by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Pada Selasa, 6 Desember 2022 pemerintah secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-undang (UU) KUHP.
Di dalam UU KUHP ini bagi saya mengandung sejumlah pasal yang ngawur, kontroversi dan saya kira tidak sejalan dengan kebebasan demokrasi di negera kita Indonesia.
Serta dalam UU KUHP ini juga menimbulkan sejumlah penolakan dari berbagai pihak.
Misalnya, salah satu pasal yang kontroversi menurut saya adalah tentang tindak pidana kesusilaan, yang tertera dalam pasal 416 bab XV.
Perlu kita ketahui, pasal 416 bab XV ini merupakan salah satu pasal dalam UU KUHP yang mengatur tentang hidup bersama seperti suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah menurut negara.
Perkawinan yang sah menurut negara adalah perkawinan harus berdasarkan ketentuan hukum agama atau kepercayaan masing-masing dan tercatatkan di Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
Apabila pasangan suami istri tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka perkawinannya tidak sah secara negara.
Oleh sebab itu, dalam pasal ini akan memberikan banyak dampak negatif, karena akan mengkriminalisasi pasangan-pasangan yang telah melangsungkan perkawinan secara agama atau adat, karena ia tidak tercatat di PPN.
Di Indonesia terdapat banyak sekali pasangan-pasangan yang hanya melangsungkan perkawinan hanya secara agama atau adat saja tanpa dicatatkan di PPN.
Berdasarkan hasil riset Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) pada 2015 menyebutkan dari 17 provinsi yang ada di Indonesia, sebanyak 36% dari 89.000 pasangan yang sudah menikah tidak memiliki akta/buku nikah.
Dari sekian banyaknya pasangan-pasangan yang tidak memiliki akta/buku nikah tersebut, semuanya berpotensi terkriminalisasi oleh pasal 416 ini.
Kalau memang pemerintah menginginkan semua warga negaranya tertib administrasi. Maka sebaiknya pemerintah tidak perlu menjadikan perkawinan yang tidak tercatatkan sebagai perilaku pidana.
Solusi Alternatif
Akan tetapi pemerintah bisa memberikan solusi alternatif lain. Misalnya, pertama, pemerintah dapat melakukan sosialisasi dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
Kedua, pemerintah sebaiknya membebaskan pencatatan perkawinan dan isbat nikah (penetapan perkawinan).
Dengan begitu, maka saya kira ke depan tidak ada masyarakat Indonesia yang terpidana hanya gara-gara pekawinanannya tidak tercatat di PNN.
Dan terkait pasal 416 bab XV di atas, sebaiknya pemerintah kembali untuk mengavaluasi, dan mengubah subtansi dari pasal tersebut.
Karena soal pencatatan perkawinan adalah hal yang mudah, yang bisa dilakukan oleh setiap penyuluh agama di setiap daerah masing-masing.
Dan seharusnya pemerintah itu memberikan fasilitas dan akses yang mendukung agar pasangan suami istri yang belum tercatat perkawinannya untuk dapat tercatat secara negera, bukan justru mempidanakan mereka. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 10 Desember 2022 dengan judul: Pasal Kontroversi UU KUHP: Perkawinan secara Agama dan Adat akan Dipidanakan
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Sepuluh hari ke belakang, tepatnya pada tanggal 6 Desember 2022 pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang (UU).
Rencananya dalam jangka tiga tahun kedepan KUHP warisan Belanda akan pemerintah hapus dan menggantinya dengan KUHP produk Indonesia. Selama tenggang waktu tersebut, pemerintah telah mempersilahkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik pasal demi pasal dan men-judicial riview (uji materil) ke Mahkamah konstitusi (MK).
Seperti kita ketahui bersama, pengesahan UU KUHP ini, telah mengundang aksi penolakan dari berbagai pihak, terutama aktivis, akademisi dan praktisi hukum. Karena dari 624 pasal yang terkandung dalam KUHP terdapat pasal-pasal ngawur yang berpotensi mengkriminalisasi orang banyak, salah satunya seperti yang tertulis dalam pasal 265.
Pasal ini mengatur tentang larangan mengganggu ketentraman lingkungan dengan cara melakukan hingar-bingar, berisik, dan seruan atau tanda-tanda bahaya palsu pada malam hari. Adapun hukuman yang akan dikenakan bagi orang yang melakukan tindakan tersebut adalah pidana denda paling banyak kategori II (10 juta rupiah).
