(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Islam dan Perempuan

Husein Muhammad — Ketua Yayasan Fahmina dan Pendiri ISIF Cirebon

Apakah agama, dalam hal ini Islam, mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka? Atau sebaliknya apakah Islam mengafirmasi diskriminasi berdasarkan gender?

Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik? Misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik. Dalam hal yang lain, apakah perempuan mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.

Kontroversi

Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan dua aliran besar. Aliran pertama, berpendapat bahwa posisi perempuan adalah subordinat laki-laki. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki. Perempuan inferior dan laki-laki superior.

Posisi subordinat perempuan ini diyakini agamawan aliran ini sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh diubah. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus dibedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/politik. Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki.

Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadits nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat. Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Allah, dan keputusan Allah adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata.

Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim.

Aliran kedua, berpendapat bahwa perempuan mempunyai status dan posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut aliran ini memiliki potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki, baik dari aspek intelektual/akal, fisik maupun aspek mental-spiritual.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki signifikansi yang mewajibkan kita untuk membedakan mereka dalam mengekspresikan hak dan kewajiban masing-masing di depan hukum dan aktifitas sosial yang lain. Atas dasar pikiran ini, aliran ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka baik dalam ranah privat maupun publik. Aliran ini dianut oleh sangat sedikit ulama Islam, dan kita mungkin menyeburnya sebagai aliran progresif.

Adalah menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argument keagamaan dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur-an dan hadits nabi, dua sumber paling otoritatif dalam system keagamaan kaum muslimin. Kedua sumber Islam ini memang menyediakan teks-teks yang menjelaskan tentang kedudukan manusia yang setara di hadapan Tuhan.

Penghormatan martabat manusia, penegakan keadilan dan sebagainya di satu sisi, dan teks-teks yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, keunggulan dan otoritas laki-laki atas perempuan, kelemahan akal dan agama perempuan, dan sebagainya, di sisi yang lain. Ulama Islam terkemuka; Imam Jalal al Din al Suyuti, dalam bukunya “Al Asybah wa al Nazhair” menyebut sekitar 100 lebih perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

Pandangan-pandangan keagamaan tersebut masih menjadi rujukan bangsa-bangsa muslim di dunia. Tetapi harus segera dikemukakan bahwa pandangan keagamaan yang mendiskriminasi perempuan masih mendominasi kerangka berpikir masyarakat muslim pada umumnya. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat bahwa sumber-sumber legitimasi keagamaan mereka masih merupakan produk pemikiran para sarjana muslim generasi klasik. Mereka memandang produk-produk pemikiran tersebut paling dapat dipercaya dibanding lainnya.

Universal versus Partikular

Sumber-sumber utama Islam menyediakan dua katagori teks. Yakni teks-teks universal dan teks-teks partikular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan, untuk semua orang di segala ruang dan waktu. Ia berisi prinsip-prinsip fundamental atau dalam konteks sekarang bisa disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal.  Al Ghazali (w. 1111 M) menyebut ini dengan istilah “Al Kulliyyat al Khams” (Lima prinsip Universal). Yaitu hifzh al din (perlindungan terhadap keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al ‘aql (perlindungan atas hak berpikir dan berekspresi), hifzh al nasl/al ‘irdh (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatandiri) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik).

Contoh teks universal adalah ayat-ayat tentang kebebasan, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabat manusia, penegakan keadilan bagi semua manusia, sikap jujur dan ajaran-ajaran moral yang lain. Para ahli Islam menyebutkan katagori ini sebagai “al-muhkamat” (ayat-ayat yang kokoh dan tidak dapat diabaikan sama sekali). Al Ghazali menyebutnya sebagai “maqashid al syari’ah”, misi agama, yang kepadanya seluruh gagasan manusia harus disandarkan.

Sementara katagori teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks-teks partikular muncul sebagai respon atas suatu peristiwa atau kasus dalam sebuah ruang dan waktu. Karena sifatnya yang demikian maka ia selalu terkait dengan kejadian faktal dalam konteks tertentu. Oleh karena itulah ia harus dimaknai secara kontekstual.

Semua teks-teks hukum adalah partikular. Isu-isu tentang kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan oleh laki-laki (wilayah), poligami, kewarisan dan lain-lain adalah isu-isu partikular. Ayat-ayat seperti ini masuk dalam katagori “mutasyabihat”, interpretable, dapat diinterpretasikan, dan oleh karena itu bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.

Pandangan mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara teks universal versus teks partikular, maka teks partikular membatasi berlakunya teks universal.

Teks partikular harus diutamakan. Pandangan ini ditolak keras oleh Imam al Syathibi, seraya mengatakan bahwa “aturan-aturan umum atau hukum universal bersifat pasti dan normative, sedangkan pesan-pesan atau petunjuk-petunjuk khusus bersifat relative.

Karena itu, hukum umum dan ketentuan universal,menurutnya harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus (partikular). Aturan-aturan khusus ini tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan universal”.

Misalnya, al Qur’an menyatakan :

الرجال قوامون علی النساء بما فضل الله بعضهم علی بعض وبما انفقوا من اموالهم

“Laki-laki adalah “qawwam” (pemimpin) atas kaum perempuan, disebabkan Allah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki memberikan sebagian nafkahnya”.(Q.S. Al-Nisa,[4:34].

Pada tempat lain Tuhan mengatakan:

يا ابها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثی وجعلناكم شعوبا وقباءل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم

“Wahai Manusia, Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling terhormat di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”.(Q.S. Al-Hujurat, [49;13]).

