(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Ruang Dialog Agama dan Negara dalam Pengadilan Agama

ISIF Cirebon – Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, tetapi sejak awal berdirinya, Indonesia tidak mengambil bentuk negara agama. Para pendiri bangsa memilih jalan tengah: membentuk negara yang menjamin kebebasan beragama, sekaligus tidak tunduk pada tafsir keagamaan tertentu. Pancasila menjadi dasar negara yang menampung keberagaman dan menjadi titik temu antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.

Namun, ini bukan berarti hubungan antara agama dan negara di Indonesia selalu tenang. Sejak awal, terutama dalam konteks Islam, selalu ada perdebatan dan negosiasi. Islam, sebagai agama yang membawa nilai-nilai hukum dan sosial, memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Di sisi lain, negara memiliki kepentingan menjaga kesatuan, stabilitas, dan keadilan bagi semua warganya, tak peduli latar belakang agama mereka.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa negara kerap mengambil posisi sebagai penengah. Di masa Orde Baru, negara cenderung menekan ekspresi politik Islam. Zaman pemerintahan Soeharto antara tahun 1966 hingga 1998, suatu periode ketika Islam, seringkali ditafsirkan berpotensi menjadi ancaman politik terhadap negara yang terpusat, otoritarian, dan sekuler yang telah dibentuk oleh militer.

Namun setelah Reformasi 1998, ruang ekspresi semakin terbuka. Banyak pembatasan atas ekspresi identitas Muslim yang diterapkan selama Pemerintah Orde Baru, dicabut tidak lama setelah kejatuhan Soeharto, yakni pada saat demokratisasi Indonesia menuju era keterbukaan baru. Hal ini mengakibatkan munculnya identitas Islam yang begitu marak dalam kehidupan pribadi dan publik, termasuk dalam politik.

Kelompok-kelompok Islam, baik yang besar maupun kecil, mulai menyuarakan kembali aspirasi untuk membentuk masyarakat yang lebih Islami, termasuk lewat penerapan hukum syariah.

Tentu saja, aspirasi ini tidak tunggal. Ada yang menginginkan penerapan syariah secara penuh, ada pula yang memandang syariah sebagai nilai moral yang bisa hidup berdampingan dengan hukum nasional. Perdebatan ini semakin hidup dalam masyarakat dan politik Indonesia. Di tengah dinamika itu, muncul pertanyaan: bagaimana negara dan agama berdialog secara sehat?

Salah satu ruang dialog itu terlihat dalam lembaga Pengadilan Agama. Sebagai bagian dari sistem peradilan negara, namun khusus menangani perkara umat Islam, Pengadilan Agama menjadi tempat menarik untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dan hukum negara saling berinteraksi.

Pengadilan Agama secara konsisten menunjukkan dukungan terhadap nasionalisme negara yang berlandaskan Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya, Pengadilan Agama tidak hanya merujuk pada sumber-sumber hukum Islam tradisional seperti Al-Qur’an, Hadis Nabi, dan fikih klasik, tetapi juga mengadaptasi aturan-aturan hukum negara. Adaptasi ini dilakukan meskipun dalam beberapa kasus dianggap bertentangan dengan interpretasi kaum tradisional dari sumber-sumber tersebut.

Pengadilan Agama di Indonesia yang menangani perkara umat Muslim, di satu sisi telah menjadi agen untuk agenda yang lebih membebaskan, yang mencerminkan aspirasi gerakan reformasi yang telah mendominasi kebijakan negara pada era pasca-Soeharto. Akan tetapi, di sisi lain posisi pengadilan agama juga telah banyak mengabaikan aspirasi organisasi Islam konservatif, yang makin tumbuh menonjol pada masa yang bersamaan.

Pendukung Islamisasi yang konservatif seringkali mendapat kritik di Indonesia karena sikapnya yang terang-terangan menunjukkan permusuhan pada perempuan. Misalnya, dalam pengaturan cara berpakaian perempuan, atau dalam membatasi ruang gerak perempuan di masyarakat. Posiai demikian dilihat oleh Pengadilan Agama dengan sebaliknya.

Pengadilan Agama di Indonesia justru dikenal sebagai salah satu sistem hukum keluarga Islam yang paling responsif terhadap hak-hak perempuan di dunia Muslim. Pengadilan Agama telah memimpin upaya-upaya peradilan untuk memperbaiki kedudukan hukum dan kapasitas perempuan untuk menjalankan hak-hak mereka dalam hal hukum keluarga, khususnya hak untuk bercerai dengan cepat dan murah.

