(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Aswaja, Kitab Kuning dan Tradisi Keilmuan

Prof. Dr. K.H. A. Chozin Nasuha (Alm.) — Rektor ISIF Periode 2008–2016

Aswaja, atau Ahlussunnah wal Jamaah, merupakan tradisi keagamaan yang telah menjadi rujukan bagi banyak umat Islam di Indonesia. Dalam konteks keilmuwan, Aswaja bukan hanya sebuah doktrin keagamaan, tetapi juga berpotensi untuk berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang dapat berkontribusi pada pemikiran Islam secara lebih luas. Pengembangan ini menjadi semakin jelas mengingat tantangan dan dinamika sosial yang dihadapi masyarakat saat ini memerlukan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai Aswaja.

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) telah mengemukakan gagasan bahwa Aswaja dapat bertransformasi menjadi ilmu yang lebih sistematis dan kritis. Pendekatan ini berlandaskan pada pemikiran kritis dan kesadaran akan kesenjangan antara pemahaman ideal tentang Aswaja dan praktiknya yang telah terjadi secara historis.

Dengan demikian, pengembangan Aswaja sebagai ilmu membutuhkan penelitian yang beragam dan mendalam, yang meliputi berbagai pendekatan, baik filosofis, historis, maupun interdisipliner. Upaya ini penting untuk menciptakan landasan teori yang kokoh dalam rangka menjadikan Aswaja sebagai bagian integral dari keilmuwan Islam.

Munculnya pemikiran Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) bahwa Aswaja dapat berkembang menjadi ilmu didorong oleh dua hal pokok, yaitu pemikiran kritis dan kesadaran adanya kesenjangan antara Aswaja yang ideal dengan Aswaja secara historis.

Meskipun dua model Aswaja itu tidak beriringan, tetapi bisa dijadikan sebagai dasar masuknya Aswaja menjadi model keilmuwan tertentu dalam Islam. Pekerjaan ini sangat panjang, karena masih banyak memerlukan penelitian dengan berbagai pendekatan filosofis, yuridis, teologis, logis, atau pendekatan historis, antropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis, dan lain sebagainya.

Dari segi lain, pendekatan satu dapat digabungkan dengan pendekatan lain untuk kepentingan ini, misalnya penggabungan antara pendekatan filosofis dan antropologis, atau pendekatan interdisipliner lainnya. Upaya penelitian di atas menurut penulis perlu dilakukan terus-menerus sehingga menemukan berbagai teori yang kuat untuk pengembangan
Aswaja sebagai ilmu.

Pemikiran kritis yang dimaksudkan di sini adalah kajian dinamis dan eksploratif atas Aswaja yang mengalami kristalisasi berwatak normatif dan mapan menjadi berstatus sebagai doktrin kehidupan. Konsep Aswaja dikaji dari aspek sumber rujukannya, yaitu materi dari Kitab Kuning, dan dari segi lain mengajukan penalaran atau optimalisasi daya berfikir.

Hal itu sangat mungkin dilakukan, karena isi Kitab Kuning itu berasal dari upaya penalaran terhadap Al-Qur’an dan al-Hadits yang terakumulasi dan terformalisasi secara sistematis. Dengan demikian, Kitab Kuning pada dasarnya adalah merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat al-(Juran dan al-Hadits, melalui proses pemikiran yang panjang atau secara teknis disebut ijtihad,

Dalam Kitab Kuning tadi, ada ajaran yang mengandung pemahaman yang harus diterima secara bulat (taken for granted) yang menjadi dogma (akidah) dan bersifat qath’iy (given), dan sebagian lagi berisi pemikiran yang beragam yang selanjutny menjadi ilmu yang bersifat zhanni. Bagian yang kedua inilah yang harus disentuh dengan pemikiran kritis, dan bagian inilah materi yang paling banyak diuraikan dalam kitab-kitab fiqh.

Kesenjangan antara Aswaja ideal dengan Aswaja realitas dilihat dari sisi historis-antropologis menunjukkan relevansi dan diferensiasi yang jelas. Sebagai teoritik (doktrin) Aswaja merupakan hal yang harus diamalkan, namun demikian secara empiris pelaksanaan doktrin Aswaja dapat dipraktikkan dalam berbagai cara yang tidak sama.

Diferensiasi praktik Aswaja telah dicontohkan oleh kisah para ulama dari kalangan Aswaja yang tampaknya tidak sama persis dengan doktrin Aswaja yang ada di dalam buku. Praktik mereka bahkan tampak seperti kontradiktif dengan doktrin Aswaja, misalnya sikap toleran terhadap pemikiran lain seperti Syi’ah, Mu’tazilah, “Ibadliyah, dan pemikiran fiqh dan tasawuf yang kontemporer.

Ketidakdisiplinan ulama tersebut dalam berpraktik doktrin Aswaja dipengaruhi mungkin oleh perkembangan pemikiran mereka yang menganggap Aswaja sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat. Konsep Aswaja yang ada dengan demikian dianggap tidak responsif terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam yang terus berkembang.

Konsep sebuah doktrin mengalami kondisi kritis seperti merupakan hal yang wajar karena konsep ini dikembangkan ketika Islam mengalami situasi kejumudan pemikiran dan keterbelakangan di hampir segala bidang kehidupan misalnya dalam aspek ilmu dan teknologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, perkembangan akademik dan komunikasi. Situasi kritis ini mendorong perubahan struktural ajaran Aswaja, yang kemudian dikenal dengan perkembangan ilmu (science).

