by admin | 26 Jul 2025 | Artikel, Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon)
ISIF Cirebon — Di setiap perguruan tinggi, selalu ada mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mata kuliah ini dimaksudkan untuk mendekatkan mahasiswa dengan kehidupan masyarakat, agar mahasiswa ketika lulus nanti memahami masalah-masalah sosial yang nyata dihadapi masyarakat. Ilmu yang diperolehnya di kampus tidak hanya benar secara teoritik, tetapi juga mampu menjawab problem nyata yang dialami masyarakat.
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon memandang bahwa KKN harus disesuaikan dengan disiplin ilmu yang digeluti mahasiswa di kampus, bukan sesuatu yang terpisah. Oleh karena ISIF mengambil disiplin “studi Islam” (Islamic studies, dirâsât Islâmiyyah), maka nama KKN dalam Kurikulum Transformatif ISIF 2025 diubah menjadi PIT (Praktik Islamologi Terapan). Oleh karena pelaksanaan PIT ini menggunakan metodologi Participatory Action Research (PAR), maka namanya dipertegas menjadi PIT-PAR, singkatan dari Praktik Islamologi Terapan Berbasis Participatory Action Research.
Mengapa Islamologi Terapan?
Secara epistemologis, Islamologi Terapan adalah pendekatan interdisipliner yang mempelajari Islam tidak hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai living tradition (tradisi hidup) yang berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Konsep “Terapan” menunjukkan orientasi untuk menghubungkan kajian teoretis dengan konteks empiris. Dengan demikian, Praktik Islamologi Terapan (PIT) adalah aktivitas akademik yang membawa mahasiswa keluar dari ruang kuliah di kampus untuk [1] mengamati fenomena sosial keagamaan secara langsung, bahkan terlibat (participant observation), [2] menganalisis dinamika sosial dengan perspektif Islamologi, [3] mengintegrasikan nilai-nilai Islam (etika, keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian) dalam praksis sosial, dan [4] menghasilkan pengetahuan baru yang relevan bagi masyarakat (people knowledge building).
Hal ini selaras dengan paradigma praxis-oriented education, di mana teori didialogkan, dikritisi, dan diperkaya melalui perjumpaan dengan realitas sosial di masyarakat.
Islamologi terapan juga merupakan pengejawantahan dari integrasi konkret Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam dharma pendidikan, mahasiswa menginternalisasi teori, metodologi, dan nilai-nilai keilmuan Islam melalui praktik dan pengalaman di lapangan. PIT secara sadar menggunakan pendekatan ilmiah (Participatory Action Research/PAR) untuk menggali data, menganalisis akar masalah, dan memproduksi pengetahuan baru. Ini adalah pelaksanaan dari dharma penelitian. Dalam waktu yang sama, sebagai manifestasi dari pengabdian kepada masyarakat, PIT juga mendorong mahasiswa berperan aktif bersama komunitas dalam merumuskan solusi sosial dan melakukan aksi nyata untuk keberdayaan masyarakat dalam menghadapi masalahnya.
Dalam teori pendidikan kritis Paulo Freire, hal ini disebut sebagai conscientização, yakni proses kesadaran kritis yang hanya lahir melalui perjumpaan antara refleksi (teori) dan aksi (praktik sosial) secara terus menerus tiada henti (never ending).
Wujud Misi Transformatif
Diketahui bahwa ISIF Cirebon sejak awal berdirinya memosisikan diri sebagai kampus transformatif, yakni sebuah kampus yang tidak sekadar mencetak sarjana agama, melainkan intelektual yang membumi, menggerakkan, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kedamaian semesta dalam kehidupan masyarakat yang dinamis. Misi transformatif itu bukan sekadar jargon, tetapi diwujudkan melalui praktik akademik yang nyata dan berdampak di masyarakat. Salah satu pilar yang menjembatani ruang akademik dengan realitas sosial adalah Praktik Islamologi Terapan berbasis Participatory Action Research (PIT-PAR).
PIT-PAR adalah ‘tafsir praksis’ dari integrasi Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di ISIF, tiga dimensi dharma tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan paradigmatik yang terhubung. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses dialogis yang menumbuhkan kesadaran kritis. Penelitian bukan sekadar pengumpulan data hingga kesimpulan, tetapi memahami realitas sosial untuk terjadi transformasi sosial. Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar bakti sosial, melainkan praksis pembebasan bersama komunitas untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta. Di titik inilah metodologi Participatory Action Research (PAR) yang digunakan dalam PIT menemukan relevansinya.
Paradigma PIT-PAR
PAR bukan sekadar metode penelitian, tetapi paradigma pengetahuan. Ia mendekonstruksi sekat yang menganga antara peneliti dan masyarakat, mengubah relasi “peneliti dan yang diteliti” menjadi “peneliti belajar bersama masyarakat.” Dalam PIT-PAR, mahasiswa dan dosen tidak hadir sebagai “pakar” atau “konsultan” yang membawa solusi instan ke masyarakat atas masalah yang mereka hadapi, melainkan mereka sebagai mitra belajar yang bergerak bersama komunitas.
Melalui metode PAR, kegiatan PIT tidak berhenti pada tahap mengamati, mengidentifikasi, dan menganalisis masalah, melainkan civitas akademika terlibat langsung dalam siklus refleksi-aksi-refleksi-aksi hingga tanpa berkesudahan. Masalah sosial yang ditemukan bukan sekadar didiagnosis dan dianalisis akar strukturnya, melainkan bersama masyarakat dicari alternatif pemecahan yang sesuai konteks lokal dengan aksi nyata, kemudian dievaluasi kembali bersama, lalu dilakukan aksi baru, begitu seterunya. Dengan demikian, PAR adalah metodologi dialogis, kritis, sekaligus praksis—sejalan dengan visi Islamologi Terapan yang dikembangkan ISIF.
Spirit ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pendidikan kritis. Freire menegaskan, “Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom” (1970). Pendidikan yang sejati adalah proses dialogis yang memampukan manusia membaca realitasnya (conscientização), mengkritisi struktur penindasan, dan bertindak mengubah keadaan. PIT-PAR hadir sebagai medium pendidikan kritis—menyatukan pembelajaran di kampus dengan realitas sosial masyarakat marginal.
Berbeda dengan KKN konvensional yang sering kali hanya berupa kegiatan seremonial di desa, PIT-PAR mengusung spirit transformasi sosial berkelanjutan. Mahasiswa tidak sekadar hadir beberapa minggu, lalu pergi tanpa jejak, tetapi mereka masuk ke komunitas dengan sikap partisipatif, mendengarkan, membangun kesadaran kritis, membangun hubungan sosial kemanusiaan, dan meninggalkan jejak keberdayaan yang menancap pada akar tradisi lokal.
Dalam konteks pendidikan tinggi, metode PAR yang digunakan dalam PIT-PAR menghubungkan riset, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat dalam satu kesatuan siklus. Yakni, identifikasi masalah bersama masyarakat, analisis kritis sebab-akibat dan potensi solusi, perencanaan aksi berbasis partisipasi komunitas, implementasi aksi sosial secara kolektif, serta evaluasi dan refleksi bersama untuk meningkatkan kapasitas komunitas. Hasil akhir dari proses ini adalah transformasi sosial yang tidak hanya mengubah kondisi struktural, tetapi juga menumbuhkan critical consciousness, baik pada mahasiswa maupun masyarakat dampingan.
