbagi kebahagiaan. Kemunculan tradisi muludan di Benda Kerep hadir bersamaan dengan pendirian kampung tersebut sekitar 300 tahun yang lalu dan berlangsung sampai saat ini.

Tradisi muludan Benda Kerep tidak seperti muludan di wilayah lain, muludan di Benda Kerep memiliki tahapan yang khas. Pertama, pada malam harinya dilakukan pengumpulan keris pusaka atau pajang jimat seperti yang dilakukuan di Kraton Kasepuhan Cirebon. Pusaka-pusaka yang dimiliki warga dikumpulkan jadi satu lalu didoakan bersama-sama. Kedua, keesokan harinya, marhabaan yang  dilakukan di setiap rumah kiyai dan warga yang ada di Benda Kerep.

Saat saya mengikuti tradisi ini, saya sangat terkejut, karena antusias masyarakat dari berbagai wilayah sangatlah banyak. Bukan hanya warga sekitar, tapi dari luar kota pun datang menghadiri tradisi ini. Saat saya bertanya kepada salah satu warga saya tambah terkejut. Katanya, antusiasme tahun ini termasuk sepi tamunya. Di tahun-tahun sebelumnya, biasanya di sepanjang jalan dipenuhi oleh manusia sampai berdesak-desakan. Tapi, sekarang tidak.

Bukan hanya itu yang membuat saya kagum dan terkejut. Saat berada di depan Masjid Agung Benda Kerep, di sepanjang jalan, halaman masjid dan halaman rumah warga dipenuhi dengan manusia, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak sampai anak-anak. Orang-orang yang lewat ke situ pun pasti membawa berkat yang ukurannya pastinya tidak kecil. Ada yang berupa ember kecil, ember sedang, ember besar dan cepon besar. Isinya juga bermacam-macam: ada buah-buahan, snack, nasi dan lauknya, bahkan sampai ada yang memberikan satu lusin gelas.

Keunikan lain yang saya temui di kampung ini adalah tidak adanya jembatan, karena tidak diperbolehkan ada kendaraan yang masuk ke kampung. Orang yang masuk juga harus berpakaian yang tertutup dan sopan. Jadi, di kampung ini masih benar-benar kuat sekali tradisinya.

Meski tradisi ini erat dilaksanakan. Tradisi muludan ini sejatinya tidak diwajibkan per-rumah harus melaksanakannya. Tapi karena tradisi ini sudah menjadi kebiasaan, makannya setiap rumah pasti mengadakan. Mau ada uang atau tidak, warga pasti melakukannya. Oleh karena itu, ada warga yang sampai rela menjual tanah atau menggade barang berharganya. Ada juga warga yang iuran dan dikumpulkan di masjid, jadi tidak terlalu berat. Jadi, secara kasat mata tradisi ini seolah-olah memberatkan, tapi kata warga, mereka lebih malu jika tidak melakukannya.

Meski zaman terus berubah, saya berharap tradisi Muludan di Benda Kerep tetap terjaga kelestariannya. Nilai kebersamaan, religiusitas, dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya menjadi warisan yang tidak ternilai. Saya berharap, generasi muda tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut terlibat aktif, agar tradisi ini tidak lambat laun memudar. Dengan cara itu, muludan akan tetap hidup sebagai identitas dan kebanggaan warga Benda Kerep.

Antusiasme warga, meski harus mengorbankan banyak hal, menunjukkan betapa tradisi ini memiliki makna mendalam. Di tengah modernisasi, muludan hadir sebagai pengingat bahwa akar budaya dan nilai keislaman tetap bisa dijaga bersama. Selama masyarakat mau merawatnya, muludan di Benda Kerep akan terus menjadi cahaya kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.[]

Cerita PIT-PAR: Ketahanan Ekonomi Pengrajin Batu Bata Merah Argasunya

Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon — Pada tanggal 28 Agustus mahasiswa PIT-PAR ISIF mengunjungi tempat produksi batu bata merah di Desa Argasunya tepatnya di wilayah RT 2 RW 7 Sumurwuni. Di tengah derasnya arus moderenisasi dan munculnya bahan bangunan baru, warga Sumurwuni masih mempertahankan produksi batu bata merah. Meskipun produksi ini bukan sebagai mata pencaharian utama, tapi produksi ini hanya musiman saja.

