by admin | 8 Feb 2025 | Artikel
Ketika kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka pesantren ataupun surau adalah dua institusi yang layak untuk dibahas. Mengapa? Karena kedua institusi pendidikan ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat anak bangsa dalam mengenyam akses pendidikan keagamaan terutama di daerah-daerah terpencil, baik itu di Jawa maupun Sumatera.
Keduanya berperan sangat vital dalam mentransformasikan ajaran-ajaran keagamaan di kalangan masyarakat terutama menyangkut penguatan keimanan seseorang. Di samping itu ada ajaran-ajaran lain yang tidak melulu masalah teologi, tetapi pembelajaran lain yang menyangkut ilmu-ilmu sosial juga diajarkan di kedua lembaga pendidikan ini walaupun pada mulanya kedua pendidikan ini mengajari pendidikan keagamaan saja.
Transformasi Pesantren di Era Modern
Dalam pengantarnya di buku Bilik-Bilik Pesantren, Azyumardi Azra mengatakan seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas, pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 7).
Mengingat pendidikan adalah hak primer yang wajib dimiliki oleh setiap individu dan bagian penting bagaimana cara masyarakat terlibat dalam modernitas dan globalisasi. Maka pesantren merespon tantangan zaman tersebut dengan perubahan di dalam institusi pesantren. Sekali lagi, yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak dilakukan untuk menggeser tradisi-tradisi lama pesantren yang luhur namun hanya untuk membekali diri para santri untuk siap sedia dengan perubahan zaman yang terjadi.
Secara garis besar pesantren terbagi menjadi dua: pertama, pesantren tradisional yang tetap menjaga tradisi klasik pendidikan Islam dan fokus dalam kajian-kajian kitab kuning. Kedua, pesantren modern yang mempunyai titik tekan dalam pembelajaran ilmu-ilmu kontemporer, seperti sekolah publik pada umumnya, tidak jarang juga di pesantren modern, para santri diwajibkan memiliki soft skill berbahasa Arab dan Inggris.
Saat ini, bentuk pesantren tradisional telah mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pesantren tradisional kini memiliki madrasah dan sekolah umum. Perbedaan utama antara pesantren tradisional dan pesantren modern terletak pada penguasaan bahasa asing. Pesantren modern cenderung lebih dominan dalam penggunaan bahasa Arab dan Inggris dibandingkan pesantren tradisional.
Dinamika Pesantren dalam Menghadapi Modernisasi
Pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam sejarah suksesi kemerdekaan bangsa. Namun, hingga kini, pesantren masih belum memiliki kekuatan besar dalam melobi penyesuaian kurikulum pendidikan umum. Pemerintah cenderung menekan agar terjadi penyeragaman antara pendidikan umum dan pendidikan di pesantren. Awalnya, pesantren hanya memiliki madrasah dengan hari libur yang umumnya jatuh pada hari Jumat. Seiring waktu, pesantren mulai berkembang dengan menyediakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.
Perkembangan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ingin membekali santrinya dengan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, pesantren telah memiliki kurikulum yang sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum sekolah menengah pertama dan menengah atas ada. Selain itu, aturan kegiatan belajar mengajar di sekolah umum berada di bawah kewenangan instansi pemerintah terkait, yang sering kali berbeda dengan sistem pendidikan pesantren.
Menghadapi masalah ini pesantren sedikit menolak untuk diseragamkan dengan sekolah umum, dan mencari titik temu dari permasalahan ini. Sebagai contoh kasus di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, pada tahun 1968 didirikan Madrasah Tsanawiyah dibawah naungan Departemen Agama. Namun yang menjadi pembeda antara Madrasah Tsanawiyah di tempat lain adalah hari libur yang jatuh pada setiap hari Jum’at.
Proses perizinan untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari libur tidaklah mudah. Ada negosiasi alot antara pihak pesantren Babakan dan pemerintah saat itu. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kegiatan pesantren tidak terganggu dengan adanya sekolah umum. Meskipun demikian pesantren tidak tercerabut dari akar budayanya, selain fungsi-fungsi pesantren yang tetap berjalan seperti nilai-nilai keislaman, serta kontrol sosial di masyarakat.