Melalui pengalaman ini, mahasiswa diharapkan menguasai kompetensi teoritik dan praktik PAR, memahami dinamika sosial berbasis nilai-nilai Islam, serta mampu membangun sinergi antara kampus dan masyarakat. Setelah PIT-PAR selesai, masyarakat tidak ditinggal begitu saja, melainkan tetap didampingi dan dibersamai oleh dosen-dosen dalam menjalankan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Desa atau komunitas PIT-PAR dijadikan sebagai desa dampingan atau kawasan studi oleh civitas akademika Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
Mengapa PAR Penting?
Metodologi PAR yang melekat pada PIT bukan pilihan teknis, tetapi sebuah manifestasi paradigmatik dari tri dharma perguruan tinggi, yang kemudian menjadi rangkaian metodologis yang sistematis. Dalam dimensi pendidikan, PAR menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa. Mereka belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari realitas kehidupan masyarakat. Mahasiswa dilatih menjadi intelektual organik—yang mampu mendengar, berdialog, dan membangun solusi bersama masyarakat, bukan mendikte dari menara gading akademik.
Dalam dimensi penelitian, PAR menolak netralitas semu yang sering melekat pada riset positivistik. Ia menegaskan bahwa penelitian harus berpihak pada keadilan. Data bukan sekadar dikumpulkan, tetapi diolah bersama masyarakat sebagai alat pembebasan. Dengan PAR, mahasiswa belajar bahwa pengetahuan sejati lahir dari perjumpaan kritis antara teori dan realitas yang dialami masyarakat.
Sebagai pengabdian kepada masyarakat, PAR melampaui pendekatan karitatif. Pengabdian tidak berhenti pada bantuan material, melainkan mendorong kesadaran kritis, perubahan relasi, hingga munculnya keberdayaan struktural yang berkelanjutan. Pengabdian bukan tentang “membantu yang lemah”, tetapi membangun kesadaran bahwa masyarakat memiliki kekuatan kolektif untuk mengubah nasibnya sendiri berangkat dari sumber daya yang dimilikinya saat ini.
Dengan demikian, PAR adalah jembatan antara teori dan praksis, antara kampus dan masyarakat, antara ilmu dan transformasi untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta, misi yang diusung ISIF. Inilah mengapa PIT-PAR menjadi inti dari identitas ISIF sebagai “kampus transformatif.”
Merambah ke Global
Seiring dengan perkembangan ISIF sebagai kampus berbasis gerakan sosial, PIT-PAR kini berkembang dalam tiga skema pelaksanaan. Dua skema pertama telah dilaksanakan sebelumnya, yakni PIT-PAR Reguler dan PIT-PAR Mandiri. Adapun skema PIT-PAR Internasional baru dilaksanakan pada tahun 2025 ini.
PIT-PAR Reguler adalah skema utama dan terjadwal sebagai bagian dari kegiatan akademik setiap semester. PIT-PAR Reguler diselenggarakan di wilayah lokal (desa, kampung, komunitas urban) yang ditentukan oleh kampus. Mahasiswa dari berbagai program studi melaksanakan kegiatan sesuai fokus keilmuannya, misalnya: mahasiswa PAI memperkuat pendidikan agama di masyarakat, mahasiswa Ekonomi Syariah mendampingi penguatan ekonomi komunitas, mahasiswa Hukum Keluarga Islam memfasilitasi literasi hukum keluarga, dan mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir mengembangkan literasi keagamaan berbasis tafsir kontekstual. Skema ini di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) ISIF.
PIT-PAR Mandiri memberi fleksibilitas bagi mahasiswa yang, karena kondisi tertentu –misalnya mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), tidak dapat mengikuti PIT-PAR Reguler. Dalam skema ini, mahasiswa melaksanakan PIT-PAR di daerah asal atau komunitasnya sendiri, dengan rancangan program yang disetujui LP2M. Keunggulan skema ini adalah memungkinkan mahasiswa lebih kontekstual karena mengenal baik komunitasnya dan mendorong mahasiswa menjadi agen perubahan di lingkungannya sendiri.
Adapun skema terbaru, yakni PIT-PAR Internasional, merupakan pengembangan global PIT-PAR yang dilaksanakan di luar Indonesia. Mahasiswa dapat mengikuti program ini untuk belajar tentang isu-isu keislaman, sosial, dan pemberdayaan masyarakat dalam konteks lintas budaya dan negara. Contoh implementasinya adalah praktik pemberdayaan komunitas Muslim minoritas di Asia Tenggara, kolaborasi dengan lembaga internasional dalam isu keadilan sosial dan gender, dialog interkultural dengan masyarakat di luar negeri sebagai learning society. PIT-PAR Internasional memperluas perspektif mahasiswa tentang Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang dapat dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial-budaya dan kewarganegaraan.
Melalui ketiga skema tersebut, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah lapangan, tetapi menjadi model kegiatan akademik transformatif berbasis riset partisipatoris yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat dari ketidakadilan struktural, kemiskinan, keterbelakangan, serta problem sosial lainnya. Dengan demikian, PIT-PAR menjadi medium untuk menghadirkan Islam yang humanis, egaliter, dan kontekstual, mengintegrasikan studi Islam klasik dengan ilmu sosial kontemporer, menciptakan lulusan ISIF yang memiliki kompetensi akademik, spiritual, dan sosial, sekaligus sensitif terhadap isu-isu gender, keadilan, dan keberagaman.
ISIF: Bergerak dari Lokal ke Global
Melalui PIT-PAR, ISIF mengukuhkan dirinya sebagai kampus yang tidak hanya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, tetapi juga menggerakkan masyarakat; tidak hanya mencerdaskan masyarakat, tetapi juga memberdayakan kehidupannya; tidak hanya mengkritik, tetapi juga membangun solusi bersama yang berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia yang masih sarat dengan ketimpangan, intoleransi, dan ketidakadilan, kampus agama seperti ISIF tidak cukup hanya memproduksi lulusan yang hafal teks, tetapi harus melahirkan ilmuwan-aktivis yang mampu merumuskan Islam sebagai kekuatan pembebasan sosial. Di sinilah, Islamologi Terapan menemukan relevansinya—Islam yang membumi, Islam yang menyentuh realitas, Islam yang mengubah keadaan, Islam yang mampu mengantarkan terwujudnya keadilan dan kemaslahatan.
Dalam konteks ini, PIT-PAR adalah laboratorium sosial yang membentuk mahasiswa menjadi insan yang tidak hanya kritis, tetapi juga peduli dan berdaya ubah. Dengan dimensi internasionalnya, PIT-PAR menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya agenda lokal, tetapi juga agenda global yang harus diperjuangkan oleh civitas akademika kampus.
Belajar, Bergerak, Berubah
Sebagai kampus transformatif, ISIF melalui PIT-PAR mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dipraktikkan; bukan untuk kemuliaan individu, tetapi untuk keberdayaan masyarakat di mana kita bersamanya. PAR sebagai metodologi bukan sekadar pilihan akademik, tetapi manifestasi komitmen moral kampus pada keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.
Dengan PIT-PAR, ISIF menegaskan bahwa kampus bukan menara gading, melainkan ruang perjumpaan, dialog, dan transformasi sosial. Selaras dengan gagasan Paulo Freire dan Orlando Fals Borda, bahwa “Education is freedom. Research is liberation. Action is justice.”
Kini, dengan mengusung PIT-PAR Internasional, ISIF menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya mandat Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab peradaban Islam di tingkat global. Mahasiswa ISIF tidak hanya menjadi saksi, tetapi aktor perubahan sosial, baik di desa di Cirebon maupun di komunitas transnasional di Malaysia dan Singapura.
