(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Festival Turath Islami Selangor (FTIS) Kedua

ISIF CIREBON – Pada tanggal 1 Juni 2024 kemarin, saya diundang dan menghadiri Festival Turath Islami Selangor (FTIS) II yang diselenggarakan oleh Kerajaan Negeri Selangor, Malaysia. Acaranya dipusatkan di Mesjid Sultan Salahuddin Abd Azis Shah di Shah Alam, Selangor.

Festival Turath Islami II ini fokus mengaji dan mengkaji Kitab Riyadlush Sholihin min Kalami Sayyidil Mursalin, karya Imam Nawawi (631-676 H/1233-1277 M). Sebelumnya, pada Festival Turath Islami I mengkaji dan mengaji Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M).

Hadir dalam Festival Turath Islami kedua ini adalah YAB Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar bin Ibrahim membuka Syarahan (Seminar), Al-Imam Profesor Dr. Ali Juma’ah, YAB Dato’ Menteri Besar Datuk Seri Amirudin bin Shari, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Habib Jindan bin Novel bin Salim, Tengku H. Faisal Ali, Ustd. Dr. Adi Hidayat, saya sendiri, dan ulama lain dari Malaysia.

Dalam FTIS II ini, saya mengisi di sesi pertama membahas peradaban akhlak dari Kitab Riyadush Sholihin bersama dengan Prof. Dato’ Dr. Muhammad Nur bin Manuty dari Malaysia.

Dalam paparan ini, saya menjelaskan bahwa kitab yang ditulis oleh al-Imam al-Allamah Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi memiliki peranan penting dalam mewarnai peradaban Islam sejak abad ke 13 M hingga sekarang.

Buktinya, kitab Riyadlush Sholihin setidaknya disyarahi oleh 13 kitab syarah dan dibaca oleh hampir setiap ulama yang mendalami ajaran Islam di seluruh pesantren dan lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia.

Dari Kitab Riyadush Sholihin, kita bisa memetik butiran nilai, prinsip, norma, etika, dan etiket dalam membangun diri yang sholih dan mushlih, keluarga yang mashlahat, masyarakat yang khaira ummah, dan negara yang thayyibatun wa rabbun ghafur untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin.

Oleh karena Riyadush Sholihin adalah kitab hadits, maka tantangannya adalah bagaimana kita mampu membaca Kitab Riyadush Sholihin secara kontekstual (siyaqiyyah), mampu menangkap makna substantif (cum maghza), maqoshid asy-syari’, dan membumikannya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa melalui kebijakan publik dan pembudayaan, hingga menjadi etika sosial, etika politik, etika birokrasi, etika hukum, etika ekonomi, dan etika global.

Saya mengatakan bahwa peradaban akhlak yang ingin dibangun oleh Imam Nawawi melalui Kitab Riyadush Sholihin berbasis pada tauhidullah (spiritualitas monotheis) dan diorientasikan tidak saja untuk kebahagiaan di dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat (eskatalogis).

Ini dibuktikan dengan pembahasan dalam Kitab Riyadush Sholihin dimulai dengan bab al-ikhlash wa ihdlari an-niyyati fi jami’ al-a’mal wa al-aqwal wa al-ahwal al-barizah wa al-khafiyyah dan diakhiri dengan bab al- istighfar dan bab ma a’adda Allahu ta’ala li al-mu’minina fi al-jannah.

Bab al-ikhlash di sini bermakna tauhidullah, karena Imam Nawawi membuka babnya dengan mengutip al-Qur’an Surat al-Bayyinah Ayat 5, yakni “Wa mā umirū illā liya’budullāha mukhliṣīna lahud-dīna ḥunafā`a wa yuqīmuṣ-ṣalāta wa yu`tuz-zakāta wa żālika dīnul-qayyimah”

Artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” []

Menyikapi Mbah Benu: Fenomena Keagamaan yang Berbeda

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Belum lama ini, Jemaah Masjid Aolia Gunungkidul, Yogyakarta merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 pada Jumat 5 April 2024 atau lima hari lebih awal dari lebaran umat Islam lainnya yang diprediksi jatuh pada 10 April 2024.

