(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Gun Gun Gunawan

Sekretaris LBH Fahmina dan Alumni ISIF Cirebon

ISIF Cirebon — Gus Dur selalu punya cara unik untuk menggugah kesadaran dan membuat kita berpikir ulang tentang banyak hal, baik itu tentang agama, kemanusiaan, geopolitik, atau wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, tokoh nyentrik dan kosmopolit yang terkenal dengan pemikiran yang nyeleneh selalu menawarkan wacana yang bahkan konteksnya bisa menembus batas negara, agama, bahkan zaman.

Pemikirannya kerap mengusik. Tapi justru dari sanalah kesadaran itu tumbuh. Salah satu contoh pokok pikirannya adalah pada esai bernas, “Republik Bumi di Surga: Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat.” Dalam tulisan ini, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melemparkan bola panas tentang wacana gerakan sosial melalui pembacaan kondisi geopolitik gerakan sosial pada masa itu terkhusus yang berwatak keagamaan. Gus Dur melakukan kritik tajam tentang bagaimana agama bekerja—baik secara sadar maupun tersembunyi—dalam mendorong gerakan sosial di masyarakat.

Reformisme dalam Gerakan Keagamaan

Dalam tulisan ini Gus Dur membuka pandangannya dengan mengulas 2 dikotomi gerakan yaitu gerakan revolusioner yang dipelopori oleh kaum Marxis dan gerakan reformis yang dipelopori oleh gerakan bermotifkan keagamaan.

Menurut Gus Dur ada dua kecenderungan berbeda di antara dua gerakan ini. Gerakan reformis biasanya dilatari oleh motif mesianistik dan mileniaristik. Menurut paham reformis paham revolusioner jika tanpa ideologi seperti halnya ideologi agama hanya akan mencapai kemenangan temporal, sisanya akan ada pertentangan kontra revolusi yang bersiap untuk merebut kembali kekuasaan.

Sedangkan menurut gerakan revolusioner paham gerakan keagamaan yang bersifat reformis hanya akan mentok di dua ujung yang semu dan kecenderungan gerakan reformis hanya akan memperkuat struktur yang ada dan melemahkan naluri revolusioner.

Mesianistik dan mileniaristik itu tak memberi angin segar karena tidak bisa merombak struktur dan tak bisa menyusun masyarakat baru yang egalitarian. Makanya Marxis tak percaya gerakan revolusioner yang didasari oleh motif keagamaan.

Marx pada khususnya, beranggapan bahwasanya agama hanya berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi kepada struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Buktinya dengan catatan sejarah yang memperlihatkan sikap revolusioner yang temporer belaka, hingga kekuasaan berada di tangan para tokoh reformis.

Artinya watak perjuangan kaum reformis yang bermotifkan keagamaan tak jauh berbeda sama serakahnya dengan kekuatan lain dan yang cenderung mempertahankan status quo. Oleh sebab itu Marxis anti terhadap yang namanya gerakan bermotifkan keagamaan.

Contoh-contoh konkrit bisa dilihat dari gerakan-gerakan bermotifkan keagamaan yang berada di Timur Tengah misalnya seperti revolusioner kaum nasionalis Arab Ba’athisme di Irak dan Syria, Sosialisme di Aljazair pimpinan Ahmed bin Bella dan Pan Islamisme.

Kemudian ada Pan Arabik dari Gamal Abdul Naser di Mesir ada Ikhwanul Musliminnya Hasan al-Banna yang memperoleh dukungan dari Al Azhar.  Adapun dukungan dari al-azhar tersebut menurut Gus Dur bukanlah dukungan atas pandangan revolusioner yang dibawa oleh Ikhwanul muslimin melainkan hanya mendukung kebijaksanaan pihak yang memerintah.

Buktinya setelah Nassar lengser dan diganti oleh Anwar Sadat, Al Azhar berputar haluan dan mendukung kebijaksanaan Anwar Sadat yang berwatak teknokratik yang bertentangan dari arus sosialistik.

Selain itu ada contoh lain seperti kongres rakyat-rakyat muslim di Iran yang melawan raja yang cenderung didorong oleh kepentingan taktis saja. Kemudian ada bukti paling konkret dari ideologi revolusioner dengan kecurigaan kepada motif keagamaan bisa dilihat dari kasus di India.

Tak ada satu pun pandangan revolusioner di India yang memiliki kaitan dengan aspirasi keagamaan kecuali gerakan Hindu Arya Samad yang berpusat di negara bagian Ayana. Motif keagamaan paling militan seperti yang dibawa oleh Mahatma Gandhi sekalipun tidak berwatak revolusioner dan hanya berwatak reformatif belaka dengan hanya menopang pada transformasi pada keinsafan spiritual bukan pada penggulingan kekuasaan.

