by admin | 6 Sep 2025 | Agenda, Artikel, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Pada tanggal 28 Agustus mahasiswa PIT-PAR ISIF mengunjungi tempat produksi batu bata merah di Desa Argasunya tepatnya di wilayah RT 2 RW 7 Sumurwuni. Di tengah derasnya arus moderenisasi dan munculnya bahan bangunan baru, warga Sumurwuni masih mempertahankan produksi batu bata merah. Meskipun produksi ini bukan sebagai mata pencaharian utama, tapi produksi ini hanya musiman saja.
Proses pembuatan batu bata merah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, mulai dari mengolah tanah, mencetak, menjemur, hingga membakarnya pun masih menggunakan cara tradisional. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga ekstra dan hanya dilakukan saat musim kemarau atau disebut musim ketiga oleh masyarakat Sumurwuni. Hasil batu bata sangat diminati karena kualitas batu bata buatan masyarakat Sumurwuni ini dikenal kuat dan tahan lama.
Pembuatan batu bata ini sudah berlangsung sejak lama. Di wilayah Sumurwuni ini terdapat dua tempat produksi batu bata merah. Tempat produksi yang mahasiswa PIT-PAR ISIF ini kunjungi adalah milik Bapak Mahmud (52), beliau adalah warga asli Sumurwuni di RT 2 RW 7.
Pak Mahmud ini selain mempunyai tempat produksi batu bata merah, beliau juga mempunyai peternakan ayam yang dijual sebagai ayam potong. Ia juga memanfaatkan kototoran ayamnya sebagai pupuk organik yang kemudian dijual kembali.
Awalnya, tutur Pak Mahmud, produksi batu bata ini tidak diperjualbelikan, hanya untuk kebutuhan pribadi. Tapi lama kelamaan banyak masyarakat yang mengetahui dan tertarik memesan batu bata merah Pak Mahmud. Proses pembuatan batu bata merah tersebut bukan dilakukan oleh Pak Mahmud sendiri, tapi dilakukan juga oleh Pak Udin (55). Pak Udin ini dibantu oleh satu orang pekerja lainnya dan terkadang Pak Mahmud juga ikut membantu proses pembuatannya.
Proses Pembuatan Batu Bata Merah
Proses pembuatan batu bata merah ini dimulai dari pembelian tanah Cadas, tanah cadas ini di beli dari tambang di wilayah Argasunya tepatnya di Cibogo. Tanah Cadas ini di beli dengan harga 200 ribu per dump truk. Dari 1 dump truk ini dapat menghasilkan 2.000 batu bata.
Tanah cadas kemudian diolah untuk menjadi adonan batu bata. Adonan batu bata merah ini tidak ada campuran lain, hanya dicampur dengan air saja. Menurut Pak Mahmud, tanah cadas ini sudah mengandung pasir, jadi tidak perlu ada campuran lain. Sedangkan untuk air yang dipakaii adalah air yang bersumber dari sumur yang dibuat sendiri oleh Pak Mahmud sendiri.
Setelah tanah sudah mencapai tekstur yang sempurna, kemudian siap di catak menjadi bentuk batu bata yang diinginkan. Ada dua ukuran batu bata yang di produksi oleh Pak Mahmud, yaitu ada ukuran besar dan kecil. Yang ukuran besar dihargai 1.200 rupiah dan yang ukuran kecil dihargai 1.000 rupiah.
Setelah pencetakan, proses berlanjut ke tahap penjemuran. Waktu penjemuran ini tergantung cuacanya, jika cuacanya panas hanya membutuhkan waktu seminggu saja untuk kering. Namun jika cuacanya sedang mendung atau berawan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah dijemur, bata akan dibakar, dengan waktu pembakaran yang membutuhkan waktu seharian penuh.