Q.S. An-Nisa  [4:34] menjadi dasar utama untuk menjustifikasi otoritas dan sperioritas laki-laki. Sementara Q.S Al-Hujurat  [49:13], menegaskan kesetaraan manusia. Ayat ini bersifat universal.

Menurut Syathibi, ayat tentang kesetaraan manusia bersafat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan. Sedangkan ayat tentang kepimimpinan laki-laki adalah particular, bersifat khusus dan sosiologis, maka ia berlaku kontekstual.

Dari uraian di atas kita setidaknya memperoleh suatu gambaran bahwa respon atau sikap kaum muslimin atas isu-isu gender adalah beragam, berbeda-beda, meskipun mereka mengacu pada sumber referensi yang sama. Keberagaman pandangan ini muncul dari perbedaan mereka dalam membaca atau memahami teks. Sebagian memahaminya secara tekstual/harfiyah, dan menganggapnya sebagai kebenaran final, tanpa harus mempertimbangkan aspek rasio, ruh dan tujuan maupun realitas di luarnya.

Sementara pandangan yang lain membaca teks dengan segenap makna terdalamnya, substansial dan holistik. Mereka berpendapat bahwa keberadaan teks tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang melingkupnya. Teks tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan refleksi dan respon dari situasi peristiwa kehidupan yang nyata yang senantiasa mengalami proses perubahan dan dinamis. Setiap pendapat pikiran adalah refleksi dari diri yang hidup dalam lingkungannya masing-masing.

Pandangan yang terakhir ini menarik hati saya, dan saya percaya pula bahwa pesan-pesan agama yang ditulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung logika, tujuan dan ruh kemanusiaan. Tujuan ini dapat dipelajari dan diusahakan untuk diwujudkan. Ia bersifat rasional, dan bukan masalah yang terkait dengan kebenaran scrriptural.

Kesimpulan

Dari sini saya ingin menyatakan:

1. Perempuan adalah manusia. Ia memiliki seluruh potensi kemanusiaannya sebagaimana manusia laki-laki: intelektual (akal), mental-spiritual (ruh), hasrat seksual, energy tubuh dan lain-lain. Semua potensi itu diberikan Tuhan dalam kapasitas yang relative sama dengan laki-laki. Oleh karena itu  perempuan memiliki hak-hak kemanusiaannya, di samping kewajiban-kewajibannya, sebagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban kemanusiaan laki-laki. Perempuan berhak menjadi apa saja sebagaimana laki-laki. Semua hak tersebut tidak boleh dikurangi sedikitpun, wajib dihargai dan dilindungi oleh negara, tradisi dan oleh siapapun.

2. Kesetaraan manusia adalah konsekuensi paling bertanggungjawab atas pengakuan Ke-Esaan Tuhan. Atas dasar ini maka keadilan jender harus ditegakkan. Keadilan adalah bertindak proporsional, dengan memberikan hak kepada siapa saja yang memilikinya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau symbol-simbol primordialnya. “Tuhan tidak menilaimu dari wajah dan tubuhmu, melainkan dari hati dan tindakanmu,” kata Nabi.

3. Subordinasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan secara factual telah menciptakan beban penderitaan berlapis dan kemiskinan perempuan. Penderitaan dan kemiskinan perempuan secara niscaya berimplikasi serius pada kesehatan reproduksi, pendidikan dan kesejahteraan keluarga, dan pada gilirannya berdampak pada kemiskinan dan penderitaan keluarga, bangsa dan negara.

4. Agama hadir untuk manusia dalam kerangka penegakan prinsip-prinsip kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin). Di dalam terma ini terkandung paling tidak tujuh prinsip kemanusiaan: 1) Perlindungan atas hak hidup. 2) hak berkeyakinan. 3) hak berpikir. 4) hak atas kehormatan. 5) hak atas kesehatan reproduksi. 6) hak atas kepemilikan kekayaan, dan 7) hak atas keterpeliharaan dan kelestarian lingkungan.

5. Oleh karena itu, sistem sosial, kebijakan negara, pandangan tradisi dan keagamaan serta pandangan apapun yang mendiskriminasi dan mengandung kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya harus diperbaiki atau dihapuskan karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia, agama dan etika kemanusiaan. []

Menciptakan Ruang Aman dan Nyaman: Santri Terbebas dari Kekerasan di Pondok Pesantren

Najlah Humaidah — Mahasantriwa SUPI ISIF 

Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam pembentukan karakter dan akhlak santri. Di pondok pesantren, para santri diajarkan untuk mendalami ilmu agama, bahasa dan kemandirian. Bukan hanya itu, seringkali para orang tua merasa bahwa pondok pesantren adalah ruang paling aman dan nyaman bagi anaknya untuk menimbah ilmu, dengan adanya pengasuh dan pengurus pondok yang berperan aktif dan mengawasi dengan ketat sehingga membuat orang tua tenang.

Namun,di beberapa platform media sosial,  akhir-akhir ini seringkali di temukannya berbagai jenis kasus kekerasan yang mengatas namakan  pondok pesantren, seperti: penganiyaan,perundungan, pemerasan dan masih banyak lagi jenis jenis kekerasan lainnya. Karna itu, sebagian orang tua menjadi cemas ketika menitipkan anaknya di pondok pesantren.

Kasus Kekerasan di Pondok Pesantren

Salah satu kasus kekerasan yang baru -baru ini terjadi pada tanggal 16 September 2024, dilansir dari  solo.suaramerdeka.com. kasus ini terjadi di ponpes Az-Zayadiyy di Sanggaran, Grogol, Sukoharjo. Kasus ini dialami oleh santri yang  masih berusia dibawah umur,  berinisial kan Abdul Karim Putra Wibowo (13) Salah satu santri yang menjadi korban penganiyaan yang dilakukan seniornya hingga meninggal dunia.