Hal ini bisa dilihat pada proses cerai yang cepat dan murah, fleksibilitas dalam perjanjian pernikahan, serta budaya kelembagaan yang simpati terhadap perempuan menjadi cerminan bahwa nilai-nilai Islam dan nilai keadilan sosial bisa berjalan bersama.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Daniel Lev, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama selama puluhan tahun memang memiliki budaya lembaga yang bersimpati pada perempuan yang berperkara. Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan:

“Aturan hukum keluarga Islam di Indonesia telah lama dianggap sebagai salah satu aturan yang paling liberal di dunia muslim. Perjanjian pernikahan diuraikan dengan jelas dan fleksibel, sebagian karena adanya tekanan dan masukan dari organisasiorganisasi perempuan dalam beberapa puluh tahun terakhir.Selain itu, kantor urusan agama dan pengadilan diam-diam telah bersimpati pada perempuan yang mengalami pernikahan yang buruk.”

Dalam pengamatannya, Daniel menemukan kenyataan bahwa pengadilan agama di banyak kasus justru lebih berpihak kepada perempuan pada kasus-kasus perceraiannya.

“Dalam penelitian saya tentang peradilan Islam, yang pada awalnya sempat didasari oleh beberapa miskonsepsi yang umum terjadi, perlahan-lahan saya menyadari bahwa pengadilan umumnya lebih condong pada perempuan yang merupakan klien utama mereka. Mereka jarang menolak permohonan cerai yang diajukan oleh perempuan,” tambahnya.

Para hakim Pengadilan Agama seperti dinyatakan dalam buku “Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin,” menyatakan bahwa religiusitas Islam mereka seringkali diungkapkan tanpa banyak merujuk pada fikih dan doktrin. Namun, lebih pada keinginan untuk mencapai apa yang mereka lihat sebagai keadilan gender dan transformasi sosial. Posisi ini, apapun manfaatnya, pada kenyataannya bersilangan dari nilai-nilai agama yang diekspresikan oleh para pendukung Islami konservatif di Indonesia.

Dari uraian yang disampaikan di atas jelaslah bahwa dalam hal Pengadilan Agama, agama dan negara tidak dalam posisi yang bertentangan. Justru, keduanya keduanya berdialog secara terbuka dan jujur sehingga nilai-nilai luhur dari keduanya akhirnya saling menguatkan satu sama lain.

— Disarikan dari buku Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin (Cate Sumner dan Tim Lindsey. “Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru.” Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute: ISIF (2010)).

Link download buku –> Buku_Reformasi_Peradilan

Lima Fondasi Toleransi yang Bisa Jadi Panduan Hidup Rukun di Tengah Perbedaan

ISIF Cirebon – Toleransi adalah salah satu nilai mulia dalam Islam yang sering kali kita dengar, tapi belum tentu kita pahami secara utuh. Dalam istilah Arab, toleransi disebut al-tasamuh atau al-samahah, yang bermakna lapang dada, memberi ruang kepada orang lain, dan tidak memaksakan kehendak. Singkatnya, toleransi berarti tepo seliro dan tenggang rasa dalam kehidupan sosial.

Dalam perkembangannya kemudian penyebutan toleransi “tasamuh” mengandung makna suatu pandangan sikap mental dan cara bertindak memudahkan, lapang dada, lega hati dan berkenan memberi ruang kepada orang lain tidak mempersulit, atau memberatkan atau memaksakan kehendak kepada orang lain.

Dalam praktiknya, toleransi bukan hanya soal “mengizinkan” orang lain berbeda, tapi juga soal menyambut perbedaan itu dengan hati terbuka. Islam mendorong pemeluknya untuk menerima realitas keberagaman, bukan menolak atau menafikannya.

Namun, penting untuk dipahami bahwa menghargai perbedaan agama tidak berarti menyamakan semua agama atau mencampuradukkan keyakinan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan prinsip kebebasan beragama: “Lakum dinukum wa liya din” — “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Artinya, setiap orang punya hak dan kebebasan untuk meyakini dan menjalankan agamanya masing-masing.

Di tengah masyarakat yang semakin beragam dan kompleks, kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai menjadi kebutuhan mendasar. Islam, sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah lama menanamkan nilai-nilai toleransi sebagai bagian penting dari ajarannya.

Salah satu ulama besar, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana ditulis oleh Buya Husein dalam buku ‘Toleransi dalam Islam,’ menyebutkan bahwa ada lima fondasi utama toleransi dalam Islam.