Hari Raya Idul Fitri yang dilaksanakan Jemaah Masjid Aolia bukan tanpa alasan. Seperti informasi yang ramai beredar di media sosial, sosok pemimpin Jemaah Masjid Aolia, Raden Ibnu Hajar Pranolo atau yang biasa disapa Mbah Benu memberikan jawaban bahwa penetapan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal pada 5 April 2024 itu karena dirinya telepon langsung Allah Swt dan Allah Swt ngendika (berfirman), Idul Fitri jatuh pada Jumat 5 April 2024.

Dari jawaban inilah, membuat jagat maya cukup ramai bergejolak. Tidak sedikit warganet yang mencaci maki, nyinyir, menghujat, bahkan menuduhnya sebagai pimpinan kelompok yang sesat.

Dengan melihat banyaknya hujatan dan caci maki kepada Mbah Benu, lalu bagaimana sikap kita?

Pertama-tama perlu diketahui bahwa dalam konteks keislaman, ada banyak pemahaman, penafsiran, dan juga madzhab. Mulai dari yang tekstual hingga yang liberal, semuanya ada dalam pemahaman keislaman kita.

Bagaimana sikap kita? Tentu kita harus berpegang pada apa yang kita yakini benar. Saya, misalnya, sebagai muqallid Ahlissunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah meyakini bahwa awal bulan Syawal ditentukan dengan Ru’yatil Hilal (melihat bulan langsung), dengan dalil:

صوموا لرأيته وأفطروا لرأيته

Penetapannya dilakukan oleh pemerintah (qodli) untuk menghilangkan perbedaan yang ada, sesuai dengan kaidah:

حكم القاضي إلزام ويرفع الخلاف

Bagi saya, keputusan awal Syawal menunggu hasil sidang itsbat dari Kementerian Agama RI.

Bagaimana menyikapi mereka yang berbeda? Maka berlaku kaidah:

الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد

Jika itu hasil ijtihad, maka biarkan hasil ijtihad itu bersanding. Karena suatu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain, biarkan mereka berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

لنا منهجنا وأعمالنا ولكم منهجكم واعمالكم

Bagaimana dengan Mbah Benu yang telepon Allah Swt secara langsung?

Kita jangan memahami telepon di sini adalah telepon menggunakan Handphone (HP) dan alat komunikasi lain. Karena Allah Swt jelas bukan makhluk, ليس كمثله شيئ، maka sudah pasti tidak bisa ditelepon dengan HP atau sejenisnya. Jika kita memahami ditelepon menggunakan HP, lalu menyalahkan Mbah Benu, maka sesungguhnya nalar kita juga salah. Sudah pasti Allah Swt tidak bisa ditelepon menggunakan HP.

Dengan demikian, bahasa ditelepon yang digunakan Mbah Benu adalah majazan, bukan haqiqatan. Mbah Benu mungkin melakukan kontak langsung dengan Allah Swt dengan lisan sebagaimana kita berdoa, berdzikir, atau dengan dengan hati sebagaimana kita istikharah dan berdzikir. Dengan ikhtiar yang dia lakukan, lalu diperolehlah jawaban itu.

Jika pemahaman “telepon” adalah seperti ini, bukankah tidak ada beda dengan yang selama kita lakukan dalam berdoa, berdzikir, istikharah dan lain-lain, lalu timbul keyakinan yang kita anggap benar sebagai suara atau jawaban dari Tuhan?

Perbedaan cara penentuan awal Syawal yang dilakukan oleh Mbah Benu, kita uji saja dalam metodologi ilmiah keislaman? Adakah metodologi ini dalam sejarah dan literatur keislaman kita? Jika ada, this is a fine!. Jika tidak ada, maka apakah ini varian baru dari pemahaman keislaman? Mari kita uji, kita tabayyun dulu, lalu kita diskusikan agar memperoleh informasi, data, pengetahuan yang sebenarnya dari Mbah Benu dan para pengikutnya. Bukankah ilmu itu dinamis dan berkembang?

Saya kira sikap ini yang perlu kita kembangkan, bukan mencaci, mencela, dan menyesatkan. Terlalu prematur dan bukan sikap bijak jika kita memosisikan Mbah Benu dengan berbagai posisi tersebut. Toh Mbah Benu dan para pengikutnya adalah ahlil qiblah, ahli shaum, muzakki, dan semua ajaran keislaman dilakukannya dengan taat.

Kalaupun nanti setelah tabayyun dan diskusi, misalnya, ditemukan tidak ada landasan manhajiyyah dalam keislaman kita, maka adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah dengan mereka. Lagi-lagi, bukan dengan cara mencela, mencaci, dan menyesatkan mereka.