PIT-PAR mengajarkan bahwa transformasi sosial dimulai dari keberanian untuk hadir, mendengar, dan bergerak bersama. Jelaslah, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah, tetapi adalah jiwa dari ISIF sebagai kampus transformatif dan jantung praksis akademik ISIF yang menghubungkan kampus dengan realitas sosial.[]
by admin | 22 Jul 2025 | Artikel
Oleh: Ahmad Kamali Hairo (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Dalam konteks kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi sebuah keniscayaan. Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengedepankan keseimbangan antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan terhadap praktik beragama orang lain. Moderasi beragama bukan berarti mengurangi kadar keimanan, melainkan menjadikan agama sebagai landasan untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan harmonis.
Konsep ini penting untuk terus digaungkan di tengah menguatnya arus ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Di satu sisi, ada kecenderungan memahami agama secara sempit dan kaku, yang memunculkan sikap eksklusif dan bahkan kekerasan atas nama agama. Di sisi lain, ada pula pandangan yang menafikan peran nilai-nilai spiritual dan merelatifkan semua keyakinan secara ekstrem. Moderasi hadir sebagai jalan tengah yang menjembatani dua kutub ini, menghadirkan wajah beragama yang ramah, adil, dan kontekstual.
Untuk mewujudkan moderasi beragama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi panduan moral, tetapi juga menjadi pedoman praktis dalam bersikap dan bertindak di tengah masyarakat yang majemuk. Setidaknya, terdapat lima prinsip utama yang menjadi pilar moderasi beragama dan dapat dijadikan pegangan bagi setiap individu dalam membangun kehidupan yang harmonis dan saling menghargai.
Lima Prinsip Utama Moderasi Beragama
1. Jalan Tengah (Tawassuth)
Mengambil posisi di antara dua ekstrem: tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula meremehkannya. Sikap ini menghindari radikalisme maupun liberalisme, dan memastikan ajaran agama dipahami serta diamalkan secara seimbang.
2. Toleransi (Tasāmuh)
Menghargai perbedaan keyakinan dan praktik beragama. Toleransi bukan berarti menyetujui semua keyakinan, tetapi memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan maupun diskriminasi.
3. Kesetaraan (Musāwah)
Memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan, tanpa membedakan suku, ras, atau agama. Prinsip ini menolak segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, serta menjamin hak dan martabat yang sama bagi setiap individu.
4. Keadilan (I’tidāl)
Menegakkan kebenaran dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, tanpa memandang latar belakang agama. Keadilan menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.
5. Dinamis (Tathawwur)
Menyadari bahwa ajaran agama dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan konteks sosial. Prinsip ini mendorong umat beragama untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan kontemporer tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar agama.
Dengan mengamalkan prinsip-prinsip ini, moderasi beragama menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu ia turut serta menciptakan peradaban yang beradab dan penuh kasih sayang.
by admin | 17 Jun 2025 | Artikel
ISIF Cirebon — Selama berabad-abad, perempuan sering terpinggirkan dari panggung politik dan dibatasi perannya hanya di ranah domestik. Banyak yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang “alami”—seolah-olah sudah menjadi kodrat bahwa laki-laki yang aktif di luar rumah, sementara perempuan cukup di dapur, sumur, dan kasur.
Konstruksi sosial berupa pembagian peran antara laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik, mengakibatkan akses dan partisipasi perempuan dalam dunia politik sangat rendah. Faktor lain yang menjadi salah satu penghambat dalam menciptakan kesadaran dan pemahaman dilatarbelakangi oleh pandangan teologi yang tidak membebaskan, artinya perempuan berpegang pada konsep teologi yang justru tidak memihaknya, karena diyakini sebagai doktrin kesucian agama yang tidak dapat diganggu gugat.
Bias Tafsir dan Pengaruh Tradisi dalam Penafsiran Teks
Dominasi peran laki-laki terhadap perempuan menurut Asghar Ali Enginer dibenarkan oleh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Begitu kuatnya sikap ini, sehingga norma-norma kitab suci yang progresif pun menjadi terpengaruh. Sebagai akibatnya, kitab suci diinterpretasikan sedemikian rupa sehinggga merefleksikan sikap mental yang berlaku.
Demikianlah kondisi masyarakat yang didominasi hak-hak seringkali mengekang norma-norma yang adil dan egaliter yang dipersembahkan bagi umat manusia. Tidak terkecuali kitab suci Al-Qur’an yang secara komparatif bersikap membebaskan dalam perlakuannya terhadap perempuan.
Apakah domestifikasi perempuan ini memang sudah merupakan fitrah masing-masing perempuan, sehingga secara alami telah terjadi konsensus pembagian peran yang demikian? Atau disebabkan oleh asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki, sehingga sepantasnya kalau kemudian laki laki mendominasi perempuan?
Setidaknya asumsi tersebut untuk sementara bisa dianggap benar adanya, karena secara historis telah berlangsung sepanjang zaman, kecuali di kalangan masyarakat matriarkhal yang jumlahnya tidak banyak. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa interpretasi yang bias terhadap makna Al-Qur’an menghasilkan pemahaman yang rancu, bahkan mengakibatkan adanya penyimpangan terhadap makna yang sesungguhnya.
Adanya penafsiran yang masih bias (misoginis) terhadap teks Al-Qur’an oleh para penafsir yang semuanya adalah laki-laki. Prof. Dr. Nasarudin Umar, MA. dalam salah satu bukunya, “Teologi Gender”, mensinyalir beberapa faktor yang menyebabkan penafsiran yang bias itu.
Di antara beberapa faktor tersebut adalah adanya pembakuan terhadap tanda baca, tanda huruf, dan gira’ah dalam proses kodifikasi teks. Perbedaan makna dalam beberapa kosa kata yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran dalam meng-istimbath hukum, seperti kata quru’ : dalam Al-Baqarah: 228 yang mempunyai dua arti, yaitu masa suci dan masa haid.
Perbedaan pendapat yang dari penafsiran kata tersebut berimplikasi pada perbedaan hukum ‘iddah yang ditanggung oleh perempuan setelah diceraikan suaminya. Abu Hanifah misalnya, memilih untuk memaknai kata quru’ dangan makna haid. Sementara Imam Syafii’ lebih cenderung pada makna suci. Implikasinya bagi Abu Hanifah, masa ‘iddah perempuan menjadi lebih panjang dari pada masa Iddah menurut pendapat Imam Syafii’.
Penggunaan kata ganti dalam teks yang mengindikasikan pada dominasi laki-laki. Seperti menunjuk Tuhan dengan kata ganti laki-laki, menomorduakan kata ganti perempuan setelah laki-laki ketika menunjuk laki laki dan perempuan dalam waktu yang bersamaan, atau penggunaan kata ganti lak-laki untuk menunjuk perempuan dan laki-laki sekaligus.
Selain itu, penafsiran ayat-ayat Al-Quran banyak sekali dipengaruhi oleh cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat Yahudi dan Kristen sebelum Islam atau dari Perjanjian Lama dan Baru, atau yang disebut dengan riwayat Israiliyat. Contohnya bisa kita lihat dari penafsiran ayat tentang penciptaan laki-laki dan perempuan. Para penafsir banyak menceritakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Cerita itu rupanya dikutip dari Perjanjian Lama karena dalam teks Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan tentang cerita tersebut.