  1. Persaudaraan atas dasar kemanusiaan (al-ikhwan al-insani).

Islam memandang seluruh manusia sebagai saudara, tanpa memandang suku, bangsa, atau agama. Islam telah mengajarkan kita bahwa semua manusia berasal dari satu jiwa dan harus saling menghormati sebagaimana tercantum dalam  Al-Qur’an.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ۝١

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. An-Nisa [4:1])

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Maka, tak ada alasan untuk merasa lebih unggul dari orang lain hanya karena perbedaan identitas.

  1. Pengakuan dan penghormatan terhadap yang lain (al i’tiraf bi al-akhar wa ihtiramuh)

Islam mengajarkan kita untuk mengakui dan menghormati eksistensi orang lain. Artinya, kita tidak boleh merendahkan keyakinan atau pilihan hidup orang lain, meskipun berbeda dengan kita.

Pengakuan atas eksistensi orang lain dengan keyakinannya sesungguhnya adalah sikap mengakui fakta dan realitas akan eksistensi agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia yang berbeda-beda dan harus dihormati. Pengakuan atas pluralisme dan toleransi antar umat beragama hanya berarti memberikan penghargaan kepada pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.

  1. Kesetaraan manusia (al-musawah baina an-nas jami’an)

Semua manusia dipandang setara di hadapan Allah. Tidak ada keistimewaan berdasarkan warna kulit, status sosial, atau keyakinan. Prinsip ini menekankan bahwa semua manusia memiliki nilai yang sama di hadapan Allah, terlepas dari perbedaan ras, sosial, atau agama mereka. Yang membedakan derajat seseorang di sisi Allah adalah tingkat ketakwaannya atau ketaatannya kepada Allah. 

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13, Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat [49:13])

  1. Keadilan sosial dan hukum (al-’adI fi at-ta’amul)

Toleransi juga berarti berlaku adil terhadap siapa pun, termasuk kepada mereka yang berbeda agama. Keadilan tidak boleh berat sebelah hanya karena perbedaan identitas. Toleransi tidak hanya berarti menerima keberagaman, tetapi juga berlaku adil terhadap semua orang, termasuk mereka yang berbeda agama. Keadilan harus diterapkan secara objektif, tidak memihak, dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan identitas seperti agama.

  1. Kebebasan yang diatur oleh undang-undang (aI-hurriyyah al-munazzamah)

Islam menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Namun kebebasan itu juga harus dijaga agar tidak menimbulkan konflik dan tetap menghormati hak orang lain. Dalam konteks Indonesia hal ini sudah terjamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. 

Toleransi dalam Islam bukan sekadar wacana, melainkan nilai yang hidup dalam setiap ajarannya. Saat dunia menghadapi banyak konflik atas nama perbedaan, Islam hadir membawa pesan damai yang relevan sepanjang zaman. Mari saling menghargai, berdampingan dengan damai, dan menebar kasih sayang sesama umat manusia.

 

Perempuan Pengupas Rajungan di Desa Waruduwur, Refleksi dari Riset Ekologi

ISIF Cirebon – Pada tanggal 8 – 20 Maret 2025, saya bersama 30 teman-teman terpilih mengikuti kegiatan Riset Ekologi yang diselenggarakan oleh SALAM Institute di lima desa, yaitu Desa Cikesal, Cisantana, Ambulu, Kalibuntu, dan Waruduwur.

Kegiatan Riset Ekologi menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga. Akhirnya saya bisa langsung belajar bersama masyarakat. Bahkan selama kegiatan riset, saya memperoleh banyak pengetahuan—baik secara teoretis maupun praktis—melalui interaksi langsung dengan warga desa.

Tak hanya soal pengetahuan ekologi, saya juga belajar mengenai tata cara komunikasi dan cara bergaul dengan masyarakat. Bagi saya, pembelajaran ini sangat penting dalam membangun hubungan yang erat antara peneliti dan masyarakat. Sehingga hasil riset dapat lebih diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Peran Perempuan dalam Ekonomi Lokal

Dari lima desa tersebut, saya bersama lima teman ditempatkan di Desa Waruduwur, Kabupaten Cirebon. Selama satu minggu di sana, saya menyaksikan banyak pembelajaran penting yang tidak saya temukan di lingkungan kampung atau di kampus saya.