Kasus ini ditindak lanjuti Kapolres beserta jajarannya, sudah ada 12 saksi yang diperiksa dalam kasus ini,satu diantaranya terdapat salah satu pelaku yang kini berhadapan dengan hukum dan ditangani oleh Unit PPA beserta DP2KBP3A (Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak).

Mengenai identitas anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, Kapolres mengatakan inisial MG (15) yang berasal dari Wonogiri. Untuk pasal yang ditetapkan Adalah 76C juncto pasal 80 ayat (3) UU No.17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.

Dengan banyaknya kasus kasus kekerasan yang mengatas namakan pondok pesantren sehingga nama pondok pesantren rusak. Lalu bagaimana cara untuk kembali menciptakan ruangan aman dan memperbaiki citra pondok pesantren??

Peran Pondok Pesantren

Mengutip dari nu.or.id.menurut pengasuh pondok pesantren Yanbaul ‘ulum Sukolilo Pati, kyai Abdul Kholiq Syafi’i ada beberapa cara untuk kembali menciptakan ruang aman dan nyaman di lingkungan pondok pesantren

Pertama, peran pengasuh dalam pengawasan para santri santri sangatlah penting, seringkali kita melihat pondok-pondok yang memiliki banyak santri terkesan kurang mendapatkan perhatian dari pengasuh, sehingga terlalu dipercayakan kepada pengurus.

Kedua, pengasuh pesantren memberikan pemahaman kepada pengurus bahwa hukuman (takziran) yang berkaitan dengan fisik wajib ditidakadakan. Hukumannya diganti dengan hukuman (takziran) yang memberikan manfaat seperti membaca Alquran, menulis sholawat nabi, atau bersih bersih yang mengandung unsur pembelajaran dan meningkatkan kemampuan santri.

Ketiga, bukan hanya itu sebagai pengasuh juga perlu memberikan sosialisasi atau pemahaman terkait bully atau perundungan. Terkait hal ini pihak pesantren baiknya bekerja sama dengan komisi perlindungan anak (KPAI) atau dengan Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA )

Keempat, melakukan evaluasi diri pesantren ini bisa dilakukan oleh pengasuh ke pengurus minimal satu minggu satu kali agar tidak telat informasi. Atau bisa juga pihak pengasuh melakukan observasi atau memantau kegiatan para santri minimal seminggu sekali. Sehingga pengasuh mengetahui aktivitas para santrinya di pondok.

Oleh karena itu, peran pengasuh sangatlah penting untuk menciptakan rasa aman,nyaman dan tentram dari kekerasan dalam pondok pesantren.

Bukan hanya pengasuh, tetapi para santri juga harus berkontribusi dalam menciptakan ruang tersebut dengan menerapkan sifat sifat yang terdapat dalam kata santri itu sendiri, yaitu Setara, Adil, Nasionalisme, Transformatif, Rasional, dan Inovativ.

Hari Santri Nasional 2024: Stop Kekerasan di Pesantren

Salma Nabila — Mahasantriwa SUPI ISIF

Pada tanggal 22 Oktober kemarin, merupakan perayaan hari santri nasional, di mana semua santri di Indonesia merayakan hari santri tersebut dengan penuh suka cita. Di balik ditentukannya hari santri pada tanggal 22 Oktober untuk mengenang jihad para santri dan kiai melawan penjajah di Indonesia. Jika zaman dulu para ulama dan kiai melakukan resolusi jihad untuk melawan penjajah dari tanah air, maka jihad santri dalam jaman sekarang ialah harus melawan adanya permasalahan di masa kini.

Permasalahan sosial yang sering mencuat ke publik ialah maraknya kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan. Pesantren menjadi salah satu tempat terjadinya tindakan kekerasan. Salah satunya pem-bully-an atau perundungan di pondok pesantren.

Angka Kasus Perundungan 

Menurut data layanan SAPA 129, kasus perundungan di lingkungan pendidikan baik di sekolah atau pesantren pada tahun 2023, mencapai 49 kasus dengan jumlah 63 korban. Melihat data angka perundungan dari layanan SAPA 129 tersebut, membuat saya tercengang. Bisa-bisanya ada tindakan kekerasan di lingkungan pesantren.

Kita tau bahwa pesantren adalah tempat menimba ilmu keagamaan yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan, memberikan tempat aman dan nyaman bagi santri, justru berbanding terbalik dengan adanya tindakan kekerasan (pem-bully-an) disana.

Belum lama ini kasus bullying, kembali terjadi di pondok pesantren Al-Quraniyy Az-Zayadiyy Grogol, Sukoharjo. Dalam laporan Detik.com, kasus tersebut terjadi kepada santri yang berinisial AKPW (13) yang tewas usai dianiaya oleh seniornya.

Menurut keterangan sang ibu, anaknya mengalami pem-bully-an dan kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya sendiri. Ia diminta untuk melakukan pemalakan ke teman-temannya untuk meminta makanan. Namun, sang korban menolak perintah senior hingga akhirnya terjadi pemukulan.

Meskipun kasus bullying telah mencuat ke publik. Namun, pihak pesantren selalu menutup-nutupi atau membantah adanya bullying di pesantren. Dari peristiwa bullying yang dialami (AKPW )menjadi salah satu dari sekian banyaknya orang yang mengalamu kekerasan. Tentu akan ada (AKPW ) yang lain diluar sana mengalami peristiwa ini tersebut.