Ilmu pada sebenarnya memiliki watak kontemplatif dan futuristik. Berdasarkan hal ini ilmu dapat membentuk pembangunan kembali (rekonstruksi) konsep Aswaja dan mengkontekstualisasi ajaran, pemikiran dan tradisi (klasik) sesuai dengan situasi dan persoalan masyarakat modern, sehingga lebih bersifat mengubah keaadaan atau transformatif. Tidak hanya merekonstruksi konsep Aswaja, namun ilmu juga dapat melampai gagasan klasik secara dekonstruktif melalui pengembangan pemikiran dan penafsiran baru terhadap teks-teks yang sudah ada dan memberikan alternatif cara pandang yang baru.

Pemikiran yang dirintis oleh ISIF di atas merupakan keinginan yang masih baru dan masih harus dikembangkan dan dioperasikan melalui kelembagaan yang terorganisir sehingga menjadi pola pikir dan gerakan umat Islam. Orientasi baru konsep Aswaja ini memerlukan tindak lanjut melalui kajian dan dialog lebih kuat dan memerlukan pengujian pemikiran secara ilmiah sampai layak untuk direalisasikan. Meskipun demikian, pemikiran transformatif ini perlu dikompromikan dengan model-model pemikiran keilmuwan Kitab Kuning, sehingga mendapatkan sambutan yang memadai dan mengurangi penolakan yang tidak perlu.

 

— Disarikan dari buku Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-sunnah wa al-jamaah (Nasuha, A. C. (2015). Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-sunnah wa al-jamaah. Pustaka Sempu.)

Suluk ISIF dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi

Sejak saya diberi amanah oleh Yayasan Fahmina sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) pada tahun 2021, saya mendeklarasikan ISIF sebagai Kampus Transformatif. Tepatnya, kampus transformatif untuk keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.

Tidak hanya itu, saya juga menetapkan visi ISIF untuk menjadi pendidikan tinggi keagamaan unggul dalam riset Islam, gender, dan transformasi sosial pada tahun 2036.

Tekad ini sebetulnya tidak terlalu berlebihan jika menimbang pengalaman Fahmina-institute yang telah bergelut sebelumnya dalam aktivitas intelektualisme, gerakan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah buku hasil kajian dan riset telah diterbitkan. Sejumlah komunitas sosial di berbagai daerah didampingi dan diberdayakan. Sejumlah kebijakan publik diadvokasi. Kerjasama program dilakukan dengan lembaga tingkat lokal, nasional, dan internasional.

Deklarasi Kampus Transformatif bagi saya mencerminkan ruh pemikiran dan gerakan Fahmina yang selama ditancapkan dalam pengalaman sosial. ISIF –yang didirikan Yayasan Fahmina– harus menjadi titik berangkat dan restorasi akademik dari cita peradaban Yayasan Fahmina. Yakni, peradaban umat manusia yang adil dan bermartabat berbasis tradisi kritis Pesantren. Sarjana ISIF yang dihasilkan harus menjadi bengkel peradabannya.

Tulisan berikut hendak mengelaborasi gagasan dan implementasi Kampus Transformatif yang telah saya canangkan. Tentu saja, tulisan ini baru sebatas pokok-pokok pikiran utama yang masih membutuhkan elaborasi yang lebih operasional dan aplikatif.

Makna Kampus Transformatif

Secara leksikal, menurut KBBI, transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi juga mengandung arti perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.

Dengan demikian, Kampus Transformatif bermakna kampus yang berorientasi pada perubahan, baik perubahan mindset, sikap, dan perilaku civitas akademika, maupun perubahan masyarakat yang menjadi muara dari kehidupan kampus.

Secara tegas, kampus transformatif yang dimaksud adalah kampus yang membawa visi dan misi perubahan sistemik struktural relasional dalam kehidupan masyarakat untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian bagi semesta.

Mandat Sejarah

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang didirikan oleh Fahmina pada 1 September 2007 atas permintaan masyarakat yang disampaikan pada resepsi ulang tahun Fahmina-institute ketujuh pada tahun 2007 di Cirebon.

Fahmina adalah NGO (organisasi non-pemerintah) yang didirikan pada November 2000 di Cirebon yang bertujuan mewujudkan peradaban manusia yang bermartabat dan berkeadilan berbasis kesadaran kritis tradisi pesantren.

ISIF didirikan untuk menopang cita sosial perjuangan Fahmina, dengan cara: pertama, menghasilkan sarjana Islam yang berintegritas, humanis, adil, dan transformatif, yang disingkat Sarjana Islam BERHATI. Yakni, sarjana Islam yang berperspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebinekaan, dan kearifan lokal dalam pengetahuan holistik keislaman yang transformatif.

Paradigma Koneksi Sinergis

Sebagai implementasi dari pilihan kampus transformatif, ISIF tidak memisahkan antara pendididikan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri dharma ini adalah mata rantai yang saling terhubung dan berkait. Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk riset dan pengabdian kepada masyarakat. Riset dilaksanakan untuk kebutuhan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari riset dan pendidikan, dan untuk menginspirasi pengembangan pendidikan dan riset.

Transformasi dalam Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat

Dengan demikian, menjalin hubungan yang intensif mutualistik dengan masyarakat dan/atau suatu komunitas sosial sebagai kawasan studi bersama (co-learning area) adalah keniscayaan bagi ISIF.

ISIF harus belajar dari masyarakat dan masyarakat pun belajar dari ISIF. ISIF dan masyarakat saling belajar untuk membangun ilmu pengetahuan masyarakat (people knowledge building).

Semua keilmuan ISIF, arah riset dan pembelajarannya harus dikaitkan dengan realitas lokal (lokalogi, ilmu lokal) di mana masyarakat berada.