Jika sudah didakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah masih belum berubah dan tidak mau berubah, ya sudah kita kembalikan kepada Allah, sebagaimana Nabi Saw mendoakan kaumnya:

اللهم أهد قومي فانهم لايعلمون

Dalam konteks kebangsaan, menurut saya Mbah Benu tidak melakukan kesalahan secara hukum. Mbah Benu dan pengikutnya hanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya saja. Mereka tidak memaksakan keyakinannya kepada pihak lain. Bahwa ijtihadnya benar atau salah, itu bukan urusan negara dan masyarakat. Itu adalah urusan Tuhan. Biarkan mereka mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan nanti.

Kita tidak boleh mencela, memaki, mengolok-olok, dan merendahkan semua orang yang berbeda dengan kita. Mereka adalah manusia. Mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka adalah umat Islam juga. Tidak ada hak kita untuk merendahkan derajat dan martabat mereka. []

Pemilu 2024 Menentukan Nasib Manusia Indonesia

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Dalam Webinar bertajuk “Pemilu Perspektif Interfaith, Cerdas Memilih Demi Masa Depan Bangsa” pada 9 Februari 2024 lalu, saya menyampaikan beberapa poin. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Pemilu 2024 sungguh sangat penting. Peristiwa 5 tahun sekali itu adalah titik pijak masa depan Indonesia. Tidak saja akan berdampak pada nasib masa depan manusia Indonesia yang berbineka, tetapi juga berpengaruh pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah.

Kesalahan menusukkan paku pada kertas suara di bilik TPS akan membelokkan atau menjerumuskan arah masa depan Indonesia.

Oleh karena itu, dalam Islam memilih pemimpin, baik untuk pemimpin lembaga eksekutif maupun legislatif, hukumnya wajib kifa’iy.

ونصب الإمام من أتم مصالح المسلمين، وأعظم مقاصد الدين. ومن أجلها أجمع العلماء على أن ذلك من الواجبات الكفائية التي إذا قام به أهلها سقط طلبها عن الباقين

“Mengangkat pemimpin adalah termasuk instrumen terpenting bagi kemasalahatan umat Islam dan perwujudan tujuan terbesar agama. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif. Jika telah ditunaikan, maka yang lain terbebas dari kewajiban tersebut.”

Dalam konteks ini, Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din berargumentasi:

الملك والدين توأمان. فالدين أصل والسلطان حارس ، وما لا أصل له فمهدوم ، وما لا حارس له فضائع

“Kekuasaan dan agama (ibarat) saudara kembar. Agama adalah landasan (fondamen). Pemerintah (negara) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki landasan, maka akan tumbang. Sesuatu yang tidak memiliki penjaga, maka akan hilang (sia-sia).”

Dalam Kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Imam al-Ghazali juga berargumentasi:

والسلطان ضروري في نظام الدين ونظام الدنيا، ونظام الدنيا ضروري في نظام الدين، ونظام الدين ضروري للفوز بسعادة الآخرة، وهو مقصود الأنبياء قطعاً. فكان وجوب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.

“Pemerintah itu sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama dan pengelolaan dunia. Pengelolaan dunia sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama. Pelaksanaan agama sangat penting untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Inilah tujuan yang pasti dari seluruh Nabi hadir. Oleh karena itu, kewajiban adanya pemimpin termasuk urusan primer dalam agama yang tidak bisa ditinggalkan.”

Sementara Ibn Taimiyyah dalam Kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah menegaskan:

يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها

“Perlu diketahui bahwa kekuasaan (negara) merupakan salah satu kewajiban terbesar agama, yang tanpanya agama tidak akan tegak.”

Adapun terkait pentingnya pemimpin, Imam al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan,

ألإمامة موضوعة لخلافة النبوّة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

“Kepemimpinan dibentuk untuk meneruskan misi kenabian (profetik) dalam menjaga agama dan mengatur dunia”

Misi kenabian menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam Kitab al-Thuruq al-Hukmiyyah adalah menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana tegaknya langit dan bumi untuk semua makhluk Tuhan.

فإن الله سبحانه أرسل رسله وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط وهو العدل الذي قامت به الأرض والسموات فإذا ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأي طريق كان فثم شرع الله ودينه. أن مقصوده إقامة العدل بين عباده وقيام الناس بالقسط فأي طريق استخرج بها العدل والقسط فهي من الدين وليست مخالفة له.