Salah satu hal yang sangat mencuri perhatian adalah peran aktif perempuan dalam berbagai aktivitas ekonomi. Terutama dalam kegiatan pengupasan rajungan.

Di Desa Waruduwur, terdapat kelompok pengupas rajungan yang terdiri dari Ibu Munir, Ibu Kusumin, Ibu Ina, dan Ibu Mita sebagai pemilik kelompok pengupasan rajungan.

Dalam sehari ketiga ibu ini bisa mengupas rajungan hingga 10-30 kg rajungan. Setiap ibu-ibu mendapat jatah untuk mengupas sebanyak 1-3 kg. Sementara upah yang mereka dapatkan sebesar Rp. 100.000.

Upah tersebut menurut Ibu Munir tidak hanya menjadi sumber pendapatan tambahan, tetapi juga menjadi strategi dalam pemberdayaan perempuan.

Melalui pengupasan rajungan, para perempuan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan, memanfaatkan waktu secara produktif, dan turut berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan keluarga.

Bahkan, Ibu Munir mengaku pengupasan rajungan menjadi salah satu strategi ekonomi yang krusial di Desa Waruduwur. Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang masih berada di bawah rata-rata.

Hal ini, karena mayoritas perempuan di desa ini adalah dengan bekerja sebagai pengupasan rajungan, sementara laki-laki umumnya bekerja sebagai nelayan.

Walaupun hasil usaha dari pengupasan rajungan dan nelayan kadang-kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pekerjaan ini memberikan ruang bagi perempuan untuk bertahan agar dapur tetap ngebul.

Dalam satu kali pekerjaan, terdapat lima jenis hasil pengupasan yang dikenal dengan sebutan Toto, Sepesial, Cangkang, Lemi, dan Elam. Hasil dari masing-masing kategori ini dijual ke tengkulak yang kemudian mendistribusikan hasilnya ke pasar.

Dengan demikian, setiap aktivitas pengupasan tidak hanya menghasilkan uang. Tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi rumah tangga dan memperkuat posisi perempuan sebagai tulang punggung keluarga.

Cerita Perempuan Pengupas Rajungan

Pada tanggal 11 Maret 2025, Ibu Munir, Ibu Kusumin, Ibu Ina, dan Ibu Mita bercerita tentang pentingnya peran perempuan dalam bekerja sebagai pengupasan rajungan.

Mereka menjelaskan bahwa dengan bergabung dalam kelompok tersebut tidak hanya memberi mereka keuntungan finansial. Tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian.

Hasil pengupasan yang diperoleh dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun disimpan untuk kehidupan masa depan.

Kisah para ibu di Desa Waruduwur ini menunjukkan betapa pentingnya pemberdayaan perempuan dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan sosial di tingkat lokal.

Dengan terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, perempuan tidak hanya mampu menyumbang pada pendapatan keluarga. Tetapi juga mendapatkan pengalaman berharga yang meningkatkan kualitas hidup mereka.

Oleh karena itu, dengan belajar dari Riset Ekologi di Desa Waruduwur mengajarkan bahwa pemberdayaan perempuan dapat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ekonomi di desa-desa.

Dengan bekerja sebagai pengupasan rajungan, perempuan diberikan kesempatan untuk belajar, berkreasi, dan berkontribusi secara signifikan dalam perekonomian keluarga dan masyarakat.

Saya berharap semoga lebih banyak perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Serta membuka jalan bagi kemajuan sosial dan ekonomi di tingkat komunitas.

Dan saya yakin, banyak perempuan mampu merubah tantangan menjadi peluang. Bahkan dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi keluarga dan komunitas mereka.

Peran Pesantren dalam Menanamkan Nilai-Nilai Toleransi

Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai tasamuh adalah suatu sikap menghargai pendirian serta pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Toleransi juga salah satu nilai pendidikan karakter di pesantren. Al-ikhtilafu rahmatun adalah adagium (ungkapan) yang sangat familiar di kalangan santri. Di pesantren para santri secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan menjadi hal yang indah dan patut dirayakan.

Biasanya di pesantren banyak hal baru yang ditemui para santri yang baru mukim di pesantren, seperti perbedaan bahasa dan daerah para santri. Latar belakang budaya dan wilayah yang bervariasi tentu saja membuat setiap santri mempunyai pola perilaku yang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang positif untuk menumbuhkan kembang seseorang di dalam lingkungan yang heterogen.