Kenyataan lain yang juga harus kita akui adalah terdapatnya teks teks yang misoginis, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis. Ini disebabkan karena faktor karakter bahasa Arab yang bias gender dan faktor kondisi sosio-historis yang tidak bisa dilepaskan dari teks. Oleh karena Itu, diperlukan kajian kritis dalam penafisiran agama, jika perlu, dilakukan dekonstruksi tafsir agama secara kolektif dari komprehensif dengan menggunakan perspektif gender.
Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi masyarakat pada umumnya bersumber dari faktor interpretasi. Bagaimana dengan sejumlah teks di dalam Al-Quran yang jelas mengeksplisitkan makna misoginis terhadap perempuan, misalnya tentang waris, nusyuz dan sebagainya. Apakah ada infiltrasi dari unsur tradisi sebelum Islam atau memang merupakan tradisi yang hendak dibangun oleh Islam.
Meski demikian, bila kita cermati secara kritis kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sejumlah teks agama yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang dapat dianggap sebagai dasar legitimasi oleh sementara orang untuk merendahkan martabat perempuan dan menempatkannya pada posisi subordinat kaum laki-laki.
Kedua sumber ini pada gilirannya dapat memberikan peluang bagi tindakan kekerasan terhadap perempuan atas nama kebenaran agama. Pemahaman teks-teks keagamaan seperti itu tentu saja tidak bisa dibenarkan, karena memberi kesan yang bertentangan dengan visi kesetaraan dan keadilan manusia sebagaimana dalam prinsip-prinsip universal.
Pemahaman agama yang bias gender bisa terjadi karena penafsiran terhadap teks yang sepotong-sepotong, tidak utuh, atau karena hanya memahami teks secara tekstual dengan mengabaikan konteks sosio-historisnya.
Melalul teks-teks di atas, Islam pada awal perkembangannya sesungguhnya berusaha melakukan pembongkaran terhadap wacana ideologis yang berkembang pada saat itu, — sebuah ideologi yang sepenuhnya patriarki, sepenuhnya diskriminatif dan sarat dengan kekerasan.
Upaya-upaya transformasi tersebut dilakukan melalul dua pendekatan yaitu, di satu sisi mengangkat citra dan martabat perempuan serta menyejajarkannya dengan laki laki baik dalam hak haknya maupun kewajiban kewajibannya. Di sisi lain, mengecam praktik praktik perendahan, pelecehan, dan kekerasan terhadap mereka. Cara cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh Nabi Muhammad SAW. Pada suatu saat beliau mengatakan,
“Sebaik baik kamu adalah yang paling baik terhadap istrimu dan sungguh, perempuan adalah saudara kandung laki laki”,
Reinterpretasi Kritis terhadap Teks Keagamaan
Setiap agama pada dasarnya menganjurkan untuk menegakkan prinsip prinsip keadilan dan kesetaraan. Pandangan egalitarianisme Islam dan penolakannya terhadap praktik-praktik kekerasan yang dilakukan manusia dalam kaitannya dengan relasi laki laki dan perempuan dibicarakan secara luas dalam Al-Qur’an maupun hadis. Islam tidak pernah membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan lainnya, antara laki laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Q.S. al-Hujurat [49]:13, an-Nisa” [4]:1, al-A’raf [7]:189, az-Zumar [39]:6, Fatir [35]:11, al-Mukminun [40]:67, dan sebagainya.
Secara tegas ayat-ayat tersebut tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Karenanya tidak perlu ada superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa, satu ras maupun satu jenis kelamin tertentu kepada yang lain. Prinsip kesetaraan mengindikasikan adanya persamaan antar sesama umat manusia, baik perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal batas dari manapun asalnya.
Namun bila kita cermati secara kritis ditemukan sejumlah teks-teks misoginis yang mendiskriminasikan perempuan dan interpretasi terhadap pemahaman-pemahaman agama yang bias gender yang dijadikan sebagai dasar legitimasi oleh sebagian orang untuk mensubordinasikan perempuan. Dengan dasar pemahaman seperti ini, memberikan peluang yang sangat besar terjadinya praktik tindakan kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan kebenaran ajaran agama.
Ada sejumlah kemungkinan yang dapat dianalisis mengapa perspektif diskriminatif dan subordinatif terjadi dalam wacana atau pemikiran keagamaan seperti itu. Pertama, sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan teks. Kedua, mungkin penafsiran dilakukan secara sepotong-sepotong, tidak utuh dan lepas dari setting sosio-historisnya, sosio-kulturalnya, kapan dan di mana teks tersebut diturunkan. Ketiga, kemungkinan memanipulasi hadis-hadis Nabi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Persoalan lain adalah problem metodologi penafsiran terhadap teks-teks agama dan kevakuman (jumud) dalam melakukan analisis terhadap teks-teks dalam konteks kehidupan kekinian yang dinamis dan terus berubah secara kritis.
Bila kita mengamati pernyataan-pernyataan Al-Qur’an yang mengkritik secara tajam terhadap kebudayaan Arab yang diskriminatif dan misoginis terhadap perempuan sebelum Al-Qur’an diturunkan, seharusnya dapat dijadikan dasar metodologi kita untuk mereinterpretasikan teks-teks yang bias gender menjadi sebuah pemahaman baru yang sesuai dengan cita-cita al-Qur’an yaitu kesetaraan dan keadilan.
— Disarikan dari buku Nalar Politik Perempuan Pesantren, (Maria Ulfah Ansor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina Institute, 2006).
by admin | 9 Jun 2025 | Artikel, Mahasiswa & Alumni
Gun Gun Gunawan
Sekretaris LBH Fahmina dan Alumni ISIF Cirebon
ISIF Cirebon — Gus Dur selalu punya cara unik untuk menggugah kesadaran dan membuat kita berpikir ulang tentang banyak hal, baik itu tentang agama, kemanusiaan, geopolitik, atau wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, tokoh nyentrik dan kosmopolit yang terkenal dengan pemikiran yang nyeleneh selalu menawarkan wacana yang bahkan konteksnya bisa menembus batas negara, agama, bahkan zaman.
Pemikirannya kerap mengusik. Tapi justru dari sanalah kesadaran itu tumbuh. Salah satu contoh pokok pikirannya adalah pada esai bernas, “Republik Bumi di Surga: Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat.” Dalam tulisan ini, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melemparkan bola panas tentang wacana gerakan sosial melalui pembacaan kondisi geopolitik gerakan sosial pada masa itu terkhusus yang berwatak keagamaan. Gus Dur melakukan kritik tajam tentang bagaimana agama bekerja—baik secara sadar maupun tersembunyi—dalam mendorong gerakan sosial di masyarakat.
Reformisme dalam Gerakan Keagamaan
Dalam tulisan ini Gus Dur membuka pandangannya dengan mengulas 2 dikotomi gerakan yaitu gerakan revolusioner yang dipelopori oleh kaum Marxis dan gerakan reformis yang dipelopori oleh gerakan bermotifkan keagamaan.
Menurut Gus Dur ada dua kecenderungan berbeda di antara dua gerakan ini. Gerakan reformis biasanya dilatari oleh motif mesianistik dan mileniaristik. Menurut paham reformis paham revolusioner jika tanpa ideologi seperti halnya ideologi agama hanya akan mencapai kemenangan temporal, sisanya akan ada pertentangan kontra revolusi yang bersiap untuk merebut kembali kekuasaan.
Sedangkan menurut gerakan revolusioner paham gerakan keagamaan yang bersifat reformis hanya akan mentok di dua ujung yang semu dan kecenderungan gerakan reformis hanya akan memperkuat struktur yang ada dan melemahkan naluri revolusioner.