“Sesungguhnya Allah SWT mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia dapat menegakkan keadilan, yaitu keadilan yang mana bumi dan langit tegak. Jika perangkat keadilan tampak dan terwujud dalam bentuk apapun, maka di situlah syariat Allah dan agama-Nya. Tujuan-Nya adalah untuk menegakkan keadilan di antara hamba-hamba-Nya dan kehidupan manusia dengan adil. Segala cara untuk mencapai keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama.”

Sangat jelas, Pemilu akan bermakna secara teologis dan penting bagi kemanusiaan apabila dilakukan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia melalui pemimpin yang kita pilih.

Sebaliknya, Pemilu menjadi tidak bermakna dan tidak penting sama sekali secara teologis — bagi kontestan dan pemilih– apabila dilakukan semata-mata karena kekuasaan yang mereka rebut dan politik transaksional yang mereka peroleh atau janjikan.

Kepemimpinan dalam Islam identik dengan keadilan. Kepemimpinan membawa misi profetik, menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan ketimpangan. Pemimpin yang baik seharusnya mampu melakukan dan mewujudkan misi profetik ini.

Dalam konteks ini, Ibn Taimiyah menyatakan:

إنَّ الله يُقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة ، ولا يُقيم الدولة الظالمة وإن كانت مسلمة

“Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) non Islam. (Sebaliknya) Allah tidak akan menegakkan negara dzalim (korup, otoriter, tiran) meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) Islam.”

Dengan demikian, dalam Pemilu 2024 ini pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang bisa menyelamatkan masa depan manusia Indonesia dan seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Jangan memilih seseorang karena mereka menyuap kita atas nama apapun, karena janji-janji muluk yang belum pasti terealisasi, karena paksaan yang kita tidak bisa menghindarinya, karena intimidasi yang sangat halus dengan dalih agama dan playing victim, dan apalagi teror yang jelas-jelas mencerabut kebebasan kita.

Dalam bilik yang personal itu, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan kriteria ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengimajinasikan bangsa terbaik (mabadi’ khaira ummah), yaitu seorang pemimpin atau wakil rakyat yang jujur (الصدق) tidak korup, terpercaya dan terbukti memenuhi janji (الامانة والوفاء بالعهد), bersikap adil dan berprinsip keadilan (العدالة), melayani, menolong, dan memberdayakan (التعاون), dan konsisten (الاستقامة) tegak lurus dalam keadilan dan kemaslahatan.

Siapa mereka? إستفت قلبك (mintalah fatwa pada hati nuranimu)!

Kesaksian Petugas Haji (1) : Menggotong dari Lantai 10

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Betul kata banyak orang, haji tahun 2023 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Haji pasca Covid-19 ini betul-betul mbludak. Tidak hanya jamaah haji Indonesia, tetapi juga jamaah haji negara lain.

Indonesia mengirimkan 229 ribu orang jamaah haji, 100 persen kuota plus 8000 jamaah haji tambahan. Data Siskohat menyebutkan satu dari tiga jamaah haji Indonesia adalah Lansia. Data BPS 2020 menyebutkan satu dari empat Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya.

Selain itu, haji tahun 2023 jatuh pada musim panas, mencapai 46 derajat Celcius. Bagi orang Indonesia yang biasa hidup dalam suhu 26-27 derajat Celcius, ini adalah tantangan sangat berat.

Mengelola manusia 229 ribu yang 30% nya adalah Lansia di tengah jutaan manusia dalam suhu 46 derajat Celcius yang sebagian besar akvitasnya adalah jalan kaki kiloan meter tentu adalah pekerjaan tidak mudah.

Sebagai petugas haji yang diamanatkan oleh Pemerintah pada tahun 2023, kami memiliki pengalaman yang unik dan menarik yang mungkin jarang ditemui oleh penyelenggaraan haji sebelumnya.

Saya yakin semua petugas jamaah haji memiliki pengalaman unik masing-masing. Apabila dituliskan semuanya tentu ruang ini tidak akan cukup menampung. Tetapi beberapa pengalaman penting ditulis sebagai kesaksian sejarah.