Dosen dan mahasiswa hidup bersama, belajar bersama, meneliti bersama, menganalisis bersama, dan mengubah bersama (partisipatoris) praktik keseharian masyarakat, baik melalui riset maupun pengabdian kepada masyarakat.

Riset dan pengabdian kepada masyarakat ISIF berada dalam kehidupan masyarakat. Civitas akademika harus hidup bersama masyarakat untuk berproses mengenali, memahami, mengerti, menganalisis, hingga mengubah kehidupannya secara bersama-sama.

Dosen dan mahasiswa belajar bersama masyarakat. Untuk kebutuhan ini, ISIF harus memiliki sujumlah desa sebagai kawasan studi dan perubahan sosial.

Tranformasi dalam Pendidikan

Implementasi transformasi dalam pendidikan adalah mendialogkan teks-teks keagamaan dan realitas sosial secara simultan. Ada tiga jenis riset yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan dosen ISIF dalam setiap pembelajaran.

Pertama, riset ensiklopedis. Dosen mengidentifikasi sejumlah keywords sebagai titik masuk ke mendalami substansi pembelajaran yang digeluti, lalu mahasiswa meriset semua keywords tersebut dengan studi ensikopedis. Yakni, mencari, menemukan, dan mempelajari akar istilah: apa, mengapa, bagaimana, kapan, di mana, siapa, sejarahnya, pendapat para ahli, perbedaannya dengan kata sejenis, melalui buku-buku ensiklopedis yang tersedia. Setelah itu, mahasiswa diminta untuk mempresentasikan hasil riset ensiklopedis ini di kelas.

Kedua, riset bibliografis. Mahasiswa diminta meriset buku-buku yang relevan dengan bahan pembelajaran, terutama buku induk (babon). Minimal 3 buku induk harus diriset dan dibaca hingga tuntas, dipahami, dan dianalisis. Lalu, hasil riset ini dipresentasikan di kelas di hadapan teman sejawat.

Ketiga, riset sosial. Hasil riset ensiklopedis dan bibliografis didialogkan dengan realitas sosial terkait dengan isu yang didalami. Mahasiswa diminta melakukan riset sosial lapangan terkait temuan-temuan dari riset ensiklopedis dan bibliografis. Riset lapangan ini sebisa mungkin menggunakan pendekatan partisipatoris.

Kapasitas Dosen dan Mahasiswa yang Dibutuhkan

Dengan demikian, di antara kapasitas dosen dan mahasiswa ISIF yang harus dimiliki adalah menguasai metodologi participatory action research (PAR), analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, sosiologi pedesaan, antropologi sosial, dan advokasi, serta terjun langsung ke masyarakat desa yang menjadi kawasan studi. ISIF memastikan dosen dan mahasiswa memiliki kapabilitas ini.

Dengan cara ini, dalam waktu minimal lima tahun secara konsisten dan simultan, ISIF akan tampak mewujud menjadi kampus transformatif sebagaimana dicita-citakan.**

ISIF Cirebon dan Upaya Mewujudkan Peradaban Berkeadilan

Oleh: Siti Robiah (Presiden BEM ISIF)

ISIF CIREBON – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) merupakan salah satu kampus Islam di kota Cirebon. Terletak tidak jauh dari pusat kota, ISIF yang berlokasi di Jl. Swasembada No. 15 Majasem-Karyamuya Cirebon ini, kini sudah memiliki tiga Fakultas yaitu Tarbiyah, Syari’ah dan Ushuluddin. Dengan Program Studi Pendidkan Agama Islam, Ekonomi Syariah, Hukum Keluarga Islam serta Ilmu Alquran dan Tafsir.

ISIF didirikan tepat pada 1 September 2007. Sejarah berdirinya ISIF dilatarbelakangi atas permintaan masyarakat yang disampaikan pada resepsi ulang tahun Fahmina yang ke 7 pada tahun 2007 di Cirebon. Fahmina sendiri merupakan NGO (organisasi non pemerintah) yang berfokus pada gerakan sosial kemanusiaan. Fahmina berdiri pada November tahun 2000 dan memiliki tujuan ingin mewujudkan peradaban manusia yang bermartabat dan berkeadilan berbasis kesadaran kritis tradisi pesantren.

ISIF hadir bukan hanya sebagai lembaga yang fokus dalam memberikan pemahaman tentang agama Islam saja, namlebih dari itu, ISIF ingin menjadi lembaga yang bisa mewakili dan berkontribusi dalam perubahan sosial masyarakat secara keseluruhan.

Visi dari ISIF ialah ingin menjadi pendidikan tinggi Islam terdepan berbasis riset dan transformasi sosial, dan menjadi referensi akademik terkait Islam Indonesia yang toleran, adil, setara, dan menghargai tradisi lokal di Indonesia pada tahun 2036.

ISIF didirikan sebagai salah satu upaya mendukung cita-cita sosial perjuangan Fahmina, yaitu dilakukan dengan cara: pertama, menghasilkan sarjana Islam yang berintegritas, humanis, adil, dan transformatif, yang disingkat Sarjana Islam BERHATI. Yakni, sarjana Islam yang berperspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebinekaan, dan kearifan lokal dalam pengetahuan holistik keislaman yang transformatif. Kedua, menghasilkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan keislaman yang menjawab tantangan zaman dan bermanfaat bagi kemajuan dan kemaslahatan kehidupan masyarakat yang bermartabat dan berkeadilan.