Pencegahan Bullying

Jika kekerasan (pembulian) ini dibiarkan, kasus bully ini akan terus berlanjut dan memakan korban bully lainnya. Oleh karena itu perlu adanya pencegahan bullying di setiap lingkungan baik dari lembaga sekolah umum maupun lingkungan pesantren.

Melansir dari dari laman Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kemendikbud RI tentang usaha pencegahan bullying, ada 5 Cara dalam mencegah bullying yang bisa kita lakukan.

1. Sosialisasi pemahaman perundungan di lingkungan sekolah

Hal penting yang menjadi dasar dalam pencegahan perundungan adalah pemahaman terkait perundungan itu sendiri. Terutama efek perundungan yang bisa menimbulkan trauma hingga dewasa. Satuan pendidikan harus bisa memberikan pemahaman mengenai perundungan kepada seluruh warga sekolah, baik guru, tenaga kependidikan, hingga peserta didik.

2. Sensitif terhadap situasi dan kebutuhan korban

Seluruh komponen santri maupun pengasuh juga harus dilatih untuk memiliki rasa simpati dan juga empati kepada santri-santri. Salah satunya adalah dengan memperhatikan ciri-ciri seseorang yang mengalami perundungan dan menawarkan bantuan yang sesuai.

Ciri-ciri korban perundungan seperti sering cemas, sering menyendiri, tidak percaya diri, ataupun memiliki luka fisik/memar di tubuhnya. Jika melihat tanda-tanda seperti itu, lakukan pendekatan dengan korban untuk mengetahui detail perundungan lebih lanjut. Setelah itu, beri ia dukungan agar bisa bangkit melawan perundungan yang dialami.

3. Membuat kebijakan terkait aksi perundungan

Karena maraknya perundungan yang berakhir damai dan kurangnya mempertimbangkan efek psikologis korban, maka satuan pendidikan harus bisa membuat kebijakan, aturan, dan juga sanksi yang tegas terkait aksi perundungan yang ada di lingkungan pendidikan.

4. Memastikan jalur komunikasi yang terbuka untuk pelaporan kasus

Ketika ada perundungan terjadi sekolah seringkali terlambat mengetahui atau merespon. Karena itu, satuan pendidikan perlu memiliki sistem mekanisme pelaporan kasus perundungan yang ada di lingkungannya.

Pembentukan mekanisme dan standar operasional untuk jalur komunikasi pelaporan yang aman dan sensitif adalah salah satu cara agar kasus perundungan bisa lebih terungkap.

Tak jarang korban lainnya enggan untuk melapor karena takut menjadi sasaran perundungan selanjutnya.

5. Mengadakan kegiatan anti perundungan

Satuan pendidikan bisa melakukan program untuk menyampaikan pesan dan perilaku kebaikan untuk membangun norma yang menentang perundungan. Oleh karena itu,dalam perayaan hari santri 2024, mari kita ciptakan pesantren tempat aman dan nyaman bagi santri.

Dengan terus menyuarakan stop kekerasan di pesantren, diharapkan tidak ada lagi pelaku atau korban pembullyan yang terjadi lembaga pesantren. Jika jihad santri zaman dulu ialah melawan penjajah, maka jihad sekarang ialah melawan segala bentuk kekerasan di pesantren. Mari kita lawan pembullyan di pesantren.

 

 

5 Pilar Fiqh Al-Ikhtilaf: Cara Bijak Menghadapi Perbedaan dalam Islam

Perbedaan (al-ikhtilaf) adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas, Ia tidak bisa ditekan, ditutup, atau ditahan dengan peraturan, undang-undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi SAW menyatakan bahwa “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”. Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT.

Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan sering kali dikelola dalam konteks konflik. Namun, dengan perkembangan pemikiran, kita dihadapkan pada tantangan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada dialog, bukan kekerasan. Oleh karena itu, penghargaan terhadap perbedaan serta mekanisme relasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan harus ditegakkan.

Dalam Islam, sebagimana diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku ‘Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon,’ ada lima pilar utama yang menjadi landasan untuk menghadapi perbedaan.

Pilar pertama adalah pengakuan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan perbedaan sebagai bagian dari rencana-Nya, dan ini adalah sesuatu yang harus diterima oleh umat manusia. Kita perlu memahami bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah masalah, melainkan bagian dari rahmat Allah yang memperkaya kehidupan kita.

Pilar kedua menegaskan bahwa keyakinan adalah persoalan hati. Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Ini adalah hak asasi yang harus dihormati dalam interaksi antarumat beragama. Kebebasan berkeyakinan adalah pilar utama dari sebuah peradaban, dan dengan kebebasan ini, perbedaan dapat muncul dalam ruang yang layak dan memperoleh penghormatan yang sepantasnya.

Pilar ketiga adalah pentingnya dialog sebagai metode interaksi. Dialog yang baik harus dilakukan dengan kesetaraan, di mana tidak ada pihak yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ajaklah (orang-orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.” Melalui dialog yang setara, kita dapat memahami perspektif orang lain dan menjalin hubungan yang harmonis meskipun berbeda pendapat.

Pilar keempat menekankan bahwa pemaksaan tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan dengan kekerasan. Kekuatan tidak akan pernah dapat memaksakan keyakinan atau pandangan keagamaan pada orang lain. Sebaliknya, pemaksaan hanya akan menimbulkan kemunafikan dan dendam.