Selain perkembangan pendidikan di pesantren, hal yang menarik untuk diulas adalah tentang sikap pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya tanpa mengesampingkan kebutuhan zaman. Tidak hanya dalam hal kurikulum formal, tetapi juga dalam penguatan aspek spiritualitas yang menjadi ruh pendidikan pesantren. Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapat perhatian adalah bidang tasawuf, yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral santri.
Menurut Cak Nur, bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Bidang ini sebenarnya hal yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 21).
Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas pengetahuan santri dalam pelajaran. Hal ini bertujuan agar santri mampu berkompetisi di berbagai lini kehidupan. Santri tidak lagi hanya dikenal sebagai ahli agama, mereka juga dapat menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa depan muncul santri yang berprofesi sebagai arsitek, dokter, insinyur, atau tenaga terampil lainnya. Keragaman profesi santri di masyarakat dapat diimplementasikan secara kolektif oleh lembaga pesantren. Dengan demikian, santri dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks modernisasi, pesantren diharapkan mampu menyumbangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan modern. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki peran strategis dalam masyarakat. Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi, tampak bahwa pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern. Ini menunjukkan bahwa pesantren turut berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Pesantren sebagai Sub-Kultur dalam Masyarakat
Modernitas di pesantren memiliki konteks yang berbeda dibandingkan modernitas masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural pesantren yang khas dan berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Pesantren tidak hanya fokus pada pengajaran agama, lembaga ini juga memiliki kepedulian terhadap berbagai isu sosial di masyarakat. Konteks modern dalam pesantren adalah bagaimana teks-teks keagamaan dapat dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan isu-isu sosial yang berkembang saat ini.
Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sub-kultur dari masyarakat. Namun, di dalamnya terdapat struktur sosial yang berbeda. Di pesantren, terdapat kiai dan nyai sebagai pemimpin, anak kiai dan nyai sebagai generasi penerus, serta ustadz dan ustadzah yang berperan sebagai pembimbing bagi para santri perempuan dan laki-laki. Tata nilai pesantren ini memiliki ruang tersendiri dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Santri adalah pelaku kehidupan di pesantren dalam tataran yang bersentuhan langsung dengan masyarkat (grass root). Merekalah yang menggerakkan roda kegiatan dan aktifitas di pesantren.***
Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren (Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017).
by admin | 20 Jan 2025 | Artikel
ISIF Cirebon — Studi keislaman di Nusantara, dilihat dari indikasi muatan-muatan discourse-nya, lebih cenderung pada studi keislaman model Timur Tengah. Artinya, bobot muatan studi keislaman yang berkembang di Indonesia hanya sebatas mengusung tema-tema besar yang selama ini telah melembaga dalam sejarah Islamic studies di Timur Tengah. Sehingga studi keislaman di Indonesia cenderung tidak mempunyai basis faktual khas keindonesiaan, serta tidak terakomodasinya muatan-muatan lokal yang “menyejarah”, “meruang” dan “mewaktu” dalam karakteristik khas Islam Indonesia.
Tema-tema yang diangkat seperti zakat, thaharah, atau mu’amalah sering kali hanya mengikuti tradisi sosio-kultural masyarakat Timur Tengah, tanpa mengakomodasi realitas khas Indonesia. Buku-buku handbook dan kurikulum di lembaga pendidikan Islam—seperti IAIN, UIN, pesantren, dan madrasah—juga masih dominan Timur Tengah sentris. Akibatnya, studi Islam di Indonesia sering kali kehilangan pijakan faktual dan gagal menyerap muatan lokal yang kaya dengan konteks sejarah, budaya, dan tantangan zaman di negeri ini.
Padahal, Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan Timur Tengah. Perbedaan ini tak hanya menyangkut geografi dan budaya, tetapi juga cara masyarakat Indonesia memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Misalnya, tema zakat yang dalam konteks Timur Tengah lebih cocok diterapkan pada masyarakat gurun, sementara di Indonesia, masyarakat agraris punya kebutuhan dan mekanisme sosial berbeda.
Kelemahan Studi Keislaman Indonesia
Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berakar pada kekayaan budaya dan tradisi lokal. Namun, dalam studi keislaman Indonesia, muatan lokal khas keindonesiaan tidak terakomodasi. Hal ini menjadikan karakteristik studi keislaman di Indonesia keluar dari akar faktualnya.