Banyak keuntungan yang dapat diambil bagi sesorang yang tumbuh di lingkungan beragam, seperti di pesantren. Misalnya, mereka dapat belajar dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Bagi sebagian orang hal ini sulit dilakukan karena adanya rasa ketidakamanan, keraguan, keengganan atau ketakutan ketika berinteraksi dengan orang asing. Dalam istilah ilmu jiwa gejala seperti ini biasa disebut dengan xenophobia.

Toleransi di Pesantren 

Pesantren sebagai lembaga pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh santri untuk menggali potensi dalam diri santri. Tidak ada diskriminasi yang diberlakukan di pesantren. Seperti dalam sebuah kisah ini. Suatu ketika ada santri bule yang mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bernama Katrin Bandel, perjalanannya di pesantren sempat dijadikan film dokumenter berjudul “Al Ghoriib ” dan diputar dalam perhelatan Muktamar NU di Jombang tahun 2015. walaupun tampilan fisik dia berbeda dan umurnya terpaut jauh dibandingkan rekan santriwati lainnya, ia tetap mempunyai dalam menjalankan kegiatan dan pelaksanaan santriwati pada umumnya.

Sikap pesantren yang terbuka tidak hanya dimiliki oleh para kiai dan santrinya. Melainkan juga masyarakat luas yang tinggal di lingkungan sekitar pesantren, bahkan tidak terbatas oleh sekat-sekat geografi. Banyak masyarakat yang jauh tinggal di luar pesantren menjadikan kiai atau tokoh di pesantren sebagai rujukan, nasehat atau petuah dalam menyelesaikan permasalahan sosial ataupun agama.

Sekadar contoh, di daerah Pohuwato Gorontalo ada sebuah pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyyah, terletak di Desa Banuroja. Desa tersebut didirikan oleh tiga komunitas agama yang berbeda, Islam, Kristen, dan Hindu. Pengasuh pesantren ini seringkali menjadi sumber rujukan bagi umat tiga agama untuk menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pesantren dan kiai menjadi sebuah institusi yang menjadi rahmat bagi sekelilingnya (rahmatan liman haulahu).

Wajah Islam Indonesia

Di tengah gemparnya Islamophobia yang melanda negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Belanda, Indonesia hadir menawarkan Islam yang ramah dan sangat lekat dengan budaya lokal. Maka, tidak heran jika Fazlur Rahman secara optimis menyatakan bahwa potensi Indonesia sebagai negara penyulut kebangkitan Islam. Hal ini dikarenakan secara teologis Indonesia tidak mempunyai pertentangan yang hebat seperti negeri-negeri muslimn lainnya.

Di Indonesia tidak ada konflik antara Sunni dan Syi’ah, dan tidak terdapat konflik antar mazhab yang runcing (Amien Rais, 1991: 174). Islam Indonesia dengan corak khasnya menjadi jembatan antara budaya dan ajaran agama bisa berjalan satu sama lain, tidak saling memusuhi atau bahkan menjalin hubungan satu sama lain.

Pergantian rezim juga mempengaruhi tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang intoleran. Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, di negeri ini gerakan-gerakan Islam transnasional tumbuh subur. Mereka mengusung misi menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah. Bagi komunitas pesantren yang memiliki gerbong terbesar di negeri ini, khilafah merupakan ancaman yang serius.

Khilafah dianggap memecah belah bangsa, mengancam pancasila, UUD 1945, kebhinnekaan, dan kesatuan bangsa. Walaupun kelompok pemuja khilafah ini sangat kecil, namun gerakan dan aktifitasnya termasuk kategori separatis yang bertentangan dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).

Corak Islam Indonesia

Husein Muhammad mengungkapkan bahwa corak awal penyebaran Islam masuk ke Indonesia adalah corak Islam sufistik. Masyarakat Hindu-Buddha Jawa mempunyai titik kesamaan dengan misi yang diemban oleh para juru dakwah di tanah Jawa (Walisongo). Kesamaannya pada istilah-istilah yang berlaku dalam budaya lama (Animisme, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (pandangan dunia) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati.

Wadah-wadah lama yang dipakai, diganti. Peninggalan kejeniusan masa lalu masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa, dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi do’anya bukan untuk para “dewa-dewa” namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta. Dan sesajinya -biasanya berupa makanan —dimakan bersama-sama setelah ritual doa. Dakwah seperti ini justru sangat ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk menerima Islam sebagai agama pada saat itu, tanpa mengeliminasi nilai-nilai dan adat istiadat lokal.