Setelah semua proses itu selesai dan keadaan batu bata sudah dingin, tinggal menunggu pembeli mengambil batu batanya. Karena biasanya batu bata ini dibuat karna adanya pesanan atau ada juga pembeli yang tanpa memesan dulu. Konsumen ini biasanya dari sekitar wilayah Argasunya saja, tapi ada juga konsumen dari luar yaitu dari wilayah Mandirancan Kuningan.
Penopang Ekonomi Keluarga
Bata merah Sumurwuni lahir dari tanah cadas yang keras, sekeras kenyataan hidup warganya. Namun dari kerja berat itu, lahir kekuatan dan kemampuan bertahan dalam himpitan. Setiap bata yang keluar dari tungku seakan membawa pesan bahwa rakyat kecil selalu punya cara untuk bertahan.
Bagi warga Sumurwuni, menjadi pengrajin batu bata memang bukan pilihan utama mata pencaharian utama. Menurut Pak Mahmud pilihan menjadi pengrajian batu bata adalah pilihan terakhir bagi sebagian warga untuk tetap bisa bertahan hidup.
“Yang membuat batu bata ini ya orang susah, kalo bukan orang susah mah tidak bakal buat batu kaya gini” ujarnya.
Meskipun penuh tantangan dan hasilnya tidak seberapa, warga tetap menjalankannya dengan ikhlas karena ini menjadi salah satu sumber penghidupan tambahan bagi keluarga mereka. Produksi batu bata juga dilakukan secara musiman, biasanya saat permintaan meningkat atau ketika kondisi cuaca memungkinkan.
Meski bersifat musiman, nilai jual batu bata cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan ini mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Meskipun penghasilan dari batu bata bersifat sementara, peranannya sangat penting dalam menopang kehidupan keluarga para pengrajin.
Di tengah keterbatasan dan derasnya arus modernisasi, mereka masih berusaha mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Produksi batu bata merah memang hanya bersifat musiman, tetapi keberadaannya menjadi penopang penting dalam kehidupan warga Sumurwuni. Lebih dari sekadar mata pencaharian tambahan, pekerjaan ini adalah bukti keteguhan masyarakat dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan mereka.[]
by admin | 28 Aug 2025 | Agenda, Berita, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Nurdin
Edotor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon yang sedang menjalankan mata kuliah Praktik Islamologi Terapan (PIT) dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) kembali menggelar Rembug Warga di Desa Kejuden, Kecamatan Depok, Cirebon, pada Kamis malam 23 Agustus 2025.
Kegiatan yang berlangsung di Masjid Jami’ Al-Hidayah ini merupakan forum rembug ketiga setelah sebelumnya membahas pemetaan spasial, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Kali ini, mahasiswa PIT PAR kelompok 3 bersama warga mendiskusikan isu penting seputar isu sosial pendidikan di Desa Kejuden.
Dalam forum ini, turut hadir Ibu Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I. (Direktur LP2M ISIF), Bapak Sukma Hadi, M.Pd. (Dosen Pembimbing Lapangan), perangkat desa, tokoh agama, tokoh pemuda, serta perwakilan warga dari beberapa blok di Kejuden.
Pendidikan, Fondasi Transformasi Sosial
Dalam sambutannya, Ketua Kelompok PIT Kejuden, Nurdin, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar praktik lapangan, melainkan proses belajar langsung dari masyarakat.
“Kegiatan PIT PAR merupakan kegiatan belajar mahasiswa di lapangan dengan maksud dan tujuan bisa belajar sambil praktik langsung bersama masyarakat. Kami siap berpartisipasi menjadi bagian dari desa Kejuden untuk meningkatkan kembali perekonomiaan, budaya, dan pendidikan,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Sukma Hadi menekankan pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama kemajuan bangsa. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit kembali pascaperang dengan memprioritaskan pendidikan dan guru.
“Indonesia dalam pendidikannya di juluki macan Asia, karena negara – negara tetangga kita Malaysia, Singapura, bahkan Jepang pun belajar di Indonesia, kuliah disini, sekolah disini, belajar disini,” kata Sukma.