Padahal fenomena keberagamaan Islam di Indonesia berlainan dengan keberagamaan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, terdapat beberapa kelemahan dari corak islamic studies di Indonesia yang cenderung Timur Tengah sentris.
Perbedaan tersebut di diakibatkan oleh faktor socio-cultural serta geografi antara Timur Tengah dan Indonesia yang berbeda yang melahirkan pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran teologis yan berbeda pula. Karenanya, mainstream pemikiran keagamaan khas Timur Tengah tidak dapat dipaksakan untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan khas Indonesia.
Selain itu, kecenderungan mengadopsi apa adanya studi keislaman model Timur Tengah, kadang bertentangan dengan budaya dan karakteristik masyarakat Islam lokal. Pemaknaan atas teologi yang dipaksakan akhirnya melahirkan kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang bersifat eksklusif, yang kurang apresiatif terhadap kemajemukan dan perubahan sosial. Munculnya sejumlah paradoks dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sebagian merupakan akibat dari kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang eksklusif.
Paradoks Keberagamaan di Indonesia
Paradoks dalam implementasi nilai-nilai Islam tampak nyata dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan jurang yang lebar antara nilai-nilai ideal agama dan kenyataan praktik keberagamaan sehari-hari. Paradoks kehidupan keagamaan itu bisa dilihat dalam beberapa hal, misalnya:
Pertama, paradoks antara nilai agama yang mengajarkan kesucian dan kedamaian dengan ekspresi perilaku keagamaan yang diwarnai dengan tindakan kotor, kekerasan dan teror.
Kedua, paradoks antara misi agama untuk membebaskan manusia tanpa diskriminasi dengan praktik praktik indoktrinasi yang mengekang jiwa dan nalar umat Islam.
Ketiga, paradoks antara ajaran dasar agama yang mengajarkan kebebasan kesetaraan dan persaudaraan dengan praktik dengan gerakan keagamaan yang membungkam pikiran bebas dan kritik, mempraktikkan agama sebagai sarana diskriminasi, serta menggunakan agama untuk melegitimasi perang yang penuh kebencian.
Corak Islam Indonesia
Untuk membangun studi keislaman yang relevan dan kontekstual, Indonesia perlu menggali karakteristik Islam lokal yang menghargai budaya, tradisi, dan realitas sosial masyarakatnya. Studi Islam tidak harus sekadar mengimpor gagasan Timur Tengah, tetapi perlu merefleksikan keberagaman dan dinamika sosial Indonesia yang kaya.
Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, damai, dan inklusif. Dengan menjadikan konteks lokal sebagai pijakan, Islam dapat menjadi kekuatan pembebas yang melahirkan solusi, membuka ruang dialog, dan membangun peradaban tanpa menjadi pembatas atau penyekat gagasan.
— Disarikan dari buku Nalar Islam Nusantara (M.Mukhsin Jamil.dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah al-Irsyad Persis dan NU. Cirebon: Fahmina Institute, 2008).
by admin | 18 Jan 2025 | Artikel
Achmad Nanang Firdaus — Mahasiswa PAI ISIF
ISIF Cirebon – Sabtu pagi, 11 Januari 2025, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menggelar musyawarah subuh rutinan dengan bahasan yang menarik dan relevan yaitu tentang riba. Tema ini diangkat dari kitab Matan Taqrib karya Imam Abu Syuja’ dan dipandu langsung oleh pengasuh pesantren, KH. Marzuki Wahid, atau yang kami kerap panggil Abi Marzuki.
Para santri hadir dengan penuh antusias. Mereka berharap diskusi ini dapat memperkaya pengetahuan seputar penerapan hukum riba dalam kehidupan sehari-hari.
Diskusi diwarnai berbagai pertanyaan kritis mengenai praktik riba yang kerap dijumpai di masyarakat. Dengan pendekatan khasnya, Abi Marzuki memberikan penjelasan mendalam, mengupas tuntas konsep riba, dan menjawab berbagai pertanyaan yang menjadi ganjalan bagi para santri.
