(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina dan Pembibitan Sarjana Ulama Perempuan

Oleh: Achmad Nanang Firdaus (Mahasiswa Program SUPI ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan zaman. Pesantren menjadi kawah candradimuka bagi para calon pemuka agama, namun pesantren juga tidak jarang menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme.

Dengan kata lain, pesantren mampu eksis selama berabad-abad sekaligus beradaptasi dengan perkembangan zaman namun mampu mempertahankan identitasnya sebagai penjaga keilmuwan Islam di Nusantara. Hal ini terbukti dengan berkembangnya model pembelajaran yang ada di pesantren hingga terbagi menjadi pesantren modern dan tradisional. Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina salah satu pesantren yang didirikan sebagai respons atas tantangan zaman.

Latar Belakang Berdirinya Pesantren

Berdasarkan sejarahnya, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina berdiri setelah KH. Marzuki Wahid atau yang biasa disapa santri-santrinya dengan nama “Abi Marzuki” diamanatkan menjadi rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Ia dipercaya menggantikan rektor sebelumnya yaitu Ummi Afwah Mumtazah yang mengundurkan diri pada tahun 2016. Sehingga, setelah mendapatkan amanat tersebut, tersirat dalam hatinya untuk mengembalikan ISIF pada khittahnya yaitu sebagai kampus transformatif yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, kemanusiaan, keragaman, dan demokrasi.

Selain ingin mengembalikan ISIF pada khittahnya, ia juga berpikir bagaimana ISIF bisa menjadi bagian dari pendidikan formal yang melakukan kaderisasi ulama perempuan yang dibentuk dalam program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) yang nantinya akan melahirkan ulama baik dari laki-laki maupun perempuan yang berkapasitas dan berperspektif untuk membela dan berpihak pada perempuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, maka dengan program ini, ia berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren yang berkontribusi terhadap kaderisasi ulama perempuan Indonesia yang terintegrasi dengan pendidikan formal di ISIF yaitu yang biasa disebut dengan program SUPI.

Karena pesantren ini terintegrasi dengan pendidikan formal ISIF, ia mengatakan ” Di sini kuliahnya adalah pesantren dan pesantrennya adalah kuliah”, sehingga dengan demikian, ISIF dengan pesantren Luhur Manhajiy Fahmina itu terintegrasi, menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, kuliahnya bisa sambil pesantren seperti bisa dengan menggunakan kitab kuning, sarungan, dan lain-lain, adapun pesantrennya juga bisa kuliah, karena apa yang dipelajari di pesantren termasuk dari perkuliahan yang ada di ISIF”. Beliau juga menambahkan “Karena kampus dan pesantren ini terintegrasi, dari pagi sampai malam, maka menjadikan SKS (Satuan Kredit Semester) di sini lumayan banyak.”

Para santri di pesantren ini memiliki panggilan khas yaitu “Mahasantriwa” (gabungan dari kata mahasantri & mahasiswa), disebut mahasantriwa karena santri di sini adalah santri dari pesantren Luhur Manhajiy Fahmina yang tinggal di pesantren sekaligus menjadi mahasiswa yang mengikuti pendidikan formal di ISIF, di mana pesantren ini wajib ditempuh selama 4 tahun mengikuti durasi pendidikan formal di ISIF jenjang sarjana S-1 (8 semester/4 tahun). Kemudian pesantren ini hanya menerima maksimal 20 santri tiap tahunnya, baik laki-laki maupun perempuan, dan akan dikembangkan intelektualitas dan kepribadiannya secara khusus oleh pesantren dan kampus. Dengan latar belakang tersebut, pesantren Luhur Manhajiy Fahmina mulai beroperasi secara resmi pada tahun 2022.

Mengapa Dinamakan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina?

Sebagaimana pada umumnya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki 5 rukun (Arkanul Ma’had) yaitu adanya Kyai atau Nyai, kitab kuning, asrama, masjid/musala, kemudian santri atau mahasantri. Semua itu telah terpenuhi oleh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina

Mengenai yang pertama, kenapa dinamakan Pesantren “Luhur”? Karena Luhur dalam bahasa arab berati “tinggi” atau dalam bahasa arabnya pesantren luhur ini disebut al-Ma’had al-‘Ali (perguruan tinggi pesantren), sehingga yang dimaksud berarti pesantren yang menampung para tingkatan pendidikan tinggi (mahasantri/mahasiswa) sehingga pesantren ini tidak menerima para santri yang masih dalam tingkat MTS atau Aliyah, tetapi menerima santri yang sudah menempuh jadi mahasiswa. Mahasiswa yang dimaksud dalam pesantren ini adalah mahasiswa khusus dari perguruan tinggi ISIF, tidak dari perguruan tinggi lain, dengan demikian, pesantren ini tidak menerima santri di luar ISIF.