Secara singkat, metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan perpaduan antara kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih mempunyai ritualritual tertentu dalam ritus kepercayaanya dan memasukkan nilai-nilai agama Islam di dalamnya. Para Wali juga melakukan syiar keagamaan dengan medium lain, seperti kesenian. Para Wali Songo adalah seniman yang luar biasa, sehingga bisa meingislamkan tanah Jawa, salah satunya dengan jalan seni.

Dengan adanya akulturasi budaya tersebut Islam Indonesia secara umum telah mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Kegiatan kebudayaan yang dibungkus dengan nilai-nilai agama seperti: Syukuran empat bulan kehamilan, nyadran, sedekah laut, dan tradisi sedekah bumi. Inilah bentuk pelestarian Islam Indonesia yang sangat adaptif terhadap kearifan lokal. Islam sebagai agama dan pesantren sebagai lembaga keagamaan di Indonesia memiliki corak pemikiran keagamaan yang ramah dan santun yang telah lama diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Memilih cara damai dan toleran dalam hidup seringkali dianggap oleh kelompok fundamentalis sebagai bentuk dari melemahnya iman dan kendurnya semangat keislaman. Ini adalah anggapan yang keliru dan patut diluruskan. Di dalam Islam sendiri, ada banyak kisah Nabi Muhammad yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti dalam sebuah riwayat berikut,

Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad ra dan Sahal bin Hunaif ra. sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu termasuk penduduk setempat (yakni orang non muslim). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menemui iringan jenazah, lalu dia berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah saw. bersabda: bukankah ia juga manusia?” (Shahih Muslim No.1596).

Nilai-nilai yang menghargai perbedaan semacam ini patut dilestarikan oleh umat Islam dimanapun hingga saat ini. Agen perubahan bisa diinisiasi oleh siapa saja, karena tujuan dari seseorang beragama ada untuk melayani kemanusiaan.

 

Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Baca selengkapnya dalam:  Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017.

Pesantren dan Modernitas

Ketika kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka pesantren ataupun surau adalah dua institusi yang layak untuk dibahas. Mengapa? Karena kedua institusi pendidikan ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat anak bangsa dalam mengenyam akses pendidikan keagamaan terutama di daerah-daerah terpencil, baik itu di Jawa maupun Sumatera.

Keduanya berperan sangat vital dalam mentransformasikan ajaran-ajaran keagamaan di kalangan masyarakat terutama menyangkut penguatan keimanan seseorang. Di samping itu ada ajaran-ajaran lain yang tidak melulu masalah teologi, tetapi pembelajaran lain yang menyangkut ilmu-ilmu sosial juga diajarkan di kedua lembaga pendidikan ini walaupun pada mulanya kedua pendidikan ini mengajari pendidikan keagamaan saja.

Transformasi Pesantren di Era Modern

Dalam pengantarnya di buku Bilik-Bilik Pesantren, Azyumardi Azra mengatakan seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas, pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 7).

Mengingat pendidikan adalah hak primer yang wajib dimiliki oleh setiap individu dan bagian penting bagaimana cara masyarakat terlibat dalam modernitas dan globalisasi. Maka pesantren merespon tantangan zaman tersebut dengan perubahan di dalam institusi pesantren. Sekali lagi, yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak dilakukan untuk menggeser tradisi-tradisi lama  pesantren yang luhur namun hanya untuk membekali diri para santri untuk siap sedia dengan perubahan  zaman yang terjadi.

Secara garis besar pesantren terbagi menjadi dua: pertama, pesantren tradisional yang tetap menjaga tradisi klasik pendidikan Islam dan fokus dalam kajian-kajian kitab kuning. Kedua, pesantren modern yang mempunyai titik tekan dalam pembelajaran ilmu-ilmu kontemporer, seperti sekolah publik pada umumnya, tidak jarang juga di pesantren modern, para santri diwajibkan memiliki soft skill berbahasa Arab dan Inggris.

Saat ini, bentuk pesantren tradisional telah mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pesantren tradisional kini memiliki madrasah dan sekolah umum. Perbedaan utama antara pesantren tradisional dan pesantren modern terletak pada penguasaan bahasa asing. Pesantren modern cenderung lebih dominan dalam penggunaan bahasa Arab dan Inggris dibandingkan pesantren tradisional.