Sebagai salah satu mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan di ISIF saya saya menyadari ada beberapa hal yang membedakan antara ISIF dengan perguruan tinggi lain terutama dalam melihat titik fokus utamanya. Sebagai contoh ISIF secara konsisten selalu mengangkat isu-isu sosial masyarakat terutama dalam melihat relasi keadilan gender.

Dr.(HC) KH. Husein Muhammad, salah satu pendiri yayasan Fahmina berbagi pandangannya bahwa ISIF ingin mewujudkan cita-citanya sebagai perguruan tinggi Islam terdepan dalam riset Islam, gender, dan transformasi sosial, dan menjadi referensi akademik terkait Islam Indonesia yang toleran, adil, serta menghargai kebhinekaan dan tradisi lokal, sebagaimana dikutip dari laman fahmina.or.id.

Dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut ISIF menerapkan beberapa kebijakan dalam sistem pendidikannya. Misalnya penanaman perspektif , ISIF menekankan bagi setiap civitas akademika agar semua proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memiliki perspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, keragaman, dan kearifan lokal. Bahkan ketajaman perspektif ini dijadikan syarat wajib kelulusan yang diujikan bagi setiap mahasiswanya .

Hal menarik lain adalah paradigma keilmuan ISIF yaitu berlandaskan teori “Islam Transformatif”, yakni Islam yang membebaskan dan mengubah kehidupan sosial menuju keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Tentu saja dengan tetap mempertahankan tradisi pesantren berdasarkan Al-Qur’an Hadits dan kitab klasik yang disesuaikan dengan zaman.

Tujuan Berdirinya ISIF

Rektor ISIF saat ini, KH. Marzuki Wahid, menjelaskan ada dua tujuan ISIF didirikan. Pertama, menghasilkan sarjana Islam yang berintegritas, berperspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebhinekaan, dan kearifan lokal dalam pengetahuan holistik keislaman yang transformatif.

Kedua, ingin menghasilkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan keIslaman yang menjawab tantangan zaman dan bermanfaat bagi kemajuan dan kemaslahatan kehidupan masyarakat yang bermartabat dan berkeadilan.

Oleh karena itu dalam proses pendidikannya, ISIF menganut paradigma pendidikan kritis yang membebaskan. Pendidikan pembebasan merupakan kesadaran atas ketidakadilan dan ketertindasan yang menggerakkan transformasi.

Untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut ISIF mencoba berbagai metode sebagai upaya merealisasikan cita-cita menjadi Perguruan Tinggi Islam terdepan dalam riset Islam, gender, dan transformasi sosial. Kita bisa melihat dari program-program pendidikan yang ISIF terapkan yang cukup membedakan ISIF dengan perguruan tinggi Islam yang lain.

Bukan KKN, Namun PIT

Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang biasa kita kenal dan lumrah di perguruan tinggi lain, memiliki istilah berbeda dengan yang ISIF terapkan, yakni PIT (Praktik Islamologi Terapan); pembelajaran di lapangan selama 2 bulan dengan cara belajar langsung ke masyarakat dan mencoba mempraktekkan dan menerapkan ilmu-ilmu keislaman yang selama ini telah dipelajari.

PIT di ISIF memiliki metododologi khusus yaitu dengan menggunakan metode Participatory Action Research (PAR). Metode ini sudah dikenalkan sejak kami di semester 2. Participatory Action Research (PAR) adalah sebuah penelitian dimana peneliti melibatkan diri dalam perubahan sosial di masyarakat. Tujuannya ingin mendorong penemuan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi perubahan dan bisa membumikan hasil riset yang benilai kemanusiaan dan berkeadilan.

Oleh karena itu, sebagai peneliti kita dituntut punya tanggung jawab untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi, selain itu kita hendaknya memiliki kemampuan tentang analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, sosiologi pedesaan, antropologi sosial, dan advokasi tajam menganalisa dengan tetap menggunakan perpektif tadi.

Keuntungannya dari PAR ini kita menjadi lebih jeli dalam melihat kondisi sosial masyarakat. Tidak berhenti melihat saja tapi kita akan terpancing untuk mengulik dan bertanya lebih dalam lagi. Pemahaman perspektif yang mendalam membantu kita untuk mudah melihat perubahan sosial masyarakat dari sisi kemanusiaan dan keadilan bagi setiap lapisan.

Hal ini saya alami sendiri saat melalukan penelitian dengan metode PAR. Dari penelitian ini saya mendapat kesan dan pelajaran berharga, walaupun saat itu saya baru menginjak semester 2. Suatu hal yang awalnya sangat saya khawatirkan karena menurut saya semester 2 terlalu dini untuk terjun ke masyarakat.

Namun berkat PAR yang kami jalani selama kurang lebih 10 hari. Saya merasa terbantu dalam melihat dan mengamati kondisi masyarakat, bekal perspektif bisa membuat kita lebih peka karena ada banyak hal yang sering kita abaikan padahal ini adalah sebuah permasalahan dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Karena bagaimanapun sebagai mahasiswa kita punya tanggungjawab untuk menjadi bagian dari agen perubahan terutama dalam melihat fenomena lingkungan sekitar kita. PAR bisa menjadi bahan gambaran awal untuk mengenal masyarakat yang bisa membantu untuk PIT di semester nanti.

Rektor kami KH Marzuki Wahid dalam tulisannya di web resmi ISIF mengatakan bahwa kapasitas dosen dan mahasiswa ISIF yang harus dimiliki adalah menguasai metodologi participatory action research (PAR), analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, sosiologi pedesaan, antropologi sosial, dan advokasi, serta terjun langsung ke masyarakat desa yang menjadi kawasan studi.