Adapun yang kedua kenapa dinamakan “Manhajiy”? karena yang menjadi fokus pesantren ini adalah metodologi Manhaj al-Islamiyah yaitu metodologi keislaman, sehingga para santri diharapkan akan menguasai semua cabang ilmu keislaman antara lain Ushul Fiqh, Qowa’id Fiqhiyyah, menguasai metodologi penelitian, metodologi studi Islam, analisis sosial, dan juga untuk piawai dalam melakukan Bahtsul Masâil yaitu berdiskusi dan merumuskan hukum-hukum dari Masâil- masâil al-Musykilah al-Mu’âsirah (masalah kompleks kontemporer) yang tidak ada. Selain itu, dengan penamaan “Manhajiy” ini para mahasantriwa juga fokus pada soal metodologi KUPI yang telah dirumuskan , lalu mahasantriwa diharapkan dapat mengembangkannya secara lebih kreatif untuk menjawab permasalahan kompleks kontemporer.

Selanjutnya, kenapa dinamakan “Fahmina”? dinamakan “Fahmina” karena pesantren ini didirikan oleh Fahmina yang mana Fahmina Ini juga didirikan oleh Abi Marzuki. Bukan hanya itu, karena ia juga tinggal satu lingkungan dengan Fahmina, Abi Marzuki dan Bunda Nurul menisbahkan dan menggunakan nama Fahmina sebagai Payung dari pesantren ini.  Oleh karena itu pesantren ini dinamakan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina.

Fokus Utama Pesantren

Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina memiliki fokus utama antara lain adalah sebagai wadah kaderisasi ulama perempuan Indonesia dan fokus pada penguasaan metodologi al- Manâhij al-Islamiyah diantaranya Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyah, metodologi riset, metodologi kajian, analisis sosial, dan beberapa metodologi lain yang seluruhnya harus dikuasai oleh mahasantriwa, sehingga ketika ada permasalahan sosial yang memerlukan perspektif agama, maka metodologi yang telah dipelajari mahasantriwa akan mampu menjawabnya secara kompeten dan baik sesuai dengan kerangka metodologi Islam yang standar dan memiliki perspektif keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan terhadap hak-hak perempuan.

Bukan hanya peningkatan intelektual saja yang dikembangkan, namun segala hal yang berkaitan kehidupan sehari-hari mahasantriwa baik dari segi perilaku dan karakter, ‘ubudiyah, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, solidaritas, semuanya dipantau langsung oleh Abi Marzuki dan Bunda Nurul Bahrul Ulum (istri dari Abi Marzuki) selaku pimpinan sekaligus pengasuh pesantren, semua hal tersebut dipantau dan dikembangkan karena mengingat pesantren tidak hanya ingin mencetak santri yang ‘âlim-‘âlimah saja, namun juga mencetak santri yang ‘âmil-‘âmilah dan qônit-qônitah atau yang bertujuan sebagai mencetak santri yang bukan hanya berilmu saja, tetapi menjadi santri yang senantiasa mengamalkan ilmunya dan taat atas segala perintah Allah Swt, sehingga ini menjadi pengamalan yang sangat serius bagi para mahasantriwa dari pengetahuan yang mereka miliki.

Kitab-kitab yang Dipelajari

Pada masa tahun-tahun awal berdirinya pesantren, di sini memfokuskan kepada kitab-kitab dasar seperti kitab Taqrib yang harus dikuasai lafdzhan wa ma’nan (memahami arti per kata  dan isi/makna) dan dapat dibaca melalui sorogan oleh para mahasantriwa, lalu ada kitab dasar Ushul Fiqh karangan Imam al-Haromain al-Juwaini, kemudian dari ilmu nahwu yaitu dengan menggunakan kitab Jurumiyah, ilmu shorof dengan menggunakan kitab Kaylani, kitab Sittin al-‘Adliyah yang memuat 60 hadits tentang hak-hak perempuan dalam Islam, kitab Fiqh al-‘Ibâdah.

Semua kitab-kitab dasar tersebut dipelajari sampai khatam sehingga bisa dilanjutkan ke kitab-kitab yang lebih tinggi seperti Qowaid Fiqhiyyah dengan melanjutkan memakai kitab al-Farâid al-Bahiyyah, Ushul Fiqh dengan kitab karangan Syekh Wahbah al-Zuhaili yang kontemporer dan lebih sistematis, sehingga semua kitab yang dipelajari khususnya Ushul Fiqh dapat dikembangkan melalui metode penelitian mahasantriwa seperti penelitian sosial, penelitian pustaka, metodologi kajian metodologi fatwa, antara lain fatwa KUPI, fatwa MUI, fatwa NU, fatwa Muhammadiyah. Kemudian kitab-kitab yang telah dipelajari dapat dikembangkan melalui Bahtsul Masâil terhadap masalah-masalah kontemporer.