Proses pembuatan batu bata merah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, mulai dari mengolah tanah, mencetak, menjemur, hingga membakarnya pun masih menggunakan cara tradisional. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga ekstra dan hanya dilakukan saat musim kemarau atau disebut musim ketiga oleh masyarakat Sumurwuni. Hasil batu bata sangat diminati karena kualitas batu bata buatan masyarakat Sumurwuni ini dikenal kuat dan tahan lama.

Pembuatan batu bata ini sudah berlangsung sejak lama. Di wilayah Sumurwuni ini terdapat dua tempat produksi batu bata merah.  Tempat produksi yang mahasiswa PIT-PAR ISIF ini kunjungi adalah milik Bapak Mahmud (52), beliau adalah warga asli Sumurwuni di RT 2 RW 7.

Pak Mahmud ini selain mempunyai tempat produksi batu bata merah, beliau juga mempunyai peternakan ayam yang dijual sebagai ayam potong. Ia juga memanfaatkan kototoran ayamnya sebagai pupuk organik yang kemudian dijual kembali.

Awalnya, tutur Pak Mahmud,  produksi batu bata ini tidak diperjualbelikan, hanya untuk kebutuhan pribadi. Tapi lama kelamaan banyak masyarakat yang mengetahui dan tertarik memesan batu bata merah Pak Mahmud. Proses pembuatan batu bata merah tersebut bukan dilakukan oleh Pak Mahmud sendiri, tapi dilakukan juga oleh Pak Udin (55). Pak Udin ini dibantu oleh satu orang pekerja lainnya dan terkadang Pak Mahmud  juga ikut membantu proses pembuatannya.

Proses Pembuatan Batu Bata Merah

Proses pembuatan batu bata merah ini dimulai dari pembelian tanah Cadas, tanah cadas ini di beli dari tambang di wilayah Argasunya tepatnya di Cibogo. Tanah Cadas ini di beli dengan harga 200 ribu per dump truk. Dari  1 dump truk ini dapat menghasilkan 2.000 batu bata.

Tanah cadas kemudian diolah untuk menjadi adonan batu bata. Adonan batu bata merah ini tidak ada campuran lain,  hanya dicampur dengan air saja. Menurut Pak Mahmud, tanah cadas ini sudah mengandung pasir, jadi tidak perlu ada campuran lain.  Sedangkan untuk air yang dipakaii adalah air yang bersumber dari sumur yang dibuat sendiri oleh Pak Mahmud sendiri.

Setelah tanah sudah mencapai tekstur yang sempurna, kemudian siap di catak menjadi bentuk batu bata yang diinginkan. Ada dua ukuran batu bata yang di produksi oleh Pak Mahmud, yaitu ada ukuran besar dan kecil. Yang ukuran besar dihargai 1.200 rupiah dan yang ukuran kecil dihargai 1.000 rupiah.

Setelah pencetakan, proses berlanjut ke tahap penjemuran. Waktu penjemuran ini tergantung cuacanya, jika cuacanya panas hanya membutuhkan waktu seminggu saja untuk kering. Namun jika cuacanya sedang mendung atau berawan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah dijemur, bata akan dibakar, dengan waktu pembakaran yang membutuhkan waktu seharian penuh.

Setelah semua proses itu selesai dan keadaan batu bata sudah dingin, tinggal menunggu pembeli mengambil batu batanya. Karena biasanya batu bata ini dibuat karna adanya pesanan atau ada juga pembeli yang tanpa memesan dulu. Konsumen ini biasanya dari sekitar wilayah Argasunya saja, tapi ada juga konsumen dari luar yaitu dari wilayah Mandirancan Kuningan.