Pilar kelima adalah pengakuan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan mengadili kebenaran ajaran-ajaran yang ada. Kita sebagai manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim sebagai pembela kebenaran mutlak, karena hal ini hanya diketahui oleh Allah SWT.

Dengan memahami lima pilar ini, kita dapat merumuskan suatu etika sosial yang humanis dan berorientasi pada kebaikan umat manusia. Fiqh al-Ikhtilaf tidak hanya memberikan kerangka untuk memahami perbedaan pendapat, tetapi juga menjadi panduan untuk membangun dialog yang konstruktif dan menghindari konflik.

Dalam menghadapi perbedaan, kita perlu merangkul keberagaman sebagai rahmat yang memperkaya hidup kita, bukan sebagai alasan untuk saling memusuhi. Dengan menerapkan pilar-pilar ini, kita dapat menciptakan suasana damai dan saling menghormati, serta membangun pemahaman yang lebih baik di tengah perbedaan.

 

— Disarikan dari buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf:  Potret dan Prakarsa Cirebon (Alifatul Arifiati, dkk. (2017). Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon. Cirebon: Fahmina Institute.)

NEGARA PANCASILA ADALAH NEGARA ISLAMI

Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon

Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Finalitas ini ditetapkan sejak 37 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, tidak diperlukan lagi mencari dasar negara lain selain Pancasila. Pun, tidak diperlukan bereksperimen lagi pada bentuk negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Secara prinsipal, dalam pandangan NU, negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan, dalam bacaan saya, NU memandang negara Pancasila adalah bentuk lain dari negara Islam. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara Islam itu sendiri. Seperti diketahui bahwa secara sosio-politik, negara Islam tidak pernah tunggal dan monolitik, tidak pula universal dalam bentuk yang seragam.

Negara Islam itu bukan nama suatu negara, bukan simbol kenegaraan, atau bukan pula bentuk suatu pemerintahan. Suatu negara bisa disebut negara Islam apabila memenuhi suatu takaran substansi dan tata nilai prinsipal tertentu. Imam Abu Hanifah (80-150 H), misalnya, membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam di suatu negara  merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam dalam suatu negara, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.

Dengan kriteria tersebut, jelaslah bahwa negara Pancasila adalah dâr al-Islâm. Umat Islam di Indonesia tidak saja aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan untuk beberapa hal umat Islam sangat diistimewakan. Misalnya, umat Islam punya jalur pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Meskipun labelnya “agama,” tetapi  hakim, panitera, pegawai, dan orang-orang yang berperkara di pengadilan itu hanya untuk orang Islam. Sejumlah UU juga hanya ditujukan untuk umat Islam. Sebut saja, misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Meski tidak semua diatur dalam bentuk legal, umat Islam di Indonesia secara umum memiliki kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya, dijamin dan dilindungi secara konstitusional oleh UUD 1945. Oleh karena itu, perbincangan fundamental bangunan negara Indonesia, bagi NU, sudah titik (bukan koma atau titik koma lagi). Sebagai kesepakatan bersama, Indonesia telah berdiri tegak dan kokoh lebih dari 70 tahun meski serangan dan gugatan ideologis berkali-kali dilancarkan. Itulah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersemboyankan Bineka Tunggal Ika. Oleh MPR, fundamental negara ini disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini, oleh warga NU sering disingkat menjadi PBNU, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

Yang menarik dari narasi NU tentang Pancasila ini, NU menyelesaikannya bukan dengan pendekatan sosial politik semata, melainkan juga dengan pendekatan keagamaan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fikih, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, tasâmuh, dan i’tidâl merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.

Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya pada pemikiran keagamaan. Apa yang dilakukan NU sesungguhnya adalah jawaban sejarah atas gugatan-gugatan ideologis dari kaum Islamis yang masih mendambakan negara Islam di  bumi Indonesia ini. Apa yang dirumuskan NU juga pada dasarnya adalah jawaban teologis atas kegalauan kaum Islamis yang memberontak pada masa lalu bertujuan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Jika kita menggunakan nalar keagamaan ala NU, maka secara paradigmatik relasi agama dan negara telah selesai dan tuntas. Tentu tidak serta merta semua problem kenegaraan dan kebangsaan lalu tidak ada sama sekali. Finalitas ini hanya pada tataran fundamental yang bersifat paradigmatik dan ideologis. Dalam ruang-ruang praksis dan operasional tentu banyak hal yang masih harus dibenahi. Korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, gizi buruk, pendidikan, dan kerusakan alam adalah hal-hal yang harus terus diperbaiki. Namun, janganlah ada tikus di suatu rumah yang sudah kokoh, lalu rumahnya dibakar hanya untuk mengusir tikus.

Pancasila Digugat

Namun, seiring dengan derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang muaranya adalah mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan negara Islam atau khilâfah Islâmiyyah.

Akhirnya kita mencatat, dalam dua dekade terakhir ini, diskursus Pancasila kembali menjadi trending topic. Bukan karena rutinitas tahunan peringatan hari lahir atau hari kesaktian Pancasila, namun karena situasi kebangsaan yang memicunya. Masih hangat dalam ingatan kita, sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, ketika euphoria demokrasi menjangkiti kaum politisi kita, secara beruntun gugatan demi gugatan terhadap Pancasila dan NKRI terus menyeruak. Menariknya, gugatan ini bukan dilakukan oleh kaum komunis atau DI/TII sebagaimana terjadi di masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara sendiri dan organisasi yang sah dalam negara Pancasila. Lebih unik lagi, gugatan ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional dan atas nama demokrasi. Tidak sedikit para penyelenggara negara, baik di lembaga tinggi, pemerintahan, maupun lembaga tertinggi negara, menjadi otak intelektual dan sponsornya.