Dinamika Pesantren dalam Menghadapi Modernisasi

Pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam sejarah suksesi kemerdekaan bangsa. Namun, hingga kini, pesantren masih belum memiliki kekuatan besar dalam melobi penyesuaian kurikulum pendidikan umum. Pemerintah cenderung menekan agar terjadi penyeragaman antara pendidikan umum dan pendidikan di pesantren. Awalnya, pesantren hanya memiliki madrasah dengan hari libur yang umumnya jatuh pada hari Jumat. Seiring waktu, pesantren mulai berkembang dengan menyediakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.

Perkembangan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ingin membekali santrinya dengan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, pesantren telah memiliki kurikulum yang sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum sekolah menengah pertama dan menengah atas ada. Selain itu, aturan kegiatan belajar mengajar di sekolah umum berada di bawah kewenangan instansi pemerintah terkait, yang sering kali berbeda dengan sistem pendidikan pesantren.

Menghadapi masalah ini pesantren sedikit menolak untuk diseragamkan dengan sekolah umum, dan mencari titik temu dari permasalahan ini. Sebagai contoh kasus di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, pada tahun 1968 didirikan Madrasah Tsanawiyah dibawah naungan Departemen Agama. Namun yang menjadi pembeda antara Madrasah Tsanawiyah di tempat lain adalah hari libur yang jatuh pada setiap hari Jum’at.

Proses perizinan untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari libur tidaklah mudah. Ada negosiasi alot antara pihak pesantren Babakan dan pemerintah saat itu. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kegiatan pesantren tidak terganggu dengan adanya sekolah umum. Meskipun demikian pesantren tidak tercerabut dari akar budayanya, selain fungsi-fungsi pesantren yang tetap berjalan seperti nilai-nilai keislaman, serta kontrol sosial di masyarakat.

Selain perkembangan pendidikan di pesantren, hal yang menarik untuk diulas adalah tentang sikap pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya tanpa mengesampingkan kebutuhan zaman. Tidak hanya dalam hal kurikulum formal, tetapi juga dalam penguatan aspek spiritualitas yang menjadi ruh pendidikan pesantren. Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapat perhatian adalah bidang tasawuf, yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral santri.

Menurut Cak Nur, bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Bidang ini sebenarnya hal yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia (Nurcholish Madjid, 1997, hlm. 21).

Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas pengetahuan santri dalam pelajaran. Hal ini bertujuan agar santri mampu berkompetisi di berbagai lini kehidupan. Santri tidak lagi hanya dikenal sebagai ahli agama, mereka juga dapat menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa depan muncul santri yang berprofesi sebagai arsitek, dokter, insinyur, atau tenaga terampil lainnya. Keragaman profesi santri di masyarakat dapat diimplementasikan secara kolektif oleh lembaga pesantren. Dengan demikian, santri dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks modernisasi, pesantren diharapkan mampu menyumbangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan modern. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki peran strategis dalam masyarakat. Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi, tampak bahwa pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern. Ini menunjukkan bahwa pesantren turut berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.

Pesantren sebagai Sub-Kultur dalam Masyarakat

Modernitas di pesantren memiliki konteks yang berbeda dibandingkan modernitas masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural pesantren yang khas dan berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Pesantren tidak hanya fokus pada pengajaran agama, lembaga ini juga memiliki kepedulian terhadap berbagai isu sosial di masyarakat. Konteks modern dalam pesantren adalah bagaimana teks-teks keagamaan dapat dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan isu-isu sosial yang berkembang saat ini.

Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sub-kultur dari masyarakat. Namun, di dalamnya terdapat struktur sosial yang berbeda. Di pesantren, terdapat kiai dan nyai sebagai pemimpin, anak kiai dan nyai sebagai generasi penerus, serta ustadz dan ustadzah yang berperan sebagai pembimbing bagi para santri perempuan dan laki-laki. Tata nilai pesantren ini memiliki ruang tersendiri dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Santri adalah pelaku kehidupan di pesantren dalam tataran yang bersentuhan langsung dengan masyarkat (grass root). Merekalah yang menggerakkan roda kegiatan dan aktifitas di pesantren.***

 

Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren (Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017).

 

Menggali Nalar Islam Nusantara

ISIF Cirebon — Studi keislaman di Nusantara, dilihat dari indikasi muatan-muatan discourse-nya, lebih cenderung pada studi keislaman model Timur Tengah. Artinya, bobot muatan studi keislaman yang berkembang di Indonesia hanya sebatas mengusung tema-tema besar yang selama ini telah melembaga dalam sejarah Islamic studies di Timur Tengah. Sehingga studi keislaman di Indonesia cenderung tidak mempunyai basis faktual khas keindonesiaan, serta tidak terakomodasinya muatan-muatan lokal yang “menyejarah”, “meruang” dan “mewaktu” dalam karakteristik khas Islam Indonesia.