Penopang Ekonomi Keluarga

Bata merah Sumurwuni lahir dari tanah cadas yang keras, sekeras kenyataan hidup warganya. Namun dari kerja berat itu, lahir kekuatan dan kemampuan bertahan dalam himpitan. Setiap bata yang keluar dari tungku seakan membawa pesan bahwa rakyat kecil selalu punya cara untuk bertahan.

Bagi warga Sumurwuni, menjadi pengrajin batu bata  memang bukan pilihan utama mata pencaharian utama. Menurut Pak Mahmud pilihan menjadi pengrajian batu bata adalah pilihan terakhir bagi sebagian warga untuk tetap bisa bertahan hidup.

“Yang membuat batu bata ini ya orang susah, kalo bukan orang susah mah tidak bakal buat batu kaya gini” ujarnya.

Meskipun penuh tantangan dan hasilnya tidak seberapa, warga tetap menjalankannya dengan ikhlas karena ini menjadi salah satu sumber penghidupan tambahan bagi keluarga mereka. Produksi batu bata juga dilakukan secara musiman, biasanya saat permintaan meningkat atau ketika kondisi cuaca memungkinkan.

Meski bersifat musiman, nilai jual batu bata cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan ini mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Meskipun penghasilan dari batu bata bersifat sementara, peranannya sangat penting dalam menopang kehidupan keluarga para pengrajin.

Di tengah keterbatasan dan derasnya arus modernisasi, mereka masih berusaha mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Produksi batu bata merah memang hanya bersifat musiman, tetapi keberadaannya menjadi penopang penting dalam kehidupan warga Sumurwuni. Lebih dari sekadar mata pencaharian tambahan, pekerjaan ini adalah bukti keteguhan masyarakat dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan mereka.[]

Cerita PIT-PAR: Pemberdayaan Ekonomi Melalui Budidaya Bunga Tujuh Rupa

Penulis: Nurdin (Mahasiswa ISIF Cirebon)

Editor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon — Mahasiswa PIT-PAR Kelompok 3 Desa Kejuden melaksanakan aksi sosial kedua berupa pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan budidaya bunga tujuh rupa pada Rabu, 3 September 2025. Desa Kejuden sendiri masih memiliki banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan secara produktif, sehingga mahasiswa bersama masyarakat melihat peluang besar untuk mengelolanya melalui perkebunan bunga.

Kegiatan ini menggandeng Mas Malik, seorang petani bunga yang sudah lebih dulu mengembangkan usaha di Blok Walikukun. Ia bahkan sudah mendirikan usaha dengan nama PT Mekar Jaya Mulya, yang menanam beragam jenis bunga seperti kingkong, kenanga, cempaka, melati, mawar, cakrak cakrik, hingga soka. Proses penanaman dilakukan dengan media sekam padi, pupuk kandang, dan cocopit. Untuk bunga kingkong, penanaman dilakukan melalui biji, sedangkan jenis lainnya menggunakan stek batang.

Menariknya, bunga kingkong sudah bisa dipanen setelah dua bulan, dan hasil panennya bisa berlangsung terus hingga tiga bulan ke depan. Permintaan pasar juga cukup stabil, dengan pesanan yang biasanya ramai pada hari Selasa dan Kamis. Selain dipasarkan di Desa Kejuden, bunga-bunga ini juga dikirim ke berbagai daerah lain, seperti Trusmi, Gunung Jati, Kramat, Jabang Bayi, Kanoman, Jamblang, Palimanan, hingga Plumbon.