Kita masih ingat betul bagaimana kelompok Islamis secara konstitusional dalam ruang demokrasi kembali beraksi menggugat Pancasila dan UUD 1945  pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket amandemen UUD 1945. Sebelumnya, gugatan ideologis dilakukan pada sidang Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959 dan Sidang Umum MPRS tahun 1966–1968. Ironisnya, semua gugatan ideologis ini dilakukan secara legal konstitusional di bawah lindungan demokrasi Pancasila untuk menggantikan Pancasila dan mengubah UUD 1945 itu sendiri.

Jelaslah gagal, karena kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam masih cukup kuat, baik dalam barisan Parlemen maupun dalam gugusan masyarakat Nusantara. Meskipun gagal, mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan formalisasi syari’at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi Pancasila itu sendiri. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas.

Meski mengutuk demokrasi dan memandang negara Pancasila sebagai thoghut, tetapi sebagian kelompok Islamis itu hidup dan berkembang di bawah payung demokrasi dan ideologi Pancasila. Sebagian mereka menjadi Parpol yang ikut Pemilu dan bahkan kader-kadernya masuk ke dalam barisan parlemen, jajaran pemerintahan, dan pasukan kepolisian/tentara. Sebagian lagi tetap menjadi Ormas dan gerakan ekstra-parlementer yang menjadikan gerakan politik sebagai strategi utama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh mutakhir yang bisa dikemukakan.  Dia hidup dalam alam demokrasi yang diharamkan sendiri, berkembang dalam negara Pancasila yang di-thoghut-kan sendiri, tetapi strategi perjuangannya jelas dan tetap konsisten mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah Islamiyyah.

Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dewasa ini mutlak dilakukan. Tidak saja oleh negara, pihak yang paling bertanggungjawab, tetapi juga oleh masyarakat sipil (civil society). Perlu dicari cara dan pola baru untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan cara indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses ilmiah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam hati sanubari warga negara.

Dari Ideologi ke Praksis

Indonesia zaman now tentu berbeda dengan Indonesia zaman old. PKI dan HTI sudah dibubarkan. DI/TII dan Permesta sudah ditumpas. Aktor-aktor utamanya sudah dipenjarakan. Namun, paham, gagasan, dan ideologinya tidak pernah bisa dibunuh dan dikuburkan. Kita tidak mungkin bisa melarang dan menghukum pikiran, gagasan, keyakinan, dan ideologi yang bersemayam dalam otak dan sanubari seseorang. Sehingga, kemungkinan akan reinkarnasi, bangkit kembali, memberontak, dan menyerang kembali Pancasila dan UUD 1945 sangat bisa dipahami. Karena, ideologi itu tidak pernah mati, terus hidup, berkembang, mencari simpati, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya mewujud menjadi gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan budaya, hingga menjadi gerakan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini semua sangat mungkin terjadi. Kewaspadaan untuk ini tidak boleh hilang.

Akan tetapi, harus disadari bahwa tantangan Indonesia ke depan sangat kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri, baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional dan global. Arus besar globalisasi, pasar bebas, radikalisme, terorisme, narkoba, dan transmisi ideologi transnasional adalah sebagian isu global dan regional yang menjadi tantangan, sedang dan akan terus memengaruhi Indonesia ke depan. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perusakan alam, dan ketidakmerataan kesejahteraan adalah tantangan nyata dari dalam negeri yang terus akan menggugat peran dan fungsi Pancasila, bahkan hingga keberadaannya. Tantangan Pancasila hari ini bukan soal ideologi an sich, sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi yang paling memengaruhi gerakan massa adalah tantangan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan yang sehari-hari menyatu dalam kehidupan warga negara.

Ini tantangan nyata yang sangat dirasakan dan dialami oleh semua warga negara. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, kondisi ini akan berubah menjadi gerakan politik dan ideologi yang akan merongrong peran dan keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang gerakan ideologi yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sehari-hari warga negara. Ingat, Presiden Soeharto yang telah membangun kekuasaan lebih dari 30 tahun jatuh bukan karena ideologi non-Pancasila, tetapi karena kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sehari-hari dirasakan warga negara.

Dengan demikian, kehadiran Pancasila dengan pola, cara, dan pendekatan baru sangat niscaya. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk menurunkan Pancasila dari ideologi menjadi praksis gerakan sosial. Pancasila bukan sekadar ideologi negara  yang singgah dalam jantung pemerintahan, melainkan yang terpenting harus menancap dalam hati sanubari bangsa Indonesia menjadi pandangan hidup (way of life). Yakni, pandangan hidup yang operasional menyentuh realitas sosial yang terus berubah dan realitas kehidupan yang dialami langsung oleh warga negara Indonesia. Pandangan hidup yang kontekstual dan dinamis merespons perubahan-perubahan yang terus terjadi, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar yang tetap (tsawabit, kulliyyât).

Pancasila juga harus hadir menjadi pegangan nilai bagi warga negara dalam menghadapi setiap masalah kehidupan dan tantangan-tantangan baru, baik dari ruang global, regional, maupun nasional dan lokal.  Bukan sekadar tampil secara ideologis, melainkan Pancasila hari ini harus merespons dan menjawab tantangan-tantangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.

Dalam merespons tantangan yang kompleks itu, Pancasila harus tampil tidak semata-mata sebagai ideologi yang melangit (utopis), melainkan harus metamorfosis menjadi gerakan sosial, gerakan politik, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan dalam secara sistematis mewujudkan khittah-nya, yakni khittah Pancasila. Menurunkan ideologi ke dalam praksis sosial yang membebaskan adalah tantangan tersendiri dalam menerjemahkan Pancasila hari ini.