Tepatnya pada 14 Juni 2023, di suatu hotel wilayah Sektor 3 Madinah, ada agenda pendorongan jamaah haji dari Madinah menuju ke Mekah. Seperti biasa, semua petugas haji sektor 3 berangkat menuju hotel itu untuk membantu, melayani, dan memastikan semua jamaah haji –terutama Lansia– terangkut secara manusiawi dalam bus beserta barang-barangnya.

Nah, pada hari itu listrik di hotel itu konslet. Sehingga lift alat angkut naik turun jamaah haji di hotel itu tidak berfungsi. Padahal hotel itu memiliki 10 lantai. Kebetulan Kloter jamaah haji yang hendak didorong berangkat ke Mekah ini singgah di lantai 10, 9, dan 8.

Dari sisi usia, sepertiga jamaah haji di Kloter ini adalah Lansia. Dari sepertiga itu, ada sekitar 15-an orang Lansia yang berkebutuhan khusus, baik karena tidak bisa jalan sehingga bergantung pada kursi roda, tidak bisa melihat, berpenyakit jantung yang melekat padanya alat deteksi jantung, dan lain-lain.

Apa yang terjadi dan apa yang kami lakukan menghadapi situasi seperti ini?

Oleh karena lift tidak berfungsi dan tidak ada alat turun lain, maka kami menggunakan tangga darurat sebagai jalan untuk menurunkan koper kecil dan 314 jamaah haji. Kebetulan koper besar sudah diturunkan sehari sebelum lift bermasalah.

Bisa kebayang energi yang harus dikeluarkan oleh jamaah dan petugas haji dalam menurunkan koper kecil dan menuntun, memapa, dan menggotong jamaah haji dari lantai 10, 9, dan 8 hingga lantai lobby di hotel itu.

Ini bukan 1 atau 50 orang, tapi 314 orang yang jamaah laki-lakinya sudah berpakaian ihram, karena untuk niat ihram di miqot Abyar Ali atau Dzul Hulaifah.

Kalau hanya menuntun dan memapa jamaah Lansia, meskipun ngos-ngosan karena berkali-kali naik turun tangga darurat, ini masih terhitung ringan.

Ini ada 3 jamaah Lansia yang harus digotong dengan kursi rodanya dari lantai 10 hingga ke lantai lobby melalui tangga darurat. Empat orang gak cukup, kami harus berestafet menggotong Lansia berkursi roda ini. Tidak kuat hanya petugas, kami juga dibantu oleh ‘ummal untuk menggotong dari lantai 10 ini.

Inilah sebagian realitas yang kami hadapi dan lakukan. Ini tentu membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan ketekunan yang tak bertepi. Hanya doa dan maunah dari Allah kami harap agar kami tetap sehat, kuat, semangat, dan ikhlas.

Melayani jamaah haji adalah kemuliaan bagi kami. []

Pembelajaran dari Haji (1)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

PLURALISME MENJADI KESADARAN

ISIF CIREBON – Tanpa kesadaran pluralisme, ibadah haji tidak akan terselenggara dengan baik. Tanpa kesadaran pluralisme, setiap jamaah haji akan sibuk menyalahkan, membid’ahkan, dan menyesatkan amalan jamaah haji yang lain. Bukan ibadah yang dilaksanakan, tetapi debat, tuduh-menuduh, dan bisa jadi saling membunuh akibat perbedaan yang dipraktikkan.

Kita tahu, dalam pelaksanaan ibadah haji di Mekah kumpul jutaan umat Islam dari berbagai negara yang memiliki paham, aliran, madzhab, dan anutan tokoh yang berbeda-beda.

Dalam satu barisan shalat, ada yang takbiratul ihram dengan mengangkat tangan, ada yang tidak. Setelah takbiratul ihram, ada yang tangannya sedakep, ada yang tidak. Ketika baca surat al-Fatihah, ada yang diawali dengan bismillah, ada yang langsung alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Pada jamaah haji perempuan, ada yang sholat memakai mukena berwarna-warni, ada yang pake baju biasa tampak tangannya, tampak rambutnya, dan ada yang mengumpul sesama jamaah perempuan, ada yang bersanding dengan jamaah laki-laki, dan seterusnya.

Walhasil, praktik ibadah selama pelaksanaan ibadah haji beragam, berbeda, beraneka, dan berwarna. Ntah karena pahamnya, alirannya, madzhabnya, atau karena ketidaktahuannya.