Menurut koordinator kegiatan, Aad Sa’dullah,  pendekatan yang digunakan dalam program ini adalah capital budgeting. Tujuannya agar lahan-lahan kosong dapat diberdayakan menjadi lebih produktif, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Kejuden. Mahasiswa berperan sebagai fasilitator, sementara Mas Malik menjadi pendamping dan penggerak. Ia tidak hanya mengajak warga untuk terlibat, tetapi juga mendorong anak-anak muda agar mau belajar sekaligus melanjutkan usaha perkebunan bunga.

Meski demikian, usaha ini tetap menghadapi tantangan, terutama serangan hama seperti kupu-kupu (kleper), wereng, dan belalang. Untuk mengatasinya, Mas Malik rutin melakukan penyemprotan pestisida dan memberikan pupuk penyubur tanaman seminggu sekali.

Terhadap pelaksanaan kegiatan, warga menyambut baik inisiatif ini. Bahrun, salah seorang warga Desa Kejuden, mengungkapkan rasa senangnya karena Mas Malik mau berbagi ilmu dan pengalaman dengan masyarakat. Menurutnya, peluang distribusi sudah cukup terbuka, sehingga warga tidak perlu khawatir dengan pemasaran jika ingin memulai usaha perkebunan bunga.

Mahasiswa PIT-PAR pun berharap, dengan adanya kerja sama ini, masyarakat maupun pemerintah desa bisa lebih memanfaatkan lahan kosong dan tanah bengkok yang selama ini terbengkalai. Tradisi masyarakat Cirebon yang masih banyak menggunakan bunga dalam acara pernikahan, tujuh bulanan, ziarah kubur, maupun upacara kematian, menjadikan usaha budidaya bunga tujuh rupa sebagai peluang ekonomi yang berkelanjutan.[]

Antara Paradoks Kekuasaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa

Oleh: Nana Sastrawan (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Sebelum menjadi pejabat publik, baik di lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, banyak tokoh dikenal ramah, peduli, dan jadi pembela terdepan ketidakadilan. Mereka tidak hanya baik, tetapi juga cerdas, berani, dan tentu saja berpendidikan. Namun, setelah berkuasa, banyak di antara mereka menjadi pribadi yang berbeda dengan sebelumnya. Inilah paradoks kekuasaan, mereka justru lebih banyak menampilkan perilaku yang dominatif, manipulatif, dan hilangnya empati.

Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka? Banyak hal yang memengaruhi mereka, akan tetapi bisa saja karena persoalan ‘ketidaktahuan sejarah’ di kalangan mereka, seperti ungkapan ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Jika kita melihat kepada sejarah, tokoh-tokoh muda terdahulu membangun negara Indonesia dengan segala kekuatan yang dimiliki, dari tenaga, pikiran hingga harta benda bahkan nyawa pun dikorbankan.  Kepentingan tokoh-tokoh muda tersebut hanya untuk mencapai ‘kemerdekaan bangsa dari penjajah’. Mereka tidak pernah bekerja dan berjuang untuk kelompok individu, partai atau lembaga lainnya, tapi untuk mendirikan sebuah negara yaitu Indonesia.

Misalnya, Muhammad Yamin. Satu di antara tokoh yang merumuskan teks ‘Sumpah Pemuda’. Sebuah rancangan gagasan yang pada akhirnya menjadi sebuah gerakan perlawanan. Dalam isi tersebut dinyatakan bahwa masyarakat Nusantara memiliki tanah air yang satu, Bangsa yang satu dan merumuskan bahasa Persatuan. Muhammad Yamin bukan tidak mengetahui sejarah, ia sangat sadar betul bahwa Nusantara memiliki sejarah yang kuat pada saat kejayaan Majapahit, dimana Gajah Mada melakukan Sumpah, yang dikenal Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara. Kesadaran akan sejarah itu, tentu menginspirasi Muhammad Yamin untuk menyatukan kembali wilayah Nusantara.