Fasilitas Pesantren 

Sebagaimana pesantren umumnya, pesantren ini menyediakan fasilitas bagi para santrinya antara lain asrama, ruang kelas, toilet, dapur, musala, Balai Latihan Kerja (BLK), kantin, lapangan olahraga, aula pertemuan, panggung pentas budaya, tempat parkir, dan lapangan olahraga. Adapun beberapa diantaranya juga masih dalam perencanaan yaitu peningkatan musala menjadi dua tingkat, yang nantinya bisa difungsikan sebagai gedung serbaguna dan juga klinik kesehatan pesantren yang nantinya akan bekerja sama dengan puskesmas, sehingga para mahasantriwa akan terpantau kesehatannya oleh klinik pesantren dan puskesmas.

Harapan Dibangunnya Pesantren

Abi Marzuki berharap dengan dibangunnya Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina ini sebagai wadah untuk mencetak kader ulama perempuan Indonesia yang memiliki perspektif keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan kemaslahatan yang bermanfaat bagi laki-laki dan perempuan, sehingga bisa mewujudkan Islam yang adil, Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn, Islam yang memberdayakan dan memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas, khususnya perempuan dalam relasi gender.

Selain itu ia juga berharap kepada mahasantriwa supaya dapat melanjutkan jenjang sarjana S2 dan S3 nya di tempat masing-masing, karena harapan besar beliau untuk mencetak mahasantriwainya sebagai ulama, intelektual, pemikir, dan cendekiawan yang akan mewarnai dan menebarkan ilmunya seluas-luasnya di daerahnya masing-masing, yang tidak berarti bukan sebatas lulus lalu hanya punya mental jadi buruh dan pekerja.  Kemudian ia juga berharap besar dengan adanya pesantren ini menjadi penempaan yang sangat serius dan khusus yang terintegrasi antara pesantren dan perguruan tinggi.

Sekilas Tentang Program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia)

SUPI merupakan program yang didesain untuk mencetak ulama perempuan Indonesia. Ulama perempuan yang dimaksud tidak hanya yang berjenis kelamin perempuan, tetapi juga laki-laki, Karena yang dimaksud perempuan di sini bukanlah perempuan secara biologis, melainkan perempuan secara ideologis, yaitu siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan dan punya perspektif untuk membela dan menegakkan keadilan dan kesetaraan yaitu diantaranya membela hak-hak perempuan, maka itulah yang disebut ulama perempuan.

Adapun sejarah yang melatarbelakangi adanya program SUPI ini terinspirasi dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang diselenggarakan pada tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon. Dari Kongres tersebut terdapat satu poin penting rekomendasi dari KUPI, bahwa KUPI ingin menyelenggarakan kaderisasi ulama perempuan baik melalui pendidikan formal, non-formal, dan informal. Selain terinspirasi dari KUPI 1, program ini juga terinspirasi dari pengalaman Abi Marzuki selama 5 tahun menjadi mudir di Ma’had ‘Ali Kebon Jambu yang di sana memiliki konsentrasi pada Ahwal al-Syakhsiyah dalam perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Berdasarkan inspirasi tersebut, maka dibentuklah program SUPI yang terintegrasi dengan pendidikan formal ISIF dan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk melahirkan ulama perempuan yang membela dan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan baik bagi laki-laki dan perempuan.

Tujuan Program SUPI

Program SUPI didesain untuk mencetak sarjana ulama perempuan yang berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu keislaman yang membebaskan dari segala ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem dan struktur, khususnya dalam relasi gender, mewujudkan sarjana yang dapat mengembangkan kultur masyarakat yang adil dan demokratis yang berorientasi pada transformasi sosial dan tercapainya perdamaian universal (rahmatan lil ‘âlamîn), serta mampu mengorganisasi kelompok masyarakat agar berdaya dan berswadaya untuk mengisi ruang-ruang kebijakan publik yang berkeadilan dan mengayomi keragaman agama, etnis, bahasa, dan gender.

Dengan demikian, Program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) adalah sebuah inisiatif yang dikembangkan oleh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina dan ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) untuk kaderisasi ulama perempuan yang memiliki kapasitas dan perspektif untuk membela dan memperjuangkan keadilan dan kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan.