Sejalan dengan pernyataan di atas melalui PAR kita diajak untuk mulai peka dalam mengenal dan membaca apa saja fenomena sosial di masyarakat. Dengan demikian, PAR bisa menjadi hal yang penting untuk membantu proses penelitian kita.

Saya menjadi mengerti ISIF menumbuhkan semangat bukan hanya berfokus pada dunia pendidikan saja. Tapi ISIF sangat menekankan pada proses pelibatan setiap mahasiswa nya untuk mulai peka terhadap fenomena masyarakat sekitar. Harapannya ketika sudah lulus kita tidak segan dan enggan untuk hadir dan berbaur dengan masyarakat sebagai upaya untuk mendorong perubahan peradaban menuju lebih baik dengan berlandaskan prinsip keislaman.

Program SUPI

Sebagai kampus berbasis Islam tentunya ini menjadi bagian dakwah yang perlu kita lestarikan. Islam harus dikenalkan sesuai fitrahnya yaitu sebagai rahmatan lil alamin. ISIF sangat mendorong tradisi pesantren sebagai bentuk upaya perubahan sosial. Maka, adanya program SUPI atau Sarjana Ulama Perempuan Indonesia adalah angin segar untuk menjadi alternatif pilihan bagi individu yang memiliki semangat belajar pengetahuan umum dan keagamaan serta bercita-cita ingin memperjuangkan keadilan.

SUPI merupakan program beasiswa full untuk mahasiswa yang ingin dan semangat menuntut ilmu di perguruan tinggi. SUPI hadir dengan mempertahankan tradisi pesantren yang mengkaji kitab kuning tapi dengan memakai perspektif yang lebih tajam dan tidak bias gender. Setiap mahasiswa yang ikut dalam program ini haruslah bersedia untuk tinggal dan menetap di asrama yang sudah disiapkan. Tujuannya agar lebih efektif dalam mencapai tujuan namun tetap seimbang mengkaji ilmu pengetahuan umum dan keagamaan.

SUPI mengintegrasikan pendidikan formal ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) dengan Pesantren Fahmina. Oleh karena itu, dalam pengajarannya akan saling terikat seperti yang disampaikan pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina sekaligus rektor ISIF Marzuki Wahid bahwa” Di sini kuliahnya adalah pesantren dan pesantrennya adalah kuliah”, sehingga dengan demikianISIF dengan pesantren Luhur Manhajiy Fahmina itu terintegrasi, menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan”

Fahmina, ISIF dan SUPI menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dalam upaya mewujudkan cita-cita membangun peradaban yang lebih baik memang tidak mudah dalam prakteknya mewujudkan cita-cita tersebut. Akan tetapi hendaknya kita semua sebagai bagian dari ISIF haruslah tetap semangat dan terus berinovasi mewujudkan cita-cita yang diharapkan.

Tulisan ini bukan semata-mata karena ingin mengunggulkan profil kampus saya. Akan tetapi harapannya semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi dan mendorong semangat baru untuk terus berupa mengupayakan kerja-kerja kebaikan dan memberi kemanfaatan.

Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina dan Pembibitan Sarjana Ulama Perempuan

Oleh: Achmad Nanang Firdaus (Mahasiswa Program SUPI ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan zaman. Pesantren menjadi kawah candradimuka bagi para calon pemuka agama, namun pesantren juga tidak jarang menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme.

Dengan kata lain, pesantren mampu eksis selama berabad-abad sekaligus beradaptasi dengan perkembangan zaman namun mampu mempertahankan identitasnya sebagai penjaga keilmuwan Islam di Nusantara. Hal ini terbukti dengan berkembangnya model pembelajaran yang ada di pesantren hingga terbagi menjadi pesantren modern dan tradisional. Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina salah satu pesantren yang didirikan sebagai respons atas tantangan zaman.

Latar Belakang Berdirinya Pesantren

Berdasarkan sejarahnya, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina berdiri setelah KH. Marzuki Wahid atau yang biasa disapa santri-santrinya dengan nama “Abi Marzuki” diamanatkan menjadi rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Ia dipercaya menggantikan rektor sebelumnya yaitu Ummi Afwah Mumtazah yang mengundurkan diri pada tahun 2016. Sehingga, setelah mendapatkan amanat tersebut, tersirat dalam hatinya untuk mengembalikan ISIF pada khittahnya yaitu sebagai kampus transformatif yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, kemanusiaan, keragaman, dan demokrasi.

Selain ingin mengembalikan ISIF pada khittahnya, ia juga berpikir bagaimana ISIF bisa menjadi bagian dari pendidikan formal yang melakukan kaderisasi ulama perempuan yang dibentuk dalam program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) yang nantinya akan melahirkan ulama baik dari laki-laki maupun perempuan yang berkapasitas dan berperspektif untuk membela dan berpihak pada perempuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, maka dengan program ini, ia berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren yang berkontribusi terhadap kaderisasi ulama perempuan Indonesia yang terintegrasi dengan pendidikan formal di ISIF yaitu yang biasa disebut dengan program SUPI.

Karena pesantren ini terintegrasi dengan pendidikan formal ISIF, ia mengatakan ” Di sini kuliahnya adalah pesantren dan pesantrennya adalah kuliah”, sehingga dengan demikian, ISIF dengan pesantren Luhur Manhajiy Fahmina itu terintegrasi, menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, kuliahnya bisa sambil pesantren seperti bisa dengan menggunakan kitab kuning, sarungan, dan lain-lain, adapun pesantrennya juga bisa kuliah, karena apa yang dipelajari di pesantren termasuk dari perkuliahan yang ada di ISIF”. Beliau juga menambahkan “Karena kampus dan pesantren ini terintegrasi, dari pagi sampai malam, maka menjadikan SKS (Satuan Kredit Semester) di sini lumayan banyak.”