Mesianistik dan mileniaristik itu tak memberi angin segar karena tidak bisa merombak struktur dan tak bisa menyusun masyarakat baru yang egalitarian. Makanya Marxis tak percaya gerakan revolusioner yang didasari oleh motif keagamaan.
Marx pada khususnya, beranggapan bahwasanya agama hanya berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi kepada struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Buktinya dengan catatan sejarah yang memperlihatkan sikap revolusioner yang temporer belaka, hingga kekuasaan berada di tangan para tokoh reformis.
Artinya watak perjuangan kaum reformis yang bermotifkan keagamaan tak jauh berbeda sama serakahnya dengan kekuatan lain dan yang cenderung mempertahankan status quo. Oleh sebab itu Marxis anti terhadap yang namanya gerakan bermotifkan keagamaan.
Contoh-contoh konkrit bisa dilihat dari gerakan-gerakan bermotifkan keagamaan yang berada di Timur Tengah misalnya seperti revolusioner kaum nasionalis Arab Ba’athisme di Irak dan Syria, Sosialisme di Aljazair pimpinan Ahmed bin Bella dan Pan Islamisme.
Kemudian ada Pan Arabik dari Gamal Abdul Naser di Mesir ada Ikhwanul Musliminnya Hasan al-Banna yang memperoleh dukungan dari Al Azhar. Adapun dukungan dari al-azhar tersebut menurut Gus Dur bukanlah dukungan atas pandangan revolusioner yang dibawa oleh Ikhwanul muslimin melainkan hanya mendukung kebijaksanaan pihak yang memerintah.
Buktinya setelah Nassar lengser dan diganti oleh Anwar Sadat, Al Azhar berputar haluan dan mendukung kebijaksanaan Anwar Sadat yang berwatak teknokratik yang bertentangan dari arus sosialistik.
Selain itu ada contoh lain seperti kongres rakyat-rakyat muslim di Iran yang melawan raja yang cenderung didorong oleh kepentingan taktis saja. Kemudian ada bukti paling konkret dari ideologi revolusioner dengan kecurigaan kepada motif keagamaan bisa dilihat dari kasus di India.
Tak ada satu pun pandangan revolusioner di India yang memiliki kaitan dengan aspirasi keagamaan kecuali gerakan Hindu Arya Samad yang berpusat di negara bagian Ayana. Motif keagamaan paling militan seperti yang dibawa oleh Mahatma Gandhi sekalipun tidak berwatak revolusioner dan hanya berwatak reformatif belaka dengan hanya menopang pada transformasi pada keinsafan spiritual bukan pada penggulingan kekuasaan.
Agama sebagai Motif Gerakan
Pada sesi selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa di era 60 sampai 70-an terjadi pergeseran pandangan seperti yang terjadi di Mesir setelah Nasir berhasil mengkonsolidasikan kekuatan revolusioner yaitu gerakan persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) yang merupakan titik balik ideologi revolusioner terhadap motif keagamaan dari gerakan masyarakat.
Contoh lain terjadi juga pada Ben Bella dari kekuasaan yang digantikan oleh Huari Boumedienne yang membawa perubahan sikap ideologi revolusioner terhadap aspirasi keagamaan, Bella ironisnya jadi justru sebagai pembela Islam di hadapan ideologi-ideologi sekuler.
Di Amerika Latin ada uskup agung Rio de Janeiro yang mencanangkan perjuangan menolong kaum miskin. Lalu tahun 1995 ada dong hilder melakukan pembentukan konferensi uskup-uskup Amerika Latin (CALEM) yang merumuskan teologi Katolik berwatak revolusioner dan memberi dukungan kepada ideologi revolusioner.
Pada 1968 ada juga gerakan Acau Esperanza (operasi harapan) dan dewan keadilan perdamaian yang mencanangkan perdamaian secara institusional dengan konsep keadilan yang berlingkup makro sebuah pendekatan dalam jargon ideologi-ideologi revolusioner atau dikenal juga dengan sebutan wawasan struktural.
Tahun 1972 muncul juga rumusan baru yaitu rumusan teologi pembebasan Gustavo Merino Guitierez di Peru. Mereka mempersoalkan kebenaran sikap membatasi lingkup pelayanan oleh Gereja terhadap perorangan warga masyarakat tanpa dikaitkan dengan struktur masyarakat. Bagi mereka, spiritualitas bukanlah hanya milik individu saja melainkan juga sesuatu yang imperatif bagi masyarakat.
Mereka berpandangan bahwa sebuah masyarakat tanpa spiritualitas hanyalah akan berujung pada penindasan ketidakadilan pemerasan dan pemerkosaan atas hak-hak asasi warganya. Gereja haruslah menegakkan kebenaran memberikan dukungan penuh kepada gerakan-gerakan revolusioner yang memperjuangkan masyarakat yang adil dan benar-benar demokratis.
Walau di sisi negatifnya gerakan-gerakan itu menggunakan metode kekerasan dalam perjuangan mereka sedangkan gereja sendiri tidak turut terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Bagi para penganut teologi ini, kekerasan tersebut merupakan refleksi dari kekerasan yang dilakukan oleh sistem kekuasaan dalam struktur yang pincang.
Selain itu perkembangan terjadi di kalangan kaum Katolik di dan non-Katolik di hampir seluruh dunia. Gema revolusioner tidak bersumber hanya dari teologi pembebasan saja melainkan juga pada semangat oikumene gereja-gereja Kristen dan paham Pan Islamic di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Gerakan oikumene ini mempertanyakan kebenaran etik Kristen yang kapitalistik seperti yang pernah didengungkan oleh Max Weber. Sedang wawasan egaliterian dari paham Pan Islamik yang revolusioner didengungkan semisal oleh intelektual santri, Ali Syariati di masa kekuasaan Syah Reza Pahlevi.
Di India muncul sekte reformasi Hindu Arya Samaj yang mencanangkan bahwasanya keimanan adalah land reform, yang jika tidak diselenggarakan oleh pemerintah haruslah diwujudkan sendiri oleh masyarakat. Karena paham ini, Suani Agnivesh, salah seorang pemukanya, harus berkali-kali masuk penjara di masa pemerintahan Indira Gandhi.
Di kawasan lain juga muncul seperti Filipina, Korea Selatan, dan Hongkong. Di Filipina gerakan masyarakat menggunakan strategi kolaborasi kritis dengan diprakarsai oleh Kardinal Jaimy Sin. Menurut strategi ini gerakan masyarakat akan mendukung sepenuhnya langkah-langkah konstruktif yang diambil pemerintah tetapi dengan mengajukan koreksi/kritik tuntas atas keadaan yang serba timpang. Strategi ini mendapat respon yang negatif dari presiden Marcos, ia menuduh bahwa gerakan ini disalahgunakan untuk menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan militer. Akibatnya, terjadi konflik terbuka antara pendeta Katolik dan pemerintah yang berlangsung bertahun-tahun.
Di Korea Selatan terjadi konflik antara militer yang berkuasa dengan gerakan masyarakat yang dengan skala lebih kecil dari yang terjadi di Filipina. Mereka berfokus pada masalah pemulihan hak-hak asasi manusia dan penegakan kedaulatan hukum. Gerakan ini dirumuskan sebagai perjuangan menegakkan masyarakat sesuai dengan kehendak Tuhan.