Agama sebagai Motif Gerakan

Pada sesi selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa di era 60 sampai 70-an terjadi pergeseran pandangan seperti yang terjadi di Mesir setelah Nasir berhasil mengkonsolidasikan kekuatan revolusioner yaitu gerakan persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) yang merupakan titik balik ideologi revolusioner terhadap motif keagamaan dari gerakan masyarakat.

Contoh lain terjadi juga pada Ben Bella dari kekuasaan yang digantikan oleh Huari Boumedienne yang membawa perubahan sikap ideologi revolusioner terhadap aspirasi keagamaan, Bella ironisnya jadi justru sebagai pembela Islam di hadapan ideologi-ideologi sekuler.

Di Amerika Latin ada uskup agung Rio de Janeiro yang mencanangkan perjuangan menolong kaum miskin. Lalu tahun 1995 ada dong hilder melakukan pembentukan konferensi uskup-uskup Amerika Latin (CALEM) yang merumuskan teologi Katolik berwatak revolusioner dan memberi dukungan kepada ideologi revolusioner.

Pada 1968 ada juga gerakan Acau Esperanza (operasi harapan) dan dewan keadilan perdamaian yang mencanangkan perdamaian secara institusional dengan konsep keadilan yang berlingkup makro sebuah pendekatan dalam jargon ideologi-ideologi revolusioner atau dikenal juga dengan sebutan wawasan struktural.

Tahun 1972 muncul juga rumusan baru yaitu rumusan teologi pembebasan Gustavo Merino Guitierez di Peru. Mereka mempersoalkan kebenaran sikap membatasi lingkup pelayanan oleh Gereja terhadap perorangan warga masyarakat tanpa dikaitkan dengan struktur masyarakat. Bagi mereka, spiritualitas bukanlah hanya milik individu saja melainkan juga sesuatu yang imperatif bagi masyarakat.

Mereka  berpandangan bahwa sebuah masyarakat tanpa spiritualitas hanyalah akan berujung pada penindasan ketidakadilan pemerasan dan pemerkosaan atas hak-hak asasi warganya.  Gereja haruslah menegakkan kebenaran memberikan dukungan penuh kepada gerakan-gerakan revolusioner yang memperjuangkan masyarakat yang adil dan benar-benar demokratis.

Walau di sisi negatifnya gerakan-gerakan itu menggunakan metode kekerasan dalam perjuangan mereka sedangkan gereja sendiri tidak turut terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Bagi para penganut teologi ini, kekerasan tersebut merupakan refleksi dari kekerasan yang dilakukan oleh sistem kekuasaan dalam struktur yang pincang.

Selain itu perkembangan terjadi di kalangan kaum Katolik di dan non-Katolik di hampir seluruh dunia. Gema revolusioner tidak bersumber hanya dari teologi pembebasan saja melainkan juga pada semangat oikumene gereja-gereja Kristen dan paham Pan Islamic di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Gerakan oikumene ini mempertanyakan kebenaran etik Kristen yang kapitalistik seperti yang pernah didengungkan oleh Max Weber. Sedang wawasan egaliterian dari paham Pan Islamik yang revolusioner didengungkan semisal oleh intelektual santri, Ali Syariati di masa kekuasaan  Syah Reza Pahlevi.

Di India muncul sekte reformasi Hindu Arya Samaj yang mencanangkan bahwasanya keimanan adalah land reform, yang jika tidak diselenggarakan oleh pemerintah haruslah diwujudkan sendiri oleh masyarakat. Karena paham ini, Suani Agnivesh, salah seorang pemukanya, harus berkali-kali masuk penjara di masa pemerintahan Indira Gandhi.

Di kawasan lain juga muncul seperti Filipina, Korea Selatan, dan Hongkong. Di Filipina gerakan masyarakat  menggunakan strategi kolaborasi kritis dengan diprakarsai oleh Kardinal Jaimy Sin. Menurut strategi ini gerakan masyarakat akan mendukung sepenuhnya langkah-langkah konstruktif yang diambil pemerintah tetapi dengan mengajukan koreksi/kritik tuntas atas keadaan yang serba timpang. Strategi ini mendapat respon yang negatif dari presiden Marcos, ia  menuduh bahwa gerakan ini disalahgunakan untuk menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan militer.  Akibatnya, terjadi konflik terbuka antara pendeta Katolik dan pemerintah yang berlangsung bertahun-tahun.

Di Korea Selatan terjadi konflik antara militer yang berkuasa dengan gerakan masyarakat yang dengan skala lebih kecil dari yang terjadi di Filipina. Mereka berfokus pada masalah pemulihan hak-hak asasi manusia dan penegakan kedaulatan hukum. Gerakan ini dirumuskan sebagai perjuangan menegakkan masyarakat sesuai dengan kehendak Tuhan.

Di Hongkong sejumlah pusat komunikasi yang melayani jaringan gerakan-gerakan masyarakat di seluruh Asia Pasifik menyelenggarakan forum untuk membahas konteks perjuangan dengan menerbitkan publikasi periodik. Hal ini berfungsi penting bagi gerakan-gerakan masyarakat yang ada di kawasan Asia Pasifik karena merupakan jaringan tukar menukar pengalaman yang akan memperkaya ragam corak dan isi kiprah mereka dalam mewujudkan aspirasi mereka.