Para santri di pesantren ini memiliki panggilan khas yaitu “Mahasantriwa” (gabungan dari kata mahasantri & mahasiswa), disebut mahasantriwa karena santri di sini adalah santri dari pesantren Luhur Manhajiy Fahmina yang tinggal di pesantren sekaligus menjadi mahasiswa yang mengikuti pendidikan formal di ISIF, di mana pesantren ini wajib ditempuh selama 4 tahun mengikuti durasi pendidikan formal di ISIF jenjang sarjana S-1 (8 semester/4 tahun). Kemudian pesantren ini hanya menerima maksimal 20 santri tiap tahunnya, baik laki-laki maupun perempuan, dan akan dikembangkan intelektualitas dan kepribadiannya secara khusus oleh pesantren dan kampus. Dengan latar belakang tersebut, pesantren Luhur Manhajiy Fahmina mulai beroperasi secara resmi pada tahun 2022.

Mengapa Dinamakan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina?

Sebagaimana pada umumnya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki 5 rukun (Arkanul Ma’had) yaitu adanya Kyai atau Nyai, kitab kuning, asrama, masjid/musala, kemudian santri atau mahasantri. Semua itu telah terpenuhi oleh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina

Mengenai yang pertama, kenapa dinamakan Pesantren “Luhur”? Karena Luhur dalam bahasa arab berati “tinggi” atau dalam bahasa arabnya pesantren luhur ini disebut al-Ma’had al-‘Ali (perguruan tinggi pesantren), sehingga yang dimaksud berarti pesantren yang menampung para tingkatan pendidikan tinggi (mahasantri/mahasiswa) sehingga pesantren ini tidak menerima para santri yang masih dalam tingkat MTS atau Aliyah, tetapi menerima santri yang sudah menempuh jadi mahasiswa. Mahasiswa yang dimaksud dalam pesantren ini adalah mahasiswa khusus dari perguruan tinggi ISIF, tidak dari perguruan tinggi lain, dengan demikian, pesantren ini tidak menerima santri di luar ISIF.

Adapun yang kedua kenapa dinamakan “Manhajiy”? karena yang menjadi fokus pesantren ini adalah metodologi Manhaj al-Islamiyah yaitu metodologi keislaman, sehingga para santri diharapkan akan menguasai semua cabang ilmu keislaman antara lain Ushul Fiqh, Qowa’id Fiqhiyyah, menguasai metodologi penelitian, metodologi studi Islam, analisis sosial, dan juga untuk piawai dalam melakukan Bahtsul Masâil yaitu berdiskusi dan merumuskan hukum-hukum dari Masâil- masâil al-Musykilah al-Mu’âsirah (masalah kompleks kontemporer) yang tidak ada. Selain itu, dengan penamaan “Manhajiy” ini para mahasantriwa juga fokus pada soal metodologi KUPI yang telah dirumuskan , lalu mahasantriwa diharapkan dapat mengembangkannya secara lebih kreatif untuk menjawab permasalahan kompleks kontemporer.

Selanjutnya, kenapa dinamakan “Fahmina”? dinamakan “Fahmina” karena pesantren ini didirikan oleh Fahmina yang mana Fahmina Ini juga didirikan oleh Abi Marzuki. Bukan hanya itu, karena ia juga tinggal satu lingkungan dengan Fahmina, Abi Marzuki dan Bunda Nurul menisbahkan dan menggunakan nama Fahmina sebagai Payung dari pesantren ini.  Oleh karena itu pesantren ini dinamakan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina.

Fokus Utama Pesantren

Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina memiliki fokus utama antara lain adalah sebagai wadah kaderisasi ulama perempuan Indonesia dan fokus pada penguasaan metodologi al- Manâhij al-Islamiyah diantaranya Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyah, metodologi riset, metodologi kajian, analisis sosial, dan beberapa metodologi lain yang seluruhnya harus dikuasai oleh mahasantriwa, sehingga ketika ada permasalahan sosial yang memerlukan perspektif agama, maka metodologi yang telah dipelajari mahasantriwa akan mampu menjawabnya secara kompeten dan baik sesuai dengan kerangka metodologi Islam yang standar dan memiliki perspektif keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan terhadap hak-hak perempuan.

Bukan hanya peningkatan intelektual saja yang dikembangkan, namun segala hal yang berkaitan kehidupan sehari-hari mahasantriwa baik dari segi perilaku dan karakter, ‘ubudiyah, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, solidaritas, semuanya dipantau langsung oleh Abi Marzuki dan Bunda Nurul Bahrul Ulum (istri dari Abi Marzuki) selaku pimpinan sekaligus pengasuh pesantren, semua hal tersebut dipantau dan dikembangkan karena mengingat pesantren tidak hanya ingin mencetak santri yang ‘âlim-‘âlimah saja, namun juga mencetak santri yang ‘âmil-‘âmilah dan qônit-qônitah atau yang bertujuan sebagai mencetak santri yang bukan hanya berilmu saja, tetapi menjadi santri yang senantiasa mengamalkan ilmunya dan taat atas segala perintah Allah Swt, sehingga ini menjadi pengamalan yang sangat serius bagi para mahasantriwa dari pengetahuan yang mereka miliki.