Dalam pelaksanaan ibadah haji, kumpul semua pengikut aliran dan madzhab dalam Islam: Syiah, Sunni, Wahabi, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ja’fariyah, Ibadliyyah, Zaidiyyah, Dhohiriyyah, dan yang tidak bermadzhab.

Kalau mereka adalah ekstremis agama yang hanya memutlakan pahamnya, lalu memaksakan pahamnya kepada orang, maka tentu ibadah haji menjadi ajang debat, baku hantam, saling menuduh, dan bisa jadi saling membunuh karena menghalalkan darah orang yang berbeda paham dengannya.

Akan tetapi, nyatanya tidak terjadi. Tidak ada perdebatan, tidak ada baku hantam, dan apalagi juga tidak ada pembunuhan karena perbedaan ini.

Mereka semuanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya, dan menghargai keyakinan dan praktik keagamaan orang lain. Meski berbeda, mereka diam dan menghargai.

Perbedaan bukan hanya dalam keyakinan dan praktik ibadah, tetapi juga dalam ekspresi keagamaan.

Sungguh menjadi potret kehidupan keagamaan yang menarik dan so sweet. Setiap orang meyakini keyakinannya dan mempraktikkannya secara sungguh-sungguh tanpa menyalahkan keyakinan orang lain.

Maha benar Allah dalam firman-Nya:

قُلۡ اَ تُحَآجُّوۡنَـنَا فِى اللّٰهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّکُمۡۚ وَلَنَآ اَعۡمَالُـنَا وَلَـكُمۡ اَعۡمَالُكُمۡۚ وَنَحۡنُ لَهٗ مُخۡلِصُوۡنَۙ‏ ١٣٩

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri.”

Menurut saya, inilah toleransi. Inilah Islam. Beragam. Berbeda. Beraneka. Berwarna. Tetapi saling menghargai dan menghormati.

Diakui atau tidak, mereka sesungguhnya telah mempraktikkan kesadaran pluralisme dalam praktik keberagamaan. []

Melayani dengan Kasih Sayang (6)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Episode berikutnya adalah menjelang dan masa pelaksanaan haji. Setelah seluruh jamaah haji tidak ada yang singgah di Madinah, karena harus melaksanakan ibadah haji di Mekah, maka kami pun bergeser ke Mekah. Mekah tentu beda dengan Madinah. Tantangan baru pun dimulai.

Selama di Mekah, posisi petugas Daker Madinah adalah supporting system atas kerja-kerja Daker Mekah.

Sebelum masuk masa Armina/Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Persisnya di depan Zamzam Tower atau WC 3.

Selama beberapa hari, kami bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji yang tersesat jalan, terpisah dari rombongan, dan kelelahan setelah muter-muter tidak menemukan jalan pulang.

Tugas ini sama persis dengan tugas saya selama dua hari pertama kedatanganku di Mekah. Tugas ini sudah dijelaskan panjang lebar pada bagian pertama dari serial tulisan ini.

*

Masuklah masa haji. Hari tarwiyah 8 Dzul Hijjah dan hari Arafah 9 Dzul Hijjah adalah saat jamaah haji memulai ibadah, memakai pakaian ihram dan niat haji dari miqat.

Menghadapi Armina/Armuzna ini, tugas utama para petugas haji di kapling-kapling. Petugas haji Daker Bandara ditugaskan di Arafah. Petugas haji Daker Mekah ditugaskan di Muzdalifah. Sementara kami dari Daker Madinah ditugaskan di Mina. Meski begitu, dalam pelaksanaannya kita saling membantu dan memperkuat.

Di sini, saya tidak akan cerita penugasan di Arafah atau Muzdalifah, karena itu bukan tugas utama kami. Saya akan bercerita penugasan di Mina yang menjadi core duty kami.

*

Untuk jamaah haji Indonesia pada umumnya proses ibadah haji dimulai dari Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Jamaah haji sudah tiba di Arafah sejak malam 9 Dzul Hijjah, dan berada di Arafah sampai habis maghrib. Mereka wukuf di Arafah sejak dhuhur hingga malam hari.

Agenda utama wukuf di Arafah adalah mendengarkan khutbah wukuf, sholat dhuhur dan ashar di qashar jama’ taqdim, lalu berdoa dan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).

Habis maghrib, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah diangkut dengan bus yang telah disediakan Masyariq. Mabit di Muzdalifah hingga tengah malam, jam 00 lewat.