Di Hongkong sejumlah pusat komunikasi yang melayani jaringan gerakan-gerakan masyarakat di seluruh Asia Pasifik menyelenggarakan forum untuk membahas konteks perjuangan dengan menerbitkan publikasi periodik. Hal ini berfungsi penting bagi gerakan-gerakan masyarakat yang ada di kawasan Asia Pasifik karena merupakan jaringan tukar menukar pengalaman yang akan memperkaya ragam corak dan isi kiprah mereka dalam mewujudkan aspirasi mereka.
Pembacaan Gus Dur
Gus Dur membaca spektrum perjuangan bermotifkan keagamaan telah bergeser dari titik semula dalam 20 tahun terakhir. Yang melihat bahwasanya ada orientasi yang tidak jelas antara kiprah yang dilakukan yang hanya mengikuti alur cerita konvensional dan jaringan pendidikan yang biasa-biasa saja. Menurut Gus Dur kegiatan yang dilakukan oleh gerakan masyarakat ini tidak memiliki sasaran perombakan masyarakat sama sekali. Hal ini termasuk ke dalam orientasi yang diungkapkan pertama (reformisme).
Tapi di sisi lain muncul orientasi baru yakni memadukan aspirasi keagamaan dan kerangka pemahaman yang bersifat struktural atau dalam kata lain keberagamaan yang revolusioner dalam wawasan dan watak. Tapi menurut Gus Dur watak revolusioner ini masih terbatas pada wawasannya saja belum menjadi sesuatu yang programatik. Gus Dur menyebutnya sebagai revolusioner dalam retorika dan reformistik dalam kerja nyata.
Keadaan seperti ini mengandung bahaya yakni hilangnya kredibilitas karena jarak yang terlalu jauh antara kata dan perbuatan. Hal ini dikawatirkan menjurus kepada terjadinya perpecahan kepribadian. Konsekuensinya terjadinya fragmentasi yang tidak berkesudahan dan cenderung memunculkan terjadinya perpecahan dan memunculkan utopia baru akibat kekecewaan.
Utopia baru itu adalah idealisasi revolusi yang berlebihan di mana dalam merumuskannya harus terperinci dan tuntas. Revolusi seperti ini memiliki kekurangan yakni keterbatasan yang dimilikinya dalam mengayomi kehidupan masyarakat. Nuansa kultural yang ada dalam masyarakat dilihat hanya sebagai satu hal dari sudut pandang yang “merugikan atau menguntungkan bagi revolusi.” Dengan demikian keragaman dikorbankan demi kepentingan mensukseskan revolusi seperti halnya yang terjadi pada kelompok Indian Miskito di Nikaragua.
Selain itu penyeragaman kegiatan ini rentan berakibat pada terjadinya pencurian revolusi untuk menjaga dan mengkonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi. Hal ini seperti terjadi pada revolusi Islam di Iran yang tadinya milik saluran dan aspirasi kekuatan sosial politik yang berkiprah bersama. Tapi revolusi berubah menjadi Revolusi Mullah saja yang dituduhkan dalam Republik Islam Iran dengan partainya sendiri yang bernama sama (Mullah).
Hal yang terjadi di Iran adalah contoh klasik dari revolusi yang tercuri. Dulu Joseph Stalin juga mencuri revolusi Bolshefik dari teman-teman seperjuangannya termasuk bubut musuh bebuyutannya Totsky.
Oleh karena itu dalam gerakan masyarakat model ini, terjadi pertentangan kepentingan, antara berusaha menjaga keragaman budaya, dengan kepentingan sistematis langkah-langkah perjuangan yang dibutuhkan oleh semangat revolusioner gerakan.
Menurut Gus Dur banyak aspek dari gerakan kecenderungan revolusioner minimal dalam wawasan yang menjiwai gerakan masyarakat yang ang bermotifkan keagamaan. Tapi menurutnya hal ini dirasa tidak cukup dan tulisan ini hanya sebagai pemantik untuk melemparkan pandangan kepada adanya fenomena itu sendiri.
Ia kemudian menutup dengan kesimpulan bahwa wacana gerakan sosial yang mencanangkan “Kerajaan Tuhan di muka bumi” dalam tataran ideologinya ternyata hanya retorika belaka. Ia melihat bahwa yang terjadi pada gerakan sosial di seperempat abad terakhir abad 20 (tahun 80-an) adalah kemunculan fenomena keagamaan yang berkebalikan, yakni mendirikan sebuah ‘Republik Bumi’ untuk dilestarikan hingga ke akhirat.
Dengan demikian, mimpi tentang “Kerajaan Tuhan di muka bumi” ternyata tak lebih dari slogan ideologis yang hampa makna. Justru di balik gembar-gembor itu, sejarah mencatat sesuatu yang lebih membumi dan mengguncang: lahirnya sebuah “Republik Bumi” — gerakan keagamaan yang bukan hendak menjemput surga di dunia, melainkan menanam akar kehidupan duniawi yang lestari, hingga kelak dibawa sampai akhirat.**
— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mbludus.com (https://mbludus.com/membaca-peta-jalan-pemikiran-gus-dur-catatan-dari-esai-republik-bumi-di-surga/) pada Sabtu, 31 Mei 2025.
by admin | 28 May 2025 | Artikel
ISIF Cirebon – Hari ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang seolah-olah sudah tersihir. Sihir itu bernama gaya hidup hedonistik—semuanya serba instan, glamor, dan serba harus tampak “sukses”. Ia dipromosikan terus-menerus lewat televisi, media sosial, iklan, bahkan ceramah-ceramah keagamaan. Kita seperti dipaksa tunduk kepada satu cara hidup: modern, cepat, dan berbasis teknologi. Siapa yang tak punya HP pintar atau motor keren akan dianggap “tertinggal zaman”.
Tapi gaya hidup ini tidak tumbuh dari tanah yang ramah. Ia mengabaikan ekosistem sosial dan budaya kita. Tidak peduli apakah tradisi dan lingkungan bisa mengikuti atau tidak. Yang penting, semua orang harus kelihatan ‘maju’. Celakanya, yang paling terkena dampaknya justru mereka yang paling lemah: masyarakat kecil, minoritas, dan mereka yang hidup dari sektor informal.
Orang-orang yang lemah, ketika bertindak secara benar dan didukung undang-undang sekalipun, akan tetap dipandang rendah, bahkan tetap berpotensi disalahkan. Sebaliknya, orang yang kuat akan dipandang terhormat dan memperoleh dukungan banyak pihak, sekalipun melanggar peraturan dan undang-undang. Ucapan sarkastik ini bisa dilihat pada kasus-kasus yang menimpa banyak kelompok masyarakat kecil di kota maupun desa. Begitu juga untuk kelompok-kelompok minoritas. Apapun yang mereka lakukan, mereka cenderung akan disalahkan.
Bagi masyarakat lemah yang hidup di kota, selama hidupnya selalu disalahkan. Tinggal di kolong jembatan disalahkan, di bawah jalan tol juga disalahkan, di pinggir rel kereta api juga disalahkan, di kuburan juga disalahkan, apalagi di pinggir rumah orang-orang kaya pasti akan langsung diusir Satpam setempat. Di Mushalla dan Masjid sekarang sudah tertulis ‘dilarang tidur di dalam Masjid’. Jadi, di mana mereka harus tinggal?