Pembacaan Gus Dur

Gus Dur membaca spektrum perjuangan bermotifkan keagamaan telah bergeser dari titik semula dalam 20 tahun terakhir. Yang melihat bahwasanya ada orientasi yang tidak jelas antara kiprah yang dilakukan yang hanya mengikuti alur cerita konvensional dan jaringan pendidikan yang biasa-biasa saja. Menurut Gus Dur kegiatan yang dilakukan oleh gerakan masyarakat ini tidak memiliki sasaran perombakan masyarakat sama sekali. Hal ini termasuk ke dalam orientasi yang diungkapkan pertama (reformisme).

Tapi di sisi lain muncul orientasi baru yakni memadukan aspirasi keagamaan dan kerangka pemahaman yang bersifat struktural atau dalam kata lain keberagamaan yang revolusioner dalam wawasan dan watak. Tapi menurut Gus Dur watak revolusioner ini masih terbatas pada wawasannya saja belum menjadi sesuatu yang programatik. Gus Dur menyebutnya sebagai revolusioner dalam retorika dan reformistik dalam kerja nyata.

Keadaan seperti ini mengandung bahaya yakni hilangnya kredibilitas karena jarak yang terlalu jauh antara kata dan perbuatan. Hal ini dikawatirkan menjurus kepada terjadinya perpecahan kepribadian. Konsekuensinya terjadinya fragmentasi yang tidak berkesudahan dan cenderung memunculkan terjadinya perpecahan dan memunculkan utopia baru akibat kekecewaan.

Utopia baru itu adalah idealisasi revolusi yang berlebihan di mana dalam merumuskannya harus terperinci dan tuntas. Revolusi seperti ini memiliki kekurangan yakni keterbatasan yang dimilikinya dalam mengayomi kehidupan masyarakat. Nuansa kultural yang ada dalam masyarakat dilihat hanya sebagai satu hal dari sudut pandang yang “merugikan atau menguntungkan bagi revolusi.” Dengan demikian keragaman dikorbankan demi kepentingan mensukseskan revolusi seperti halnya yang terjadi pada kelompok Indian Miskito di Nikaragua.

Selain itu penyeragaman kegiatan ini rentan berakibat pada terjadinya pencurian revolusi untuk menjaga dan mengkonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi. Hal ini seperti terjadi pada revolusi Islam di Iran yang tadinya milik saluran dan aspirasi kekuatan sosial politik yang berkiprah bersama. Tapi revolusi berubah menjadi Revolusi Mullah saja yang dituduhkan dalam Republik Islam Iran dengan partainya sendiri yang bernama sama (Mullah).

Hal yang terjadi di Iran adalah contoh klasik dari revolusi yang tercuri. Dulu Joseph Stalin juga mencuri revolusi Bolshefik dari teman-teman seperjuangannya termasuk bubut musuh bebuyutannya Totsky.

Oleh karena itu dalam gerakan masyarakat model ini, terjadi pertentangan kepentingan, antara berusaha menjaga keragaman budaya, dengan kepentingan sistematis langkah-langkah perjuangan yang dibutuhkan oleh semangat revolusioner gerakan.

Menurut Gus Dur banyak aspek dari gerakan kecenderungan revolusioner minimal dalam wawasan yang menjiwai  gerakan masyarakat yang ang bermotifkan keagamaan. Tapi menurutnya hal ini dirasa tidak cukup dan tulisan ini hanya sebagai pemantik untuk melemparkan pandangan kepada adanya fenomena itu sendiri.

Ia kemudian menutup dengan kesimpulan bahwa wacana gerakan sosial yang mencanangkan “Kerajaan Tuhan di muka bumi” dalam tataran ideologinya ternyata hanya retorika belaka. Ia melihat bahwa yang terjadi pada gerakan sosial di seperempat abad terakhir abad 20 (tahun 80-an)  adalah kemunculan fenomena keagamaan yang berkebalikan, yakni mendirikan sebuah ‘Republik Bumi’ untuk dilestarikan hingga ke akhirat.

Dengan demikian, mimpi tentang “Kerajaan Tuhan di muka bumi” ternyata tak lebih dari slogan ideologis yang hampa makna. Justru di balik gembar-gembor itu, sejarah mencatat sesuatu yang lebih membumi dan mengguncang: lahirnya sebuah “Republik Bumi” — gerakan keagamaan yang bukan hendak menjemput surga di dunia, melainkan menanam akar kehidupan duniawi yang lestari, hingga kelak dibawa sampai akhirat.**

— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mbludus.com (https://mbludus.com/membaca-peta-jalan-pemikiran-gus-dur-catatan-dari-esai-republik-bumi-di-surga/) pada Sabtu, 31 Mei 2025.

2