Program ini dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan formal ISIF dengan pendidikan non-formal di Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dengan tujuan menciptakan sarjana ulama yang dapat mengembangkan budaya masyarakat yang adil, demokratis, dan berorientasi pada transformasi sosial dan kelangsungan perdamaian semesta. []

AICIS 2023 Hasilkan Piagam Surabaya, Tolak Politik Identitas

ISIF Cirebon – Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.

AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang ini dibuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas dan ditutup oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi. Giat ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Forum ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Tema yang diangkat pada gelaran tahun ini adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.

Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional. Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).

Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lainnya.

“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki, di Surabaya, Kamis (4/5/2023).

“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjutnya membacakan rekomendasi berikutnya.

Rektor UIN Sunan Ampel Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan? Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?

Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu:

Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.

Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.

Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.

Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. (Rilis)

Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Judul Buku: Fiqih Perempuan
Penulis: Husein Muhammad
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit: 2019

Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Buku ini adalah refleksi kegelisahan KH. Husein Muhammad sebagai kiai pesantren atas isu-isu perempuan. Melalui pemikirannya, pria yang kerap disapa Buya Husein menuangkan gagasannya tentang problematika perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif Islam.

Hasilnya, buku ini menjadi sebuah diskursus yang brilian dan mendobrak sekat-sekat dogmatis tradisi keagamaan konservatif yang masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki.

Melalui penyusunan dan editing yang apik oleh Kiai Faqih Abdul Kodir pula, buku ini memberikan pemahaman alternatif mengenai posisi perempuan sebagai makhluk yang sama dan setara dengan laki-laki.

Dengan perspektif Islam tentunya, buku ini menggunakan referensi tafsir ayat al-Qur’an, tafsir hadits, pendapat para ulama terdahulu, kaidah-kaidah fiqih, dan tinjauan maqasyid asy-syari’ah dalam interpretasi terhadap posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Sehingga argumentasi dan pendapat yang diberikan mempunyai posisi dan landasan kuat dan bisa diperdebatkan dengan tafsir terdahulu.

Dengan bahasa yang ringan, buku ini layak menjadi pegangan dasar bagi yang ingin memahami secara utuh tentang perempuan dan kesetaraan gender dari perspektif Islam.

Usia Perkawinan Anak di Berbagai Negara

Atas apa yang menjadi kesan bacaan di atas, sebagai sampel hasil bacaan, saya ingin mengutarakan refleksi atas apa yang telah Buya Husein telurkan dalam buku ini, terkhusus pada bagian yang membahas perkawinan anak.

Dalam bukunya, Buya Husein mengutip pendapat Ibnu Syubrumah, bahwa secara tegas beliau menolak pernikahan anak. Ibnu Syubrumah juga menyebut bahwa kebolehan perkawinan anak hanya berlaku khusus untuk Nabi Muhammad Saw.

Sama halnya dengan pandangan Ibnu Syubrumah, pendapat Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Batti juga menegaskan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah menikah. Sedangkan merujuk kepada pernikahan Nabi dengan Aisyah, mereka berpendapat bahwa pernikahan Nabi Saw dan Aisyah adalah pengecualian dan kekhususan bagi Nabi Saw saja.

Oleh sebab itu, pandangan dari tiga ulama di atas menjadi dasar bagi negara Syiria. Di Syiria terkait peraturan pernikahan mereka menetapkan pelarangan pernikahan anak atas dasar beberapa pertimbangan, di antaranya terkait kemaslahatan, realitas sosial, dan pertimbangan tanggung jawab perkawinan. Syarat yang bisa menikah di Syiria adalah bagi mereka yang sudah baligh dan berusia 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan minimal berusia 17 tahun.

Selain di Syiria, di Mesir juga demikian. Di Mesir elah menetapkan aturan batas usia menikah. Usia bagi perempuan yang ingin menikah 16 tahun sedangkan bagi laki-laki boleh menikah saat usianya masuk 18 tahun. Di Bangladesh, perempuan yang bisa menikah adalah yang telah berusia 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan di Tunisia, seperti di Indonesia, menetapkan umur 19 tahun sebagai acuan batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang boleh menikah.

Larangan Perkawinan Anak

Dalam buku ini, Buya Husein menyebutkan terkait larangan perkawinan anak. Larangan ini, kata Buya Husein, karena beberapa fakta realitas di kehidupan masyarakat kerap kali perkawinan anak ini mendatangkan banyak dampak buruk.

Misalnya, banyaknya anak laki-laki maupun perempuan yang belum siap secara fisik, mental, maupun secara ekonomi. Terlebih, bagi anak perempuan mengalami hamil di usia anak-anak, ini tentu akan berpengaruh kepada fisik dan mental si anak. Tidak sedikit anak mengalami keguguran, kurangnya gizi bagi bayi (stunting).