Untuk membeli rumah, mereka tidak memiliki uang yang cukup. Sementara, pekerjaan yang dapat mendatangkan uang bagi mereka pun tidak ada. Mencuri pasti disalahkan. Jadi, apapun yang mereka pilih dan kerjakan, dunia akan cenderung menyalahkan mereka. Mereka tidak diterima untuk hidup di kota. Mereka seharusnya tinggal di desa, tetapi tanah-tanah di desa juga telah direbut orang-orang kota untuk perumahan, villa, dan resort. Yang tersisa hanya lahan yang kering kerontang dan tidak menjanjikan.
Kalaupun mereka berada di desa, mereka hanya akan meneruskan kebiasaan hidup di kota. Berjualan teknologi kota yang belum tentu diperlukan di desa dan belum tentu ramah dengan lingkungan maupun tradisi desa. Atau, menjadi calo tenaga kerja yang akan dikirim ke luar kota atau luar negeri. Itupun berarti untuk kepentingan di luar desanya, atau akan tercerabut dari lingkungan desanya. Itupun bisa disalahkan sebagai agen ’perdagangan orang’. Sementara orang-orang yang lebih kuat, seperti perusahaan yang merekrut tenaga kerja untuk dipekerjakan di luar negeri, tidak pernah tersentuh oleh aparat hukum.
Begitu juga kondisi yang menimpa Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia. Mereka akan dipandang salah, tidak tertib, melanggar aturan, dan karena itu terus-menerus akan digusur dan dikejar-kejar. Berbeda dengan para pedagang besar dan pemilik mall-mall. Mereka sebaliknya dielu-elukan sebagai investor dan pemasok devisa bagi negara, sekalipun pada praktiknya mereka: telah menggusur tanah-tanah publik, ruang-ruang umum, cagar budaya, dan mematikan pasar-pasar tradisional.
Dalam urusan-urusan seperti ini, para investor dan pemodal itu seringkali melanggar aturan tata ruang, aturan perizinan, dan aturan persaingan dunia usaha. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang justru ngemplang uang negara melalui fasilitas ‘kredit yang mereka lakukan‘ di bank-bank negara.
Anehnya, para pejabat negara, termasuk Pemerintah Daerah, menganggap mereka sebagai pahlawan devisa dan pejuang ekonomi bangsa. Ini berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi yang dihadapi para pedagang kecil yang berada di sektor-sektor informal—yang sering disebut pelaku ekonomi menengah ke bawah.
Usaha ekonomi kecil dan menengah, serta sentra-sentra pasar tradisional adalah anak sah dari model perekonomian awal di Indonesia. Justru pendirian mall-mall lahir dari model perekonomian yang merujuk pada mazhab ekonomi akumulasi modal atau biasa disebut dengan kapitalisme.
Kita seharusnya jujur bahwa meledaknya sentra-sentra ekonomi lemah, atau tepatnya PKL, adalah akibat dari kebijakan pembangunan yang hanya difokuskan pada pembangunan kota. Masyarakat desa tidak lagi tertarik untuk bekerja di desa. Bahkan, tidak ada lowongan pekerjaan yang bisa mereka akses.
Ketika tanah dan sawah sudah dibeli; ketika tanah dan sawah sudah tidak produktif lagi; ketika bekerja di sawah sama sekali tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan tidak memiliki prestis sosial sama sekali, maka semua rakyat desa akan berbondong-bondong tersedot memasuki kota untuk mengadu nasib.
Mereka tidak punya pilihan lagi. Seluruh program pembangunan tidak memihak kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Mereka terpaksa mengambil sudut-sudut dan trotoar jalan. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk berusaha, bahkan untuk bertahan hidup sekalipun. Pembangunan mall-mall dan sentra-sentra bisnis seringkali tidak menyisakan tempat untuk mereka.
Padahal mayoritas pekerja di dalam mall itu adalah pekerja yang digaji kecil, yang hanya bisa makan di kelas-kelas PKL. Anehnya, yang kita saksikan adalah penggusuran dan pengejaran, atau — meminjam bahasa pemerintah “penertiban.” Mereka tidak diakui, tetapi mereka tetap harus bayar retribusi. Bahkan, penggusuran pun seringkali menciptakan PKL yang baru, yang harus bayar lahan kembali dari awal dan retribusi seperti biasa.
Sepertinya, penggusuran hanya menjadi sirkulasi untuk memperoleh tawaran dari PKL yang baru, dengan model pembayaran baru dan retribusi baru. Ini adalah front pembangunan yang setia menjadi “wirid” pemerintah sejak zaman Orde Baru.
Dalam relasi dengan negara-negara maju, Indonesia selalu disalahkan. Indonesia dilarang menebang hutan sebagai paru-paru dunia. Namun, Indonesia tidak diberi pilihan lain untuk mempertahankan kehidupannya, selain hutan. Padahal hutan adalah sumber daya alam strategis yang dimiliki Indonesia.
Lalu bagaimana? Bahkan kita, bangsa indonesia, dipaksa untuk membeli produk-produk teknologi dan makanan instan produksi negara-negara maju. Kita memanfaatkan hutan salah, tidak membeli produk mereka juga salah, orang lemah — bahkan negara lemah pun memang selalu disalahkan.
Ini harus menjadi kepedulian bersama. Kita memang selalu dikepung oleh kehidupan hedonistik yang mengancam segala kekayaan kita: kekayaan agama, tradisi, dan alam. Budaya instan hedonis inilah yang akan menghancurkan tradisi kebersamaan dan persatuan.
Invasi budaya ini, tanpa kita sadari, telah merasuki seluruh kehidupan kita. Apabila kita tidak memiliki kewaspadaan yang ekstra, kita malah akan berbalik menyalahkan orang-orang yang lemah dan kalah dalam percaturan ekonomi global.
Kasus Porong Sidoarjo Jawa Timur menunjukkan betapa negara tidak memiliki keberpihakan yang jelas kepada rakyat yang tergusur. Bahkan, rakyat digusur dan dikorbankan dengan semburan lumpur Lapindo. Pemerintah gamang memberikan sanksi kepada perusahaan yang mengakibatkan penderitaan permanen rakyat. Negara juga tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk penghidupan korban lumpur Lapindo. Padahal jumlah mereka ribuan orang. Mereka kehilangan rumah, tanah, kehidupan, dan masa depan. Tidak ada yang peduli.
Tidak ada juga gerakan masif yang memaksa negara untuk bertanggung jawab dan melindungi korban. Kelompok-kelompok agama, seperti NU, Muhammadiyah, atau yang lain diam seribu bahasa menyaksikan penindasan massal ini. Tidak juga dari partai politik yang mengatasnamakan Islam atau nasionalisme. Ironis! Ini sangat ironis.
Sepertinya, kita harus memikirkan ulang model keberagamaan, kepartaian, dan kebangsaan kita selama ini. Kita masih saja membiarkan orang-orang lemah dan minoritas kalah dan dikalahkan. Saya teringat dengan pernyataan yang diucapkan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra.,
“Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di sisiku, karena itu’ aku perjuangkan hak-hak untuknya. Sementara orang — yang kuat di antara kamu, adalah lemah di sisiku, karena itu aku akan memastikan kewajiban mereka dilunasi untuk memenuhi hak-hak yang lain” .[]
— Artikel ini merupakan tulisan K.H. Syarief Utsman Yahya dengan judul asli “Berpihak kepada Rakyat Lemah” dalam buku Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Silakan baca tulisan lengkapnya dalam, Syarif Utsman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008.
by admin | 27 May 2025 | Artikel
ISIF Cirebon – Kita sering kali memahami fikih sebagai sesuatu yang kaku, seolah-olah hukum yang berlaku di satu waktu dan tempat bisa langsung diterapkan begitu saja di waktu dan tempat lain. Padahal, tidak sesederhana itu. Fikih sejatinya adalah hasil ijtihad ulama yang sifatnya kontekstual.