Namun, menurutnya, kondisi kini berbeda jauh. Ia menambahkan bahwa hal itu disebabkan tingkat membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Saat ini, katanya, sebagian besar masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai.
“Di Indonesia tingkat membacanya kurang sekali.dan kebanyakan warga Indonesia menggunakan HP, dari balita sampai sepuh, sehingga mempengaruhi IQ dan pendidikan warga Indonesia.”
Potret Pendidikan Kejuden
Direktur LP2M, Ibu Zaenab Mahmudah yang hadir dalam kegiatan mengapresiasi kegiatan PIT-PAR Kejuden yang telah berlangsung sebulan dan menilai mahasiswa sudah memasuki fase penting setelah sebulan tinggal di Kejuden.
“Masih ada 28 hari lagi untuk teman teman melakukan aksi, sekarang harus terjun ke masyarakat dan mencoba untuk melakukan pemberdayaan bersama masyarakat, segera merumuskan untuk teman – teman apa yang ingin dilakukan.”
Hasil diskusi menunjukkan bahwa Desa Kejuden memiliki lembaga pendidikan formal maupun nonformal yang beragam, mulai dari PAUD, TK, DTA, SDN 1 dan 2 Kejuden, SDIT, yayasan pendidikan, hingga Pondok Pesantren Darul Kirom.
Pesantren Darul Kirom, misalnya, masih mempertahankan metode klasik Al-Baghdadiyah, metode tradisional membaca Al-Qur’an yang sistematis dan telah teruji di pesantren. Metode ini dinilai efektif untuk pemula, namun menuntut kesabaran tinggi dari guru dan santri.
Meski demikian, rembug warga juga menemukan sejumlah problem pendidikan di Kejuden, antara lain:
- Akses sekolah dasar yang tidak merata, sehingga sebagian warga lebih memilih menyekolahkan anak ke desa tetangga.
- Kekurangan tenaga pengajar di Yayasan Al-Anwariyah.
- Penurunan jumlah santri di Pondok Pesantren Darul Kirom.
- Belum adanya SMP/MTS/SMA di wilayah Kejuden.
- Maraknya penggunaan gawai di kalangan anak hingga lansia yang memengaruhi minat belajar dan mengaji.
- Minimnya budaya membaca buku di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.
Forum menyepakati bahwa semua metode pembelajaran memiliki nilai positif masing-masing. Namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat membiasakan pendidikan sejak dini, terutama membangun budaya membaca dan membatasi penggunaan gawai pada anak.
by admin | 11 Feb 2025 | Agenda, Berita, Pengabdian Masyarakat
ISIF Cirebon – Praktik Islamologi Terapan (PIT) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon mendapat apresiasi dari Kuwu Desa Waruduwur, Yadi, serta segenap warga setempat dalam kegiatan Ekspose Pemetaan Spasial yang digelar di Masjid Jami Al-Mubarok pada Senin malam, 10 Februari 2025. Kuwu mengakui tidak pernah mendapati kegiatan pengabdian masyarakat dari kampus-kampus lain seperti yang dilakukan ISIF.
“Sudah banyak mahasiswa dari kampus-kampus ternama, baik dari luar maupun dalam wilayah Cirebon yang melakukan KKN di sini tapi tidak ada yang seperti ini. Saya sangat senang dan mengapresiasi karena apa yang dilakukan mahasiswa ISIF di sini sangat membantu warga,” katanya.
Dari hasil pemetaan spasial yang dilakukan mahasiswa ISIF di Waruduwur, Najmudin, Dina Tirtana, Sulisnawati, Ramdhani Fitriani Putri, Putri Syafa’aturrizqi, Wahyu Illahi, Mukhamad Irfan Ilmi, Nur Muhammad Iskandar, dan Dindin Misbahudin, Kuwu Yadi mengaku dia dan warganya bisa memahami desanya dengan lebih baik. Bahkan dia berharap lewat peta spasial itu, seluruh jajaran pemerintahan desa hingga tingkat terkecil di Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) bisa melayani warganya dengan baik.