Pengertian “malam hari” dalam pasal 265 ini adalah waktu di antara matahari terbenam sampai matahari terbit. Adapun “maksud tanda-tanda bahaya palsu” ini misalnya, memukul kentongan sebagai tanda adanya pencurian padahal sebenarnya kejadian tersebut tidak terjadi.
Akibat Hukum dari Pasal 265
Pasal ini sangat berpotensi mengkriminalisasi banyak masyarakat Indonesia, mengingat kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang kerap memperingati perayaan, terutama merayakan peringatan hari raya besar umat Islam hingga larut malam.
Selain itu, dalam perayaan hari-hari besar juga demikian, misalnya ulang tahun kemerdekaan, di mana dalam perayaan ini masyarakat memeriahkan momen itu dengan event-event yang pelaksanaannya sampai berhari-hari bermalam-malam.
Semua hal di atas apabila dilakukan di malam hari sangat berpotensi terjerat Pasal 265. Karena kata mengganggu yang terkandung dalam pasal ini bersifat subjektif.
Artinya sesuatu yang kita anggap baik dan tidak mengganggu. Misalnya: ritual-ritual keagamaan dengan menggunakan pengeras suara, oleh orang lain hal ini bisa menjadi sebagai sesuatu yang mengganggu.
Terlebih dalam pasal 265 tidak ada spesifikasi dan ukuran mengganggu itu seperti apa. Dengan demikian semua orang bisa terkena dengan pasal ini. Bisa saja karena ada unsur kepentingan tersendiri, atau kebencian terhadap salah satu kelompok.
Oleh sebab itu, pasal ini sangat mungkin bisa menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok masyarakat tersebut. Apalagi dampak yang akan terjadi selanjutnya adalah, pemerintah akan mudah memidanakan kelompok masyarakat yang mengganggu di malam hari.
Dengan melihat kemadaratan yang akan terjadi akibat pasal ini, saya sangat menolak dengan keras pengesahan UU KUHP. Terlebih saya juga mengusulkan sebaiknya pasal ini harus men-judicial riview di MK dan menghapusnya dari KUHP. Seperti halnya dalam kaidah fiqh yang menyebutkan:
اَلضَّرَرُ يُزَال
Artinya: Kemudharatan itu harus dihilangkan.
Maka, merujuk kaidah tersebut, Islam sangat menolak segala bentuk kemadaratan yang terjadi di muka bumi. Termasuk kemadaratan yang terdapat di KUHP harus segera pemerintah hapuskan. Karena tujuan dengan adanya undang-undang itu untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia, bukan untuk mengkriminalisasi, apalagi memidanakan masyarakatnya. []
*Tulisan ini telah dimuat di mubadalah.id pada 19 Desember 2022 dengan judul: Segala Bentuk Kemadaratan Dalam UU KUHP Harus Dihapuskan
by Admin | 24 Jan 2023 | Artikel
ISIF CIREBON – Saya terperangah dan takjub ketika pada Selasa, 16 Januari 2018, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh pimpinan ASEAN Nagoya Club (ANC) di sebuah restoran di Nagoya. ANC adalah sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.
Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu. Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
Di Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. “Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.
Ketika Haruna mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.
Saya lihat Uceng segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.
Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
Saya memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.
Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.
Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.
Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.
Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik
Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa?
“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.
Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.
Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.
“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.
Tulisan: Moh Mahfud MD
by Admin | 20 Jan 2023 | Artikel
Oleh: Nurul Bahrul Ulum (Sekretaris Pusat Studi Islam, Gender, dan Anak (PUSIGA) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)
ISIF CIREBON – Selama ini aku sering mendengar Israel hanya kaitannya konflik dengan Palestina. Beberapa bulan yang lalu aku menyimak langsung cerita baik tentang Jerusalem dari Prof. Ronit Ricci, professor di Hebrew University of Jerusalem.
Prof. Ronit menjelaskan bahwa populasi Jerusalem adalah 950.000 orang. Dari populasi tersebut, 64% beragama Yahudi, 34% beragama Islam (Palestina), dan 2% beragama Kristen (Palestina). So, Jerusalem bukan kota dengan tunggal agama.
Sebaliknya, Jerusalem dikenal sebagai kota suci tiga agama. Mengapa suci?