Muamalah: Fleksibel dan Kontekstual
Abi Marzuki menjelaskan perbedaan mendasar antara muamalah dan ibadah. Dalam ibadah, tata caranya bersifat ta’abbudi (ritual) dan tidak selalu dapat dirasionalisasi. Sejak zaman Nabi hingga kini, bentuknya tetap sama di mana pun berada. Sebaliknya, muamalah ini bersifat ijtihadi, yang berarti fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah:
تغير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة والأحوال والعوائد
Artinya: perubahan hukum tergantung pada perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat.
Abi Marzuki juga memaparkan prinsip-prinsip dasar dalam muamalah (mabadi’), yakni:
Pertama, tiadanya kezaliman (‘adamu adz-dhulmi). Kedua, tiadanya penipuan (‘adamu al-gharar). Ketiga, tiadanya spekulasi (‘adamu al-maysir). Keempat, tiadanya eksploitasi (‘adamu al-riba). Kelima, adanya kesepakatan dan kerelaan kedua pihak (al-ittifaq wa at-taradhin).
Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dalam menjawab berbagai persoalan muamalah, khususnya yang berkaitan dengan jual beli.
Memahami Riba: Antara Konsep dan Praktik
Dalam kitab Taqrib, riba didefinisikan sebagai pertukaran barang yang tidak setara dalam ukuran syar’i atau adanya penundaan penyerahan barang yang ditukar. Secara etimologis, riba berarti az-ziyaadah (tambahan). Contoh praktiknya adalah jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak yang tidak dilakukan secara kontan dan setara. Namun, Abi Marzuki mengingatkan bahwa tidak semua tambahan dalam transaksi adalah riba. Jika seorang penjual memberikan bonus kepada pembeli secara sukarela, itu bukan riba, melainkan rezeki. Karena riba yang haram adalah yang mengandung unsur kezaliman, eksploitasi, dan penipuan.
Selain itu, Abi Marzuki menegaskan bahwa riba dilarang karena sifatnya yang merugikan dan menindas pihak tertentu. Misalnya terjadi kecurangan, ketidakadilan, spekulasi berlebihan dan paksaan kepada salah satu pihak.
Hal ini, menurut beliau sangat bertentangan dalam ajaran Islam. Karena di dalam Islam sangat menekankan keadilan dalam semua aspek muamalah.
Polemik Bunga Bank: Perspektif NU
Dalam sesi tanya jawab semakin menarik ketika para santri mengangkat isu bunga bank. Abi Marzuki merujuk pada hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) di Bandar Lampung, 1992. Ada tiga pandangan utama terkait bunga bank:
Pertama, haram. Karena dianggap riba, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, Surah al-Baqarah ayat 275.
Kedua, halal. Karena sebagai fee manajerial yang wajar sesuai regulasi. Ketiga, syubhat. Karena berada di antara halal dan haram.
Abi Marzuki menggarisbawahi bahwa ketiga pandangan ini memberikan pilihan berdasarkan konteks dan pemahaman masing-masing individu.
Islam untuk Kemaslahatan
Di akhir musyawarah, Abi Marzuki menegaskan bahwa syariat Islam hadir untuk mewujudkan kemaslahatan, baik dengan mencegah kerusakan (dar’u al-mafasid) maupun meraih kebaikan (jalbu al-mashalih).
Maka dari itu, dalam muamalah, setiap masalah harus dianalisis dengan mempertimbangkan konteks zaman, tempat, dan keadaan, tanpa meninggalkan prinsip keadilan.
Musyawarah subuh kali ini tidak hanya menambah wawasan para santri tentang hukum riba, tetapi juga mengajak mereka untuk berpikir kritis dan kontekstual dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Dengan demikian, pesantren ini menjadi ruang belajar yang mengedepankan nilai-nilai universal Islam untuk kebaikan bersama. []
— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mubdalah.id (https://mubadalah.id/menyingkap-pemikiran-kh-marzuki-wahid-tentang-riba-dalam-musyawarah-taqrib/) pada Jum’at, 17/01/2025.
by admin | 14 Jan 2025 | Artikel
Husein Muhammad
Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina
ISIF Cirebon – Pesantren diakui secara luas merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara.
Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, diambil dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu. Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka, mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.
Pakaian sarung atau kopyah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri.
Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangan alur ceritanya oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam.
Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.
Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisime yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Satu hal yang saya kira menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai. Hal ini dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan.
Kenyataan ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami’ dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim : Vihara dan Gereja. Bangunan antara Vihara dan Gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya.
Hubungan antara Kiyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan sepanjang sejarahnya pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan Tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.
Demikianlah, maka saya kira di tengah karut-marutnya hubungan antaragama dan antarumat Islam sendiri dewasa ini, Pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antarberbagai orang sesama bangsa. Pesantren sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk — meminjam istilah KH. Ahmad Shiddiq — ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Semoga. Amin.
— Disarikan dari tulisan Buya Husein dalam buku “Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman; Potret dari Cirebon” (Marzuki Rais, dkk. Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman: Potret dari Cirebon. Cirebon: Yayasan Fahmina, 2014.)
by admin | 14 Jan 2025 | Artikel
Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina
ISIF Cirebon — Apakah agama, dalam hal ini Islam, mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka? Atau sebaliknya, apakah Islam mengafirmasi diskriminasi berdasarkan gender?
Secara lebih elaboratif, pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik. Perlakuan itu, misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik. Selain itu apakah perempuan perlakuan dan kedudukan yang sama dalam mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.
Kontroversi
Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan, dua aliran besar. Aliran pertama, berpendapat bahwa posisi perempuan adalah subordinat laki-laki. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki. Perempuan inferior dan laki-laki superior.
Posisi subordinat perempuan ini diyakini agamawan aliran ini sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh diubah. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus dibedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/politik. Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki.
Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat. Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Tuhan, dan keputusan Tuhan adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata. Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim.
Aliran kedua, berpendapat bahwa perempuan mempunyai status dan posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut aliran ini memiliki potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki,baik dari aspek intelektual/akal, fisik maupun aspek mental-spiritual.
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki signifikansi yang mewajibkan kita untuk membedakan mereka dalam mengekspresikan hak dan kewajiban masing-masing di depan hukum dan aktifitas social yang lain. Atas dasar pikiran ini, aliran ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka baik dalam ranah privat maupun publik. Aliran ini dianut oleh sangat sedikit ulama Islam, dan kita mungkin menyeburnya sebagai aliran progresif.
Adalah menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argument keagamaan dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur-an dan Hadits Nabi. Dua sumber paling otoritatif dalam sistem keagamaan kaum muslimin. Kedua sumber Islam ini memang menyediakan teks-teks yang menjelaskan tentang kedudukan manusia yang setara di hadapan Tuhan, penghormatan martabat manusia, penegakan keadilan dan sebagainya di satu sisi. Di sisi yang lain, teks-teks juga membedakan antara laki-laki dan perempuan, keunggulan dan otoritas laki-laki atas perempuan, kelemahan akal dan agama perempuan, dan sebagainya. Ulama Islam terkemuka; Imam Jalal al Din al Suyuti, dalam bukunya “Al Asybah wa al Nazhair” menyebut sekitar 100 lebih perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Pandangan-pandangan keagamaan tersebut masih menjadi rujukan bangsa-bangsa muslim di dunia. Tetapi harus segera dikemukakan bahwa pandangan keagamaan yang mendiskriminasi perempuan masih mendominasi kerangka berpikir masyarakat muslim pada umumnya. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat bahwa sumber-sumber legitimasi keagamaan mereka masih merupakan produk pemikiran para sarjana muslim generasi klasik. Mereka memandang produk-produk pemikiran tersebut paling dapat dipercaya dibanding lainnya.
Universal versus Partikular
Sumber-sumber utama Islam menyediakan dua katagori teks. Yakni teks-teks universal dan teks-teks partikular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan, untuk semua orang di segala ruang dan waktu. Ia berisi prinsip-prinsip fundamental atau dalam konteks sekarang bisa disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Al Ghazali (w. 1111 M) menyebut ini dengan istilah “Al Kulliyyat al Khams” (Lima prinsip Universal). Yaitu hifzh al din” (perlindungan terhadap keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al ‘aql (perlindungan atas hak berpikir dan berekspresi), hifzh al nasl/al ‘irdh (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatandiri) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik).
Contoh teks Universal adalah ayat-ayat tentang kebebasan, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabat manusia, penegakan keadilan bagi semua manusia, sikap jujur dan ajaran-ajaran moral yang lain. Para ahli Islam menyebutkan katagori ini sebagai “al-Muhkamat” (ayat-ayat yang kokoh dan tidak dapat diabaikan sama sekali). Al Ghazali menyebutnya sebagai “Maqashid al Syari’ah”, misi Agama, yang kepadanya seluruh gagasan manusia harus disandarkan.
Sementara katagori teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks-teks partikular muncul sebagai respon atas suatu peristiwa atau kasus dalam sebuah ruang dan waktu. Karena sifatnya yang demikian maka ia selalu terkait dengan kejadian faktal dalam konteks tertentu. Oleh karena itulah ia harus dimaknai secara kontekstual. Semua teks-teks hukum adalah partikular. Isu-isu tentang kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan oleh laki-laki (wilayah), poligami, kewarisan dan lain-lain adalah isu-isu partikular. Ayat-ayat seperti ini masuk dalam katagori “mutasyabihat”, interpretable, dapat diinterpretasikan, dan oleh karena itu bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.
Pandangan mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara teks universal versus teks partikular, maka teks partikular membatasi berlakunya teks universal. Teks partikular harus diutamakan. Pandangan ini ditolak keras oleh Imam al Syathibi, seraya mengatakan bahwa “aturan-aturan umum atau hukum universal bersifat pasti dan normatif, sedangkan pesan-pesan atau petunjuk-petunjuk khusus bersifat relatif. Karena itu, hukum umum dan ketentuan universal,menurutnya harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus (partikular).
Aturan-aturan khusus ini tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan universal”. Misalnya, al Qur’an menyatakan :
الرجال قوامون علی النساء بما فضل الله بعضهم علی بعض وبما انفقوا من اموالهم
”Laki-laki adalah “qawwam” (pemimpin) atas kaum perempuan, disebabkan Allah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki memberikan sebagian nafkahnya”.(Q.S. Al-Nisa,[4:34].
Pada tempat lain Tuhan mengatakan :
يا ابها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثی وجعلناكم شعوبا وقباءل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم
”Wahai Manusia, Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling terhormat di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”.(Q.S. Al-Hujurat,[49;13].
Ayat Q.S. [4:34] menjadi dasar utama untuk menjustifikasi otoritas dan sperioritas laki-laki. Sementara Q.S 49:13, menegaskan kesetaraan manusia. Ayat ini bersifat universal. Menurut Syathibi, ayat tentang kesetaraan manusia bersafat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan. Sedangkan ayat tentang kepimimpinan laki-laki adalah partikular, bersifat khusus dan sosiologis, maka ia berlaku kontekstual.
Dari uraian di atas kita setidaknya memperoleh suatu gambaran bahwa respon atau sikap kaum muslimin atas isu-isu gender adalah beragam, berbeda-beda, meskipun mereka mengacu pada sumber referensi yang sama. Keberagaman pandangan ini muncul dari perbedaan mereka dalam membaca atau memahami teks. Sebagian memahaminya secara tekstual/harfiyah, dan menganggapnya sebagai kebenaran final, tanpa harus mempertimbangkan aspek rasio, ruh dan tujuan maupun realitas di luarnya.
Sementara pandangan yang lain membaca teks dengan segenap makna terdalamnya, substansial dan holistik. Mereka berpendapat bahwa keberadaan teks tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang melingkupnya. Teks tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan refleksi dan respon dari situasi peristiwa kehidupan yang nyata yang senantiasa mengalami proses perubahan dan dinamis. Setiap pendapat pikiran adalah refleksi dari diri yang hidup dalam lingkungannya masing-masing.
Pandangan yang terakhir ini menarik hati saya, dan saya percaya pula bahwa pesan-pesan agama yang ditulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung logika, tujuan dan ruh kemanusiaan. Tujuan ini dapat dipelajari dan diusahakan untuk diwujudkan. Ia bersifat rasional, dan bukan masalah yang terkait dengan kebenaran scriptural.
Penutup
Dari sini saya ingin menyatakan :
1. Perempuan adalah manusia. Ia memiliki seluruh potensi kemanusiaannya sebagaimana manusia laki-laki: intelektual (akal), mental-spiritual (ruh), hasrat seksual, energi tubuh dan lain-lain. Semua potensi itu diberikan Tuhan dalam kapasitas yang relative sama dengan laki-laki.
Oleh karena itu perempuan memiliki hak-hak kemanusiaannya, di samping kewajiban-kewajibannya, sebagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban kemanusiaan laki-laki. Perempuan berhak menjadi apa saja sebagaimana laki-laki. Semua hak tersebut tidak boleh dikurangi sedikitpun, wajib dihargai dan dilindungi oleh Negara, tradisi dan oleh siapapun.
2. Kesetaraan manusia adalah konsekuensi paling bertanggungjawab atas pengakuan Ke-Esaan Tuhan. Atas dasar ini maka keadilan jender harus ditegakkan. Keadilan adalah bertindak proporsional, dengan memberikan hak kepada siapa saja yang memilikinya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau symbol-simbol primordialnya. “Tuhan tidak menilaimu dari wajah dan tubuhmu, melainkan dari hati dan tindakanmu”, kata Nabi.
3. Subordinasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan secara factual telah menciptakan beban penderitaan berlapis dan kemiskinan perempuan. Penderitaan dan Kemiskinan perempuan secara niscaya berimplikasi serius pada kesehatan reproduksi, pendidikan dan kesejahteraan keluarga, dan pada gilirannya berdampak pada kemiskinan dan penderitaan keluarga, bangsa dan negara.
4. Agama hadir untuk manusia dalam kerangka penegakan prinsip-prinsip kemanusiaan (Rahmatan lil ‘Alamin). Di dalam terma ini terkandung paling tidak tujuh prinsip kemanusiaan : 1. Perlindungan atas hak hidup. 2. hak berkeyakinan. 3. hak berpikir. 4. hak atas kehormatan. 5. hak atas kesehatan reproduksi. 6. hak atas kepemilikan kekayaan, dan 7. hak atas keterpeliharaan dan kelestarian lingkungan.
5. Oleh karena itu, maka sistem sosial, kebijakan negara, pandangan tradisi dan keagamaan serta pandangan apapun yang mendiskriminasi dan mengandung kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya harus diperbaiki atau dihapuskan karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia, agama dan etika kemanusiaan.
by admin | 24 Dec 2024 | Artikel
ORASI ILMIAH DIREKTUR PENERANGAN AGAMA ISLAM
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dalam suasana yang penuh dengan semangat intelektual dan kesadaran moral. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah bertemakan tantangan global yang melibatkan isu dehumanisasi dan perubahan iklim, serta bagaimana peran penting tokoh agama dan kaum cendekia dalam menjawab permasalahan tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Dunia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang semakin mendesak untuk diatasi. Dehumanisasi, yakni penghilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam relasi sosial, dan perubahan iklim, sebagai akibat eksploitasi alam yang berlebihan, menjadi dua persoalan yang mengancam eksistensi manusia secara global. Dalam konteks ini, peran tokoh agama dan kaum cendekia tidak lagi dapat dipandang sebagai periferal, tetapi justru harus berada di garis depan untuk menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Dehumanisasi menjadi salah satu fenomena yang marak terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik bersenjata, ketidakadilan sosial, hingga eksploitasi tenaga kerja. Fenomena ini mencerminkan hilangnya nilai kemanusiaan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat relevan. Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya mengembalikan esensi kemanusiaan yang inklusif, melampaui sekat-sekat identitas.
Perubahan iklim adalah krisis global yang tak terhindarkan. Peningkatan suhu bumi, penggundulan hutan, kenaikan permukaan laut, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah tanda-tanda kerusakan ekologis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensi perubahan iklim tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial, menciptakan gelombang baru pengungsi iklim, konflik sumber daya, dan ketidakstabilan ekonomi.
Fenomena dehumanisasi dan perubahan iklim saling berkelindan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam mencerminkan hilangnya kesadaran akan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab kolektif terhadap sesama makhluk hidup. Kerusakan ekologi ini tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin parah, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.
Di tengah kompleksitas permasalahan ini, agama memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral yang dapat menginspirasi perubahan. Ajaran agama, yang pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab, mampu menjadi panduan dalam mengatasi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Misalnya, dalam Islam, konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Tokoh agama memiliki peran strategis dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan. Melalui dakwah, pendidikan, dan kepemimpinan sosial, mereka dapat mendorong masyarakat untuk mengedepankan solidaritas, empati, dan keadilan. Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari Rabi’a al-Adawiyya, seorang tokoh perempuan Islam yang menekankan cinta kepada Tuhan sebagai jalan menuju cinta kepada sesama manusia. Pemikirannya menegaskan bahwa nilai spiritualitas yang tinggi dapat mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaan sejati.
Selain itu, tokoh agama juga perlu mengambil peran dalam advokasi lingkungan. Mereka dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, mengajak umat untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian asal Kenya, adalah contoh perempuan Muslim yang membuktikan bahwa perjuangan lingkungan dapat berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan. Gerakannya, Green Belt Movement, mengajarkan bahwa pelestarian lingkungan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.
Hadirin yang saya hormati,
Kaum cendekia memiliki peran penting dalam menyusun narasi intelektual yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita dapat memberikan analisis kritis terhadap struktur sosial yang menghasilkan dehumanisasi, serta menawarkan solusi yang berbasis keadilan sosial. Dalam hal ini, cendekiawan perlu memadukan wawasan akademik dengan sensitivitas moral untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Dalam isu perubahan iklim, cendekiawan memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan urgensi krisis ekologis melalui penelitian, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik. Kita juga perlu mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan memastikan bahwa solusi ekologis yang ditawarkan tetap berpihak pada keadilan sosial.
Kerja sama antara tokoh agama dan kaum cendekia menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Tokoh agama dapat memberikan landasan moral dan spiritual, sementara kaum cendekia menyediakan analisis kritis dan solusi berbasis data. Sinergi ini memungkinkan terciptanya gerakan yang lebih inklusif dan efektif dalam menjawab tantangan global.
Menuju Indonesia Emas 2045, peran tokoh agama dan kaum cendekia menjadi semakin penting. Mereka harus mampu menjadi katalis perubahan dalam masyarakat, baik dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan maupun dalam mendorong kesadaran ekologis. Visi Indonesia Emas tidak hanya tentang pembangunan ekonomi, tetapi juga tentang pembangunan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan.
Salah satu cara untuk mewujudkan sinergi ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran ekologis perlu menjadi prioritas, baik di tingkat formal maupun informal. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Meskipun tantangan yang kita hadapi besar, kita harus tetap optimis bahwa perubahan dapat terjadi. Dengan kerja keras, sinergi, dan komitmen, kita dapat mewujudkan dunia yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tokoh agama dan kaum cendekia harus menjadi cahaya penuntun dalam perjalanan ini.
Hadirin yang saya hormati,
Di tengah tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim, sebuah deklarasi lintas agama yang dilakuan beberapa waktu lalu yakni Deklarasi Istiqlal telah menyerukan pentingnya kolaborasi umat beragama untuk menjaga lingkungan hidup dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi ini mengingatkan kita bahwa tanggung jawab keagamaan tidak hanya berpusat pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa agama harus menjadi landasan moral dalam membangun harmoni antara manusia dan lingkungan.
Semangat dari deklarasi tersebut mengajarkan kita bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah ilahi. Umat beragama dipanggil untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan kebersamaan yang diajarkan agama harus menjadi pilar utama dalam upaya global untuk menghadapi tantangan ini. Deklarasi ini juga menjadi pengingat bahwa harmoni antarumat beragama bukan sekadar idealisme, tetapi kunci keberhasilan dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan spirit ini, mari kita jadikan upaya menjaga lingkungan dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Tuhan dan warisan luhur untuk generasi mendatang.
Akhir kata, saya mengajak kita semua untuk menjadikan dehumanisasi dan perubahan iklim sebagai isu bersama yang harus diatasi dengan semangat kolektif. Mari kita berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam upaya mulia ini.
Wallahulmuwafiq Ilaa Awamith Tharieq
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Direktur Penerangan Agama Islam
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
— — Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.