Dengan sejumlah tantangan di sekelilingnya, di hadapannya, dan di belakangnya, Pancasila harus mampu menjadi inspirasi gerakan sosial bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan persatuan Indonesia, yang didasari dengan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut berpedoman pada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Walhasil, kita—terutama negara—harus bisa menghadirkan Pancasila dalam ruang nyata kewarganegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang ada dalam kehidupan Indonesia. Wujud kehadiran itu adalah keberpihakan dan pembelaannya melalui kebijakan, perhatian, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang secara nyata mampu mengubahnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hari ini, kita perlu menemukan kembali (reinventing) “khittah Pancasila.” Sejak Pancasila lahir, dia memiliki khittahnya.  Khittah ini penting, karena khittah adalah tonggak garis perjuangan dan landasan dasar Pancasila ini ada. “Khittah Pancasila,” menurut saya, berada dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya yang melekat dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilâhiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-ra’iyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Lima nilai dan prinsip dasar ini merupakan satu keutuhan yang tak terpisahkan (five in one) dalam sistem nilai Pancasila. []

Studi Islam Ala ISIF

Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah kampus atau lembaga pendidikan tinggi Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial kemanusiaan Fahmina-institute. Kampus ini berdiri di atas dasar aspirasi publik yang mengemuka pada saat peringatan 7 tahun Fahmina dan hasil ‘ijtihad’ para pendiri Fahmina sendiri pada tahun 2007 yang lalu.

Atas dukungan banyak pihak, kampus progresif ini tampak terus tumbuh, mengembangkan, dan memantapkan langkah-langkah akademiknya. Tiga pilar (tri dharma) perguruan tinggi –pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat– terus ditancapkan hingga ke akar bumi, sementara buah akademiknya terus menggelayut ke atap langit, membangun peradaban Indonesia yang adil, setara, humanis, dan unggul.

Membedakan ISIF

Penting dicatat, perbedaan mendasar ISIF dengan PTAI lainnya adalah struktur dan substansi kurikulumnya. Dalam konteks itu, ISIF menempatkan keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-basyariyah), lokalitas (al-‘adah), dan kebhinekaan (at-ta’addudiyyah) sebagai perspektif atau paradigma untuk studi keislaman, baik bagi mahasiswa maupun dosennya.

Pada semester pertama, mahasiswa ISIF memperoleh mata kuliah studi gender, studi HAM, studi demokrasi, studi pluralisme, studi kebudayaan lokal, dan studi gerakan sosial, sesuatu yang jarang ditemukan dari kurikulum PTKI manapun.

Setelah rumpun mata kuliah perspektif ini, mahasiswa ISIF pada semester kedua memperoleh rumpun mata kuliah metodologi dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan ‘kebenaran’. Di antara metodologi yang diberikan adalah metodologi penelitian kualitatif, metodologi penelitian kuantitatif, metodologi penelitian aksi partisipatoris, analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, serta belajar dan hidup bersama masyarakat. Harapannya, mahasiswa ISIF sejak dini memiliki kemampuan metodologis untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis realitas sosial, realitas sejarah, teks, dan realitas budaya.

Pada semester ketiga, ISIF menawarkan rumpun mata kuliah “studi pengantar ilmu-ilmu keislaman.” Di antaranya adalah studi pengantar al-Our’an, studi pengantar al-Hadits, studi pengantar kalam, studi pengantar hukum Islam, studi pengantar tasawuf, dan studi pengantar ushul figh. Sejak semester ini, mahasiswa ISIF mulai memasuki bidang studi Islam, dari studi pengantar hingga ke substansi yang mendalam, kepakaran, dan mata kuliah pilihan profesi pada semester ketujuh dan kuartal.

Posisi Epistemologi Islam

Ditilik dari kurikulum ini saja, ISIF tampak berbeda dengan PTKI lainnya. ISIF mengambil posisi yang jelas antara keislaman, sejarah kemanusiaan, dan realitas sosial yang terus berubah. Tiga hal itu diposisikan ISIF hampir sama dengan konsep trinitas dalam pemahaman Kristiani,

Moto ISIF tegas, yakni memadukan teori, praktik, dan transformasi sosial berbasis tradisi intelektualisme Islam-pesantren. Mengapa intelektualisme Islam-pesantren? Harus diakui bahwa pesantren adalah pranata sosial Indonesia yang sangat kaya dan kuat dengan tradisi pemikiran dan akademik.

Dalam tradisi akademik pesantren, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah hal yang biasa, lumrah terjadi, dihargai, dan menjadi bagian dari ruh kehidupan. Pesantren juga kuat dengan ikatan tradisi, menyatu dengan kebudayaan di mana ia bersamanya, serta mampu hidup dalam kebhinekaan, tanpa bertendensi menundukkan dan menyeragamkannya.

Sesuai dengan motonya, ISIF hendak menghasilkan intelektual organik (organic intellectuals), yakni sarjana Islam yang menggali pengetahuan lokal (local knowledge) dari pengalaman kehidupan masyarakat, dan menggunakan pengetahuan itu untuk melakukan perubahan dan memecahkan problematika sosial bersama masyarakatnya.

Dalam bahasa lain, sarjana Islam yang hendak dihasilkan ISIF adalah sarjana yang memiliki jiwa kenabian (profetik), yakni menjadikan ilmu pengetahuannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mereka alami. Dalam keyakinan epistemologi ISIF, ilmu bukan untuk ilmu, melainkan ilmu untuk transformasi sosial demi kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (wisdom) di muka bumi.