Istilah kontekstualisasi sering diartikan secara sempit sebagai “menyesuaikan fikih dengan ruang dan waktu”. Tapi sebenarnya lebih luas dari itu. Kontekstualisasi adalah upaya untuk memastikan hukum Islam bisa menjawab realitas yang selalu berubah—entah itu karena situasi ekonomi, kesehatan, lingkungan sosial, atau bahkan kondisi psikologis seseorang.
Jadi, bisa saja karena sakit, sehat, panas, dingin, miskin, kaya, dan lain sebagainya, kontekstualisasi bisa berlaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi dalam fikih adalah upaya agar hukum fikih bisa mengikuti dan memberikan jawaban atas kondisi dan keadaan yang terus berubah dan berbeda-beda.
Kita sering terjebak dalam memahami fikih, sebagai fikih yang digunakan dalam kondisi normal. Seakan-akan ini berlaku untuk dan di semua situasi. Sebagai contoh, hukum potong tangan bagi pencuri. Sesungguhnya hukum itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan normal. Dalam kondisi yang tidak normal, seperti mencuri karena kelaparan, dan tidak ada yang memberi makanan, maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan. Ini seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab r.a.
Kita memahami hukum Islam dan menerjemahkannya dalam atas realitas secara bijak. Jadi, tidak asal faham fikih lalu diterapkan secara membabi buta. Faktanya, dalam wilayah fikih tidak selamanya setiap hukum bisa langsung diterapkan. Ada syarat-syarat tertentu dimana suatu hukum bisa dilaksanakan, atau sebaliknya.
Dalam hal pencurian, ada syarat yang menyangkut jenis dan kadar minimal benda yang dicuri, kondisi ekonomi pencuri, alasan-alasan pencurian dan lain-lain. Syarat-syarat yang menyangkut benda yang dicuri meliputi: Berapa nilai barang yang dicuri, apakah barang itu disimpan atau tidak, dan seterusnya. Dari kondisi ekonomi saat itu, apakah yang mencuri itu karena situasi kelaparan atau tidak. Jadi banyak lagi faktor untuk bisa menetapkan apakah seorang pencuri dihukum potong tangan atau tidak.
Kontekstualisasi itu sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya, semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fikih pasti kontekstual. Artinya, fikih tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit.
Istilah fikih sendiri berarti pemahaman atau hasil ijtihad dari seorang ulama. Jadi pasti kontekstual. Karena, suatu hasil ijtihad pasti terkait dengan siapa yang berijtihad, dimana dan kapan berijtihad, serta kepada siapa dan untuk apa ijtihod itu diberikan atau diperlukan. Inilah yang dimaksud kontekstual. Karena itu, ulama dahulu lebih rendah hati dalam mengatakan fikih Syafi’i atau fikih Madinah, dan fikih Maghrib, bukan dengan klaim-klaim besar dengan istilah ‘fikih Islam’ atau ‘Hukum Syari’ah’.
Karena, sudah disadari bahwa semua itu masih dalam koridor Islam dan Hukum Syari’ah, hanya saja harus dijelaskan menurut pemahaman siapa dan dimana agar tidak dimutlakkan. Perbedaan konteks, waktu tempat, dan komunitas penting dijelaskan untuk memberikan batasan-batasan atas kemutlakannya.
Sebagai contoh mudah, dalam bab riba, dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus sebanding atau senilai. Tetapi, dalam keadaan terpaksa Rasulullah Saw. menyatakan boleh saja tidak sebanding, kemudian dikenal dengan bai’ul aroyah.
Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Bai’ul aroyah ini, pada awalnya tidak boleh karena timbangan atau nilainya belum tentu sama, tapi karena kebutuhan mendesak maka Rasulullah membolehkan praktik tersebut.
Fikih juga selalu kontekstual dalam segala hal terutama yang berhubungan dengan mu’amalah. Tinggal bagaimana kita memahami konteks tersebut. Bukankah Allah Swt sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 185 yang penggalan ayatnya berbunyi,
“Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu”,
Di sinilah, makna kemurahan Tuhan kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya, terkadang pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah menciptakan lain atau karena hal-hal yang disebabkan ketidakmampuannya.
Allah Swt. telah memberikan peluang kepada hambanya untuk melakukan kontekstualisasi. Allah Swt menurunkan syariat agama, mulai dari Adam, Idris, Ibrahim, Musa, sampai Nabi Muhammad disesuaikan dengan zamannya. Untuk hal-hal yang terkait dengan aqidah, dari satu nabi ke nabi yang lain, semuanya sama. Tetapi, syariatnya berbeda-beda.
Dalam sejarah, proses pemahaman keberagamaan satu tokoh dengan tokoh lainnya, tidak selalu sama. Karena perbedaan itulah, muncul para imam mazhab seperti mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan masih banyak mazhab yang lain. Para pengikut satu mazhab juga dalam beberapa hal bisa berbeda, bisa karena perbedaan tempat, waktu atau budaya. Contohnya, di dalam mazhab Syafi’i sendiri timbul berbedaan terutama antara Syafi’i aliran Iraqi dan Syafi’i Khurasani.
Jika ada pemikiran fikih yang menggunakan pola pengandaian biasanya disebut ’ala thariqoti khurasani, itu metode fikih orang-orang Khurasan. Makanya, di dalam kitab Safinatun Najah ada pengandaian yang sangat jauh, seperti ”andaikan kambing beranak manusia, setelah besar dia menjadi khotib pada shalat ‘Idul Adha, boleh tidak dia dijadikan hewan kurban?” Sementara dalam Mazhab Syafi’i aliran Iraqi, pengandaian itu tidak perlu dibahas. Yang perlu dibahas dan ditetapkan hukumnya adalah sesuatu yang memang sudah terjadi. Bukan mengandai-andai, sesuatu yang belum atau tidak mungkin terjadi.
Ketika kita mengambil fikih dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi, maka kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas sangat besar. Oleh karena itu, kontekstualisasi mutlak diperlukan agaf fikih , tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini, salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam memahami fikih adalah dengan metode ’urfi. Bukankah kaidah Ushul Fikih menyatakan bahwa, As-Tsabit bil ’Urfi kas Tsabit bin Nash (apa yang ditetapkan melalui adat kebiasaan setempat sama nilainya dengan yang dtetapkan melalui Nash al-Qur’an dan al-Hadits).
Untuk melakukan kontekstualisasi, yang mutlak diperhatikan adalah Maqasid al-Syari’ah, yang berupa’ hifdzud din, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama. Hifdzul ’aql, menjaga akal, termasuk menjamin kebebasan berfikir. Hifdzun nafs, menjaga jiwa, termasuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat banyak. Juga menjamin keamanan individu dan masyarakat.
Hifdzun nasl, menjaga keturunan, termasuk menjaga kesehatan reproduksi. Hifdzul mal, menjaga harta, termasuk menjaga kesejahteraan dan perekonomian orang banyak. Hifdzul ’Irdh, menjaga kehormatan, termasuk di dalamnya menjaga hak-hak asasi sebagai manusia.
Maqasid al-syari’ah ini diupayakan dengan tujuan untuk mencapai mardhotillah, keseimbangan antara kebutuhan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Semua itu demi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.[]
— Disarikan dari buku Islam, Pesantren, dan Pesan Kemanusiaan (Syarif Ustman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008).