Kitab-kitab yang Dipelajari

Pada masa tahun-tahun awal berdirinya pesantren, di sini memfokuskan kepada kitab-kitab dasar seperti kitab Taqrib yang harus dikuasai lafdzhan wa ma’nan (memahami arti per kata  dan isi/makna) dan dapat dibaca melalui sorogan oleh para mahasantriwa, lalu ada kitab dasar Ushul Fiqh karangan Imam al-Haromain al-Juwaini, kemudian dari ilmu nahwu yaitu dengan menggunakan kitab Jurumiyah, ilmu shorof dengan menggunakan kitab Kaylani, kitab Sittin al-‘Adliyah yang memuat 60 hadits tentang hak-hak perempuan dalam Islam, kitab Fiqh al-‘Ibâdah.

Semua kitab-kitab dasar tersebut dipelajari sampai khatam sehingga bisa dilanjutkan ke kitab-kitab yang lebih tinggi seperti Qowaid Fiqhiyyah dengan melanjutkan memakai kitab al-Farâid al-Bahiyyah, Ushul Fiqh dengan kitab karangan Syekh Wahbah al-Zuhaili yang kontemporer dan lebih sistematis, sehingga semua kitab yang dipelajari khususnya Ushul Fiqh dapat dikembangkan melalui metode penelitian mahasantriwa seperti penelitian sosial, penelitian pustaka, metodologi kajian metodologi fatwa, antara lain fatwa KUPI, fatwa MUI, fatwa NU, fatwa Muhammadiyah. Kemudian kitab-kitab yang telah dipelajari dapat dikembangkan melalui Bahtsul Masâil terhadap masalah-masalah kontemporer.

Fasilitas Pesantren 

Sebagaimana pesantren umumnya, pesantren ini menyediakan fasilitas bagi para santrinya antara lain asrama, ruang kelas, toilet, dapur, musala, Balai Latihan Kerja (BLK), kantin, lapangan olahraga, aula pertemuan, panggung pentas budaya, tempat parkir, dan lapangan olahraga. Adapun beberapa diantaranya juga masih dalam perencanaan yaitu peningkatan musala menjadi dua tingkat, yang nantinya bisa difungsikan sebagai gedung serbaguna dan juga klinik kesehatan pesantren yang nantinya akan bekerja sama dengan puskesmas, sehingga para mahasantriwa akan terpantau kesehatannya oleh klinik pesantren dan puskesmas.

Harapan Dibangunnya Pesantren

Abi Marzuki berharap dengan dibangunnya Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina ini sebagai wadah untuk mencetak kader ulama perempuan Indonesia yang memiliki perspektif keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan kemaslahatan yang bermanfaat bagi laki-laki dan perempuan, sehingga bisa mewujudkan Islam yang adil, Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn, Islam yang memberdayakan dan memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas, khususnya perempuan dalam relasi gender.

Selain itu ia juga berharap kepada mahasantriwa supaya dapat melanjutkan jenjang sarjana S2 dan S3 nya di tempat masing-masing, karena harapan besar beliau untuk mencetak mahasantriwainya sebagai ulama, intelektual, pemikir, dan cendekiawan yang akan mewarnai dan menebarkan ilmunya seluas-luasnya di daerahnya masing-masing, yang tidak berarti bukan sebatas lulus lalu hanya punya mental jadi buruh dan pekerja.  Kemudian ia juga berharap besar dengan adanya pesantren ini menjadi penempaan yang sangat serius dan khusus yang terintegrasi antara pesantren dan perguruan tinggi.

Sekilas Tentang Program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia)

SUPI merupakan program yang didesain untuk mencetak ulama perempuan Indonesia. Ulama perempuan yang dimaksud tidak hanya yang berjenis kelamin perempuan, tetapi juga laki-laki, Karena yang dimaksud perempuan di sini bukanlah perempuan secara biologis, melainkan perempuan secara ideologis, yaitu siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan dan punya perspektif untuk membela dan menegakkan keadilan dan kesetaraan yaitu diantaranya membela hak-hak perempuan, maka itulah yang disebut ulama perempuan.

Adapun sejarah yang melatarbelakangi adanya program SUPI ini terinspirasi dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang diselenggarakan pada tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon. Dari Kongres tersebut terdapat satu poin penting rekomendasi dari KUPI, bahwa KUPI ingin menyelenggarakan kaderisasi ulama perempuan baik melalui pendidikan formal, non-formal, dan informal. Selain terinspirasi dari KUPI 1, program ini juga terinspirasi dari pengalaman Abi Marzuki selama 5 tahun menjadi mudir di Ma’had ‘Ali Kebon Jambu yang di sana memiliki konsentrasi pada Ahwal al-Syakhsiyah dalam perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Berdasarkan inspirasi tersebut, maka dibentuklah program SUPI yang terintegrasi dengan pendidikan formal ISIF dan Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk melahirkan ulama perempuan yang membela dan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan baik bagi laki-laki dan perempuan.

Tujuan Program SUPI

Program SUPI didesain untuk mencetak sarjana ulama perempuan yang berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu keislaman yang membebaskan dari segala ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem dan struktur, khususnya dalam relasi gender, mewujudkan sarjana yang dapat mengembangkan kultur masyarakat yang adil dan demokratis yang berorientasi pada transformasi sosial dan tercapainya perdamaian universal (rahmatan lil ‘âlamîn), serta mampu mengorganisasi kelompok masyarakat agar berdaya dan berswadaya untuk mengisi ruang-ruang kebijakan publik yang berkeadilan dan mengayomi keragaman agama, etnis, bahasa, dan gender.

Dengan demikian, Program SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) adalah sebuah inisiatif yang dikembangkan oleh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina dan ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) untuk kaderisasi ulama perempuan yang memiliki kapasitas dan perspektif untuk membela dan memperjuangkan keadilan dan kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan.