Tema-tema yang diangkat seperti zakat, thaharah, atau mu’amalah sering kali hanya mengikuti tradisi sosio-kultural masyarakat Timur Tengah, tanpa mengakomodasi realitas khas Indonesia. Buku-buku handbook dan kurikulum di lembaga pendidikan Islam—seperti IAIN, UIN, pesantren, dan madrasah—juga masih dominan Timur Tengah sentris. Akibatnya, studi Islam di Indonesia sering kali kehilangan pijakan faktual dan gagal menyerap muatan lokal yang kaya dengan konteks sejarah, budaya, dan tantangan zaman di negeri ini.

Padahal, Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan Timur Tengah. Perbedaan ini tak hanya menyangkut geografi dan budaya, tetapi juga cara masyarakat Indonesia memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Misalnya, tema zakat yang dalam konteks Timur Tengah lebih cocok diterapkan pada masyarakat gurun, sementara di Indonesia, masyarakat agraris punya kebutuhan dan mekanisme sosial berbeda.

Kelemahan Studi Keislaman Indonesia

Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berakar pada kekayaan budaya dan tradisi lokal. Namun, dalam studi keislaman Indonesia, muatan lokal khas keindonesiaan tidak terakomodasi.  Hal ini menjadikan karakteristik studi keislaman di Indonesia keluar dari akar faktualnya.

Padahal fenomena keberagamaan Islam di Indonesia berlainan dengan keberagamaan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, terdapat beberapa kelemahan dari corak islamic studies di Indonesia yang cenderung Timur Tengah sentris.

Perbedaan tersebut di diakibatkan oleh faktor socio-cultural serta geografi antara Timur Tengah dan Indonesia yang berbeda yang melahirkan pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran teologis yan berbeda pula. Karenanya, mainstream pemikiran keagamaan khas Timur Tengah tidak dapat dipaksakan untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan khas Indonesia.

Selain itu, kecenderungan mengadopsi apa adanya studi keislaman model Timur Tengah, kadang bertentangan dengan budaya dan karakteristik masyarakat Islam lokal. Pemaknaan atas teologi yang dipaksakan akhirnya melahirkan kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang bersifat eksklusif, yang kurang apresiatif terhadap kemajemukan dan perubahan sosial. Munculnya sejumlah paradoks dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sebagian merupakan akibat dari kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang eksklusif.

Paradoks Keberagamaan di Indonesia

Paradoks dalam implementasi nilai-nilai Islam tampak nyata dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan jurang yang lebar antara nilai-nilai ideal agama dan kenyataan praktik keberagamaan sehari-hari. Paradoks kehidupan keagamaan itu bisa dilihat dalam beberapa hal, misalnya:

Pertama, paradoks antara nilai agama yang mengajarkan kesucian dan kedamaian dengan ekspresi perilaku keagamaan yang diwarnai dengan tindakan kotor, kekerasan dan teror.

Kedua, paradoks antara misi agama untuk membebaskan manusia tanpa diskriminasi dengan praktik praktik indoktrinasi yang mengekang jiwa dan nalar umat Islam.

Ketiga, paradoks antara ajaran dasar agama yang mengajarkan kebebasan kesetaraan dan persaudaraan dengan praktik dengan gerakan keagamaan yang membungkam pikiran bebas dan kritik, mempraktikkan agama sebagai sarana diskriminasi, serta menggunakan agama untuk melegitimasi perang yang penuh kebencian.

Corak Islam Indonesia

Untuk membangun studi keislaman yang relevan dan kontekstual, Indonesia perlu menggali karakteristik Islam lokal yang menghargai budaya, tradisi, dan realitas sosial masyarakatnya. Studi Islam tidak harus sekadar mengimpor gagasan Timur Tengah, tetapi perlu merefleksikan keberagaman dan dinamika sosial Indonesia yang kaya.

Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, damai, dan inklusif. Dengan menjadikan konteks lokal sebagai pijakan, Islam dapat menjadi kekuatan pembebas yang melahirkan solusi, membuka ruang dialog, dan membangun peradaban tanpa menjadi pembatas atau penyekat gagasan.

— Disarikan dari buku Nalar Islam Nusantara (M.Mukhsin Jamil.dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah al-Irsyad Persis dan NU. Cirebon: Fahmina Institute, 2008).