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah bergerak ke Mina diangkut dengan bus untuk lontar jamrah aqobah pada tanggal 10 Dzul Hijjah, lalu mabit di Mina hingga tgl 12 Dzul Hijjah bagi yang memilih nafar awwal, dan 13 Dzul Hijjah bagi yang memutuskan nafar tsani.

Kegiatan utama di Mina selama 3 atau 4 hari adalah mabit (bermalam) dan lontar jamrah ula/shughra, wustha, dan aqobah/kubra setiap hari pada tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah bagi nafar awwal, dan hingga 13 Dzul Hijjah bagi nafar tsani.

Nah, kami akan bercerita bagaimana pelayanan yang kami lakukan selama di Mina, sejak jamaah haji tiba hingga meninggalkan Mina menuju Mekah.

*

Sejak jam 00 dini hari tanggal 10 Dzul Hijjah, kami stand by di Maktab tempat tugas kami. Kami cek dan kontrol persiapan Maktab untuk melayani mabit jamaah haji. Tidak hanya tenda dan kasur bantalnya, tetapi juga AC, dapur, kamar mandi, mushalla, klinik, minum, dan fasilitas lainnya.

Semuanya dicek berdasarkan standar kelayakan dan ketercukupan jumlah jamaah haji yang akan masuk ke Maktab tersebut.

Hasilnya ternyata beda-beda. Ada maktab yang siap banget, lengkap dengan informasi yang memadai tentang peta Maktab, struktur, jadwal makan, jadwal lontar jamrah, dll. Tapi juga terdapat Maktab yang belum siap, baru diberesi malam itu, bahkan tidak ada info yang memadai terkait Maktab tersebut dan info yang dibutuhkan jamaah haji.

Di sinilah fungsi kami hadir untuk memastikan kelayakan dan ketercukupan semua fasilitas yang dibutuhkan. Namun dalam praktiknya tidak mudah, banyak hal yang menjadi kendala. Akhirnya, kami lakukan semaksimal yang bisa kami lakukan.

Benar terjadi, hampir semua tenda tidak memadai untuk menampung seluruh jamaah haji. Meskipun jumlah kasur yang disediakan sesuai dengan jumlah jamaah haji, tetapi luas tenda tidak memadai.

Mitigasinya, tenda untuk mushalla, tenda untuk ‘ummal, dan tenda yang kosong diubah fungsi untuk penginapan jamaah haji.

Ini pun sebagian maktab masih belum memadai, karena memang jumlah jamaah haji tahun ini kuota 100% plus 8000 jamaah tambahan. Jumlah jamaah haji bertambah, sementara tempat di Mina tidak bertambah dan tidak mungkin bertambah kecuali meninggi (ntah kapan akan ada bangunan tingkat di Mina).

*

Kasus-kasus jamaah Lansia mulai muncul ketika mereka melontar jamrah aqobah pada 10 Dzul Hijjah, atau jamrah ula, wustha, dan aqobah pada 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Pada umumnya terjadi kelelahan karena jarak tempuh dari Maktab ke Jamarat yang sangat jauh, rerata 8 km pulang pergi, bahkan bisa lebih tergantung posisi geografis maktabnya.

Selain kasus-kasus kelelahan, kasus lain yang banyak ditemui adalah jamaah haji yang tersesat karena ketidaktahuan posisi maktabnya.

Banyak sekali jamaah haji tersesat jalan, baik di dalam maktabnya sendiri mencari tenda kloternya atau di jalan-jalan mencari nomor maktabnya. Ini terjadi tidak hanya pada jamaah Lansia, tetapi juga pada jamaah muda. Ketersesatan jamaah Lansia memang mendominasi, dan akibatnya lebih rentan ketimbang jamaah non Lansia.

Ada banyak sebab ketersesatan jalan ini terjadi. Pertama, dia terpisah dari rombongan setelah lontar jamrah atau keluar bersama. Tidak punya peta atau tidak paham baca peta, tidak bawa atau tidak punya HP atau tidak bisa mengoperasikan HP, akhirnya tersesat.

Kedua, keluar dari toilet atau kamar mandi. Dia bingung, lalu jalan kaki mengikuti feelingnya, akhirnya tersesat jauh.