“Biasanya kalau Ketua RT kita tanya berapa jumlah rumah dan keluarga di RT masing-masing, mereka jawabnya tidak tahu. Jumlah persisnya tidak tahu. Ada apa saja di RT-nya juga kurang tahu dengan yakin. Dengan (peta) ini semoga nanti bisa terbantu,” lanjutnya.
Kuwu Yadi juga memberikan masukan dan koreksi terhadap titik-titik tertentu di dalam peta yang belum sesuai dengan keadaan sebenarnya. Tidak hanya Kuwu, warga yang hadir juga terlihat antusias dan juga memberikan masukan serta koreksi terhadap gambar di peta yang kurang tepat ataupun kurang lengkap.
Pemetaan Spasial: Proses Partisipatif Bersama Masyarakat
Rektor ISIF, K.H. Marzuki Wahid mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Waruduwur karena sudah memberikan masukan dan koreksi terhadap peta spasial yang dibuat mahasiswa. Rektor juga mengatakan bahwa mahasiswa ISIF yang melakukan PIT di Desa Waruduwur sejatinya sedang belajar.
“Mereka belajar langsung di sini supaya memahami dengan betul bagaimana hidup di tengah masyarakat yang sesungguhnya. Nanti mereka akan kembali di daerahnya masing-masing untuk berkiprah di tengah masyarakatnya,” katanya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Siti Latifah, ME, pada kesempatan itu juga memberikan masukan-masukan penting bagi mahasiswa PIT kelompok Desa Waruduwur.
Peta spasial merupakan peta yang dibuat mahasiswi dan mahasiswa hasil dari kerja lapangan mereka dalam minggu pertama PIT. Di lapangan mereka berkeliling desa setiap hari, menemui orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, mewawancarai mereka tentang tempat-tempat yang ada di desa, dan membuat peta bersama-sama warga. Hasil dari pengamatan, wawancara, dan menggambar peta bersama warga itulah yang kemudian mereka tuangkan dalam Peta Desa Waruduwur.
Kegiatan Ekspose Peta Spasial merupakan bagian dari proses menggambar peta bersama masyarakat. Dalam kegiatan ini, mahasiswa memaparkan terlebih dulu hasil pemetaan mereka dengan warga untuk kemudian warga sendiri memberikan koreksi dan masukan. Proses tersebut dilakukan agar peta yang dihasilkan benar-benar merupakan peta bersama yang bisa memotret tidak hanya benda-benda mati melainkan juga denyut kehidupan warga.
PIT ISIF dan Model Pembelajaran Berbasis PAR
Pemetaan spasial sendiri merupakan kegiatan pertama sebelum mahasiswa melakukan pemataan-pemetaan selanjutnya yang meliputi pemetaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai langkah awal, pemetaan ini berfungsi memberikan gambaran dasar tentang kondisi geografis desa, yang kemudian menjadi landasan dalam memahami berbagai aspek sosial dan ekonomi secara lebih mendalam.
Dengan memahami ruang secara fisik, mahasiswa dapat melihat keterkaitan antara faktor-faktor spasial dengan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Seluruh proses ini dirancang secara partisipatif, melibatkan warga sebagai subjek aktif dalam penelitian agar hasilnya benar-benar merepresentasikan kondisi nyata di lapangan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang menjadi pendekatan dalam desain kegiatan PIT ISIF 2025
Pada 2025, ada empat desa yang menjadi wilayah dampingan mahasiswa ISIF melakukan PIT, yakni Desa Waruduwur Kec. Mundu, Desa Warukawung Kec. Depok, Desa Cikeusal Kec. Gempol di Kab. Cirebon, dan Kelurahan Kesenden di Kota Cirebon. *** (Abdul Rosyidi)
by Admin | 9 Mar 2024 | Agenda