Pertama, di Jerusalem ada Masjid al-Aqsha atau sering disebut al-haram ash-sharif (tempat suci yang mulia). Situs suci umat Islam ini pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat. Jerusalem juga kota di mana Nabi SAW mi’raj dari Masjid al-Aqsha ke sidratul muntaha dalam satu malam.
Kedua, di Jerusalem juga ada Gereja Makam Kudus. Situs suci yang dipercayai dan banyak diziarahi oleh umat Kristen sebagai tempat penyaliban sekaligus kebangkitan Yesus dari kematian.
Ketiga, di Jerusalem juga ada Tembok Ratapan. Situs suci dan sangat sakral bagi orang Yahudi untuk berdo’a secara khusuk dengan satu tangan menyentuh dinding tembok. Dipandang suci, karena tembok ini satu-satunya tembok luar yang masih ada dari temple (tempat ibadah) Yahudi yang dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 Masehi. Mirip dengan tradisi shalat umat Islam di mesjid, laki-laki perempuan di depan tembok ini terpisah dengan hijab.
Secara geografis, tiga situs suci dari tiga agama ini letaknya sangat berdekatan. Walaupun memang ada ketegangan dan kekerasan di kota ini, tetapi masih dijumpai ruang bagi mereka yang berbeda agama untuk saling berinteraksi dan hidup berdampingan secara damai. Di sinilah cerita-cerita baik itu ada!
Prof Ronit bercerita mulai dari kehidupan di kampus tempatnya mengajar, Herbew University of Jerusalem, hingga ruang publik yang luas, seperti pasar, swalayan, rumah sakit, institusi pemerintahan, dan tempat ziarah situs suci tiga agama tadi. Di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang ini, termasuk civitas akademika kampus yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat, dan staf, mereka semuanya hidup berdampingan dengan damai.
Cerita baik lainnya dari Prof. Ronit adalah upaya-upaya perdamaian yang dibangun dan diinisiasi oleh masyarakat sipil melalui pendidikan multikultural. Namanya “Yadan Biyadin” (hand in hand). Yakni, sebuah NGO yang mendirikan sekolah inklusif dan setara bagi masyarakat Israel dan Palestina. NGO ini sudah berdiri sejak tahun 1998 dan menginisiasi pendidikan inklusif yang dimulai dengan 50 anak. Saat ini, Yadan Biyadin sudah memiliki 7 sekolah dengan jumlah murid lebih dari 2000 siswa. Hal ini membuktikan bahwa dalam perbedaan yang ada mereka bisa hidup bersama secara damai tanpa terus menerus dihantui ketakutan dan kekerasan.
Sebagaimana pada umumnya sekolah formal, Hand in Hand berada di bawah Kementerian Pendidikan Israel yang terbuka bagi semua anak warga negara Israel, apapun agama mereka. Termasuk di dalamnya anak-anak Arab-Palestina (Muslim dan Kristen) yang tinggal di dalam batasan negara Israel dan menjadi warga negara Israel. Kurikulumnya didasarkan pada nilai-nilai yang mencerminkan kedua budaya dan bahasa, berorientasi pada multikulturalisme dan kewarganegaraan bersama dan setara.
Oleh karena itu, model pendidikan bilingual —Ibrani dan Arab—menjadi salah satu distingsi dari sekolah ini. Di sekolah ini, bahasa Ibrani dan bahasa Arab memiliki posisi setara sebagai bahasa nasional.
Salah seorang anak Prof. Ronit disekolahkan di Hand in Hand ini. Bahkan sepulang makan siang tadi, Prof. Ronit cerita tentang anak bungsunya Adam yang tidak hanya fasih berbicara bahasa Arab keseharian saja, tetapi juga memahami literatur-literatur dalam bahasa Arab.
Hand in Hand tidak hanya memiliki inisiatif melalui sekolah inklusif saja, tetapi juga mereka memperjuangkannya melalui penjaringan komunitas orang tua, staf, dan warga negara lainnya yang sepakat untuk aktif berdialog dan bersolidaritas hidup bersama.
Upaya perdamaian lainnya yang dilakukan Hand in Hand adalah melakukan advokasi kebijakan melalui Parlemen untuk terwujudnya sekolah inklusif dengan model pendidikan bilingual di seluruh Jerusalem.
Mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk melakukan sebuah perubahan.
Di akhir pembicaraan, Prof Ronit berharap bahwa seluruh masyarakat Jerusalem bisa hidup bersama dalam damai, meski berbeda agama.[]