Isi teks sumpah pemuda yang dinyatakan pada 28 Oktober 1928 dalam kongres Pemuda II, sebelumnya pernah diterbitkan dalam bentuk puisi oleh Muhammad Yamin, berjudul Indonesia, Tumpah Darahku yang diciptakan di Pasundan, 26 Oktober 1928. Dalam puisi itu, Muhammad Yamin menyampaikan cita-citanya untuk mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, satu bahasa.

Tokoh pemuda selanjutnya adalah WR Supratman yang mempunyai ‘Puisi Besar’ berjudul ‘Indonesia Raya’. Puisi tersebut kemudian diubah menjadi lagu dan dinyanyikan pada kongres pemuda II, hingga sampai sekarang menjadi lagu kebangsaan. Tokoh-tokoh pemuda pada kongres Sumpah Pemuda II di tahun 1928 bukan kemudian tenang dan hidup enak di rumah-rumah megah dengan fasilitas memadai. Usai kongres, mereka malah diburu dan dikejar-kejar, dihujani peluru oleh ‘Penjajah’, yaitu Kolonial Belanda.

Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh pemuda itu, terus diikuti dari tahun ke tahun sehingga tercapailah kemerdekaan pada tahun 1945. Tentu saja, kemerdekaan Indonesia tercapai atas keterlibatan semua pihak dan perjuangan semua suku bangsa, baik secara individu maupun kelompok.

Pengetahuan sejarah jika dicermati, dihayati akan menjadi sebuah jalan penyadaran untuk membangun negeri yang merdeka ini di masa kini yang akan terus berdampak ke masa depan. Bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari cita-cita tokoh bangsa yang belum terselesaikan yang dituangkan pada UUD 1945 dan Pancasila. Pondasi ini tentu harus menjadi sebuah ‘kebijakan-kebijakan’ yang kemudian membangun negeri Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bukan menjadikan Indonesia semakin hari, semakin terlihat ‘kesenjangan sosial’ antara para pejabat dengan rakyatnya.

Kasus-kasus korupsi semakin menumpuk, gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial para pejabat dan pegawai-pegawainya. Baik itu di kalangan lembaga di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif semakin tidak mencerminkan sebagai orang-orang ‘yang mengetahui, mengerti, memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia’. Bahkan ada juga di media sosial, para pejabat yang tidak hafal Pancasila dan Lagu Indonesia Raya. Sementara mereka menikmati gaji dari pajak rakyat. Sungguh ini sangat memalukan!

Bukan hanya itu, di dalam lingkungan hidup bermasyarakat terjadi pola yang keliru.  Di mana para pejabat, pegawai pemerintah, anggota dewan dan sejenisnya seolah dijadikan sebagai orang yang terhormat. Seharusnya, mereka masuk dalam kategori ‘pekerja, pelayan masyarakat’ yang membantu mengurai persoalan-persoalan di masyarakat, bukan menambah masalah bagi masyarakat.

Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang untuk menjadi negara yang berdaulat sampai hari ini. Negara yang dibangun dengan ‘berdarah-darah’ tidak seharusnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejarah dengan baik tentang cita-cita tokoh-tokoh bangsa. Bangsa ini, memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Tidak seharusnya diserahkan kepada mereka yang mementingkan hawa nafsu ‘kekuasaan’ dan mempertontonkan gaya hidup bermewah-mewah tanpa memberikan solusi pada kelangsungan hidup masyarakat.

Situsjitu

Situsjitu

SitusJitu

Situsjitu

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

https://sjsu.seiyunu.edu.ye/

https://ojs.alpa.uy/

https://www.gjeis.com/

hu.edu.ye

odma.od.ua

https://journals.i3l.ac.id/

https://lrc.i3l.ac.id/

https://jpsyh.steizar.ac.id/

https://revistas.peruvianscience.org

https://sdis.inrs.ca/

https://www.efg.inrs.ca/

https://omec.inrs.ca/

https://lsp.inrs.ca/

Slot777

Slot88

Toto 4D

Toto 4D

Slot777

Toto 4D

Toto 4D

Toto 4D