Program ini dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan formal ISIF dengan pendidikan non-formal di Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dengan tujuan menciptakan sarjana ulama yang dapat mengembangkan budaya masyarakat yang adil, demokratis, dan berorientasi pada transformasi sosial dan kelangsungan perdamaian semesta. []

AICIS 2023 Hasilkan Piagam Surabaya, Tolak Politik Identitas

ISIF Cirebon – Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.

AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang ini dibuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas dan ditutup oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi. Giat ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Forum ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Tema yang diangkat pada gelaran tahun ini adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.

Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional. Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).

Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lainnya.

“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki, di Surabaya, Kamis (4/5/2023).

“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjutnya membacakan rekomendasi berikutnya.

Rektor UIN Sunan Ampel Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan? Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?

Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu:

Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.

Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.

Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.

Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. (Rilis)

Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Judul Buku: Fiqih Perempuan
Penulis: Husein Muhammad
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit: 2019

Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Buku ini adalah refleksi kegelisahan KH. Husein Muhammad sebagai kiai pesantren atas isu-isu perempuan. Melalui pemikirannya, pria yang kerap disapa Buya Husein menuangkan gagasannya tentang problematika perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif Islam.

Hasilnya, buku ini menjadi sebuah diskursus yang brilian dan mendobrak sekat-sekat dogmatis tradisi keagamaan konservatif yang masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki.

Melalui penyusunan dan editing yang apik oleh Kiai Faqih Abdul Kodir pula, buku ini memberikan pemahaman alternatif mengenai posisi perempuan sebagai makhluk yang sama dan setara dengan laki-laki.

Dengan perspektif Islam tentunya, buku ini menggunakan referensi tafsir ayat al-Qur’an, tafsir hadits, pendapat para ulama terdahulu, kaidah-kaidah fiqih, dan tinjauan maqasyid asy-syari’ah dalam interpretasi terhadap posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Sehingga argumentasi dan pendapat yang diberikan mempunyai posisi dan landasan kuat dan bisa diperdebatkan dengan tafsir terdahulu.

Dengan bahasa yang ringan, buku ini layak menjadi pegangan dasar bagi yang ingin memahami secara utuh tentang perempuan dan kesetaraan gender dari perspektif Islam.

Usia Perkawinan Anak di Berbagai Negara

Atas apa yang menjadi kesan bacaan di atas, sebagai sampel hasil bacaan, saya ingin mengutarakan refleksi atas apa yang telah Buya Husein telurkan dalam buku ini, terkhusus pada bagian yang membahas perkawinan anak.

Dalam bukunya, Buya Husein mengutip pendapat Ibnu Syubrumah, bahwa secara tegas beliau menolak pernikahan anak. Ibnu Syubrumah juga menyebut bahwa kebolehan perkawinan anak hanya berlaku khusus untuk Nabi Muhammad Saw.

Sama halnya dengan pandangan Ibnu Syubrumah, pendapat Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Batti juga menegaskan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah menikah. Sedangkan merujuk kepada pernikahan Nabi dengan Aisyah, mereka berpendapat bahwa pernikahan Nabi Saw dan Aisyah adalah pengecualian dan kekhususan bagi Nabi Saw saja.

Oleh sebab itu, pandangan dari tiga ulama di atas menjadi dasar bagi negara Syiria. Di Syiria terkait peraturan pernikahan mereka menetapkan pelarangan pernikahan anak atas dasar beberapa pertimbangan, di antaranya terkait kemaslahatan, realitas sosial, dan pertimbangan tanggung jawab perkawinan. Syarat yang bisa menikah di Syiria adalah bagi mereka yang sudah baligh dan berusia 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan minimal berusia 17 tahun.

Selain di Syiria, di Mesir juga demikian. Di Mesir elah menetapkan aturan batas usia menikah. Usia bagi perempuan yang ingin menikah 16 tahun sedangkan bagi laki-laki boleh menikah saat usianya masuk 18 tahun. Di Bangladesh, perempuan yang bisa menikah adalah yang telah berusia 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan di Tunisia, seperti di Indonesia, menetapkan umur 19 tahun sebagai acuan batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang boleh menikah.

Larangan Perkawinan Anak

Dalam buku ini, Buya Husein menyebutkan terkait larangan perkawinan anak. Larangan ini, kata Buya Husein, karena beberapa fakta realitas di kehidupan masyarakat kerap kali perkawinan anak ini mendatangkan banyak dampak buruk.

Misalnya, banyaknya anak laki-laki maupun perempuan yang belum siap secara fisik, mental, maupun secara ekonomi. Terlebih, bagi anak perempuan mengalami hamil di usia anak-anak, ini tentu akan berpengaruh kepada fisik dan mental si anak. Tidak sedikit anak mengalami keguguran, kurangnya gizi bagi bayi (stunting).

Sementara itu, dalam ajaran Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk mengambil maslahat dan menghilangkan mafsadat. Jika perkawinan anak ternyata banyak menimbulkan tindakan kemafsadatan seperti, stunting, penelantaran ekonomi dan sebagainya. Maka menghilangkan kemafsadatan tersebut adalah yang utama.

Selain itu, jika meninjaunya dari maqashid asy-syari’ah juga demikian. Dengan kita melarang pernikahan anak ini, menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifdz an-nasl) yang sehat.

Dari beberapa pertimbangan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam usaha untuk mencapai keluarga yang harmonis. Maka kita butuh aturan terkait batas usia perkawinan. Hal ini guna untuk menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan demi tercapainya kemaslahatan bersama. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Oktober 2022 dengan judul: Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam