ISIF Cirebon – Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar Diskusi Pemikiran Gus Dur dengan mengupas tema “Pesantren: Pendidikan Populis atau Elitis?” Diskusi yang memasuki sesi ke-10 ini diadakan di bawah rindangnya pohon asem ISIF dan dipandu langsung oleh Direktur Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial, Abdul Rosyidi pada Jumat, 21 Februari 2025.
Diskusi kali ini dipantik oleh Muhammad Abdul Aziz dengan menyoroti relevansi pendidikan pesantren dengan realitas hari ini. Topik ini berangkat dari tulisan Gus Dur berjudul “Pesantren: Pendidikan Populis atau Elitis?” yang terbit tahun 1976 dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS; 1999).
Dalam pemaparannya, Aziz menjelaskan bahwa pesantren mengalami perubahan yang signifikan dalam sistem seleksi dan orientasi pendidikannya dari masa ke masa. Pada awalnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan terbuka (populis) bagi semua kalangan, terutama mereka yang tidak tertampung dalam sistem pendidikan kerajaan.
Namun seiring berjalannya waktu, terjadi penyempitan fungsi pesantren, di mana fokus utamanya menjadi mencetak ulama dengan proses seleksi yang lebih ketat (elitis). Akibatnya, hanya sebagian santri kecil yang benar-benar menjadi ahli agama, sementara di sisi lain tingkat putus sekolah di pesantren cukup tinggi.
Selain itu, Aziz juga menyoroti masalah kepemimpinan dan pembiayaan pesantren. Menurutnya, sistem kepemimpinan yang hierarkis dan turun-temurun sering kali menghambat perubahan yang lebih progresif. Sementara itu, pesantren yang dahulu bergantung pada dukungan masyarakat kini mulai beralih pada pendanaan dari pemerintah, yang juga memiliki keterbatasan anggaran.
Pesantren dan Tantangan Zaman
Menanganggapi pemaparan Aziz, Direktur Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial, Abdul Rosyidi, mengungkapkan bahwa dinamika pesantren dari dulu sampai sekarang selalu terkait erat dengan kondisi masyarakat sekitar.
“Perubahan pesantren dari masa lalu hingga hari ini tidak terlepas dari bagaimana masyarakat menghendaki sebuah lembaga pendidikan keagamaan menemukan bentuk yang dirasa paling sesuai,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Ochid ini, juga menekankan relevansi gagasan-gagasan Gus Dur tentang pesantren dan tantangan yang dihadapinya. Meski tulisan yang dibahas telah berusia hampir lima dekade, pemikirannya tetap aktual dalam memahami bagaimana pesantren beradaptasi di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi saat ini.
“Tulisan Gus Dur yang kita diskusikan hari ini, meski ditulis pada tahun 1976, akan tetapi masih tetap relevan untuk melihat bagaimana pesantren mampu menghadapi tantangan terbesarnya yakni menghadapi zaman yang berubah,” tutupnya.*** (Gunawan)