Sementara itu, dalam ajaran Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk mengambil maslahat dan menghilangkan mafsadat. Jika perkawinan anak ternyata banyak menimbulkan tindakan kemafsadatan seperti, stunting, penelantaran ekonomi dan sebagainya. Maka menghilangkan kemafsadatan tersebut adalah yang utama.

Selain itu, jika meninjaunya dari maqashid asy-syari’ah juga demikian. Dengan kita melarang pernikahan anak ini, menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifdz an-nasl) yang sehat.

Dari beberapa pertimbangan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam usaha untuk mencapai keluarga yang harmonis. Maka kita butuh aturan terkait batas usia perkawinan. Hal ini guna untuk menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan demi tercapainya kemaslahatan bersama. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Oktober 2022 dengan judul: Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

7 Cara Menjaga Lingkungan Ala Rasulullah Saw

Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Menjaga lingkungan merupakan salah satu perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Perbuatan menjaga lingkungan itu dicatat sebagai pahala karena merupakan bagian dari sunah Nabi Saw.

Ada 7 cara menjaga lingkungan ala Rasulullah agar umat Islam mampu merawat dan menjaga lingkungan serta kelestarian alam.

Berikut tujuh cara menjaga lingkungan ala Rasulullah Saw, yang dikutip dari buku Fikih Energi Terbarukan karya Abdul Moqsith Ghazali dkk.

1. Larangan untuk Mengeksploitasi dan Memonopoli Sumber Energi

Rasulullah Saw menganjurkan kita tentang pentingnya menggunakan sumber daya alam secara efisien. Semisal dalam penggunaan air, meski air melimpah, Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk menghemat penggunaan air. Bisa jadi di suatu tempat air melimpah, sementara di tempat lain terjadi kekeringan manusia bertikai untuk berebut air bersih.

Perintah tentang menggunakan sumber daya alam secara efisien ini merujuk pada sebuah hadis dari Abdullah bin Umar bin Ash bahwasanya Rasulullah Saw berjalan melewati Saad yang sedang berwudhu dan menegurnya. “Kenapa kamu boros memakai air?”

Saad balik bertanya, “Apakah untuk wudhu pun tidak boleh boros?”.

Beliau menjawab, “Ya tidak boleh boros meskipun kamu berwudhu di sungai yang mengalir.” (HR. Ahmad).

Selain itu, Rasulullah Saw juga menganjurkan pemanfaatan sumber energi di muka bumi untuk kepentingan bersama dan dikelola secara komunal bukan untuk kepentingan pribadi dan untuk dimonopoli.

2. Senantiasa Menjaga Kebersihan Lingkungan

Rasulullah Saw menganjurkan pentingnya hidup bersih. Hidup bersih diposisikan sebagian dari iman, maka kesadaran menjaga kebersihan akan mempengaruhi kualitas keimanan seseorang.

Dalam sebuah hadis menyebutkan dari Saad bin musayyab berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah baik dan menyukai kebaikan, bersih menyukai kebersihan, mulia menyukai kemuliaan, murah hati (baik) menyukai kebaikan. Maka bersihkanlah lingkungan rumahmu Dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Turmuzi)

3. Melakukan Penghijauan

Upaya yang memiliki dampak nyata terhadap pengelolaan lingkungan ialah dengan melakukan penghijauan.

Penghijauan memiliki fungsi ekologis yang sangat vital karena dapat mengembalikan fungsi tanah sebagai resapan air. Pohon dapat menyimpan cadangan air yang cukup ketika krisis air melanda di kemudian hari.

Perilaku menanam pohon ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda:

Dari Anas bin Malik ra Rasulullah bersabda: “Apabila kiamat tiba terhadap salah seorang diantara kamu dan ditangannya ada benih tumbuhan maka tanamlah.”

4. Tidak Melakukan Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan baik dalam skala kecil dan besar memiliki dampak yang sama terhadap lingkungan, yaitu mengotori keasriannya.

Rasulullah meneladankan persoalan ini, semisal melarang sahabatnya untuk kencing di air yang tergenang karena khawatir ada yang mandi di dalam air itu.

Kemudian, buang air kecil dan besar di bawah pohon juga tidak boleh dilakukan, sebab hal ini dapat meninggalkan bau dan kesan yang tidak enak terhadap siapa saja yang berteduh di bawah pohon tersebut.

Rasulullah SAW besabda: “Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang diam yaitu Air yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.” (HR Bukhari)

5. Tidak Melakukan Penggundulan dan Penebangan Hutan secara Sembarangan

Hutan sebagai sumber asupan oksigen paling utama tentu memiliki peranan penting terhadap kehidupan manusia. Menebang pohon tanpa mengikuti prosedur yang benar tentu mengancam keseimbangan ekosistem.

Selain dari menipisnya kadar oksigen menebang pohon secara sembarangan juga menimbulkan hilangnya tempat hidup bagi sebagian hewan yang biasa hidup di sana.

6. Memanfaatkan Tanah yang Terlantar

Tanah dalam ajaran Islam harus dimanfaatkan untuk kepentingan yang bermanfaat dan produktif.

Soal ini dalam kajian fiqih dibahas dalam bab ihya al mawat atau menghidupkan tanah mati yaitu membuka lahan atau tanah mati yang belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan kemanfaatan seperti dijadikan sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam.

Jika tanah dikelola secara produktif, maka tentu akan berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, terutama pihak yang mengelolanya.

7. Menetapkan Suatu Tempat sebagai Kawasan Konservasi

Rasulullah Saw mengenalkan konsep hima, yaitu suatu zona tertentu untuk konservasi alam yang di dalamnya dilarang untuk mendirikan bangunan.

Hima ini merupakan kawasan hukum yang dilarang untuk diolah dan dimiliki seseorang secara pribadi sehingga ia tetap menjadi wilayah yang dipergunakan bagi siapa saja pun sebagai tempat tumbuhnya padang rumput dan tempat menggembalakan hewan.

Rasulullah meneladankan dan menekankan pentingnya konsep hima ini, seperti dalam sebuah riwayat:

“Dari Jabir berkata, nabi Muhammad SAW, bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim memaklumkan Mekah sebagai tempat suci dan sekarang memaklumkan Madinah yang terletak di antara dua lava yang mengalir (lembah) sebagai tempat suci. Pohon-pohonnya tidak boleh dipotong dan binatang-binatangnya tidak boleh diburu.” (HR Muslim)

Dari ketujuh perilaku di atas menekankan bahwasanya lingkungan tempat tinggal kita ini perlu untuk kita jaga jaga kelestariannya.

Kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan sangat bergantung pada kesehatan lingkungan.

Apabila lingkungan sudah rusak maka manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat bertahan hidup secara normal. Sedangkan berbuat kerusakan di muka bumi ialah perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Mei 2022 dengan judul: 7 Cara Menjaga Lingkungan Ala Rasulullah Saw

Mengapa Ada Ketidakadilan pada Diri Sendiri?

Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Kutipan dialog antara Jean Marais terhadap Minke di atas merupakan dialog legendaris dari dalam novel Bumi Manusia. Pram melalui Jean seolah ingin menyampaikan pesan untuk selalu berlaku adil.  Bahkan memulainya harus sedari dalam pikiran.

Adil secara singkat diartikan  menempatkan segala sesuatu dengan tepat atau pada tempatnya.  Lawan dari kata adil adalah dzalim yang artinya tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Berlaku adil merupakan bagian dari sikap akhlakul karimah yang tentunya disenangi oleh Allah SWT. Semakin orang berlaku adil maka ia semakin dekat pula dengan ketakwaan (Al-Maidah [3] : 8).

Keadilan diharapkan  dapat menjadi penjamin hak dan kewajiban setiap orang. Bahkan, keadilan menjadi pucuk harapan paling utama dalam Pancasila, dalam sila kelima. Ini menyiratkan bahwa keadilan adalah pionir tertinggi dari segala nilai yang sudah tertanam sebelumnya.

Berlaku adil tentu harus dilakukan kepada semua orang. Tapi,  untuk berbuat adil pada diri kita sendiri seringkali dilupakan. Padahal diri kita sendiri pun adalah ‘orang’. Dan tentunya berbuat baik pada diri sendiri adalah sebuah kebaikan.

Ada banyak jenis ketidakadilan terhadap diri sendiri. Bahkan mungkin ketidakadilan ini banyak yang secara tidak sadar semua orang melakukannya. Berikut sifat-sifat tak adil untuk diri sendiri.

  1. Kurangnya waktu istirahat

Aktivitas yang padat seringkali membuat badan bekerja lebih ekstra. Karena adanya tuntutan kerja, hak tubuh untuk beristirahat biasanya dikesampingkan. Jika dilakukan dalam rentang waktu yang  berulang tentunya hal ini tidak baik untuk kesehatan tubuh.

Menjaga kesehatan merupakan perilaku adil terhadap diri sendiri. Menempatkan porsi istirahat sesuai kebutuhan tubuh tentunya akan membawa rahmat bagi diri kita dan orang lain. Dengan menjaga pola istirahat otomatis menjaga pula kesehatan. Dengan menjaga kesehatan maka dapat menghindarkan diri dari perilaku menjerumuskan diri pada kebinasaan (Al-Baqarah [2]: 195).

  1. Kurang berolahraga

Tubuh diciptakan oleh Allah dengan sempurna. Persendian, tulang, jantung, saraf, dan lainnya saling berkoneksi dalam tubuh menciptakan satu kesatuan tubuh yang utuh beserta fungsinya.

Namun, seperti halnya mesin, tubuh pun perlu dirawat sebaik-baiknya agar fungsinya tak ada yang terganggu. Salah satu caranya adalah dengan berolahraga.

Berolahraga dapat menjaga dan meningkatkan stamina dan fungsi kekebalan tubuh yang 1×24 jam tanpa henti beroperasi.

Menjaga kesehatan dengan berolahraga merupakan perilaku yang baik serta adil terhadap diri sendiri.  Karena tubuh perlu untuk digerakkan agar fungsinya tetap terjaga.

  1. Kurang menjaga pola makan

Ketika makan, aspek rasa enak dan kesukaan akan cenderung diutamakan daripada aspek sehat atau tidaknya makanan yang dikonsumsi. Seperti makanan pedas, makanan berlemak, dan makanan instan, tidak baik jika dikonsumsi berlebihan.

Oleh karenanya perlu untuk diatur pola konsumsi makanan, jangan sampai merusak organ fungsi tubuh kita sendiri. Rokok, minuman keras, obat-obatan, dan narkoba banyak yang melarang untuk dikonsumsi karena memiliki dampak negatif terhadap tubuh.

Jika ditilik secara substantif, maka segala sesuatu hal yang membahayakan tubuh adalah tidak boleh dikonsumsi. Artinya jika makanan yang biasa disenangi untuk dikonsumsi jika membahayakan tubuh, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Itulah yang membuat makanan harus dikonsumsi secara wajar agar tidak membahayakan bagi tubuh.

  1. Kurangnya waktu untuk merawat diri sendiri

Segala ciptaan Tuhan di dunia ini wajib kita jaga dan lindungi, begitu pula dengan tubuh kita sendiri.  Tubuh manusia telah Allah telah ciptakan dalam bentuk yang sempurna diantara makhluk lainnya.

Menjaga segala ciptaan Allah merupakan kebaikan. Karena tubuh kita merupakan bagian dari ciptaan-Nya, maka wajib untuk dijaga dan dirawat. Karena jika menjaga alam dan seluruh isinya merupakan bagian sikap akhlakul karimah, maka menjaga diri sendiri merupakan bagian dari itu. Dan insyaallah bernilai ibadah.

  1. Terlalu banyak overthinking

Pikiran jika digunakan kepada hal yang baik untuk dipikirkan akan baik bagi kesehatan. Istilah overthinking menyaratkan pada perilaku sebaliknya, memikirkan sesuatu secara berlebihan. Padahal ini tidak baik untuk kesehatan, baik itu rohani atau jasmani. Karena akan menimbulkan rasa was-was dan ketidakpercayadirian. Jika ini sering terjadi maka akan menimbulkan stres bagi tubuh.

Maka sifat overthinking atau berpikir berlebihan ini hendaknya untuk ditinggalkan.  Rasa berpikir negatif itu baiknya diganti dengan rasa bersyukur kepada Allah dan meminta hal-hal baik kepada-Nya. Semoga saja apa yang diharapkan segera untuk terkabul dan apa yang menjadi prasangka buruk semoga dijauhkan oleh Allah Swt. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 18 Januari 2022 dengan judul: Mengapa Ada Ketidakadilan pada Diri Sendiri?

Implementasi Prinsip Tauhid dalam Rumah Tangga

Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Dalam Islam, visi  rahmatan lil ‘alamiin masuk secara inheren dalam ajaran fundamental tauhid. Secara Bahasa, tauhid berarti mengesakan Allah Swt. Kalimat “laa ilaha illallah” yang sering diucapkan setiap muslim laki-laki dan perempuan merupakan bentuk proklamasi tentang keesaan Allah sebagai dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak.

Memproklamasikan ketauhidan  berarti menyatakan dua hal; pertama, pengakuan keesaan Allah sebagai Khaliq (pencipta), kedua, pernyataan atas kesetaraan manusia baik itu laki-laki dan perempuan sebagai makhluk (yang diciptakan).

Seseorang yang memegang teguh prinsip tauhid, dalam keseharian kehidupannya tidak akan menghambakan dirinya kepada yang lain kecuali Allah Swt dan tidak akan menuhankan dirinya kepada yang lain. Artinya meskipun orang itu miskin, lemah, bodoh, dia tidak akan menghamba kepada yang kaya, kuat, dan pintar.