Ketiga, adanya kesamaan atau kemiripan pada bentuk tenda, pintu gerbang maktab, dan bangunan toilet menyebabkan jamaah sulit mengenali maktab dan tendanya.

Keempat, jamaah haji tidak diedukasi dan tidak dilengkapi peta geografis maktab-maktab Indonesia dan tenda-tenda dalam satu maktab.

Kelima, meskipun hari ini sudah ada Google Map dan GPS, tetapi banyak jamaah haji tidak bisa mengoperasikan atau tidak memanfaatkan fasilitas digital ini. Bahkan sekadar telp kepada temannya pun tidak dilakukan. Ini terjadi, karena beberapa jamaah haji selain tidak memiliki nomor HP Ketua Kloter, Ketua Rombongan, atau Ketua Regu, tidak bawa atau tidak punya HP, juga tidak mengaktifkan jaringan internet lokal sini atau roaming internasional.

Kerentanan sesat jalan diperparah dengan suhu cuaca di Mina yang saat itu bisa mencapai 46% Celcius. Kondisi ini menyebabkan jamaah haji yang tersesat semakin rentan, dan menyulitkan petugas untuk mengantarkan tanpa ada alat transfortasi yang memadai.

Nah, menghadapi kasus-kasus ini mitigasi yang kami lakukan adalah: pertama, jika jamaah yang tersesat adalah Lansia dan jamaah berkebutuhan khusus, maka kami antarkan langsung hingga ke maktab atau tendanya, baik dengan jalan kaki (di bawah terik matahari) maupun alat transportasi (meskipun jarang dijumpai).

Kedua, jika mereka tampak sehat dan kuat, kami cukup tunjukkan arah dan berikan peta digital untuk panduan jalannya.

Oleh karena di setiap pojok krusial ada petugas yang stand by, tidak jarang –meskipun tidak selalu– kami menggunakan sistem estafet untuk mengantarkan jamaah.

Karena sangking banyaknya jamaah yang tersesat jalan, kami keluar dikit dari tenda saja hanya sekadar ke kamar mandi atau jalan dikit, pasti akan me(di)temui jamaah tersesat dan kami harus melayaninya. Begitu tiap hari selama 4 hari di Mina.

*

Ada cerita menarik saat ada jamaah Lansia yang karena kelelahan tergeletak di jalan raya ke arah pulang dari Jamarat.

Persisnya, saya dan Pak Ihsan –petugas pembimbing ibadah– dalam perjalanan pulang habis lontar jamrah aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah menjelang maghrib. Tiba-tiba di tengah jalan terdapat seorang kakek jamaah haji dari embarkasi Surabaya (berusia sekitar 85 tahun) yang tergeletak tiduran di bahu tengah jalan raya.

Kami kaget, terhentak, dan terhenti. Kami dekati dan tanya ke orang sekitar yang ada di situ. Ternyata dia kelelahan, tidak kuat jalan, pusing, lemas, dan akhirnya menidurkan diri di bahu tengah jalan pulang dari Jamarat ke penginapan.

Selain karena faktor Lansia, ini terjadi karena kelelahan yang sangat atas perjalanan maraton dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sangat mungkin istirahat tidak cukup, bahkan tidak sempat istirahat yang berkualitas sama sekali. Untungnya, saat itu matahari sudah hampir terbenam, sehingga cuaca tidak begitu panas.

Akhirnya, kami telp berbagai perangkat petugas haji yang terkait. Hasilnya, ambulance tidak bisa melintas, kursi roda sulit, sewa kursi roda tidak mau hingga ke Maktab 40.

Setelah kakek ini minum dan makan roti yang diberikan jamaah yang lewat, dan dengan sisa tenaga yang ada, saya dan Pak Ihsan akhirnya memutuskan untuk memapa kakek ini berpegangan bahu saya dan bahu Pak Ihsan.

Meter per-meter kita tapaki. Dalam setiap 300 m, istirahat untuk mengambil nafas dan minum. Begitu seterusnya hingga sampai ke Maktab 40, yang kurang lebih berjarak 4 km dari tempat tidur sang kakek.

Menariknya, selama perjalanan memapa kakek ini, kami juga ditanya puluhan jamaah yang tersesat jalan. Sebagian kita antar jika satu arah, sebagian lagi kita beri petunjuk jalan saja. Sehingga dalam waktu 3 jam, kami baru bisa menyerahkan sang kakek ini kepada rombongan di Kloternya. []