(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

ISIF Cirebon — Studi keislaman di Nusantara, dilihat dari indikasi muatan-muatan discourse-nya, lebih cenderung pada studi keislaman model Timur Tengah. Artinya, bobot muatan studi keislaman yang berkembang di Indonesia hanya sebatas mengusung tema-tema besar yang selama ini telah melembaga dalam sejarah Islamic studies di Timur Tengah. Sehingga studi keislaman di Indonesia cenderung tidak mempunyai basis faktual khas keindonesiaan, serta tidak terakomodasinya muatan-muatan lokal yang “menyejarah”, “meruang” dan “mewaktu” dalam karakteristik khas Islam Indonesia.

Tema-tema yang diangkat seperti zakat, thaharah, atau mu’amalah sering kali hanya mengikuti tradisi sosio-kultural masyarakat Timur Tengah, tanpa mengakomodasi realitas khas Indonesia. Buku-buku handbook dan kurikulum di lembaga pendidikan Islam—seperti IAIN, UIN, pesantren, dan madrasah—juga masih dominan Timur Tengah sentris. Akibatnya, studi Islam di Indonesia sering kali kehilangan pijakan faktual dan gagal menyerap muatan lokal yang kaya dengan konteks sejarah, budaya, dan tantangan zaman di negeri ini.

Padahal, Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan Timur Tengah. Perbedaan ini tak hanya menyangkut geografi dan budaya, tetapi juga cara masyarakat Indonesia memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Misalnya, tema zakat yang dalam konteks Timur Tengah lebih cocok diterapkan pada masyarakat gurun, sementara di Indonesia, masyarakat agraris punya kebutuhan dan mekanisme sosial berbeda.

Kelemahan Studi Keislaman Indonesia

Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berakar pada kekayaan budaya dan tradisi lokal. Namun, dalam studi keislaman Indonesia, muatan lokal khas keindonesiaan tidak terakomodasi.  Hal ini menjadikan karakteristik studi keislaman di Indonesia keluar dari akar faktualnya.

Padahal fenomena keberagamaan Islam di Indonesia berlainan dengan keberagamaan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, terdapat beberapa kelemahan dari corak islamic studies di Indonesia yang cenderung Timur Tengah sentris.

Perbedaan tersebut di diakibatkan oleh faktor socio-cultural serta geografi antara Timur Tengah dan Indonesia yang berbeda yang melahirkan pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran teologis yan berbeda pula. Karenanya, mainstream pemikiran keagamaan khas Timur Tengah tidak dapat dipaksakan untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan khas Indonesia.

Selain itu, kecenderungan mengadopsi apa adanya studi keislaman model Timur Tengah, kadang bertentangan dengan budaya dan karakteristik masyarakat Islam lokal. Pemaknaan atas teologi yang dipaksakan akhirnya melahirkan kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang bersifat eksklusif, yang kurang apresiatif terhadap kemajemukan dan perubahan sosial. Munculnya sejumlah paradoks dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sebagian merupakan akibat dari kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang eksklusif.

Paradoks Keberagamaan di Indonesia

Paradoks dalam implementasi nilai-nilai Islam tampak nyata dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan jurang yang lebar antara nilai-nilai ideal agama dan kenyataan praktik keberagamaan sehari-hari. Paradoks kehidupan keagamaan itu bisa dilihat dalam beberapa hal, misalnya:

Pertama, paradoks antara nilai agama yang mengajarkan kesucian dan kedamaian dengan ekspresi perilaku keagamaan yang diwarnai dengan tindakan kotor, kekerasan dan teror.

Kedua, paradoks antara misi agama untuk membebaskan manusia tanpa diskriminasi dengan praktik praktik indoktrinasi yang mengekang jiwa dan nalar umat Islam.

Ketiga, paradoks antara ajaran dasar agama yang mengajarkan kebebasan kesetaraan dan persaudaraan dengan praktik dengan gerakan keagamaan yang membungkam pikiran bebas dan kritik, mempraktikkan agama sebagai sarana diskriminasi, serta menggunakan agama untuk melegitimasi perang yang penuh kebencian.

Corak Islam Indonesia

Untuk membangun studi keislaman yang relevan dan kontekstual, Indonesia perlu menggali karakteristik Islam lokal yang menghargai budaya, tradisi, dan realitas sosial masyarakatnya. Studi Islam tidak harus sekadar mengimpor gagasan Timur Tengah, tetapi perlu merefleksikan keberagaman dan dinamika sosial Indonesia yang kaya.

Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, damai, dan inklusif. Dengan menjadikan konteks lokal sebagai pijakan, Islam dapat menjadi kekuatan pembebas yang melahirkan solusi, membuka ruang dialog, dan membangun peradaban tanpa menjadi pembatas atau penyekat gagasan.

— Disarikan dari buku Nalar Islam Nusantara (M.Mukhsin Jamil.dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah al-Irsyad Persis dan NU. Cirebon: Fahmina Institute, 2008).

6