Sikap terhadap Masa Lalu

Selain teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits, ISIF juga melakukan studi realitas keislaman masa lalu, sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga masa sekarang. Kecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, semuanya dipandang ISIF sebagai realitas sosial budaya yang tidak mutlak, karena realitas itu lahir dari rahim peradaban suatu tempat dan saat tertentu yang diliputi dengan subyektifitas dan faktor-faktor spesifik yang melatarinya. Kecuali wahyu, tidak ada yang universal dan langgeng, semuanya bisa ber(di)ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Inilah asas fleksibilitas (murunah) dalam pemahaman keislaman.

Islam masa lalu diposisikan ISIF sebagai bahan baku yang sangat kaya dan penting untuk merajut masa kini. Diperlukan kontekstualisasi, transformasi, dan pribumisasi masa lalu untuk dapat digunakan ke dalam masa kini. Masa lalu tidak bisa di-copy paste begitu saja untuk menjustifikasi masa kini, apalagi untuk masa yang akan datang.

Islam yang ingin dihadirkan ISIF adalah Islam-Indonesia dengan seluruh dasar ideologi dan kebudayaannya hari ini, bukan Islam-Arab, bukan Islam-Timur Tengah, dan bukan pula Islam-Barat. Islam-Indonesia adalah Islam yang menyatu dengan wajah, karakter, dan perilaku keindonesiaan, dengan seluruh kebudayaan, tradisi, dan nalar sosial politiknya.

Untuk menghadirkan Islam-Indonesia hari ini dibutuhkan penguasaan yang mendalam secara bersamaan terhadap pengetahuan Islam masa lalu (at-turats al-Islamiy), pengetahuan Barat (at-turats al-gharbiy) yang menguasai dunia hari ini, dan pengetahuan kebudayaan Indonesia (al-hadlarah al-indunisiyyah), bumi kita berpijak. Segi tiga bangunan pengetahuan dan peradaban ini adalah soko guru keilmuan ISIF.

Islam yang Dicita-citakan

Sebagai lembaga studi Islam, ISIF tentu memiliki bangunan Islam yang dicita-citakan. Islam dalam pandangan ISIF adalah instrumen Allah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat di muka bumi. Islam hadir untuk menjadi rahmat (cinta-kasih) bagi seluruh makhluk-Nya. Jangkauan Islam bukan hanya manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh benda-benda alam lainnya. Semuanya menjadi perhatian Islam sebagai keseimbangan ekosistem.

Dalam posisi ini jelas bahwa Islam adalah keadilan bagi seluruh hamba-Nya, rahmat bagi seluruh ciptaan-Nya, dan pelindung bagi seluruh perbedaan dan keragaman di muka bumi ini. Islam adalah agama keadilan, agama kesetaraan, agama kemaslahatan, agama kedamaian, agama cinta kasih, dan agama pelindung kebhinekaan.

Dengan demikian, adalah pengkerdilan besar-besaran, apabila Islam dipahami hanya untuk umat Islam saja, diidentikkan dengan Arabisme, lalu memusuhi selain Islam, memberantas tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan Arabisme. Islam juga bukan kendaraan politik yang dapat ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan penganutnya.

Sebaliknya, Islam hadir untuk semuanya, untuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun gender dan jenis kelaminnya, apapun orientasi seksualnya, dan apapun warna kulitnya berada dalam naungan rahmat Islam. Semuanya sama dan setara di hadapan Islam. Pembeda mereka di hadapan Allah hanyalah amal perbuatan dan ketakwaannya. Inna akramakum ‘inda Allahi atqokum.

Gerbang Pembaruan

Mencermati kerangka filosofis, paradigmatik, epistemologi, dan kurikulum studi Islam ISIF di atas, kami memiliki obsesi dan optimisme besar akan lahirnya para pembaru Islam dari Cirebon. Obsesi dan optimisme ini sangat berdasar. Di mana-mana, pembaruan selalu dimulai dari kebebasan berpikir, kemudian adanya ruang kebebasan mimbar akademik, dan adanya ruang/ media/fasilitasi untuk menuangkan gagasan-gagasan pembaruan tersebut.

Sejak kelahirannya, ISIF telah menyediakan tiga adegan tersebut. Dasar-dasar berpikir kritis, kebebasan berpikir, penguasaan bahan baku keislaman, semangat perubahan, serta ruang kebebasan mimbar akademik dan media ekspresi pembaruan telah disediakan.

Dengan demikian, pembaruan pangkalan-pangkalan sudah dilakukan oleh para founding fathers/mothers Fahmina. Kami telah menulis sejumlah buku, mulai menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan, membukakan gerbang lebar bagi gerakan pembaruan lanjutan yang lebih luas dan simultan, dan menyediakan media yang mendukung bagi persemaian gagasan-gagasan pembaruan.

Kini saatnya, civitas akademika (dosen dan mahasiswa) ISIF terus berijtihad (berpikir bebas) dan bekerja keras mengubah dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis-transformatif yang digali dari sumber-sumber keislaman dan kekayaan budaya tradisi sendiri.

Ingatlah: perubahan sosial tanpa perubahan ide cerdas ibarat rumah laba-laba, dan ide cerdas tanpa perubahan sosial ibarat busa. Wallahu A’lam bish Shawab.

— Artikel ini telah terbit secara cetak di Majalah LATAR ISIF Edisi 1 no. 1 Tahun 2011.