Sebaliknya ketika dia memilliki kapasitas entah itu secara ekonomi, pangkat, ilmu, dia tidak akan menuhankan dirinya kepada yang miskin secara ekonomi, lemah, dan miskin secara keilmuan. karena orang yang kaya dan yang miskin, yang pintar dengan yang bodoh, yang lemah dan yang kuat, statusnya dan derajatnya sama di depan Allah swt yakni sebagai makhluk.

Nilai prinsip tauhid harus kita praktikkan di berbagai kehidupan sehari-hari baik itu di ranah keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Karena prinsip ini  bersifat fundamental yang wajib dipahami dan diamalkan sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah Swt.

Semisal dalam ranah keluarga, seorang suami dengan kapasitasnya sebagai kepala keluarga tidak berhak untuk berbuat semena-mena terhadap isterinya, menganggap isteri sebagai pelayan yang harus menuruti semua kemauan suami, karena hal itu seolah-olah seorang suami seperti menuhankan dirinya dan menjadikan isteri sebagai hambanya, dan begitupun sebaliknya isteri tidak boleh menghamba kepada suami. Karena mau bagaimanapun baik suami atau isteri kedudukannya tetap setara yakni sebagai hamba atau sebagai makhluk.

Karena kedudukannya setara maka suami tidak boleh menjadikan isterinya sebagai pelayan yang harus menuruti semua kemauannya, melainkan harus menjadikan isteri sebagai partner agar terbentuk relasi kerjasama antara suami isteri demi tergapainya kesuksesan dunia dan akhirat.

Semisal dalam ruang domestik, biasanya semua pekerjaan yang kaitannya dengan domestik selalu dianggap sebagai pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh isteri dan tidak layak dikerjakan suami. Lalu untuk membangun kerjasama dalam rumah tangga, suami harus turut andil membantu pekerjaan domestik seperti; Isteri nyapu, suami ngepel. Isteri masak, suami cuci piring. Isteri nyuci pakaian, suami jemurin pakaian, dan lain sebagainya.

Begitupun sebaliknya, yaitu dalam ruang publik. Apabila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, atau suami jatuh sakit, atau usaha suami lagi tidak lancer, maka isteri harus terjun ke ruang publik demi mendapatkan penghasilan agar kebutuhan keluarga tetap terjaga dan terpenuhi.

Relasi kerjasama semacam ini ketika diimplementasikan oleh pasangan suami isteri dalam suatu rumah tangga, kerap akan mendapatkan konsekuensi berupa gunjingan atau cibiran dari masyarakat setempat, karena dianggap melawan budaya yang melekat pada masyarakat itu. Kalau suami membantu pekerjaan domestik, suami akan di judge sebagai suami yang takut isteri, dan isterinya pun sama akan mendapatkan judge sebagai isteri durhaka yang membiarkan suami mengerjakan pekerjaan domestik.

Lalu apabila isteri ikut andil bergelut di ruang publik, suami akan dianggap sebagai suami yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga dengan membiarkan isteri pergi kerja mencari nafkah.

Meskipun relasi kerjasama di dalam rumah tangga dianggap melawan budaya masyarakat, bahkan dianggap melawan kodrat, tetapi ketika hal itu di praktikkan oleh suatu pasangan suami isteri, maka akan menambah keharmonisan rumah tangga dan beban masing-masing pihak (suami isteri) akan terasa ringan karena yang dilakukan adalah kerjasama bukan sama-sama kerja.

Kalau yang dipraktikkannya sama-sama kerja, maka beban kedua belah pihak akan terasa melelahkan. Karena masing-masing merasa lelah, akan timbul perebutan pernyataan bahwa dirinyalah yang paling lelah. Setelah itu keributan akan terjadi dan keharmonisan rumah tangga akan menurun.

Maka dari itu relasi kerjasama antara pasangan suami isteri harus dipraktikkan. Meskipun hal ini bertentangan dengan buadaya masyarakat, tetapi relasi kerjasama antara suami isteri sejalan dengan prinsip tauhid. Prinsip tauhid ini wajib diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap muslim laki-laki dan perempuan.

Salah satu cara mengimplementasikannya ialah dengan cara membangun kerjasama dalam rumah tangga. Kerjasama itu bisa dibangun apabila kedua belah pihak menganggap dirinya setara. Pernyataan bahwa semua orang (laki-laki dan perempuan) kedudukannya setara merupakan salah satu prinsip tauhid.

Prinsip tauhid mengajarkan bahwa yang paling tinggi derajatnya itu adalah Allah  Swt sebagai Khaliq, dan yang lainya (manusia) baik itu laki-laki maupun perempuan kedudukannya setara, yakni sebagai makhluk yang harus taat kepada sang Khaliq. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 8 Januari 2022 dengan judul: Implementasi Prinsip Tauhid dalam Rumah Tangga